“Ansel,” ucap Isna. Pantas saja dia merasa tidak asing dengan nama keluarga itu. Karena nama belakang Ansel adalah Dharmendra.“Aku harus pergi dari sini, jangan sampai Ansel melihatku,” gumam Isna.Saat ini sedang berlangsung ramah tamah, Isna mempergunakan kesempatan itu untuk beranjak pergi. Saat sebagian tamu undangan menikmati hidangan atau ada yang saling menyapa untuk memperluas jaringan bisnis dan usaha.Sebagian besar tamu undangan adalah pengusaha dan rekan bisnis keluarga Dharmendra.Isna menyelinap menuju pintu utama, tapi urung dan berbalik arah karena ada Ansel dan Ayahnya di sana.“Bu Isna,” panggil Nia.Isna bergegas menghampiri Nia agar gadis itu tidak memanggilnya lagi. Isna berniat mengajak dua stafnya untuk segera meninggalkan tempat acara.“Bu Isna ditunggu Nyonya Dharmendra, katanya mau berfoto untuk endorse dan koleksi apa gitu,” tutur Nia.Isna menoleh ke arah di mana Ansel berada. Merasa aman karena Ansel tidak berada bersama adiknya yang melakukan pertunangan
Ansel tidak menyiakan kesempatan di hadapannya. Dia menyesap bibir pink yang terlihat menggoda dan ternyata Isna tidak menolak bahkan menyambutnya. Entahlah jika Isna dalam keadaan sadar, bisa jadi Ansel sudah dilempar sandal.Isna bahkan mengerang di sela pagutan yang terjadi, apalagi tangan Ansel sudah menjelajah di tubuh Isna. Aktivitas yang sudah lama tidak mereka lakukan dan Ansel sangat mendambakan hal ini.“Isna,” bisik Ansel saat pria itu menjelajah di sekitar leher dan bahu Isna. Gaun yang dikenakan Isna perlahan dilepaskan oleh Ansel sehingga menyisakan penutup tubuh berenda dan segitiga di bagian bawah.“Isna, aku tidak akan berhenti,” bisik Ansel lagi dan mulai menyesap beberapa area dan meninggalkan jejak kerlap-kerlip keunguan.Kedua mata Isna terpejam tapi wanita itu mendessah dan mengerang menikmati sentuhan tangan dan indra perasa Ansel di tubuhnya. Pria itu benar-benar membawa Isna melayang dan terbang setelah tubuhnya sudah benar-benar polos.Apalagi saat Ansel berm
Isna sudah dalam perjalanan menuju bandara. Setelah kepergian Ansel, dia meratapi kembali hidupnya. Apalagi perkataan Ansel sungguh menusuk hatinya, Isna bahkan tidak turun untuk sarapan pagi dan keluar hanya saat cek out.Jika kedua rekan Isna sangat bahagia bisa bekerja sambil menikmati perjalanan mereka di Bali, berbeda dengan Isna. Menyesal menerima pekerjaan tersebut dan bertemu dengan Ansel.Tunggu, kalau semalam Ansel dan aku … bahkan dia tidak memakai pengaman. Semoga tidak ada masalah lain setelah ini, batin Isna.Isna membuka ponselnya, melihat kalender dan memastikan kalau kemarin bukan masa suburnya. Tentu saja dia sangat khawatir jika kejadian bersama Ansel malah membuahkan keturunan. Saat dulu dia masih menjadi istri Rama, ISna selalu mengkonsumsi pil untuk menunda kehamilannya.Setelah sampai di rumah, Isna menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Tubuhnya masih merasakan tidak nyaman, entah berapa lama dia dan Ansel menyatukan diri sampai merasakan remuk redam. Terdengar ket
Malika sudah berada di kamar rawat inap, di mana Rangga dan Isna ikut menunggu. Bukan hanya jarum infus yang terhubung pada tubuh Malika, tapi selang oksigen dan alat yang memastikan fungsi jantung wanita paruh baya itu.Isna dan Rangga semakin khawatir dengan kondisi Malika, karena semakin ke sini terlihat semakin tidak sehat. Fisik Malika semakin buruk setelah Harsa Adam mulai bermain api dengan wanita lain, yang mana wanita itu ternyata ibu Hayati.Walaupun terucap dia baik-baik saja dan tidak peduli kalau Harsa meninggalkannya, kenyataan berbicara lain. Malika mulai sakit-sakitan, bahkan pernah beraktivitas menggunakan kursi roda. Sampai saat ini kondisinya semakin tidak baik.“Tidurlah, Bunda pun sedang istirahat. Biar aku yang menunggu,” titah Rangga.Isna tidak menolak, tubuhnya memang perlu dibaringkan. Apalagi perutnya terasa diaduk, setelah tadi memaksakan diri untuk makan.Esok pagi, Isna masih berbaring di ranjang khusus penunggu pasien. Hayati datang membawakan pakaian ga
Kediaman Adam sudah mulai ramai, para pekerja di rumah itu sudah mengkondisikan untuk menyambut kedatangan jenazah dan para pelayat. Isna masih duduk di ranjangnya bersandar pada headboard dan memeluk bingkai foto Malika.Kedua pipinya basah dan matanya sembab. Hayati baru saja datang dan bergegas menemui Isna. Aska dan Alka berada di kamar Aska bersama pengasuhnya.“Isna,” panggil Hayati.Isna menoleh, “Hayati, Bundaku ....”Kedua wanita itu saling berpelukan dan menangis. Hayati sebagai menantu tentu saja merasa kehilangan. Malika adalah Ibu mertua yang baik bahkan menerima Hayati dengan lapang dada. Padahal Hayati adalah putri dari wanita yang sudah merebut suaminya.Sedangkan Isna menangis karena kehilangan, dia sudah tidak bisa menumpahkan rasanya kepada Malika. Apalagi kenyataan saat ini, Isna sedang mengandung. Tentu saja membuatnya semakin sedih.“Mas Rangga bilang kamu harus bersiap. Akan banyak kerabat dan pelayat yang hadir. Tidak sopan kalau kamu tidak ikut menyambut,” tut
Sudah tujuh hari kepergian Malika, Rangga dan anak-anaknya masih tinggal di kediaman Adam. Rangga sempat mengusulkan pada Hayati untuk kembali tinggal di rumah itu bersama Isna. Walaupun belum ada kata sepakat. Hayati masih ragu untuk menyampaikan kondisi Isna yang sedang hamil.Isna saat ini sudah rapi siap berangkat setelah seminggu berada di rumah.“Sarapan dulu, aku sudah buatkan sup tom yam. Kuahnya segar, tidak akan buat kamu mual,” seru Hayati pada Isna yang berdiri menatap hidangan di meja makan.“Iya tante, sarapan dulu. Kata Bunda, kalau aku tidak sarapan nanti tidak konsen karena rasa lapar. Tante kalau tidak makan nanti nggak bisa kerja, terus nggak dapat uang dan aku nggak diajak main lain,” tutur Aska.Isna mengacak rambut Aska lalu ikut duduk di samping Aska.“Iya deh, tante sarapan dari pada nanti nggak konsentrasi saat bekerja,” ujarnya pada Aska.Hayati tersenyum melihat interaksi Aska dan Isna, apalagi Isna pagi ini menghabiskan sarapannya dan terlihat lebih segar.
Saat ini Rangga berada di ruang kerjanya, memikirkan apa yang disampaikan dokter. Rangga tidak membicarakan hasil pemeriksaan pada Isna. Membiarkan adiknya beristirahat dan berencana bicara esok hari. Tidak menduga kalau Isna akan mengalami hamil di luar nikah. Merasa gagal sebagai seorang kakak, dia tidak bisa memastikan keamanan Isna.Bahkan saat Hayati mengantarkan kopi, tidak banyak yang diucapkan oleh Rangga. Hayati sengaja membiarkan Rangga sendiri.“Tidak mungkin Rama,” gumam Rangga. “Mereka berpisah dan sudah tidak memiliki rasa. Apa pria itu, yang pernah menemui Isna di Bali?" Rangga pun mengingat kapan dia mendapatkan informasi Isna bertemu dengan pria yang menjadi orang ketiga saat masih berumah tangga dengan Rama.“Hampir tiga bulan yang lalu, bisa jadi dia dan Isna ….”Rangga tidak habis pikir, Isna sengaja menutup rapat kondisinya. Sedangkan yang namanya kehamilan tidak akan bisa ditutupi. Semakin lama akan semakin terlihat kondisi perut yang semakin besar.“Halo, Pak R
“Tidak, pokoknya aku tidak mau bertemu ansel,” teriak Isna.Rangga dan Hayati saling tatap melihat dan mendengar respon dari Isna saat Rangga mengusulkan untuk menemui Ansel dan membicarakan masalah kehamilan Isna.“Lalu kamu mau tunggu sampai kapan, perutmu akan semakin besar dan ….”“Aku akan besarkan mereka tanpa Ansel,” sahut Isna memotong kalimat Rangga.Rangga akan menyela tapi ditahan oleh Hayati.“Isna, ada hal yang perlu kamu pertimbangkan. Menjadi single parent tidak akan mudah, mereka akan menanyakan ayah mereka. Lalu bagaimana dengan masyarakat, di lingkungan kita belum bisa menerima hal seperti itu,” jelas Hayati.“Pikirkan baik-baik, aku harap kamu tidak terlalu egois,” nasehat Rangga.Rangga dan Hayati meninggalkan kamar Isna, memberikan kesempatan pada adiknya untuk memikirkan kembali apa yang menjadi keputusannya. Karena yang Isna yakini bisa saja merugikan anaknya di masa depan.***Rangga dan Hayati kembali menetap di kediaman Adam. Selain rumah itu penuh kenangan
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo
Asisten Isna pun meninggalkan ruang kerja atasannya. Membiarkan pria yang sempat ditolak untuk bertemu tapi saat ini Isna tidak menolak kehadirannya. Setelah memastikan Nia keluar dari ruangan tersebut, Ansel menghampiri Isna. Berdiri di belakang tubuh wanita itu, memeluk dan mencium kepalanya.“Tidak boleh begini,” ujar Isna.“Aku kangen, padahal kemarin baru habis bertemu. Bagaimana anak-anakku, apa mereka menyusahkanmu?” tanya Ansel sambil mengusap perut Isna.Isna hanya tersenyum, kemudian meminta Ansel untuk duduk karena dia sedang ingin fokus membentuk pola.“Aku sudah menyampaikan hubungan kita pada Ayah dan Ibu,” ujar Ansel.Tentu saja hal yang disampaikan Ansel menjadi perhatian Isna. wanita itu menghentikan aktivitasnya lalu duduk di samping Ansel.“Benarkah, lalu?”“Mereka ingin menemuimu, bagaimana?” tanya Ansel tentang kesediaan Isna.“Tapi aku takut, bagaimana jika mereka ….”“Hei, dengarlah. Kita akan temui mereka, apapun keputusan mereka kita tetap bersama. Selama ini
Isna menatap sekeliling apartemen Ansel, terlihat nyaman dan desainnya mencerminkan kalau yang tinggal di tempat itu adalah laki-laki. Duduk di sofa panjang dan terasa nyaman, Ansel sendiri sudah memasuki salah satu ruangan dalam unit tersebut, yang Isna duga adalah kamar.Isna menguap, kantuknya benar-benar datang. Menyandarkan tubuhnya di sofa, merasakan kembali kantuknya lalu … merubah posisinya menjadi berbaring miring dengan bantal sofa sebagai alas kepalanya.“Isna, kamu ….”Ansel menghentikan ucapannya melihat Isna yang sudah terbuai mimpi. Duduk dihadapan wanita itu, melepaskan pelan alas kaki yang dikenakan Isna lalu menatap wajah yang terlihat damai. Pandangan Ansel berpindah pada perut Isna, bayi kembar mereka mulai tumbuh. Dalam perut wanita itu sedang tumbuh keturunannya.Terduduk di lantai sambil mengusap wajahnya membayangkan Isna melewati semuanya sendiri. Pasti sangat berat apa yang Isna alami. Ansel pun berjanji tidak akan meninggalkan Isna dan akan selalu ada bersam
Isna menikmati sambil sesekali menoleh pada Ansel yang menatapnya sambil tersenyum. Asisten rumah tangga datang membawakan minuman.“Bik, ini bawa masuk,” ujar Isna sambil menyerahkan goody bag. “Simpan di kulkas ya Bik.”“Kamu suka? Aku bisa ajak kamu ke toko dessert, mau?”“Mau nyogok aku? Tidak akan mempan,” ujar Isna. “Mau bicara apa, buruan.”Ansel menghela nafasnya, wanita dihadapannya ini benar-benar berbeda dengan Isna sebelumnya. Apa karena kondisi kehamilannya jadi Isna bersikap begitu.“Isna, aku minta maaf atas sikapku sebelumnya.”“Sikap yang mana?” tanya Isna tanpa menatap Ansel“Tidak perlu aku jawab, kamu sudah tahu bagian mana yang membuat kamu sangat kesal dan membenciku.”“Lalu kalau aku maafkan, mau apa?” tanya Isna, tapi kali ini dia menatap Ansel.“Jawab dulu dong, maafin atau nggak?”Isna terdiam, dia sebenarnya masih kecewa dengan sikap Ansel. Bagaimana tidak Ansel mengatakan hal yang begitu merendahkan dirinya.“Kita bicara di luar, mau? kamu yang cari tempat,