Setelah menyuci piring, Oliv memutuskan ke kamar untuk bersiap-siap untuk mandi. “Tidak ada kerjaan kan? Pakaikan dasi saya.” Oliv melirik ke pria yang duduk di kasur sambil memakai sepatu di sana. Di menghela napas pelan saat melihat dasi yang masih bergelantung di sana. “Emang kamu nggak bisa pakai atau gimana? Kalah sama orang muda seperti aku?” “Males,” jawab Nick singkat. Oliv memutarkan bolamatanya kesal. Kemudian, mendekat ke pria itu. “Cepat berdiri, biar aku bantu.” Nick melirik Oliv dari sudut mata. “Santai bisa?” desis pria itu sebelum berdiri. Oliv berdecak pelan, kemudian dia membantu Nick memakaikan dasi. “Umur udah tua, tapi masih bodoh pakai dasi.” “Kan sudah saya bilang. Saya males, kamu tuli atau bagaimana sih?” desis pria itu. Oliv melirik pria itu sekilas dan tak merespon kembali ucapan Nick. Perempuan itu berjinjit-jinjit supaya bisa menjangkau dasi yang akan dirapikan itu. Nick hanya diam dan memandangi perempuan itu. “Bisa nunduk dikit nggak sih?”
“Kenapa melihatku seperti itu?”Oliv menggelengkan kepala cepat. “Nggak, ah ya ... kamu–”“Mantan Nick. Aku tau kalau kamu istrinya Nick. Aku kira kamu cuma karyawan saja. Apa kamu beneran suka sama Nick?”Kening Oliv mengkerut seketika. “Maksud kamu apaan ya? Sudah jelas aku istri Nick, kenapa harus bertanya seperti itu?”Kimberly mendesis pelan sambil mengalihkan ke arah lain seakan meremehkan semuanya. “Aku tau kalau kamu memanfaatkan kekayaan Nick saja kan? Lebih baik kamu jujur sama Nick, sebelum dia kecewa sama kamu.”“Nggak jelas banget sih kamu? Kalau aku manfaatin harta Nick, pasti udah aku ambil semua tuh di rumahnya. Aneh-aneh aja kamu.”Kimberly diam dan bersedekap dada. “Nyali kamu ternyata sangat kuat. Aku kira kamu perempuan polos yang bekerja di kantor Nick, it
Wajah Oliv berubah menjadi datar ketika mendengarkan perkataan mamanya barusan. Jujur saja, jika mamanya bicara yang tidak-tidak dirinya merasa sangat kesal, bahkan moodnya langsung hancur seketika. “Ma, jangan bikin Oliv marah ya. Udah berapa kali Oliv bilang sama Mama? Mama pasti sembuh, meskipun Mama juga sering berobat. Nggak usah bicara seperti itu lagi, ngerti?” Lauren berdehem kecil dan menerima suapan dari Oliv lagi. Setelah makan dan membantu meminum obat sang mamanya itu, Oliv beranjak dari duduknya untuk membersihkan meja sana. “Kamu sudah makan kan?” “Sudah, aku udah makan tadi pagi.” “Bagusdeh, kamu jangan sampai telat makan. Apalagi kamu juga punya magh kan?” Oliv berdehem kecil, tak lama suara ponselnya berbunyi. Dia mengambil ponselnya itu dari tas dan melihat siapa yang menelponnya.
Setelah keluar dari lift, Oliv segera melangkahkan kakinya kearah ruangan Nick. Dia membuka pintu ruangan pria itu dan masuk tanpa permisi. “Kenapa lagi? Kamu kenapa? Bisa nggak sih kamu nggak bikin aku mondar-mandir!” “Tolong beliin obat. Aku– lupa kalau obat aku habis.” Oliv menerjapkan mata. Dia menatap Nick yang sedang meringuk sambil menyandarkan kepala di meja sana. “N–nick? Kamu kenapa, hah?!” wajah Oliv seketika cemas dan segera mendekat ke pria itu. Dia membantu pria tersebut untuk duduk. “Tidak usah banyak bicara. Saya butuh obat, tolong sekali ini saja,” ucap Nick sambil memejamkan mata seakan pria itu menahan rasa sakit. “Obat? Obat untuk apa, hah?” tanya Oliv dengan wajah panik. “Perut saya ... sakitt,” lirih Nick. Oliv terdiam sejenak. “Mending kita ke klinik. Ayo.” Baru saja Oliv ingin membantu pria itu berdiri. Namun, Nick menepisnya sehingga membuat Oliv semakin kesal. “Kamu telat makan atau gimana sih! Kan tadi juga udah makan? Kenap tiba-tiba?” “Bel
“Apaansih, kan wajar aku kayak gini. Lagian bukan kamu aja yang aku lakuin kayak gini.” Oliv mengalihkan pandangannya. Nick meringis pelan dan memegang tangan Oliv yang berada diperut. “Memang iya? Sama siapa? Mama kamu saja kan? Coba saja kamu lakuin ke pria lain. Apa pria itu merasakan hal yang sama?” Oliv melirik ke tangannya yang dipegang. Ada rasa sengatan listrik di sana. Spontan dia melepaskan tangannya itu. “Apaansih! Udah deh nggak usah banyak omong. Kamu istirahat merem, kalau nggak bisa tidur. Langsung balik ke rumah dari pada ngerepotin orang,” gerutunya. “Yaudah, saya sudah menyuruhmu ke luar kan? Kenapa kamu masih stay di sini?” Oliv melirik pria itu dari spion. Dia menghela napas pelan. “Mana bisa? Aku nggak bisa biarin kamu disini sendirian, kalau nggak ada orang yang jaga kamu.” Nick hanya diam. “Tapi, kalau itu mau kamu. Aku akan balik. Kamu jaga diri di sini, jangan banyak gerak,” ucap Oliv, kemudian dia beranjak dari duduk. Namun, Nick menahan tangannya.
Setelah beberapa menit, akhirnya Oliv sampai di halte dekat rumah sakit. Dia segera keluar, sebelum keluar dia menggesek kartu untuk membayar. Oliv berjalan dengan santai saat ke arah rumah sakit. Banyak orang yang masuk ke dalam gedung, sepertinya orang-orang tersebut akan menjenguk kerabat mereka. Perempuan itu menghentikan langkahnya saat dirinya melihat seseorang pria tua yang dikenalinya. “Papa?” gumamnya. Ya, keluarga mereka memang sudah pecah saat dia masih duduk di bangku sekolah. Mereka cerai karena papanya selingkuh di belakang mamanya. Dan, ya, saat ini dirinya dan juga mamanya tinggal bersama tanpa seorang pria di rumahnya. “Sepertinya mereka sudah bahagia. Tapi, kenapa mereka ke sini? Apa mereka lagi jenguk seseorang?” gumamnya. Oliv memutuskan mengikuti papanya itu diam-diam dari belakang. Oliv mengintip papanya itu dan ternyata mereka masuk ke salah satu ruangan. “Bukannya itu ruangan dokter kandungan? Apa istrinya hamil lagi?” gumamnya. Oliv berjalan pelan unt
Nick menoleh ke samping sambil ketawa miris. “Memang. Kamu baru tau?” Oliv menghela napas kasar. “Sudah dari lama, tapi ... aku baru menyadari itu semua.” “Baguslah, kalau kamu sudah menyadarinya. Kamu cukup berusaha saja untuk bertahan hidup.” Oliv menoleh ke samping. “Kamu udah sembuh emang? Kenapa kamu ke sini? Dan ....” ucapannya terpotong dan melirik ke minuman yang diminum oleh pria itu. “Kenapa kamu minum es, hah?” Nick melirik ke samping, kemudian menggedikkan bahu. “Saya tadi pengen es dan mau keluar aja. Yaudah aku ke sini, niatnya mau jenguk orang tua kamu, ternyata kamu malah ketemu sama si bajingan itu.” Oliv meringis kecil. “Tapi beneran kamu nggak papa kan? Perut kamu masih sakit?” tanyanya untuk memastikan. “Udah baikan. Agak nyeri sedikit, tapi saya baik-baik saja.” Oliv berdehem pelan. Kemudian dia menatap ke langit. Tiba-tiba saja Nick memegang pundak Oliv. Oliv menoleh ke samping, kemudian melirik ke tangan Nick yang sudah berada dipundak. “Kamu pasti
“Mama cukup istirahat saja di sini. Jangan memikirkan yang lain,” kata Nick diselingi dengan senyuman kecil. “Tuh udah dibilang Nick juga. Istirahat, oke?” Lauren mengangguk pelan. “Sekali lagi, terimakasih.” Nick hanya berdehem pelan. Pria itu mengkode Oliv untuk keluar. Dan akhirnya mereka keluar barengan. Oliv menutup pintu itu perlahan. “Ah ya, aku belum buatkan makanan untuk kamu,” ucapnya. “Tidak usah, bibi sudah membuatkan makanan untuk kita. Mama kamu ambilkan, biar bisa minum obat juga.” Oliv mengangguk kecil dan duduk di salah satu kursi di sana. Dia melihat satu meja penuh dengan makanan, bahkan bibi masih meletakkan makanan lagi di meja itu. “Silakan di makan, Non,” suruh Bibi. Oliv mengulas senyuman kecil, dia melirik ke Nick yang baru saja duduk. “Bibi masak banyak banget? Siapa yang makan nanti?” tanya Oliv. Nick mengangkat bahunya sekilas. “Biasanya sih, Mama sama Papa. Kalau nanti mereka tidak pulang, ya, kita saja yang makan.” “Kan sayang banget kala
Oliv menghentikan langkah di ambang pintu. Kapalnya ternyata sudah jalan di tengah laut. Spontan dirinya menahan tubuhnya agar tidak terjatuh karena tidak seimbang. Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang menahan tubuhnya itu dari belakang. “Are you okay?” Suara serak itu, membuat Oliv menoleh ke samping. Dia menatap pria itu yang nampak khawatir. “Aku, nggak papa kok,” ucapnya, kemudian dia menjajarkan tubuhnya. Nick tertawa miris. “Oliv, jangan bodohi saya bisa? Saya juga pernah melihat orang seperti kamu. Orang itu takut menaiki kapal, tapi tidak tau dengan kamu. Apa kamu juga begitu, heum?” Perempuan itu terdiam sambil menundukkan kepala dan memainkan jari-jarinya di bawah sana. Nick berjalan dan berdiri di hadapan perempuan tersebut. Pria itu menggenggam kedua tangannya lembut. “Tanganmu yang sangat dingin dan wajah kamu sangat pucat. Sudah pasti kamu tidak terbiasa menggunakan kapal.” Oliv menghembuskan napas pelan. “Ya, aku ... takut sama laut.” Pria itu terdiam se
Besoknya, Oliv sudah siap dengan memakai pakaian santai, tidak lupa juga memakai cardigan panjang untuk menutupi tubuhnya. “Sudah siap? Saya menyuruh Mark menjemput kita ke sini. Mumpung dia punya waktu,” ucap Nick yang kini masih memakai jam tangan di sana.Oliv menoleh ke pria itu, kemudian ia mengangguk kecil. “Kopernya aku bawa ke luar ya?”Baru saja perempuan itu menyeret koper itu. Namun sebuah tangan menahan koper itu juga. Oliv menatap ke tangan itu, kemudian menatap ke arah pria itu. “Kamu keluar saja dulu. Biar saya yang membawanya. Kamu bawa tas selempang kamu saja.”Oliv menelan salivanya, jujur saja degup jantungnya saat ini tidak bisa dikendalikan. Perempuan itu mengangguk dan segera mengambil tas selempangnya. Kemudian bergegas untuk keluar dari apartemen itu.“Astaga, jantung aku kenapa nggak bisa diatur sih?” gumamnya sambil memegang dadanya sendiri. Oliv menghela napas kasar dan masuk ke dalam lift. Kemudian memencet tombol untuk membawanya pergi ke lantai bawah.
Setelah selesai, mereka memutuskan keluar dari tempat itu. Dan ya, Oliv menggenggam bingkisan pakaian itu dengan erat sambil melihat ke sana kemari. Melihat itu, Nick nampak bingung. “Are you okay? Apa ada yang ketinggalan?” tanya pria itu sambil melihat ke belakang. Perempuan itu menatap ke pria itu, kemudian menggelengkan kepala cepat. “Nggak, cuma–” ucapannya tergantung. Di menggigit bibirnya sendiri. ”Cuma apa?” Nick nampak menghentikan langkahnya. Oliv-pun ikut berhenti. “Aku nggak nyaman aja sama orang-orang yang bilang aku perebut pacar orang?”Pria itu nampak mengkerutkan, tak lama tertawa miris. “Hei? Tumben sekali kamu peduli sama ucapan orang disana?”Nick memegang pundak perempuan itu. “Kamu tau semuanya kan? Dan mereka tidak tau bagaimana otak Kimberly? Jadi, kamu tidak perlu memikirkan ucapan mereka, oke?”Oliv menghembuskan napas kasar, kemudian mengangguk kecil dan tersenyum lebar. “Okey, thanksyou.”Pira tersebut mengulas senyuman dan mengaitkan jari-jemari ke jar
Sebulan lebih lamanya, Oliv bertahan di kontrak ini. Tapi, untuk saat ini Nick memutuskan membawa Oliv ke apartemen pribadi sendiri. Seperti janji pria itu dari awal. Oliv melihat ke sekeliling apartemen tersebut. Dia nampak terkesima melihatnya. “Ini apartemen kamu sendiri?” Nick mengangguk kecil dan meletakkan dua koper di sana. “Iya, sebelumnya saya minta maaf kalau sudah memisahkan kamu dengan mama kamu. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Mama kamu akan aman di sana. Bibi sama supir di sana bakalan menjaganya di sana.” Perempuan itu menatap pria yang sedang membuka jaket di sana. Dia mengangguk pelan dan mengulas senyuman kecilnya. “No problem, aku percaya sama kamu.” “Oh, ya. Kalau mau berendam, kamu berendam saja. Pasti perjalanan tadi sangat lama dan tubuh kamu berkeringat kan?” Oliv menerjapkan mata pelan. “Engh–okay.” “Besok kita bulan madu, kamu siapkan semuanya.” Nick menghempaskan tubuh ke kasur empuk itu sambil menutup mata untuk menghilangkan rasa lelah. Oliv terd
Oliv segera mengalihkan pandangan, kemudian menjajarkan duduknya kembali. “Ng–nggak, aku kaget aja. Tadi musiknya terlalu keras.” Nick mendesis pelan. “Dih, bilang saja takut.” Perempuan itu hanya diam dan mencoba fokus dengan film yang terpampang di layar besar tersebut. Mereka menonton film layar lebar dengan menikmati popcorn dan juga minuman yang dibeli tadi. Ternyata film-nya semakin seram, sehingga membuat Oliv semakin mendekat ke Nick sambil meremas lengan pria tersebut. “Astaga, apa itu!” “Teman kamu tadi, cepat agak geseran sedikit bisa? Saya tidak muat di sini.” Oliv menerjapkan matanya pelan, dia melihat posisinya kembali. Kemudian bergeser sedikit. “Maaf, tadi ... reflek,” ucapnya. Setelah itu. Mereka kembali menonton dengan serius. Meskipun Oliv sangat ketakutan, perempuan itu terus menahan rasa takutnya dengan menutup matanya sendiri. Oliv mengambil popcorn dan memakannya sesekali untuk menghilangkan rasa takutnya. Tak lama, dia mengambil lagi. Namun, ternyata d
“Jangan banyak omong.” ucap pria itu menyuruhnya untuk ke belakang. Oliv melirik ke pria itu sesekali melihat dua pasangan kekasih yang sedang mencari meja makan di sana. “Are you okay?” tanyanya pelan. Nick menoleh ke samping. “Menurutmu? Kamu bawa kacamata hitam? Buat kita ke sana?”Oliv menggelengkan kepala pelan. “Nggak bawa.”Nick menghela napas pelan, sesekali memastikan dua orang tersebut masih berada di sana. “Kita beli terlebih dahulu, habis itu kita ikuti mereka,” ucap pria itu, kemudian menarik lembut tangan Oliv untuk pergi dari tempat itu. Di dalam salah satu toko. Oliv mencari dua kacamata dan juga Nick yang masih mencari topi. “Lama banget sih? Kamu ini nyari topi atau nyari istri lagi?”Pria itu meliriknya dengan datar. “Apa kamu keberatan?” ucap Nick, kemudian menuju ke kasir untuk membayar beberapa barang yang berada di sana. “Kita cari pakaian santai dan sekalian beli sepatu buatmu.”Oliv melirik ke bawah sekilas. “Hmm, yaudah. Aku juga udah nggak betah lagi pa
“Nick?”“Heumm?”“Kita mau ke mana? Bukannya ke kantor?” tanya Oliv memastikan. Dia menoleh ke samping.“Kan saya bilang ke suatu tempat.”“Nggak ke kantor?”“Lupakan masalah kantor, saya sudah menyuruh seseorang menhandle kantor saya.”“Terus? Kenapa kamu nyuruh aku pakai pakaian rapi kayak gini?”“Apa kamu tidak suka?”Oliv terdiam sejenak, kemudian menghela napas pelan. “Humm, sekali lagi aku tanya ke kamu. Kita mau ke mana?”Nick tidak menjawabnya. Alhasil, Oliv menyerah untuk bertanya kepada Nick. Dia menyandarkan punggungnya di sofa dengan santainya sembari menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan. “Kamu suka film horor kan?”Kening Oliv mengkerut, dia menoleh ke Nick kembali. “Suka, tapi tergantung film-nya sih.”“Berani?”“Berani, mau nonton?”Nick menoleh ke samping, kemudian mengangguk kecil. “Mau temani saya nonton film horor?”Oliv menggembungkan pipinya. Tak mau menolak, akhirnya dia mengangguk kecil. “Boleh, nanti kita lihat jam tayangnya dulu. Nggak mungkin juga kan
Oliv membuka mata perlahan. Dia memincingkan matanya karena pancaran sinar matahari mengenai matanya. “Jam berapa ini?” gumamnya. Ia melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Perempuan itu menguap pelan dan baru menyadari posisinya sekarang berada di dekapan pria yang masih tidur itu. Kening Oliv mengkerut, dia terus memandangi wajah tampan pria tersebut. Sangat damai, seakan tidak ada satupun permasalahan yang dipikirkan saat ini. “Lebih baik dia seperti ini daripada seperti kemarin. Aku nggak tega kalau lihatnya,” gumamnya.Oliv melihat ke tangan pria itu yang masih stay memeluk tubuh kecilnya. Senyuman kecil lolos keluar dari mulutnya. “Pantas saja hangat,” gumamnya. “Tapi, nggak mungkin juga aku mengganggu dia bangun.”Oliv menatap pria itu kembali. Dengan perlahan, perempuan itu melepaskan pelukan pria itu. “Jangan pergi, temani saya,” ucap pria itu lirih. Perempuan itu sempat diam dan menatap pria itu yang ternyata masih tidur. “Aku di sini. Kamu lanjutkan ti
“Hallo, Ma. Ini Oliv. Ma, tenangin pikiran Mama dulu. Nick akan menjelaskan semuanya di rumah, okay.”‘Cepat balik. Bawa Nick ke rumah!’ ucap mama Nick sebelum mematikan telepon dari sana. Oliv terdiam, dia menghela napas pelan dan memberikan ponselnya kembali ke pria yang berada di sampingnya itu. “Kamu harus menjelaskan dengan benar. Jangan ditutupi.”Nick hanya diam. Setelah sampai di kediaman rumah Nick. Mereka segera masuk ke dalam sana. Dan ya, benar sana mama Nick mendekat ke arah mereka. Satu tamparan keras mengenai pipi Nick. Mulut Oliv spontan ditutup karena shock. “Bilang sama Mama, kalau berita itu tidak benar, Nick!”Nick nampak memalingkan wajah dan hanya diam di tempat. Oliv tidak bisa diam, dia harus bicara yang sebenarnya. “Ma–”“Stop, bicara, Oliv. Ini salah Nick, harusnya dia yang menjelaskan apa yang terjadi sama dia.”Oliv terdiam sejenak dan menghela napas pelan. Dia menoleh ke samping sambil memegang lengan pria itu. “Nick?”Nick mendongakkan kepala, tangan