“Apakah kamu mau memaafkanku?”Di bawah cahaya bulan, Valerie dan Emrys berdiri berhadap-hadapan. Emrys menatap Valerie yang terlihat menawan walau dengan balutan pakaian sederhananya. Wajah Valerie sedikit pucat dan lelah, namun dia masih terlihat sempurna. “Kamu memikirkan Mom?” Emrys membawa Valerie hingga menempel ke tubuhnya, mengelus wajah Valerie dengan lembut. “Kalau kamu tidak mau membahas masalah ini, aku akan memberimu waktu. Aku hanya tidak sanggup berjauhan denganmu, Valerie.” ujarnya lagi.Valerie menggeleng, menempelkan wajahnya ke dada Emrys yang bidang lalu memeluknya dengan erat. “Emrys, kamu benar-benar tidak berbohong? Kamu mencintaiku?”“Aku tidak bisa menunjukkannya sekarang jika aku sangat mencintaimu dan tergila-gila padamu. Jika kamu ingin melihat buktinya sendiri, maka izinkan aku tinggal bersamamu.”“Di rumah kecil ini? Tidak akan.”“Rumahnya mungkin kecil, tapi yang ku butuhkan bukan bangunannya. Di mana ada kamu, di situlah aku ingin berada.”“Terdengar k
Karena mendengar suara muntah dari kamar di sebelahnya, Valerie langsung tersentak. Dia menyadari jika ternyata hari sudah pagi dan cahaya matahari menyelinap dari balik tirai. Dia tidak mengenakan apa pun karena langsung tertidur tadi malam di pelukan Emrys dan dia juga tidak tahu Emrys di mana sekarang.Dia buru-buru memakai pakaiannya. Langkahnya terseret berlari menuju kamar Lissa, namun dia langsung berhenti begitu melihat Emrys duduk di sebelah Lissa, sedang memeganginya.“Mom, apa kamu baik-baik saja? Maaf, aku ketiduran.”Lissa hanya mengangkat tangannya, memberinya tanda jika dia baik-baik saja. Lissa masih bersimpuh di lantai kamar mandi, memeluk dudukan toilet dengan lemah. Sepertinya dia masih terlalu lemas untuk bisa kembali berdiri atau sekedar membalas pertanyaan Valerie.“Tolong ambilkan Mom air hangat,” perintah Emrys.Valerie langsung melesat menuju dapur, dan tak lama dia membawa segelas air hangat di tangannya. Emrys meminumkannya pada Lissa, namun tak lama kemudi
Emrys mendesah dalam. Angin pantai kembali menerbangkan kemejanya dan kedua bola matanya mendadak perih karena ditiup angin. Mendengar apa yang dikatakan Rick, Emrys hanya diam. Dia kembali menenggak colanya hingga habis, lalu meremukkan kalengnya.“Kamu tidak membicarakan ini dengan Valerie?” tanya Rick lagi.“Bagaimana caraku membicarakannya? Saat ini saja Valerie sudah seperti mayat hidup. Dia bergerak seperti mereka semua, namun pikirannya tidak ada di dalam tubuhnya sendiri.”“Tapi waktunya sudah semakin dekat.”“Biar saja waktunya semakin dekat. Biarkan Valerie menikmati saat-saat terakhir seperti ini bersama Mom dengan bahagia dan tanpa beban.”Rick mengikuti arah pandangan Emrys menuju pantai di mana Valerie dan yang lain sedang bermain. Tampaknya mereka sedang membangun istana pasir. Sesekali mereka mendengar suara tawa Valerie dan Isabelle, dan Emrys tidak bisa menahan senyumnya karena hal itu.“Tapi Valerie terlihat bahagia,” Rick menyikut Emrys. “Kamu melakukan tugasmu den
“Besok pagi, ayo kita lihat matahari terbit.” Ujar Lissa saat Valerie membantunya berbaring di atas tempat tidur.“Melihat matahari terbit?” kening Valerie mengernyit.Lissa mengangguk. “Emrys bilang, sangat indah melihat matahari terbit di tepi pantai.”“Baiklah Mom,” Valerie menyelimuti Lissa hingga ke dadanya. “Kita akan melihat matahari terbit besok. Sekarang Mom harus istirahat.”Valerie menatap Lissa sekali lagi, sebelum akhirnya dia berdiri lalu mematikan lampu di kamar Lissa. Dia menutup pintu kamar, lalu ikut bergabung bersama yang lain di teras villa.“Mom sudah tidur?” Emrys meraih pinggangnya, mendudukkan Valerie di pangkuannya.Valerie mengangguk, sedikit meregangkan tubuhnya yang kaku. “Mom bilang dia mau melihat matahari terbit besok.”“Ide bagus,” ujar Lucy. “Pantai ini terkenal dengan pesona matahari terbitnya yang sangat indah.”“Tapi bukankah kita harus sedikit mendaki ke atas karang-karang itu?” Rick menunjuk ke arah barat pantai, menunjuk pada sebuah tempat berbuk
Emrys tiba-tiba berdiri saat melihat tangan Lissa tergeletak begitu saja seolah tidak bertenaga. Dia terhenyak, mendadak mematung. Waktunya sudah selesai, semuanya sudah berakhir. Tapi melihat reaksi Valerie yang datar dan biasa saja, batin Emrys terluka. Valerie tidak mungkin tidak menyadarinya, namun sepertinya dia berpura-pura tidak tahu.“A-apa Mom...” Isabelle menatap Emrys sendu.Emrys hanya mengangguk, dan yang lainnya segera berdiri. Emrys menatap Rick, lalu Rick mengangguk. Mereka mendekati Valerie dan Lissa yang masih duduk menatap matahari terbit. Emrys mendekat, duduk di samping Valerie.“Ssstt, Mom sedang tidur,” Valerie menempel jarinya di bibir.Emrys terenyuh, sekali lagi menyentuh punggung Valerie.“Jangan berisik Emrys, Mom akan terbangun nanti.”“Valerie..”“Ku bilang diam!” nada suara Valerie naik, tatapannya memerah menahan air mata.Emrys berdiri, bicara dengan Rick. “Rick, Ky, akan ku tahan Valerie. Kalian topang tubuh Mom dan bawa turun lebih dulu.”Rick dan Ky
Tepat dua minggu setelah pemakaman Lissa, Valerie masih belum bicara banyak seperti yang dia lakukan setiap hari. Dia mengurung diri di kamar seharian dan enggan turun, bahkan ketika Rick atau Lucy bahkan Zach datang mengunjunginya. Beruntung Rys ada di dalam kamar menemani Valerie. Anjing yang sudah semakin besar itu berkeliaran di sekitar Valerie dan membuat Valerie sibuk, seolah-olah dia merasakan kesedihan Valerie dan tak ingin Valerie terlarut-larut lagi.Saat Emrys kembali dari perusahaan, dia mendapati Valerie duduk di balkon. Di atas kursi dia menekuk kakinya, pandangannya lurus ke depan sementara hujan di luar sedang turun dengan deras. Di kaki kursi Rys merebahkan dirinya. Anjing itu tidak tidur, dia sepertinya tetap terjaga untuk mengawasi Valerie.“Apa yang kamu lakukan di luar? Anginnya bertiup dengan kencang,” Emrys menepuk pundak Valerie.Valerie menengadah, lalu kembali menatap lurus ke depan. “Kamu pulang.” Gumamnya tanpa reaksi apa pun.Emrys menelan ludahnya. “Madam
Jam antik kuno yang menggantung di salah satu ruangan eksklusif di Hollow Glass menunjukkan jarumnya di angka sebelas. Suara musik memekik hingar bingar memenuhi ruangan, memantul dari dinding yang satu ke dinding yang lainnya. Manusia memadati lantai dasar, menari dan minum hingga mabuk. Emrys duduk menatap ratusan manusia yang memenuhi lantai dasar. Dia memicingkan mata menatap cairan cokelat bening yang ada dalam gelas slokinya, lalu menenggaknya. Emrys sendirian di ruangan itu. Wajahnya kusut, sorot matanya hampa, dan kedua bola matanya mulai memerah. Setelah gelas slokinya kosong, dia kembali mengisinya dengan rum.“Well, di situ kamu rupanya,” Rick dan Ky masuk ke ruangan yang ditempati Emrys.Emrys menoleh, mengacuhkan keduanya, lalu kembali minum. Rick duduk di samping Emrys sementara Ky hanya berdiri. Keduanya mengapit Emrys di tengah dan membiarkannya untuk sementara menikmati minumannya sendirian.“Rum? Boleh juga,” gumam Rick setelah mereka hanya diam beberapa saat.“Kena
Valerie mendesah, merasa sangat menyesal karena sudah membuat Emrys mabuk seperti ini. Seandainya dia tidak terlalu egois, maka semuanya akan baik-baik saja. Siapa yang tidak berkabung ketika kehilangan? Emrys sudah cukup baik, memberinya ruang untuk sendiri selama dua minggu. Tapi kenapa dia menyulut emosi Emrys dan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal?Valerie membawakan segelas air hangat lalu meletakkannya di dekat wastafel. Dia mendekati Emrys dan memberi pijatan lembut pada punggungnya. Saat Emrys hendak berdiri, dia membantu memeganginya. Valerie membantu Emrys membersihkan dirinya lalu meminumkan air hangat yang sudah dia sediakan.Emrys sepertinya sudah sedikit lebih baik. Saat dia membuka sendiri kancing kemejanya, sepertinya efek alkoholnya mulai berkurang.“Akan ku ambilkan piyamamu,” gumam Valerie pelan setelah mengelus wajahnya.Saat Valerie hendak keluar dari kamar mandi, Emrys langsung menarik tangannya, dan menempatkan Valerie dalam pelukannya. Valerie hendak ber
Hal pertama yang dilakukan Isabelle adalah memeluk erat Valerie ketika dia turun dari sedan yang membawanya kembali ke rumah. Dalam diam, dia menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakit hati dan penyesalan yang tak terukur dalam dirinya. Isabelle tidak bisa menggambarkan betapa terlukanya perasaannya dan sedalam apa rasa sakitnya.Rasa sakit itu bukan hanya karena dia berpikir jika dia kehilangan Valerie, namun juga karena rasa cinta yang sudah menggebu-gebu dalam dirinya untuk Rick. Tapi keadaan ini membuat dirinya sendiri tidak mengizinkan cinta itu berbalas. Dia sangat sakit hati hingga dia membatasi dirinya untuk tidak mencintai.“Heh, berikan Grandpa kesempatan.” Isabelle melepas pelukannya. Dia berdiri di sisi Valerie, menyeka air matanya dan membiarkan Grandpa memeluk sosok yang sangat dirindukannya itu.Tangisan Grandpa pecah saat memeluk Valerie. Dia terus mengelus punggung Valerie dan mengatakan maaf, bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali hingga Valerie pun
“Emrys bunuh diri.” Lucy tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Karlis ketika Valerie sedang menonton televisi.Valerie berdiri, kedua bola matanya membulat tak percaya, namun dia kembali duduk dengan santai. "Jangan membohongiku. Aku tidak akan percaya.""Valerie...""Aku tahu kamu selalu memaksaku pulang. Tapi jangan menggunakan cara seperti ini." ujar Valerie."Aku tidak berbohong. Emrys benar-benar bunuh diri." Lucy membuka ponselnya, menunjukkan pesan yang dikirim oleh Ky padanya. “Apa katamu?” desis Valerie.“Setelah mengirim pesan padaku, dia menghubungiku juga. Dia bertanya dimana aku sekarang dan aku berbohong jika aku sedang diluar kota untuk urusan pekerjaan. Dia memintaku untuk menenangkan Isabelle dan memberitahu jika Emrys bunuh diri.”“Ke-kenapa bisa...”“Dia melompat dari tebing yang sama dengan tebing tempatmu nyaris dibunuh. Dalam suratnya yang dia letakkan di meja kamar, dia mengatakan jika dia ingin mengalami sendiri apa yang kamu alami.”“Tapi ini sudah satu setengah
Lucy berguling menghadapkan tubuhnya pada Valerie yang masih terlentang menatap kosong langit-langit kamar. Setiap akhir pekan, Lucy selalu menyempatkan diri untuk melihat Valerie dan bermalam di sana. Valerie selalu mengalami mimpi buruk, berteriak dalam tidurnya untuk diselamatkan. Lucy tahu sahabatnya itu terluka sangat dalam hingga dalam mimpi pun dia masih bergulat. Namun, Lucy juga tidak bisa melakukan apa-apa.“Belum mengantuk?” bisik Lucy.Valerie menggeleng, menarik selimut menutupi dadanya. Dia mendesah panjang. “Bagaimana kondisi perusahaan Emrys?”“Sudah lebih baik.” Lucy memilih duduk. “Sejak aku memutuskan untuk menarik semua produk yang kami luncurkan dan mengembalikan apa yang seharusnya milik Lysander Kingdom berikut hak ciptanya, perusahaan mereka semakin membaik.”“Bagaimana dengan Isabelle?”“Isabelle?” Lucy mengingat-ingat. “Aku tidak terlalu sering bertemu dengannya karena aku sibuk di perusahaan. Tapi Rick mengatakan jika Isabelle masih marah dan menolak dirinya
Sebulan kemudian.Sepasang bola mata yang indah dan teduh itu menatap layar televisi yang ukurannya nyaris seukuran dengan kardus pembungkus mie instan yang biasa dimakannya. Kedua bola mata itu bergerak mengikuti arah gambar yang menayangkan acara komedi. Dia tidak tertawa saat tokoh dalam acara itu menjatuhkan dirinya ke dalam kubangan lumpur. Apapun adegannya, dia tidak tersenyum.Seorang wanita paruh baya masuk ke ruanganya. Dia membawakan semangkuk bubur yang masih mengepul panas dan meletakkannya di atas meja. Dengan lembut wanita itu menarik remote dari tangannya dan mematikan saluran televisi. “Sudah malam, Nak. Makanlah dulu. Kamu perlu tetap hidup demi janin dalam perutmu.”Pemilik mata teduh itu adalah Valerie. Ketika wanita yang menemukannya dan menyelamatkannya itu menyebut janinnya, dia secara naluri memegang perutnya. Di keningnya ada beberapa bekas luka goresan yang belum hilang, begitu pula di tangannya.Dia ingat. Ketika tubuhnya dihempas oleh arus, seseorang tiba-t
“Bagaimana Grandpa, Belle?” Rick dan Zach menghampirinya bersamaan.Isabelle tidak menyahut, pun tidak melirik mereka. Dia melengos begitu saja lalu pergi mengambil beberapa kaleng alkohol dari dalam kulkas dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Hati Isabelle benar-benar kacau dan dia masih sakit hati. Semua kebohongan yang mereka lakukan di depannya membuat dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara pada keduanya.Dia membuka kaleng alkoholnya dan langsung menenggaknya. Dalam sekali tegukan panjang, dia menghabiskan seisi kaleng itu hingga tumpah ke pakaiannya. Isabelle menghela nafas, menyeka sisa alkohol yang membanjiri dagunya. Isabelle mengingat Valerie. Dia menunduk, air matanya jatuh dan dia menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sangat sesak. Dia memukul-mukul dadanya yang seolah terhimpit oleh beban berat, berusaha mencari oksigen agar bisa bernafas lebih leluasa. Namun sesak itu bukan karena jantungnya kekurangan oksigen, melainkan karena semua kekacauan dalam h
Angin malam yang kencang membuat tubuh Victoria yang terayun-ayun merasakan kengerian yang teramat besar. Dia berteriak meminta agar Emrys menurunkannya. Rasanya dia nyaris pingsan melihat betapa tingginya posisinya berada hingga benda-benda di bawahnya terasa sangat kecil. Victoria menangis, kembali memohon agar Emrys bermurah hati padanya.Hati Emrys tidak tergugah. Dia sama sekali tidak tergerak. Tekadnya sudah bulat sekalipun dia akan membayar apa yang dilakukannya dengan nyawanya sendiri.Dia akan melakukan apa pun, dia sanggup menukar apa pun, hanya jika Valerie bisa kembali.Ketika Emrys hendak melempar tubuh Victoria dari lantai enam belas bangunan itu, tiba-tiba beberapa anggota kepolisian menghampirinya dan berusaha menahannya.“Emrys, jangan.” Sosok kapten yang ditemuinya di villa tadi malam berdiri di sana. “Jangan kotori tanganmu, ini bukan gayamu.”Air mata Emrys mengalir terus dan dia benar-benar tidak berdaya. Bayang-bayang bagaimana Valerie jatuh menari-nari di kepala
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?” Victoria menggerutu kesal saat mendengar bunyi bel pintu terus berdering. Dengan malas dan setengah pusing dia melangkah dan membuka pintu. Namun begitu melihat Emrys berdiri dengan murka di sana, dia membelalak dan buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Dengan kasar Emrys menendang pintu hingga membuat Victoria terpelanting. Wanita itu beringsut mundur dengan gugup dan gemetar.“Di mana Valerie?” Emrys menunduk, meraih kerah baju Victoria dengan kasar dan tatapan dingin mematikan. Rick dan Ky ada di belakangnya. Ketika Emrys mengabari Ky, Ky juga langsung memberitahu Rick. Ky hanya berpikir mungkin Rick melihat keberadaan Valerie, namun karena Rick juga tidak tahu dimana Valerie, dia memutuskan ikut.“Ada apa, Vic?” Cassiel berseru dari dalam kamar mandi ketika dia mendengar saura ribut-ribut.Victoria hendak berteriak, namun dengan cepat Emrys meninju mulutnya hingga berdarah. Victoria tergeletak di lantai, kesakitan dan berlumuran dar
Lembaran hitam putih itu membuat jantung Emrys memacu. Tangannya gemetar, wajahnya memutih, dan sekujur tubuhnya gemetar luar biasa. Dia melihat nama Valerie tertera di foto USG itu dan hal itu membuktikan jika kertas foto itu adalah benar milik Valerie. Buru-buru Emrys membuka buku harian Valerie dilembaran dimana kertas foto itu jatuh.Air matanya langsung mengalir begitu membacanya, merasakan kepedihan yang teramat besar dan juga rasa penyesalan. Emrys menggeleng, menolak jika Valerie menyiratkan jika dia sudah menyerah dalam tulisan itu. Dan ketika dia membaca tulisan Valerie yang mengatakan dia hamil, buku harian di tangannya langsung jatuh.“Ha-hamil?” Gumam Emrys kaget. “Anakku? Dia hamil anakku?”Emrys berdiri, memegang kepalanya yang berdenyut karena bingung. Foto USG dan tulisan di buku Valerie sangat mempengaruhinya. Dia tidak menyangka bahwa dalam tubuh Valerie ada janin dimana darahnya mengalir. Janin itu adalah bukti pencapaian tertinggi rasa cinta diantara mereka. Tang
“Dia akan mencariku segera ketika mengetahui aku tidak ada di rumah. Apa kamu tidak takut?”Cassiel tertawa. “Takut? apa yang harus ditakuti?”“Jika kamu tidak takut, kenapa kamu bersembunyi selama ini?”Valerie terus bicara, berharap Cassiel kehilangan hasrat untuk membunuhnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Dia harus memancing Cassiel terus bicara dan sebisa mungkin tidak menyinggungnya. Jika tidak, meski dengan kekuatan kecil, tubuhnya akan langsung meluncur ke bawah jika Cassiel mendorongnya.“Itu karena perintah pria itu, tahu?” jawab Cassiel santai.“Maksudmu, Dex?” tebak Valerie.Cassiel mengangguk. “Aku harus menuruti ayahku, bukan?”Angin menerbangkan rambut Valerie. Kuncirannya berantakan diterpa angin dan dia kedinginan. Kakinya kaku saat dia menginjak sebuah batu dan batu itu langsung longsor jatuh ke bawah. Valerie memberanikan diri menengok ke bawah. Buih-buih putih terlihat memecah dinding jurang hingga membuat Valerie menelan ludahnya.“Aku tidak ingin mengh