"Ca-calon istri?" Jantung Adisty mencelus. Darah di dalam tubuhnya seolah-olah berhenti mengalir. Dia bergeming. Kaku.
Alvaro baru saja melambungkan angannya setinggi-tingginya, tapi lelaki itu malah tega menjatuhkannya dalam sekejab. Adisty jatuh terjerembab. Rasanya benar-benar menyakitkan.
Adisty menatap nanar Alvaro yang suka sekali menggoda Cara hingga membuat pipi gadis itu bersemu merah. Pemandangan yang sangat manis bagi siapa pun yang melihatnya, tapi tidak baginya.
Entah kenapa udara di sekitarnya seolah-olah berubah menjadi seperti karbon diksida yang begitu mencekik leher. Dadanya sesak. Kaca-kaca di mata Adisty perlahan pecah. Tatapan gadis itu pun berubah menjadi buram. Kedua mata Adisty terasa sangat perih. Namun, hatinya jauh lebih perih melihat kemesraan antara Alvaro dan Cara.
Adisty menarik napas dalam-dalam. Mati-matian dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh di depan mereka.<
"Kamu ingin bertanya sesuatu, Adisty?" Cara akhirnya membuka suara karena Adisty sejak tadi hanya diam."Em, bagaimana hubunganmu dan Alvaro sebelumnya?" Adisty tanpa sadar meremas ke sepuluh jemari tangannya karena gugup.Tubuh Cara sontak menegang mendengar pertanyaan Adisty barusan. Ingatannya sontak melayang pada saat dia bertemu dengan Alvaro untuk yang pertama kalinya.Adisty melirik Cara yang berdiri tepat di sebelahnya dengan takut-takut. Kenapa Cara mendadak diam? Apa pertanyaannya menyinggung perasaan gadis itu?"Maaf kalau aku terkesan lancang. Kalau kamu merasa tidak nyaman abaikan saja pertanyaanku."Cara malah tersenyum. Sepertinya tidak masalah jika dia membagi sedikit kisah hidupnya pada Adisty. "Awalnya Alvaro sangat membenciku.""Sungguh?" tanya Adisty tidak percaya.Cara mengangguk. "Mama bahkan sering bilang kalau kami seperti Tom and J
Kota metropolitan tidak pernah tidur. Jalanan masih terlihat ramai meskipun sekarang sudah hampir tengah malam. Orang-orang pun masih banyak yang beraktifitas di luar rumah. Mereka pergi ke kelab, restoran cepat saji, atau sekadar nongkrong di warung kopi hingga pagi."Iya, tunggulah sebentar. Sebentar lagi aku sampai," ucap Cara sebelum menutup sabungan teleponnya.Alvaro melirik Cara sekilas lalu kembali memperhatikan jalanan yang ada di hadapannya. Kenapa Cara terlihat sangat cemas? Apa orang yang berada di kantor polisi teman dekatnya?"Sayang.""Ya?" Cara sontak menatap Alvaro yang duduk tepat di sebelahnya."Kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku kalau punya teman dekat?""Habis kamu nggak pernah tanya."Alvaro menghela napas panjang. Sejak mereka berpisah dia memang sengaja tidak mau tahu apa pun yang Cara lakukan karena dia sem
"Kenapa kamu tadi nggak bangunin aku, sih? Mello pasti marah karena kita nggak nganter dia ke sekolah.""Kamu tenang saja Sayang. Mello kan, pengertian seperti ayahnya. Dia pasti nggak marah." Alvaro malah menaik turunkan kedua alisnya menggoda Cara. Padahal Cara sangat kesal karena Alvaro tadi tidak membangunkannya.Cara menatap Alvaro dengan malas. "Kamu selalu bilang sifat jelek Mello itu turunan dari aku, tapi kalau yang baik turunan dari kamu. Itu pembohongan besar!"Alvaro malah terkekeh. "Ya sudah, mulai sekarang aku ralat. Sifat baik Mello itu turunan dari kamu, tapi kalau yang jelek turunan dari aku. Sudah puas? Jangan marah lagi ya, Sayang," ucapnya terdengat penuh pengertian.Entah kenapa mood Cara hari ini sangat buruk. Sejak bangun Alvaro terus saja menjadi sasaran omelann
"Dompet siapa itu?" tanya Cara ingin tahu karena Alvaro membawa sebuah dompet setelah kembali dari memesan es krim."Punya Kudaniel."Kening Cara berkerut dalam mendengar ucapan Alvaro barusan."Maksudku Daniel," jelas Alvaro tanpa Cara meminta agar calon istrinya itu tidak bingung."Kenapa dompet Daniel bisa ada sama kamu?""Aku tadi menemukannya di sana. Mungkin terjatuh," jawab Alvaro."Ya, ampun. Daniel pasti bingung mencari dompetnya." Cara pun bergegas menelepon Daniel agar kembali menemuinya untuk mengambil dompetnya yang jatuh.Alvaro tanpa sadar mendengkus melihat Cara yang begitu khawatir pada Daniel."Saya
Patah hati. Hanya dua kata tapi mampu memporak-porandakan kehidupan seorang Adisty. Gadis yang beberapa hari lalu banyak tersenyum, sekarang malah sering murung dan tidak semangat menjalani hidup. Adisty jatuh untuk yang kedua kalinya karena cinta. Seharusnya sejak awal dia tidak membiarkan kuncup-kuncup bunga di dadanya bermekaran, tumbuh semakin banyak hingga tidak bisa dikendalikan.Adisty sangat menyesal telah membiarkan bunga-bunga itu tumbuh, membiarkan dirinya semakin hanyut dalam kebahagiaan semu. Sekarang bunga-bunga tersebut telah layu, bahkan ada yang mengering, hingga nyaris mati. Semua tidak lagi terasa indah. Air mata seolah-olah menjadi bukti betapa hancurnya hatinya sekarang.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia menghancurkan kebahagiaan Alvaro dan Cara untuk menyembuhkan luka di hatinya?Tidak.Adisty bukan orang sejahat itu."Adisty!" Sadewa buru-buru ke dapur dan mem
"Daniel, tolong pegang baik-baik tangganya!""Iya, ini udah aku pegang."Cara sekarang sedang berada di apartemen Daniel karena beberapa jam yang lalu lelaki itu menelepon dan mengatakan kalau ada urusan penting. Tanpa menunggu waktu lama Cara pun bergegas pergi ke apartemen sahabat baik Adisty itu. Namun, urusan penting yang dimaksud Daniel ternyata mengganti lampu bohlam.Astaga!Rasanya Cara ingin sekali memaki Daniel karena membuatnya bertengkar dengan Alvaro.Cara pun naik ke tangga dengan hati-hati, lalu mengganti bohlam yang rusak dengan yang baru. "Sekarang coba kamu nyalain lampunya?""Oke.""Daniel!" Cara tiba-tiba berteriak."Ada apa sih, Caramell?""Kenapa pegangannya dilepas?""Katanya tadi suruh nyalain lampunya, aku lepas lah, pegangannya.""Kalau aku jatuh bagaimana?"
Cara meremas kesepuluh jemari tangannya karena gugup. Telapak tangan gadis itu terasa sangat dingin dan basah, jantung pun berdebar hebat menatap pintu bercat putih yang ada di hadapannya dengan ragu. Haruskah dia keluar dari kamar mandi lalu muncul di hadapan Alvaro tanpa memakai apa-apa? Cara mengusap wajah kasar. Apa Alvaro akan berhenti mengabaikannya kalau melihatnya telanjang? Bagaimana kalau lelaki itu masih mengabaikannya? "Duh, Gusti ...." Cara merasa dilema. Gadis itu sebenarnya ingin Alvaro berhenti mengabaikannya, tapi di lain sisi dia malu mucul di depan Alvaro tanpa memakai apa-apa. Apa yang harus dia lakukan? Cara bingung sekali. Haruskah dia mengikuti saran Felix? Cara menarik napas dalam-dalam sebelum meraih gagang pintu yang ada di hadapannya lalu memutarnya dengan amat sangat pelan. Telapak tangannya semakin terasa dingin dan basah, jantung pun berdegup semakin kencang. 'Aku pasti sudah gila. Aku pasti sudah gila,' batin Cara berter
Kata-kata Daniel ketika di danau waktu itu terus terngiang di pikiran Adisty. Ternyata memang banyak hal yang berubah dan dia baru menyadarinya sekarang. Termasuk perasaannya. Dia bisa menceritakan apa pun yang dialaminya pada Daniel, tapi itu dulu. Dia sekarang malah lebih banyak diam dan lebih banyak mencurahkan isi hatinya dalam buku harian. Daniel pun sama. Tanpa lelaki itu sadari ada seorang gadis yang berhasil menumbuhkan kuncup-kuncup bunga di dalam hatinya. "Daniel." "Hmm ...," sahut Daniel tanpa mengalihkan pandang dari ponselnya karena sedang asyik berbalas pesan dengan Cara. Tanpa sadar dia tersenyum, berdecak, dan terkadang menggerutu kesal karena Cara tidak kunjung membalas pesannya. Semua yang Daniel lakukan ternyata tidak ada yang luput dari perhatian Adisty. Apa sahabatnya itu sedang jatuh cinta? "Daniel." "Ya, Adisty?" Lelaki pemilik gigi kelinci itu akhirnya menoleh. "Kamu sedang chating-an sama
Cara sedang berada di sebuah toko khusus perlengkapan bayi bersama Alvaro. Mereka ingin membeli kado untuk ulang tahun putri Jafier dan Adisty yang pertama.Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa putri Jafier dan Adisty sudah berulang tahun yang pertama. Padahal rasanya seperti baru kemarin dia meminta Alvaro untuk menikahi Adisty demi memenuhi amanah terakhir Sadewa. Namun, kenyataannya Adisty malah menikah dengan Jafier. Mereka bahkan sudah memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Allecia Disa Mahendra."Alva, bagaimana kalau kita beli ini untuk Disa?" Cara menunjukkan beberapa buah biku cerita yang ada ditangannya pada Alvaro."Bagus, buku ini pasti berguna untuk Disa."Cara pun mengambil beberapa buku cerita untuk Disa lantas meletakkannya ke dalam keranjang. Setelah itu mereka berkeliling untuk melihat barang-barang yang lain. Sebuah sepatu khusus bayi berusia satu tahun berhasil menarik perhatian Cara. Sepatu berwarna merah itu pasti coc
Dua tahun kemudian ....Alvaro mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Senyum tipis mucul bibirnya melihat Cara yang tertidur lelap di sampingnya.Alvaro pun mengecup bibir Cara sekilas lalu mendekap tubuh gadis itu semakin erat. Dia merasa sangat bahagia karena wajah Cara yang dia lihat pertama kali saat membuka mata."Sekarang jam berapa, Alva?" tanya Cara dengan mata terpejam.Alvaro pun melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang sudah jam tujuh, tapi dia mengatakan masih jam lima pada Cara."Tolong bangunin aku lima menit lagi." Cara menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alvaro mencari posisi tidur yang paling nyaman dan kembali terlelap.Alvaro pun membiarkan Cara kembali tidur, bahkan lebih dari lima menit. Cara sepertin
Sambil terus berciuman Alvaro langsung membaringkan Cara di atas tempat tidur dan langsung menindih gadis itu."Erngh ...." Cara hanya biasa mengerang di bawah tubuh Alvaro. Kecupan dan hisapan lembut lelaki itu selalu membuatnya kualahan."Alva ...." Napas Cara terengah. Gadis itu langsung menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Alvaro tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas."Kamu mau membunuhku?"Kening Alvaro berkerut dalam mendengar pertanyaan Cara barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum ketika menyadar Cara sedang sibuk mengatur napas."Aku tidak bisa menahannya lagi, Sayang. Maaf ...." Alvaro menarik Cara agar duduk menghadapnya lantas menurunkan resleting gaun gadis itu dengan perlahan.Sepasang buah dada Cara yang terbungkus strapless bra berwarna merah terpampang jelas di kedua matanya. Terlihat sang
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Cara terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin model Long Slevee A-Line yang mengembang di bagian bawah berwarna putih. Gaun tersebut membuat penampilan Cara terlihat lebih feminim lewat detail renda bermotif bunga yang panjangnya menyapu lantai. Sebuah mahkota perak berhias batu berlian yang ada di atas kepalanya membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Jantung Cara berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Cara tanpa sadar meremas gaun pengantinnya dengan kuat karena mobil yang ditumpanginya sebentar lagi tiba di Gereja yang akan dia gunakan untuk pemberkatan bersama Alvaro."Gaunmu nanti bisa kusut kalau kamu remas seperti itu, Caramell!" Daniel berdecak kesal karena Cara sejak tadi terus meremas gaun pengantinnya hingga berkerut.Daniel sebenarnya malas sekali menghadiri pemberkatan pernikahan Alvaro dan Cara. Namun, dia terpaksa datang ke acara ters
Tatapan teduh Jafier seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja."Jangan menangis." Tubuh Adisty membeku di tempat karena Jafier tiba-tiba mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Senyum hangat dan genggaman erat lelaki itu mampu mengubah perasaannya menjadi tenang dalam sekejab. Dalam seperkian detik Jafier telah berhasil menarik Adisty tenggelam dalam pesonanya.Namun, sedetik kemudian Adisty cepat-cepat tersadar kalau Jafier melakukan semua ini murni karena tanggung jawabnya sebagai suami, bukan karena alasan yang lain sebab lalaki itu tidak memiliki perasaan pada dirinya."Astaga, kalian manis sekali." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cara karena melihat Jafier yang begitu perhatian pada Adisty.Adisty tergagap lantas cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Jafier karena malu. Suasana pun mendadak canggung selama beberapa saat. Semua kalima
Mama menatap beberapa contoh undangan pernikahan yang ditunjukkan oleh pemilik percetakan yang datang ke rumah karena dia malas pergi keluar. Lagi pula kondisi kakinya masih belum pulih sepenuhnya.Ada sekitar dua puluh contoh undangan yang orang tersebut tunjukkan. Namun, hanya dua undangan yang berhasil menarik perhatian Mama."Bagaimana menurutmu undangan ini?" Mama menunjukkan undangan yang kertasnya terdapat bibit tanaman. Jika kertas undangan tersebut dibasahi lalu ditanam, lama-kelamaan akan tumbuh bunga yang sangat indaj. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga mereka berjalan harmonis."Unik, kan?""Iya, Ma.""Yang ini juga bagus. Gimana menurut kamu?" Mama menunjukkan udangan pilihannya yang kedua pada Cara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti, pita atau bros yang bisa digunakan oleh tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Alvaro.Kening Cara berkerut d
"Mama akhirnya merestui hubungan kita. Aku bahagia sekali." Alvaro menangkup kedua pipi Cara pantas mencium bibir tipis berwarna merah alami milik gadis itu berkali-kali untuk meluapkan kebahagiaannya."Aku tahu kamu sedang bahagia, tapi jangan menciumku terus." Cara berusaha menahan Alvaro yang ingin mencium bibirnya lagi."Aku sangat-sangat bahagia." Alvaro kembali menangkup kedua pipi Cara lantas mengecup mata, hidung, pipi, dan terakhir kening gadis itu dengan penuh perasaan bahagia."Alva, ih ...." Cara mendorong Alvaro agar menjauh karena dia merasa risih.Alvaro malah terkekeh lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Cara. Dia memeluk gadis itu begitu erat seolah-olah takut kehilangan."Sayang, kamu tahu tidak?""Tahu apa?" tanya Cara tidak mengerti."Aku bahagia sekali." Alvaro tersenyum sangat lebar. Apa lagi jika me
Cara meminta Mello untuk duduk di depan kaca, lantas mengambil sebuah sisir untuk menata rambut gadis kecilnya itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia mengikat rambut hitam Mello model ekor kuda sebelum dikepang."Bunda, kenapa orang dewasa suka saling menempelkan bibir?"Cara tersentak mendengar pertanyaan Mello barusan hingga refleks berhenti mengepang rambut anak itu."Ke-kenapa Mello tanya begitu?" Cara malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Mello."Mello tadi liat Bunda dan Ayah saling menempelkan bibir di kamar. Waktu di pesawat juga," ujar anak itu terdengar polos.Mulut Cara sontak menganga lebar. Dia benar-benar tidak menyangka Mello memperhatikannya dan Alvaro saat berciuman. Dia pikir Mello tidak peduli dan menganggapnya hanya sekadar angin lalu."Kenapa, Bunda?" tanya Mello pesaran."Em, itu karena ...." Cara tanpa sadar membasahi bib
"Jangan bilang seperti itu lagi. Mengerti?" tanya Alvaro setelah melepas pagutan bibir mereka."Aku benar-benar takut, Alva ...." Kristal bening itu kembali jatuh membasahi pipi Cara.Dia ingin menikah dengan Alvaro dan membesarkan Mello bersama-sama sampai maut memisahkan. Namun, Mama tidak merestui hubungan mereka.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro?"Sshh, tenanglah. Mama pasti akan merestui hubungan kita.""Sungguh?" Cara menatap kedua mata Alvaro dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Ya, aku yakin sekali. Sekarang kita tidur lagi, ya?"Alvaro mengecup kening Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang gadis itu dengan erat.Cara membenamkan wajahnya di