Elang menunaikan janjinya pada Huri. Malam semakin larut dan jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari dan disaat itulah kedua bayi kembarnya mulai mengoceh dan minta diajak bermain. Huri terkekeh geli dari ranjangnya melihat suaminya menggoda dua bayi yang ada di dalam box. Menurut Huri, itu adalah hal percuma, karena Zayyan dan Hanan pasti tidak akan berhenti merengek dan mengoceh sebelum digendong oleh Elang."Bisa-bisa mulut Abang nanti berbusa jika mengoceh terus seperti anaknya. Sudah, hentikan, angkat saja, lalu timang-timang," seru Huri sambil tertawa geli. Elang masih nampak semangat, lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu berdiri dengan tegak. Bu Latifah sudah tertidur sejak pukul sepuluh dan ibunya itu minta dibangunkan pukul dua dini hari, agar bisa bergantian jaga dengan dirinya."Kamu benar. Mulut Abang terasa kering," kata Elang sambil menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya hingga tandas.
Hari ini Huri sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit, setelah menginap perawatan tiga hari. Kondisi payu*ada dan juga psikis Huri sudah jauh lebih baik sejak aja Elang yang berada di sampingnya siang dan malam.Lelaki itu juga ikut mengantar Huri kembali ke apartemen, sebelum ia pergi ke toko. Empat hari libur bekerja dan dia tidak enak hati dengan para pelanggan yang sudah memanggilnya untuk melakukan service AC atau perbaikan alat elektronik lainnya."Abang berangkat ya. Ada ibu dan mama di sini menemani kamu. Kalau kamu capek atau mengantuk, tidur saja. Jangan terlalu dipaksakan. Nanti calon istri cantikku sakit lagi." Elang tertawa mendengar ucapannya yang aneh. Huri pun ikut tertawa, lalu mengangguk patuh."Abang pulang ke sini ya? Masih diboikot Teh Kiya'kan? He he he ... Ada kasur lipat, Abang bisa tidur di depan TV. Kalau ibu tidur di kamar sama mama. Kalau itu dua nenek
Elang memutar balik sepeda motornya untuk menyusul Kiya ke rumah. Ia harus meminta penjelasan pada istrinya itu tentang siapa lelaki yang mengantar Kiya pulang dan darimana saja ia hari ini. Kiya masuk ke dalam rumah dengan kunci rumah pegangannya, namun belum sempat ia tutup dan kunci kembali, Elang mendorong pintu rumah agar bisa masuk.“Kiya, katakan!” Elang menahan lengan istrinya. Kiya berbalik dengan malas sambil memutar bola mata jengah. Ia memandang Elang dengan wajah tidak bersemangat, padahal jauh di dasar hatinya ia pun merindukan suaminya. “Siapa lelaki itu? tidak mungkin pacar kamu. Kamu wanita sudah bersuami dan tidak pantas berjalan dengan pria lain.”“Lalu kamu adalah lelaki yang juga sudah beristri, apakah pantas bagimu untuk bermesraan dengan wanita yang bukan mahrommu? Jangan egois, Bang. Huri bukan lagi istrimu, tapi kamu memperlakukannya dengan sanga
Setelah berbicara cukup serius dengan Huri, akhirnya Elang pamit untuk ke toko. Hari ini banyak pelanggan yang membutuhkan tenaganya dan ia tidak bisa menolak rejeki. Apalagi ada si Kembar yang ada dalam tanggung jawabnya. Karena uang jatah Huri sudah diambil oleh Kiya, maka ia harus kembali mengumpulkan uang beberapa hari ke depan untuk diberikan pada Huridan harus tanpa sepengetahuan Kiya.Sepanjang perjalanan ia melamun. Perkataan Huri yang dengan tegas menolak rujuk membuatnya patah hati dan sangat tidak bersemangat. Sekeras apapun ia memberi pengertian pada Huri, maka semakin yakin Huri untuk menolak. Bukan karena ia tidak mencintai Elang, justru karena ia terlalu mencintai lelaki itu, sehingga ia tidak mau melukai siapapun.“Abang masih boleh bertemu dengan anak-anak. Bermain dan mungkin sesekali mengajak mereka pergi setelah mereka cukup besar, tetapi untuk kita kem
Dewasa_21+Elang dan Kiya kini tengah berada di dalam perjalanan menuju rumah sakit. Lelaki itu tidak sabar untuk mengecek kehamilan istrinya. Wajahnya bersinar penuh senyuman, karena begitu senang dengan berita kehamilan Kiya yang ia nantikan bertahun-tahun lamanya. Kiya diam hampir sepanjang perjalanan. Lidahnya kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan sederhana dari suaminya. Ia sangat yakin, bahwa bayi yang ada di dalam kandungannya adalah bayi suaminya, bukan bayi Jaelani. Apalagi ia tidak sengaja melakukan dengan pemuda itu disaat hatinya tengah dirundung kesedihan karena sikap Elang.“Aku bingung bagaimana dengan pernikahanku, Jae. Apakah aku harus mengalah saja?” “Jangan, Mbak. Bagaimanapun Mbak harus mempertahankan suami Mbak. Apalagi memang suami Mbak masih sayang sekali dengan Mbak. Kalau bisa sih, jangan mau dipoligami.” Dirinya m
Kiya langsung menghapus pesan dari nomor yang tidak ia kenal. Nomor baru yang tidak ada di dalam kontaknya, tetapi ia tahu siapa pengirimnya. Tidak lain dan tidak bukan pasti Jaelani. Lelaki itu pasti menggunakan nomor lain untuk menghubunginya, karena kontak dan akun media sosial lelaki itu sudah ia blokir.Hatinya mendadak tidak tenang jika berkaitan dengan Jaelani dan ia begitu menyesalinya sekarang. Seandainya waktu itu ia menahan diri dari godaan setan, tentulah ia tidak merasa sampai setakut ini. Namun semua telah terjadi dan Kiya hanya bisa berharap ucapan pemuda itu tidak dikabulkan Tuhan. Anak yang ada di dalam perutnya adalah anak suaminya, bukan anak Jaelani.Kiya tidak jadi menghabiskan rujak pemberian dari Jaelani, masih ada beberapa potong buah lagi dan ia langsung membuangnya ke dalam tempat sampah. Rasa mualnya sebenarnya cukup berkurang dmegan makan buah rujak, tetapi mengingat siapa yang memberikannya membuat Kiya tidak s
Kiya sedang menonton film drama korea tentang perselingkuhan di kaset DVD yang ia beli secara bajakan—bahkan sudah ia putar sepuluh kali hingga setiap kalimat yang diucapkan tokoh protagonist dan antagonis sudah ia hapal hampir keseluruhan. Di drama itu sang selingkuhan suaminya juga seorang gadis kaya yang cantik, persis kejadian yang ia alami saat Huri masih bersama suaminya. Pelakor memang perlu dibasmi dan sangat tidak tahu malu. jadi dia beranggapan bahwa apa yang dilakukannya pada Huri sudah benar, termasuk memeras sebagian kecil tabungan wanita itu.“Benar-benar cerita yang keren. Aku berharap suaminya benar-benar bertaubat dan kembali pada istri pertamanya, namun sayang sekali istrinya tidak memaafkan perselingkuhan. Karena selingkuh adalah penyakit kejiwaan yang tidak ada obatnya kecuali bertaubat dan mendapat hidayah,” gumam Kiya dengan mata fokus pada drama yang sedang ia tonton. Perutnya yang semakin buncit membuatny
Huri baru saja mengecek informasi Mbanking yang masuk ke dalam ponselnya. Ada nominal seperti biasa yang telah ditransfer oleh Elang setiap tanggal lima. Huri tersenyum tipis, lalu melirik kedua buah hatinya yang tengah bermain dengan bunyi-bunyian di atas matras yang diberi pagar dari mainan."Terima kasih Bang Elang, semoga rejeki Abang melimpah dan selalu diberi kebahagiaan bersama Teh Kiya," gumam Huri tipis dengan mata berkaca-kaca. Setiap kali hatinya menyebut nama Elang, maka seperti sebuah mesin otomatis, maka air matanya siap tumpah kapan saja.Huri mengusap sudut matanya dengan ujung jari tengah, lalu kembali fokus pada Zayyan dan Hanan yang semakin aktif dan lincah.Keduanya semakin gesit bergerak ke sana-kemari sehingga perlu perhatian khusus untuk menemani mereka saat bermain. Memang belum ada yang berjalan, tetapi keduanya sudah bisa berdiri sambil merambat memegang pinggir kursi atau meja.H
Kiya tengah melipat pakaian yang baru saja ia angkat dari jemuran. Duduk di ruang depan rumahnya sambil menemani Kamelia yang sedang bermain masak-masakan. Semua daun-daunan yang ditanam di pekarangan rumah sederhananya digunakan untuk bermain."Kiya, buatin mi rebus," seru Jaelani pada istrinya."Iya, Mas, tunggu sebentar, nanggung lipatin pakaiannya. Tinggal dua potong baju ....""Kamu kalau disuruh suami itu gerak cepat, alesan aja. Aku lapar nih!" sentak Jaelani dari dalam kamar. Kiya hanya bisa menghela napas kasar, lalu segera bangun dari duduknya. Ia bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan pesanan suaminya."Jangan lupa pakai telur," seru Jaelani lagi dari dalam kamar."Telurnya habis, Mas, harus beli dulu," sahut Kiya sambil menyalakan api kompor gas."Kebiasaan deh kamu, kalau habis itu ya beli
Ijab kabul itu dilaksanakan pada hari Minggu pukul sebelas siang, di kediaman Huri. Tidak banyak tamu undangan yang datang. Hanya beberapa kerabat dan juga teman dekat Huri maupun Elang. Ada dua orang dosen yang juga diundang Huri. Sedangkan Elang hanya bicara pada dua orang yaitu Pak Asep dan Bu Jumi, bahwa ia akan menikah dengan Huri, tetapi bukan hanya dua orang yang datang, melainkan dua puluh orang.Dari tiga puluh mahasiswa di kelasnya, lebih dari delapan puluh persen menghadiri syukuran pernikahan Elang dan Huri. Untung saja beberapa tetangga sigap membantu untuk memesan makanan kembali sehingga suguhan untuk tamu Elang yang tiba-tiba membludak."Bang Elang, selamat ya. Kami beneran senang deh, Abang menikah lagi dengan ibunya anak-anak. Gak nyangka dosen kita adalah mantan Bang Elang. Beruntung sekali yang jadi Bang Elang. Istrinya cantik, pintar, kaya, kayak artis pula. Saya boleh minta kontak dukun yang bias
Huri tidak menyangka ia menjadi dosen ekonomi dari mantan suaminya. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Sejak dulu, Huri memang ingin mengajar tetapi karena basicnya design, ia tidak berani mencoba. Namun disaat salah seorang dekan kampus yang tidak lain adalah sepupu dari mamanya menawarkan untuk mengajar mata kuliah ekonomi, maka Huri menyanggupi.Huri sendiri saat ini tengah menempuh S2 jurusan managemen yang baru berjalan selama setahun. Sedangkan kuliah design-nya sudah selesai. Siapa sangka, di kampus ini ia malah bertemu dengan Elang;lelaki yang tidak pernah benar-benar hilang dari kepala dan juga hatinya."Apa tugasnya sudah selesai?" tanya Huri setelah tersadar dari lamunannya."Sebentar lagi, Bu," sahut beberapa orang bersamaan. Ekor mata Huri melirik ke bangku Elang. Lelaki itu duduk bersampingan dengan perempuan yang menurut Huri sangat pecicilan dan juga genit. Hana terus saja tertawa cekikikan sambil memuku
Rasa penasaran Elang terbawa hingga esok hari. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan anak kecil yang keluar dari toko roti semalam. Saat akan menuju kampus, Elang menyempatkan diri untuk mampir ke toko roti itu lagi. Untung saja sudah buka sejak pukul sembilan, sehingga tidak mengganggu jadwalnya yang masuk pukul sepuluh.Elang memarkirkan motornya di parkiran toko. Lalu ia masuk dan memilih beberapa jenis roti untuk ia santap jam makan siang nanti."Selamat pagi, Mas, ada yang bisa kami bantu?" sapa pelayan toko dengan ramah."Pastinya saya mau beli roti, Mbak, karena kalau beli batako bukan di sini tempatnya," sahut Elang dengan bercanda. Pelayan toko berwajah manis itu pun ikut tertawa."Silakan dipilih mau roti apa, Mas," kata pelayan itu lagi sambil menunjuk etalase roti yang sudah penuh dengan varian roti dengan berbagai rasa dan harga. Kantong Elang yang tidak ke atas juga tidak ke bawah, tentu s
"Bang Elang, pocong apa yang disukai emak-emak?""Kamu kalau ngasih tebak-tebakan pasti jawabannya gak bener," sahut Elang dengan wajah malas. Wanita itu tergelak, diikuti enam ibu-ibu lainnya.Sejak teman-teman satu kelas di kampusnya mengetahui ia duda, khususnya para ibu sering sekali menggoda dan cari perhatian padanya. Bukan dirinya GR, hanya saja sedikit gembira saja. Maklumlah, kelas yang ia ambil ini adalah kelas ekstensi khusus karyawan yang jam kuliahnya hanya Sabtu dan Minggu saja. Jika Senin sampai dengan Jumat dia bekerja di toko servis AC, maka akhir pekan ia akan kuliah.Wajar saja jika di dalam kelasnya didominasi oleh kaum para emak dan para bapak. Walau tetap ada juga yang masih gadis, perawan tua, janda pun ada. Sering sekali ia digoda oleh teman-temannya dijodohkan dengan janda kembang bernama Hana."Bang, ye ... kok melamun? Jawab dulu pertanyaan gue dong!""Han, lu pa
"Jadi besok kamu akan menikah?" tanya Elang dengan suara lemah dan mata berkaca-kaca. Huri yang tengah menunduk, dengan gerakan pelan akhirnya mengangguk."Mmm ... selamat ya, Huri. Semoga pernikahannya sakinah, Mawaddah, wa Rohmah." Suara Elang bergetar menahan tangis."Saya harap, kamu dan anak-anak bisa berbahagia selamanya walau tidak dengan saya," katanya lagi dengan wajah teramat sedih."Oh, iya ... AC kamar hanya bermasalah di remote-nya saja. Sudah bisa dipakai lagi. Saya permisi dulu." Elang mengusap telapak tangannya dengan gugup, lalu berdiri dengan cepat. Langkahnya begitu berat meninggalkan Huri yang masih enggan memandangnya.Lelaki itu menoleh ke kiri dan melihat si kembar El tengah digendong oleh dua wanita yang memakai seragam baby sitter. Pasti calon suami Huri yang telah memberikan dua orang wanita untuk membantu menjaga El. Elang memantapkan hatinya, bahwa ini adalah yang terbaik bagi a
Apakah Bu Latifah percaya nama yang ada pada kartu undangan adalah nama mantan menantunya? Tentu tidak. Ada banyak nama Huri Hamasah. Tidak mungkin Huri yang ia kenal baik dan saat ini tengah dicari oleh anaknya. Lagian setahunya, Huri tinggal di Bandung dan bukan di Jakarta.Bu Latifah yang penasaran, memutuskan mencari tahu dengan mengecek isi rumah melalui jendela samping rumah. Rumah itu begitu besar dengan banyak perabotan mahal di dalamnya. Tidak ada yang bisa ia temukan di dalam sana, sebagai tanda bahwa ini adalah rumah Huri. Tidak mungkin.Bu Sanusi pasti kenal dengan Huri, karena pernah ikut ngebesan saat Elang menikah dengan Huri waktu itu. Bu Latifah menepuk keningnya. Kenapa ia bisa mempunyai pikiran buruk seperti ini?Wanita paruh baya itu kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai semua dan jam menunjukkan pukul dua siang. Bu Latifah meminta ijin pada Bu Sanusi un
Semua warga di sekitar tempat tinggal Kiya menjadi geger, karena wanita itu memutuskan pindah dan mengosongkan rumah kontrakan pada malam hari, setelah isya. Memang sengaja pindah malam hari, karena agar warga tidak banyak berkumpul dan bertanya.Kiya tidak bersama bayinya, hanya menemani duduk di dalam mobil saja. Ada Jaelani yang mengangkut barang bersama dua orang temannya. Cukup satu kali angkut, maka semua barang sudah berpindah tempat ke kontrakan baru yang letaknya tidak jauh dari rumah Jaelani."Pindah, Neng Kiya? Bang Elang mana?""Istri melahirkan bayi lelaki lain, mana mungkin Bang Elang mau kembali lagi. Udah jijik kali.""Gak nyangka, ih ...!""Sudah, sudah, Mbak Kiya semoga betah di tempat baru. Mohon maaf jika selama beberapa tahun tinggal di sini, kami banyak menyusahkan Mbak Kiya," suara Bu RT menengahi. Kiya turun dari mobil tanpa bersuara. Ia hanya tersenyum sambil menga
"Elangnya ke mana, Mbak Kiya?" tanya salah satu dari lima orang tetangga yang menjenguk Kiya dan bayinya hari ini di rumah sakit."Eh, itu ... mungkin di toko. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan," jawab Kiya dengan sedikit canggung. Kelima ibu itu saling pandang, lalu dengan ekor mata melirik seorang pemuda yang duduk tak jauh dari Kiya. Tidak ada pasien lagi di dalam ruangan, sudah pasti pemuda itu tengah menunggui Kiya dan bayinya."Oh, harusnya sebagai ayah baru, Elang gak usah masuk aja. Gimana sih ya?""Kejar setoran, Bu. Namanya sekarang jadi punya tiga anak," timpal ibu satunya lagi."Ya sudah, kami pulang dulu Mbak Kiya. Semoga lekas sehat ya. Ini ada titipan dari ibu-ibu RT kita, semoga manfaat. Ada beberapa kado juga yang dititipkan di saya, tapi nanti saat Mbak Kiya sudah di rumah saja.""Terima kasih ibu-ibu atas perhatiannya. Mudah-mudahan besok sudah bisa pulang." Kiya ter