Bu Rima mempercepat langkah kakinya begitu memasuki lorong rumah sakit. Tujuan pertamanya adalah resepsionis untuk menanyakan perihal pasien rawat inap yang tidak lain adalah Elang. Mantan menantunya. Yah, hakim sudah mengetuk palu bahwa secara agama dan negara, Elang sudah menjadi mantan menantunya. Walau sertifikat mungkin baru keluar dua bulan lagi.Lalu untuk apa dia ke sini? Untuk apa menjenguk Elang? Salah satu sudut hatinya menegur dirinya sendiri. Bu Rima berusaha meneguhkan hatinya bahwa yang dilakukannya saat ini atas dasar kemanusiaan. Apalagi dia sempat dekat dengan Bu Latifah mantan besannya. Jadi anggap saja saat ini ia tengah mengunjungi salah satu anak temannya.Kini Bu Rima sudah berdiri di depan pintu ruang perawatan kelas tiga, sesuai dengan petunjuk petugas di lobi depan tadi. Bu Rima mengatur napas sebelum tangannya yang sudah memegang kenop pintu, mendorong daun pintu itu agar segera terbuka.
Dua Istri 30Kiya pulang ke rumah dengan perasaan hancur. Ia begitu patah hati setelah mendengar pengakuan suaminya yang sangat mengejutkan. Selama ini ia mengira bahwa hanya dirinyalah yang bertahta di hati Elang, tanpa tergantikan, tetapi ia salah. Huri telah mencuri suaminya, bukan hanya raganya tapi juga hatinya.Satu dua orang tetangga yang menyapanya tidak ia hiraukan. Kiya langsung masuk rumah dengan derai air mata, lalu mengunci pintu. Tangisan pilu ia tumpahkan di atas bantal. Ingin rasanya menjerit, tetapi ia menekan bibirnya dengan guling agar tangisannya tidak terdengar tetangga. Terlalu lelah menangis, Kiya pun tertidur hingga pagi.Bu Latifah masih setia menunggui Elang. Sehabis sarapan bubur ayam, ia mengupaskan buah jeruk untuk Elang. Dokter baru saja melakukan visit dan mengatakan bahwa kondisi Elang sudah cukup baik dan bisa untuk dibawa pulang. Tidak ada obat yang diberi, hany
Berbulan-bulan sudah berlalu, tetapi Elang masih belum mengetahui kabar Huri. Segala cara dilakukan untuk mencari tahu keberadaan Huri. Bu Latifah mendatangi semua orang yang berhubungan dengan Bu Rima, tetapi tidak membuahkan hasil. Semua orang yang dikunjungi mengatakan tidak tahu apa-apa soal Bu Rima. Ponsel wanita itu pun sudah lama tidak aktif.Walau hubungan Elang dengan Kiya sudah baik, tetapi tetap saja masih ada yang mengganjal di hatinya. Perasaan bersalah itu semakin besar setelah ia tidak bisa menemukan Huri di mana pun. Diantara sibuknya menjalani pekerjaan, Elang sering melamun berharap bisa bertemu dengan Huri. Walau hanya sebentar dan untuk mengucapkan kata maaf saja."Gak bosen melamun Huri terus?" celetuk Kiya sambil menaruh pisang rebus di atas meja. Di luar hujan turun dengan deras. Udara dingin menerpa kulit. Menikmati sepiring pisang rebus tentulah sangat pas dan juga nikmat. Elang tidak menyahut celetukan Kiya. Tanga
“Huri, kamu … ini ….” Elang tidak tahu harus berkata apa lagi saat melihat mantan istri keduanya tengah tersenyum begitu hangat padanya dengan perut sangat besar. Kedua tangan Elang meremas rambutnya kasar, sambil berusaha menahan rona bahagianya. Tidak, ia benar-benar menjadi lelaki paling bahagia di dunia dan dia harus memperlihatkannya pada semua orang.“Apa Abang tidak ingin menyentuh mereka?” tanya Huri dengan perasaan sama bahagianya. Alis Elang bertaut. “Mereka?” gumam Elang sangat pelan. Huri menaikkan jari telunjuk dan jari tengahnya menunjukkan angka dua. Elang kembali ternganga tidak percaya. Lelaki itu menutup mulutnya untuk menahan tangis yang hampir saja pecah.“Di d-dalam sana apakah kembar?” tanya Elang gugup; memastikan bahwa Huri sedang tidak main-main dengan ucapannya. Namun Huri kembali mengangguk masih dengan senyuman yang teramat manis. Elang tak sanggu
Huri masih terbaring lemas di brangkar rumah sakit. Tatapannya lurus memperhatikan Elang yang tengah mengazankan kedua anak kembar mereka. Suara lelaki itu begitu merdu dan sangat fasih sehingga memberi rasa tenang dan haru di dadanya Huri yang mendengarnya.Setetes air mata kembali membasahi pipinya. Peristiwa seperti ini persis seperti yang dia inginkan. Walau harus nekat menyusul sendiri Elang ke Jakarta, tetapi kedatangannya tidak sia-sia. Seakan bayi kembar mereka memang ingin lahir di dekat ayahnya."Hati-hati, Bang," seru Huri sedikit khawatir karena Elang menggendong dua buah hati mereka dengan kedua tangan. Elang memang gugup dan begitu kaku, tetapi karena hatinya yang terlalu gembira, sehingga menggendong dua bayi super mungil dengan berat masing-masing dua kilo dua ons saja, tentu bukanlah hal yang sulit."Ini gendong mereka," kata Elang sembari membantu Huri untuk duduk, lalu memberikan salah satu dari kembar k
"Kek, turun! Biar saya yang bawa deh! Duh, ke mana si Udin pangkalan? Yang ada malah kakeknya yang lagi ngetem," omel Bu Latifah dengan tak sabar. Kakek Udin turun dari kemudian, lalu pindah ke belakang. Pria tua itu duduk mengangkang sambil berpegangan erat pada pinggang Bu Latifah."Jangan kekencengan, Kek. Gak bakalan Kakek kejengkang. Makanya kalau udah tua itu inget umur. Segala pake ngojek. Udah aja di rumah ikut pengajian, banyakin amal karena udah dekat waktunya. Ini malah jadi nyusahin saya. Jadi saya yang bawa motornya." Bu Latifah masih mengoceh panjang lebar sambil mengendarai motor Kek Udin dengan begitu semangat.Polisi rebahan, ia tabrak. Tikungan tajam, ia pun ikut miring bagaikan pembalap. Lampu merah hampir saja diterobos karena ingin buru-buru sampai di rumah sakit. Jilbab yang dipakainya berkibar menerpa wajah Ke Udin yang tengah memucat di belakang sana. Kakek tua itu berpegangan sangat erat
Bu Rima memandang putrinya dan juga Elang secara bergantian. Wajah bahagianya memang tidak bisa ditutupi karena hadirnya cucu kembar yang pasti menambah semarak di dalam rumahnya nanti. Namun ia juga tidak bisa menyembunyikan raut kesal dan kecewa pada Huri, karena sudah nekat berkendara malam hari dari Bandung ke Jakarta hanya untuk menjumpai Elang."Bersyukurlah kamu tidak apa-apa di jalan? Bagaimana kalau sampai kamu kontraksi di tol dan kecelakaan? Mama kecewa dengan kalian berdua. Elang, kamu jika memang tidak bisa membahagiakan Huri, tolong lepaskan anak saya dan kamu Huri, harusnya tahu diri, bahwa Elang itu milik Kiya. Walau kini kalian punya anak, tetap saja Elang tidak bis menjadi milikmu. Mama tidak tahu akan datang kejadian buruk apalagi nanti jika Kita tahu hal ini. Bukannya Mama tidak suka Elang. Mama tidak suka dengan istri pertamanya. Kecuali, Elang mau menceraikan Kiya? Bagaimana?" Elang terdiam. Begitu pun Huri yang menunduk sam
Elang tidak bisa memejamkan mata semalaman. Pikirannya melayang pada pertengkaran dengan Kiya yang disaksikan begitu banyak orang. Rasa marah dan malu bercampur jadi satu, sehingga membuat Elang memutuskan untuk benar-benar pergi dari rumahnya bersama Kiya. Elang memilih pergi ke kontrakan ibunya—memberi ruang berpikir pada Kiya yang sudah terlewat batas. Mata panda Elang tidak bisa ditutupi dari ibunya. Bu Latifah menghidangkan sarapan bubur kacang hijau yang ia masak pagi sekali, karena Elang akan pergi mengintai rumah sakit.“Lu gak tidur semalam ya? Mata lu bengkak banget, Lang. Pipi lu juga masih bengkak. Tngan Kiya terbuat dari tulang dan daging atau dari besi sih? Sampai biru gitu bekasnya.” Bu Latifah sampai membungkuk untuk melihat sejauh mana luka yang diderita anaknya. Elang memalingkan wajah karena malu sekaligus masih amat kesal dengan Kiya.“Istri kamu itu hanya terlal
Kiya tengah melipat pakaian yang baru saja ia angkat dari jemuran. Duduk di ruang depan rumahnya sambil menemani Kamelia yang sedang bermain masak-masakan. Semua daun-daunan yang ditanam di pekarangan rumah sederhananya digunakan untuk bermain."Kiya, buatin mi rebus," seru Jaelani pada istrinya."Iya, Mas, tunggu sebentar, nanggung lipatin pakaiannya. Tinggal dua potong baju ....""Kamu kalau disuruh suami itu gerak cepat, alesan aja. Aku lapar nih!" sentak Jaelani dari dalam kamar. Kiya hanya bisa menghela napas kasar, lalu segera bangun dari duduknya. Ia bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan pesanan suaminya."Jangan lupa pakai telur," seru Jaelani lagi dari dalam kamar."Telurnya habis, Mas, harus beli dulu," sahut Kiya sambil menyalakan api kompor gas."Kebiasaan deh kamu, kalau habis itu ya beli
Ijab kabul itu dilaksanakan pada hari Minggu pukul sebelas siang, di kediaman Huri. Tidak banyak tamu undangan yang datang. Hanya beberapa kerabat dan juga teman dekat Huri maupun Elang. Ada dua orang dosen yang juga diundang Huri. Sedangkan Elang hanya bicara pada dua orang yaitu Pak Asep dan Bu Jumi, bahwa ia akan menikah dengan Huri, tetapi bukan hanya dua orang yang datang, melainkan dua puluh orang.Dari tiga puluh mahasiswa di kelasnya, lebih dari delapan puluh persen menghadiri syukuran pernikahan Elang dan Huri. Untung saja beberapa tetangga sigap membantu untuk memesan makanan kembali sehingga suguhan untuk tamu Elang yang tiba-tiba membludak."Bang Elang, selamat ya. Kami beneran senang deh, Abang menikah lagi dengan ibunya anak-anak. Gak nyangka dosen kita adalah mantan Bang Elang. Beruntung sekali yang jadi Bang Elang. Istrinya cantik, pintar, kaya, kayak artis pula. Saya boleh minta kontak dukun yang bias
Huri tidak menyangka ia menjadi dosen ekonomi dari mantan suaminya. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Sejak dulu, Huri memang ingin mengajar tetapi karena basicnya design, ia tidak berani mencoba. Namun disaat salah seorang dekan kampus yang tidak lain adalah sepupu dari mamanya menawarkan untuk mengajar mata kuliah ekonomi, maka Huri menyanggupi.Huri sendiri saat ini tengah menempuh S2 jurusan managemen yang baru berjalan selama setahun. Sedangkan kuliah design-nya sudah selesai. Siapa sangka, di kampus ini ia malah bertemu dengan Elang;lelaki yang tidak pernah benar-benar hilang dari kepala dan juga hatinya."Apa tugasnya sudah selesai?" tanya Huri setelah tersadar dari lamunannya."Sebentar lagi, Bu," sahut beberapa orang bersamaan. Ekor mata Huri melirik ke bangku Elang. Lelaki itu duduk bersampingan dengan perempuan yang menurut Huri sangat pecicilan dan juga genit. Hana terus saja tertawa cekikikan sambil memuku
Rasa penasaran Elang terbawa hingga esok hari. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan anak kecil yang keluar dari toko roti semalam. Saat akan menuju kampus, Elang menyempatkan diri untuk mampir ke toko roti itu lagi. Untung saja sudah buka sejak pukul sembilan, sehingga tidak mengganggu jadwalnya yang masuk pukul sepuluh.Elang memarkirkan motornya di parkiran toko. Lalu ia masuk dan memilih beberapa jenis roti untuk ia santap jam makan siang nanti."Selamat pagi, Mas, ada yang bisa kami bantu?" sapa pelayan toko dengan ramah."Pastinya saya mau beli roti, Mbak, karena kalau beli batako bukan di sini tempatnya," sahut Elang dengan bercanda. Pelayan toko berwajah manis itu pun ikut tertawa."Silakan dipilih mau roti apa, Mas," kata pelayan itu lagi sambil menunjuk etalase roti yang sudah penuh dengan varian roti dengan berbagai rasa dan harga. Kantong Elang yang tidak ke atas juga tidak ke bawah, tentu s
"Bang Elang, pocong apa yang disukai emak-emak?""Kamu kalau ngasih tebak-tebakan pasti jawabannya gak bener," sahut Elang dengan wajah malas. Wanita itu tergelak, diikuti enam ibu-ibu lainnya.Sejak teman-teman satu kelas di kampusnya mengetahui ia duda, khususnya para ibu sering sekali menggoda dan cari perhatian padanya. Bukan dirinya GR, hanya saja sedikit gembira saja. Maklumlah, kelas yang ia ambil ini adalah kelas ekstensi khusus karyawan yang jam kuliahnya hanya Sabtu dan Minggu saja. Jika Senin sampai dengan Jumat dia bekerja di toko servis AC, maka akhir pekan ia akan kuliah.Wajar saja jika di dalam kelasnya didominasi oleh kaum para emak dan para bapak. Walau tetap ada juga yang masih gadis, perawan tua, janda pun ada. Sering sekali ia digoda oleh teman-temannya dijodohkan dengan janda kembang bernama Hana."Bang, ye ... kok melamun? Jawab dulu pertanyaan gue dong!""Han, lu pa
"Jadi besok kamu akan menikah?" tanya Elang dengan suara lemah dan mata berkaca-kaca. Huri yang tengah menunduk, dengan gerakan pelan akhirnya mengangguk."Mmm ... selamat ya, Huri. Semoga pernikahannya sakinah, Mawaddah, wa Rohmah." Suara Elang bergetar menahan tangis."Saya harap, kamu dan anak-anak bisa berbahagia selamanya walau tidak dengan saya," katanya lagi dengan wajah teramat sedih."Oh, iya ... AC kamar hanya bermasalah di remote-nya saja. Sudah bisa dipakai lagi. Saya permisi dulu." Elang mengusap telapak tangannya dengan gugup, lalu berdiri dengan cepat. Langkahnya begitu berat meninggalkan Huri yang masih enggan memandangnya.Lelaki itu menoleh ke kiri dan melihat si kembar El tengah digendong oleh dua wanita yang memakai seragam baby sitter. Pasti calon suami Huri yang telah memberikan dua orang wanita untuk membantu menjaga El. Elang memantapkan hatinya, bahwa ini adalah yang terbaik bagi a
Apakah Bu Latifah percaya nama yang ada pada kartu undangan adalah nama mantan menantunya? Tentu tidak. Ada banyak nama Huri Hamasah. Tidak mungkin Huri yang ia kenal baik dan saat ini tengah dicari oleh anaknya. Lagian setahunya, Huri tinggal di Bandung dan bukan di Jakarta.Bu Latifah yang penasaran, memutuskan mencari tahu dengan mengecek isi rumah melalui jendela samping rumah. Rumah itu begitu besar dengan banyak perabotan mahal di dalamnya. Tidak ada yang bisa ia temukan di dalam sana, sebagai tanda bahwa ini adalah rumah Huri. Tidak mungkin.Bu Sanusi pasti kenal dengan Huri, karena pernah ikut ngebesan saat Elang menikah dengan Huri waktu itu. Bu Latifah menepuk keningnya. Kenapa ia bisa mempunyai pikiran buruk seperti ini?Wanita paruh baya itu kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai semua dan jam menunjukkan pukul dua siang. Bu Latifah meminta ijin pada Bu Sanusi un
Semua warga di sekitar tempat tinggal Kiya menjadi geger, karena wanita itu memutuskan pindah dan mengosongkan rumah kontrakan pada malam hari, setelah isya. Memang sengaja pindah malam hari, karena agar warga tidak banyak berkumpul dan bertanya.Kiya tidak bersama bayinya, hanya menemani duduk di dalam mobil saja. Ada Jaelani yang mengangkut barang bersama dua orang temannya. Cukup satu kali angkut, maka semua barang sudah berpindah tempat ke kontrakan baru yang letaknya tidak jauh dari rumah Jaelani."Pindah, Neng Kiya? Bang Elang mana?""Istri melahirkan bayi lelaki lain, mana mungkin Bang Elang mau kembali lagi. Udah jijik kali.""Gak nyangka, ih ...!""Sudah, sudah, Mbak Kiya semoga betah di tempat baru. Mohon maaf jika selama beberapa tahun tinggal di sini, kami banyak menyusahkan Mbak Kiya," suara Bu RT menengahi. Kiya turun dari mobil tanpa bersuara. Ia hanya tersenyum sambil menga
"Elangnya ke mana, Mbak Kiya?" tanya salah satu dari lima orang tetangga yang menjenguk Kiya dan bayinya hari ini di rumah sakit."Eh, itu ... mungkin di toko. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan," jawab Kiya dengan sedikit canggung. Kelima ibu itu saling pandang, lalu dengan ekor mata melirik seorang pemuda yang duduk tak jauh dari Kiya. Tidak ada pasien lagi di dalam ruangan, sudah pasti pemuda itu tengah menunggui Kiya dan bayinya."Oh, harusnya sebagai ayah baru, Elang gak usah masuk aja. Gimana sih ya?""Kejar setoran, Bu. Namanya sekarang jadi punya tiga anak," timpal ibu satunya lagi."Ya sudah, kami pulang dulu Mbak Kiya. Semoga lekas sehat ya. Ini ada titipan dari ibu-ibu RT kita, semoga manfaat. Ada beberapa kado juga yang dititipkan di saya, tapi nanti saat Mbak Kiya sudah di rumah saja.""Terima kasih ibu-ibu atas perhatiannya. Mudah-mudahan besok sudah bisa pulang." Kiya ter