“Loh, Papa mana?” tanya Aska saat makan malam tidak melihat ada Rangga di meja makan. Hanya melihat Oma dan Isna saja.“Papa kamu pulang ke apartemen, sudahlah kamu di sini saja dengan Oma.”“Hm, tapi aku masih kangen Bunda. Tadinya aku ingin ikut Papa dan tidur di sana.”“Bunda?” tanya Isna sambil menatap wajah Aska menunggu penjelasan bocah itu.Obrolan mereka terhenti karena Malika memulai makan malamnya dan meminta Isna juga Aska untuk fokus pada makanan mereka. Setelah menikmati hidangan makan malam dan memastikan Malika minum obat yang harus dikonsumsi rutin, Isna meninggalkan kamar bundanya untuk menemui Aska. Ada hal yang harus dipastikan.“Aska,” panggil Isna saat membuka pintu kamar keponakannya. “Boleh tante masuk?”“Hm, tapi bacakan aku buku cerita sampai aku tidur ya.”Isna berjalan mendekati ranjang dan duduk bersandar pada headboard, menerima buku cerita yang diberikan Aska. Serta membuka halaman yang harus dibacakan.“Sebelum tante bacakan cerita ini, jawab dulu pertan
Rangga menghela nafasnya melihat nama penelepon di layar ponsel.“Halo,” ujar Rangga.“Hm, di mana Hayati? Ibunya sangat ingin bertemu,” ujar Harsa di ujung telepon.“Aku tanya dulu ke Hayati, dia sedang hamil Yah dan respon kalian sudah terbayang akan menyulitkan kami,” ujar Rangga.“Sudah tahu begitu kenapa kamu malah menikahinya.”“Aku tidak tahu kalau dia putri dari … ah sudahlah. Kami saling mencintai, Ayah sendiri kenapa menikahi Ibu Hayati?”“Jangan kurang ajar kamu.”“Tidak, tapi Ayah yang mulai.” Rangga menoleh, Hayati terlihat khawatir dengan percakapan Rangga dan Ayahnya. Tangan Rangga mengusap perut Hayati agar wanita itu lebih tenang. Tidak lama panggilan pun berakhir.“Pak Harsa kenapa? Dia marah ya?”“Pak Harsa, Pak Rangga. Bisa nggak kamu ganti panggilan, jangan Bapak-bapak terus.”Hayati terkekeh mendengar keluhan Rangga karena lagi-lagi dipanggil Bapak.Rangga baru saja selesai dengan ritual mandinya saat terdengar bunyi bel. Hayati mendorong kursi roda Rangga menuju
Hayati masih ingin bicara menyinggung Ibunya tapi dia tahan. Walau bagaimanapun, Layla dan Harsa adalah orangtua dan tidak elok kalau bersikap kurang ajar. Harsa pun menghentikan Layla agar berhenti menyudutkan Hayati dan Rangga. Karena keduanya sudah dewasa dan berhak menentukan jalan hidup mereka. "Lalu apa rencana kalian?" tanya Harsa pada pasangan dihadapannya. "Aku akan segera daftarkan pernikahan kami," jawab Rangga menatap Hayati yang terlihat menghela nafas lega."Tapi Mas, aku masih belum rela kalau Hayati ....""Kenapa Bu? Kenapa Ibu tidak rela aku menikah dengan Pak Rangga?" tanya Hayati menyela ucapan Layla.Layla hanya mendengus kesal mendengar pertanyaan Hayati. Bagaimana dia harus rela kalau posisinya sebagai istri siri Harsa akan terpengaruh karena pernikahan Hayati dan Rangga. Bisa saja Harsa mengakhiri hubungan dengan Layla dan bisa dipastikan Layla tidak akan menikmati kemewahan seperti yang saat ini dia rasakan."Ibu sebelumnya tidak peduli denganku, kenapa sekar
Hayati dan Rangga menunggu kedatangan Rama. Berada di private room yang sudah direservasi tanpa Rama ketahui kalau Rangga menemani Hayati. Saat Rama kembali menghubungi Hayati dan akhirnya dijawab lalu memutuskan untuk bertemu.“Tidak usah gugup.”“Aku hanya takut Pak Rangga nanti emosi.”“Kalau emosi pun, aku bisa apa. Kamu tidak lihat, untuk peluk kamu aja sulit,” keluh Rangga.Obrolan Rangga dan Hayati terhenti karena pelayan membuka pintu ruangan dan Rama berdiri menatap pasangan yang sudah lebih dulu hadir. Rama tidak menyangka kalau pertemuannya dengan Hayati ditemani Rangga.“Apa kabar Hayati?” tanya Rama berbasa basi. Hayati terlihat dalam kondisi baik dan bahagia.“Baik Mas,” jawab Hayati. Rama lalu duduk berhadapan dengan Hayati tanpa menegur Rangga dan menganggap seolah pria itu tidak ada di sana.“Kamu menjebakku?” tanya Rama.“Menjebak, kenapa Mas Rama berfikir seperti itu.”Rangga terkekeh, membuat Rama menoleh ke arahnya. “Memang kamu merencanakan apalagi sampai merasa
Kondisi Hayati sudah lebih baik dan diperbolehkan pulang. Rangga sudah menunggu di apartemen. Begitu tidak sabar menunggu kepulangan Hayati yang masih ditemani Isna dan Bu Ida.“Langsung ke kamar saja, istirahat di sana,” ajak Rangga saat Hayati tiba.“Memang aku habis ngapain, kok disuruh istirahat lagi. Di rumah sakit juga hanya tiduran,” sahut Hayati yang didampingi oleh Ibu Ida menuju kamarnya. Sedangkah Rangga mengekor di belakang, masih menggunakan kursi roda.Isna langsung merebah di sofa, mengamati interaksi Rangga dan Hayati. menyadari kalau Kakaknya memang sudah menjadi bucin dengan Hayati.“Bu Ida,” panggil Isna saat wanita paruh baya itu keluar dari kamar Rangga.“Iya Non, butuh sesuatu?” tanya Bu Ida.“Nggak. Itu Kak Rangga apa memang biasa lebay kayak gitu ya?” tanya Isna.“Maksudnya ke Ibu Hayati?”“Hm.”“Seingat saya memang Pak Rangga sangat peduli dan sayang dengan Ibu Hayati,” jawab Bu Ida. Menemani Hayati sejak menikah dengan Rangga tentu saja Bu Ida sangat tahu bag
“Layla, hentikan,” tegur Harsa.Hayati tidak habis pikir, seorang Ibu memperlakukan putrinya seperti itu. Seakan tidak memahami perasaan putrinya bahkan hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri.“Bisakah kalian tidak bertengkar di hadapan kami,” ujar Malika. “Apapun yang kalian akan putuskan, diskusikan di belakang jangan berseteru di sini. Layla, seharusnya kamu khawatir dengan keadaan Hayati bukan malah menambah bebannya.”Rangga meraih tangan Hayati dan mengusap punggung tangan itu. Berusaha menenangkan Hayati dan membiarkan para orang tua berseteru. Makan malam itu berakhir sangat tidak harmonis, karena kemarahan Layla lalu meninggalkan kediaman Harsa.Harsa sempat berpesan pada Rangga dan Hayati agar lebih sabar menghadapi Layla. Tentu saja kalau memandang dari sudut pandang Layla, pasti akan kecewa karena kehilangan pasangan yang dapat memberikan kemudahan dalam hidupnya. “Ingat pesan, Ayah,” titah Harsa pada Rangga dan Hayati.Setelah kepergian Harsa, Rangga mengajak Hayati pul
“Sshhh, Pak Rangga,” lirih Hayati.“Kenapa sayang? Sakit sekali?” tanya Rangga yang terlihat sangat khawatir.Waktu kelahiran Aska, Rangga tidak panik karena Renata memang menjadwalkan operasi jauh-jauh hari dari tanggal kelahiran. Sedangkan Hayati memilih melahirkan normal selama masih bisa ditempuh dan kesakitan adalah proses dari pilihan itu.“Pak lebih cepat!” titah Rangga pada supirnya.Akhirnya mobil yang membawa Hayati tiba di rumah sakit. Saat dokter melakukan pemeriksaan ternyata baru pembukaan lima. Hayati diminta bersabar sampai pembukaan lengkap, tapi Rangga terlihat emosi. Dia sempat memarahi perawat karena Hayati terus meringis kesakitan. "Kalian minta istri saya sabar, tapi lihat dia kesakitan," pekik Rangga. Dua orang perawat yang bertugas di ruang observasi dan tindakan persalinan saling tatap mendapatkan teguran dari Rangga. "Pak Rangga," panggil Hayati dengan tangan mencengkram pinggiran brankar. "Iya sayang, aku usap-usap lagi ya," seru Rangga lalu sigap mengus
Season – 2 ( Kisah Isna dan Rama )Aska dan pengasuhnya sudah kembali ke kamar hotel, sedangkan Isna masih duduk di hamparan pasir menyaksikan sunset. Semilir angin laut membuat helaian rambutnya bergoyang. Menikmati langit yang berwarna merah perlahan berubah menjadi orange dan menggelap.Isna baru beranjak setelah langit benar-benar gelap dan cahaya hanya bersumber dari penerangan lampu. Dibalik keceriaannya bersama Aska, dia menyembunyikan sakit dan luka yang dirasakan. Menyadari kesalahannya waktu masih bersama Rama dan tidak ingin terpuruk dengan rasa luka dan bersalah.Berjalan menenteng alas kakinya yang sudah dipenuhi oleh pasir.“Isna.”Tubuh Isna mematung mendengar suara itu. Begitu mengenal suara berat dan dalam yang dulu sangat dia sukai dan dia rindukan. Namun, tidak untuk saat ini. Dia sudah berjanji untuk mengubur dalam-dalam ceritanya bersama pria itu.“Isna, tunggu!”Seseorang ikut berjalan mengejar Isna dan, “Pergi!” titah Isna. “Jangan ganggu aku,” ujarnya lagi.“Ga
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo
Asisten Isna pun meninggalkan ruang kerja atasannya. Membiarkan pria yang sempat ditolak untuk bertemu tapi saat ini Isna tidak menolak kehadirannya. Setelah memastikan Nia keluar dari ruangan tersebut, Ansel menghampiri Isna. Berdiri di belakang tubuh wanita itu, memeluk dan mencium kepalanya.“Tidak boleh begini,” ujar Isna.“Aku kangen, padahal kemarin baru habis bertemu. Bagaimana anak-anakku, apa mereka menyusahkanmu?” tanya Ansel sambil mengusap perut Isna.Isna hanya tersenyum, kemudian meminta Ansel untuk duduk karena dia sedang ingin fokus membentuk pola.“Aku sudah menyampaikan hubungan kita pada Ayah dan Ibu,” ujar Ansel.Tentu saja hal yang disampaikan Ansel menjadi perhatian Isna. wanita itu menghentikan aktivitasnya lalu duduk di samping Ansel.“Benarkah, lalu?”“Mereka ingin menemuimu, bagaimana?” tanya Ansel tentang kesediaan Isna.“Tapi aku takut, bagaimana jika mereka ….”“Hei, dengarlah. Kita akan temui mereka, apapun keputusan mereka kita tetap bersama. Selama ini
Isna menatap sekeliling apartemen Ansel, terlihat nyaman dan desainnya mencerminkan kalau yang tinggal di tempat itu adalah laki-laki. Duduk di sofa panjang dan terasa nyaman, Ansel sendiri sudah memasuki salah satu ruangan dalam unit tersebut, yang Isna duga adalah kamar.Isna menguap, kantuknya benar-benar datang. Menyandarkan tubuhnya di sofa, merasakan kembali kantuknya lalu … merubah posisinya menjadi berbaring miring dengan bantal sofa sebagai alas kepalanya.“Isna, kamu ….”Ansel menghentikan ucapannya melihat Isna yang sudah terbuai mimpi. Duduk dihadapan wanita itu, melepaskan pelan alas kaki yang dikenakan Isna lalu menatap wajah yang terlihat damai. Pandangan Ansel berpindah pada perut Isna, bayi kembar mereka mulai tumbuh. Dalam perut wanita itu sedang tumbuh keturunannya.Terduduk di lantai sambil mengusap wajahnya membayangkan Isna melewati semuanya sendiri. Pasti sangat berat apa yang Isna alami. Ansel pun berjanji tidak akan meninggalkan Isna dan akan selalu ada bersam
Isna menikmati sambil sesekali menoleh pada Ansel yang menatapnya sambil tersenyum. Asisten rumah tangga datang membawakan minuman.“Bik, ini bawa masuk,” ujar Isna sambil menyerahkan goody bag. “Simpan di kulkas ya Bik.”“Kamu suka? Aku bisa ajak kamu ke toko dessert, mau?”“Mau nyogok aku? Tidak akan mempan,” ujar Isna. “Mau bicara apa, buruan.”Ansel menghela nafasnya, wanita dihadapannya ini benar-benar berbeda dengan Isna sebelumnya. Apa karena kondisi kehamilannya jadi Isna bersikap begitu.“Isna, aku minta maaf atas sikapku sebelumnya.”“Sikap yang mana?” tanya Isna tanpa menatap Ansel“Tidak perlu aku jawab, kamu sudah tahu bagian mana yang membuat kamu sangat kesal dan membenciku.”“Lalu kalau aku maafkan, mau apa?” tanya Isna, tapi kali ini dia menatap Ansel.“Jawab dulu dong, maafin atau nggak?”Isna terdiam, dia sebenarnya masih kecewa dengan sikap Ansel. Bagaimana tidak Ansel mengatakan hal yang begitu merendahkan dirinya.“Kita bicara di luar, mau? kamu yang cari tempat,