Dengan cepat, Tuan Marco mengalihkan pandangan kepada Almeera dengan tatapan menyalahkan.
“Meera, kenapa kamu membiarkan orang ini masuk? Bukankah yang kuizinkan menjenguk hanyalah Kaisar?”
Almeera tergagap, ingin menjelaskan, tetapi suara Tuan Barata mendahuluinya.
“Marco, jangan salahkan Almeera. Aku yang memaksa datang, karena aku... ingin minta maaf padamu.”
Suara pria tua itu terdengar lirih, menandakan ada rasa bersalah yang nyata di dalamnya. “Sudah saatnya kita menghapuskan dendam yang masih tersisa.”
Ucapan Tuan Barata membuat amarah dari ayah kandung Almeera itu semakin membara. Ia langsung membentak, tubuhnya sedikit bergetar di atas brankar.
“Keluar! Aku tak sudi melihatmu di sini, apalagi mendengar permintaan maafmu yang terlambat. Kau, Barata, sudah menghancurkan papaku dan sahabatku, dan kau pikir permintaan maaf bisa menghapus semua itu?”
Kaisar dan Almeera be
Tuan Barata hanya mengangguk, menerima syarat itu dengan lapang dada. "Terima kasih, Marco," balasnya dengan suara serak. “Yang terpenting bagiku adalah melihat pernikahan Kaisar dan Almeera tidak terkena imbas dari kesalahan yang aku perbuat dulu. Aku hanya ingin melihat cucuku bahagia, dan aku tahu, kamu pun menginginkan hal yang sama untuk putrimu.”Tuan Marco tidak membalas kata-kata itu. Sebagai gantinya, ia menganggukkan kepala sekilas, tanda bahwa pembicaraan ini sudah selesai.Tuan Barata menghela napas panjang, lalu berdiri dari kursi di samping brankar. Wajahnya tampak lelah, tetapi ada sedikit ketenangan di sana. Ia menoleh kepada Kaisar, memberikan isyarat untuk mengantarkannya ke pintu. Kaisar segera berdiri, mengikuti kakeknya keluar ruangan dengan hati-hati. Di belakang mereka, Almeera hanya tertunduk dengan wajah muram, berat hati untuk melihat kepergian Tuan Barata yang telah berjuang agar dirinya dan Kaisar mendapatkan kesempatan. Sejenak, ia hanya bisa menatap lan
Usai melewati situasi yang cukup menegangkan di rumah sakit, Kaisar mengajak Almeera makan malam berdua. Ia menggenggam tangan Almeera dengan lembut, saat mereka melangkah ke dalam restoran taman yang telah ia pilih.Di sekeliling mereka, lampu-lampu kecil tergantung di pepohonan, berkelip lembut seperti bintang-bintang. Cahaya temaram itu menerangi jalan mereka menuju ke sebuah gazebo yang dihiasi dengan tanaman hijau.Di tengah gazebo, ada meja kayu dengan taplak putih dan lilin merah yang berpendar, menciptakan suasana romantis yang penuh kehangatan. Alunan musik lembut dari live band di sudut taman menambah kesan magis, mengisi udara malam dengan melodi yang menenangkan.Kaisar menggiring Almeera untuk duduk di kursi dan memastikan sang istri dalam posisi nyaman. Angin malam yang sejuk membelai lembut rambut Almeera, membuatnya tampak semakin mempesona di bawah sinar remang lilin. Almeera tersenyum penuh bahagia, matanya berbinar saat memandang Kaisar
Kaisar dan Almeera kembali ke apartemen setelah menyelesaikan makan malam romantis di restoran taman. Keduanya masih terlarut dalam kebahagiaan yang mendalam, berbagi tawa, dan sesekali saling menggenggam tangan sepanjang perjalanan pulang.Setibanya di apartemen, mereka langsung membersihkan diri, menikmati waktu intim dalam kebersamaan yang tenang. Usai mandi, mereka melangkah ke tempat tidur dengan hati yang hangat. Bersiap untuk pillow talk, yang selalu menjadi momen bagi mereka berbagi pikiran dan perasaan terdalam.Almeera berbaring menyamping menghadap Kaisar, matanya berbinar terang kala ia mulai bercerita. “Tadi pagi, adikku, Rifki, menelepon,” katanya dengan suara lembut. "Dia menangis, katanya kangen sekali padaku."Kaisar mengangkat tangan, menyisir lembut rambut Almeera. “Lalu, apa kamu bicara lama dengannya?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.“Iya, Rifki terdengar sangat sedih karena aku tidak jadi menjenguk dia ke asrama,” jawab Almeera. “Sebagai gantinya, aku kiri
Pagi itu, Kaisar yang masih dalam masa cuti, bersiap-siap untuk berangkat ke Bogor demi menjenguk Karenina di rumah sakit. Almeera yang bangun lebih dulu, sudah menyiapkan koper kecil untuk sang suami. Dengan senyum penuh perhatian, ia menyusun perlengkapan Kaisar, memastikan tidak ada yang tertinggal.Kaisar menatapnya dari pintu kamar, mengamati gerak-gerik istrinya yang penuh kelembutan. Hanya Almeera, satu-satunya wanita yang bisa membuatnya merasakan jatuh cinta setiap hari.“Kamu tidak mau ikut aku ke Bogor sekalian jalan-jalan, Sayang?” tanyanya sambil menyandarkan diri di kusen pintu, nada suaranya penuh harap.Almeera mengangkat wajah, tersenyum lembut, lalu menggeleng pelan.“Aku masih lelah jika harus ke luar kota, Hubby. Nanti siang, rencananya aku juga akan ke rumah sakit untuk menjenguk Papa,” jawabnya dengan nada tenang. "Aku sudah janji mau menemani Papa hari ini."Kaisar mengangguk memahami. Ia mengham
Kaisar menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski tuduhan Hana telah menyulut emosi dalam dirinya. Ia menatap ibu tirinya itu dengan tatapan tajam, lalu merogoh ponsel dari saku jasnya dan memperlihatkan rekaman video yang tersimpan di sana."Jangan terburu-buru membuat kesimpulan, Ma. Lihat ini dulu," pungkas Kaisar dengan nada dingin.Dalam video yang ditunjukkan Kaisar, tampak jelas sosok Karenina sedang tertawa bersama seorang pria muda sambil meneguk minuman. Senyumnya lepas, dan wajahnya menunjukkan kebahagiaan yang penuh gairah. Video itu diambil tidak lama setelah ia meninggalkan mansion, menunjukkan bahwa Karenina baik-baik saja dan cukup sadar untuk menikmati minumannya di bar hotel.Hana memandang video tersebut dengan mata membelalak, takjub dan kehabisan kata-kata. Tuduhannya yang tadinya berapi-api langsung menguap begitu saja.Kaisar melanjutkan, suaranya dingin tetapi berisi kebenaran yang tak bisa dibantah."Kalau ada luka memar di tubuh Nina, kemungkinan besa
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe