Mendapatkan pertanyaan yang begitu menohok itu, membuat Sierra terdiam. Apalagi ekspresi wajah Elisha tampak datar, tidak seperti orang yang tengah menginterogasi. Maka Sierra memilih untuk berpaling, kembali sibuk menata barang-barangnya. Dia sengaja melakukan itu karena enggan menjawab pertanyaan Elisha.“Aku tidak akan mendesakmu untuk menjawab, karena itu bukan urusanku,” Pada akhirnya Elisha angkat bicara. “Tapi semoga firasatku salah. Aku harap, kalian tetap baik-baik saja,”Setelah mengucapkan kalimat panjang itu, Elisha memutuskan untuk pergi dari ruangan Sierra demi memberi waktu bagi Sierra untuk berkemas. Dan saat berada di depan pintu lift, Tasya, rekan Sierra di kantor tiba-tiba berlari kecil mendekati Elisha. Dia maju dan setengah berbisik.“Apa yang terjadi? Kenapa Sierra berkemas?” bisik Tasya. “Apa dia dipecat? Bukankah dia dan Pak Martin … ““Maaf,” potong Elisha. Dia menoleh ke arah Tasya dengan tatapan terganggu. “Itu semua bukan urusanku,” Dia melempar pandangan t
Sierra masih terisak, meski ini dia sudah mulai lebih tenang. Sierra mencoba mencerna kembali penjelasan dari Paul. Otaknya memutar ulang informasi yang baru saja didengar, mencoba menarik kesimpulan. Meski jauh di lubuk hatinya, Sierra masih menyesal telah kehilangan Martin. Pada akhirnya dia berhasil mendapatkan kesempatan untuk bersama pria yang telah dicintainya sejak dulu.“Tapi Tuan Paul juga harus tahu … “ Dia pelan-pelan menjauhkan jemari Paul dari dagunya. “Saat ini saya masih mencintai Martin. Saya berusaha untuk menerima ini semua, semata karena anak ini,” Dia mengelus lembut perutnya sendiri.Meskipun ada raut kecewa dari wajah Paul, namun pria tua itu mencoba untuk mengerti. Dia mengelus lembut kepala Sierra. “Apapun yang membuatmu bahagia, Si. Meski itu harus mencintai orang lain,”“Jangan … “ hardik Sierra untuk kemudian diam. Dia tampak menghindari sentuhan Paul. “Saya mohon jangan sebut Martin orang lain, Tuan,”Sierra membuka pintu mobil. Paul mencegah meski Sierra m
Semua langsung terdiam. Suara dengung bisikan dari para anak panti tiba-tiba lenyap, kini tergantikan oleh tatapan tak berkedip. Tatapan yang mengarah lurus pada Sierra, seakan hendak menghakimi. Apalagi Salome yang semakin menuding Sierra dengan telunjuk lentiknya, merasa puas telah mempermalukan wanita itu.“Sedari dia kecil kami memperlakukannya dengan begitu baik. Bahkan kami memberikan pekerjaan paling didambakan oleh semua pencari kerja. Dan setelah mendapat semua, bisa-bisanya dia menggoda Paul? Apakah menurutmu itu bisa diterima, Sam?” Awalnya Salome mengolok Sierra dengan begitu keras, namun untuk pertanyaan terakhir kepalanya terarah pada Sam.Sam masih terkejut dengan tudingan mendadak dari Salome itu. Matanya membulat, mencari jawaban di balik wajah Sierra yang memerah seakan hendak menangis. Sam tidak bisa bertindak gegabah, karena posisinya sebagai satu-satunya orang yang paling dituakan di panti.“Apa benar kamu hamil, Sierra?” tanya Sam lembut. Ada nada khawatir dibali
Rachel rela tidak berkedip supaya dia tidak melewatkan sedetik pun ekspresi di wajah Sierra. Dia juga memasang telinganya sangat tajam, berharap bisa mendengar dengan baik jawaban yang keluar dari mulut Sierra. Sementara Sierra menelan ludah dengan begitu tegang, berusaha menjawab namun juga enggan.Rachel memejamkan mata. Akhirnya dia tahu jawabannya, meski tidak langsung keluar dari mulut Sierra. Dengan wajah penuh kecewa, Rachel berusaha mengatur agar ekspresinya tetap terlihat tenang.“Kamu tahu perasaanku pada Martin,” ucap Rachel. Ekspresinya nanar. “Sejak kapan kalian berkencan?”Sierra cepat-cepat menggenggam tangan Rachel. “Aku hanya beberapa hari bersamanya, tidak lebih,” kilahnya cepat. “Kita berdua sama-sama tahu jika Martin tidak menyukaiku. Dia hanya menjadikanku pelampiasan,”“Dan kamu juga begitu?” sahut Rachel. Ada senyum sedih di wajahnya. “Kamu juga menjadikannya pelampiasan? Kamu dan Tuan Paul,”Untuk hal satu ini Sierra tidak sanggup menjawab. Dia tidak mungkin ju
Sam tanpa sadar mundur. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Paul Pandia dengan penuh percaya diri melamar Sierra, di tengah malam dalam keadaan yang menurut Sam cukup genting. Sementara Sierra tampak begitu terkejut dan hanya bisa tertegun memandangi Paul.Paul makin maju. Dia tidak punya banyak waktu, ketika melirik jam di tangan telah menunjukkan pukul 1 dini hari. “Aku tidak menerima penolakan, Si. Makin lama dibiarkan, semua akan semakin merugikanmu. Aku tidak akan lari dari tanggung jawabku terhadapmu,” tukas Paul. Kemudian dia menoleh ke belakang ketika menyadari kehadiran Lukman.“Tuan, kita harus segera pergi,” ucap Lukman, mengangguk menyapa Sam dengan wajah tegang.“Persiapkan dirimu, Si. Siang nanti Lukman akan menjemputmu,”“Untuk apa?” sambar Sierra cepat, saat Paul sudah memutar tubuh hendak pergi. Ada raut protes dan kekesalan di wajahnya.“Pernikahan ini harus dilaksanakan secepatnya sebelum perutmu membesar,” Paul menunjuk ke arah perut Sierra.Dan ta
“Martin, tunggu!” teriak Salome dengan langkah lebar, berusaha menyamai langkah Martin yang menggebu keluar dari restoran itu. Dia merapikan gaunnya sebelum melangkah makin keluar menuju tempat parkir setelah berhasil menemukan sosok Martin.Salome menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri sebelum berjalan mendekati Martin. “Martin!” teriaknya sekali lagi, namun lebih tegas.Martin terpaksa berhenti sejenak dan menoleh dengan wajah kesal. “Ada apa?”“Kita harus bicara. Kamu tidak bisa pergi begitu saja,”Martin menggeleng, tampak masih kesal. “Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, Bu,” tolaknya.“Kita tidak bisa membiarkan mereka menikah begitu saja. Dia mengandung anak ayahmu!” Mata Salome melotot lebar, berusaha keras meyakinkan Martin. “Jika sampai mereka menikah, posisimu bisa terancam,”Tanpa terduga, Martin justru tertawa. Tawa yang memilukan. “Bukankah itu yang diinginkan Ayah? Sejak awal dia memang tidak menganggapku anaknya, kan?”“Dan kamu percaya?”Martin menceng
Martin berjalan dengan langkah gontai, menyisiri jembatan besar yang ada di sisi apartemennya. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangannya, saling bersinggungan dengan beberapa kendaraan yang melaju kencang. Angin malam menerpa wajah Martin yang pucat, dan pandangannya kabur akibat sisa pengaruh alkohol yang begitu mendominasi jiwanya.Setiap langkah yang dia ambil terasa amat berat. Begitu juga dengan beban yang kini dia tanggung sendirian. Dia masih begitu ingat, betapa dia kecewa karena mendapat penolakan dari Elisha beberapa waktu lalu. Dan kini dia harus kembali sakit hati atas perbuatan Sierra dan ayahnya.Martin terus melangkah tanpa tujuan pasti. Yang ada di pikirannya kini hanyalah terus berjalan, kemanapun kaki membawanya. Dia hanya ingin menenangkan otaknya dari segala kerumitan yang ada bertubi-tubi bagai peledak yang sengaja dilempar ke depan muka. Martin mengumpat keras ke arah sungai besar di bawahnya, mengutuki takdirnya sendiri.***Salome membuka paksa pintu depan rum
“Ayo berdiri,” Susah payah Elisha menarik tubuh Martin agak bangkit berdiri.“Kita mau kemana?” protes Martin masih dengan keadaan setengah sadar. Namun dia tidak melawan ketika Elisha melingkarkan lengan kanannya pada pundak Elisha.“Aku tidak akan membiarkanmu mengakhiri hidup,” tandas Elisha, sedikit meringis menyadari betapa beratnya tubuh Martin.Dengan jalan yang sedikit kelimpungan, Elisha membawa Martin dan menghentikan salah satu taksi yang kebetulan lewat. Elisha memutuskan untuk membawa Martin ke apartemennya sendiri, yang masih terletak tidak jauh dari sana.Tak berapa lama, taksi itu sampai di depan apartemen Elisha. Masih dengan kepayahan, Elisha membawa Martin untuk masuk ke dalam lobi apartemen. Namun beruntung kali ini si sopir taksi berinisiatif untuk membantu Elisha membopong Martin hingga mereka masuk ke dalam lift.“Kamu bisa istirahat di sini,” Elisha membaringkan tubuh Martin di atas ranjang miliknya.Elisha yang kelelahan setelah membawa Martin, memutuskan untu
“Kenapa kamu lakukan ini?” tuntut Martin, dengan mata membulat sempurna.Bola mata Sierra bergetar. Dia masih tidak bisa mempercayai penglihatannya. “Kamu … kamu benar Martin?”“Apa maksudmu?” sentak Martin.Pria itu lantas mengguncang bahu Sierra. Sambil menjauhkan botol larutan penyegar mulut itu, sejauh mungkin.“Jangan lakukan hal bodoh ini lagi. Anakmu tidak berdosa,” ucap Martin lantang.Tangis Sierra pecah. Dia makin yakin jika Martin yang ada di depannya ini bukanlah ilusi. Tangisan Sierra begitu memekakkan, hingga wanita itu bersimpuh demi meredakan ngilu di ulu hatinya.“Kenapa kamu ada di sini?” isak Sierra. Dia masih bersimpuh. Tidak sanggup berhadapan dengan Martin.“Apa aku sudah tidak punya hak ke rumah ayahku?”Pertanyaan yang bagai peluru itu dilontarkan Martin tanpa beban. Tidak peduli meski perasaan Sierra sedang sensitif karena hamil.“Kukira kamu pergi,” timpal Sierra. Malas berdebat.“Memang,” sambar Martin cepat. “Aku memang berjanji akan pergi. Aku datang hanya
Sierra hampir limbung. Untungnya Violet dengan sigap mundur menghadang tubuh Sierra agar tidak semakin jatuh. Untuk wanita seusianya, Violet memang cukup tangguh. Karena merasa geram, kepala pelayan itu pun maju dengan tatapan geram ke arah Salome.“Nyonya, maafkan saya jika lancang. Tapi ada urusan apa Nyonya datang ke sini?” tanya Violet pada Salome.Salome merengut. “Apa salah jika aku datang ke sini? Ini rumah suamiku,”“Benar, Nyonya. Ini rumah kediaman suami Nyonya,” timpal Violet. “Tapi bukan rumah Nyonya Salome,” imbuhnya, dengan senyum tipis. Sengaja Violet ingin menyerang Salome dengan cara yang elegan.“Apa?” Salome tidak terima. “Sejak kapan kamu … ““Maaf jika saya memotong,” sambar Violet, tidak memberi Salome kesempatan untuk lanjut bicara. “Tapi Tuan Paul memerintahkan saya untuk mengambil alih seluruh pengawasan rumah ini selama Tuan bekerja,” Dia membusungkan dada, berdiri berhadapan dengan Salome. “Dan sebagai penanggung jawab, saya minta Nyonya Salome segera pergi
Sierra membuka mata. Hanya untuk menyadari jika semuanya hanyalah mimpi. Kini dia terbaring hanya mengenakan selimut sutra di atas tubuhnya. Ketika dia menoleh ke sisi ranjang, Paul sedang tertidur pulas. Sierra merasa tubuhnya menggigil, untuk kemudian sadar jika jendela besar di depan balkon kamarnya belum ditutup. Angin dingin tepi pantai menelisik tipis, masuk ke dalam pori-pori.Sierra mendesis. Dia ingin menutup jendela itu, namun dia tidak bisa meraih apapun untuk menutupi tubuhnya. Maka mau tak mau dia berjalan sedikit berlari menuju jendela, hanya menutupi tubuh sekenanya dengan kedua tangan.Ketika dia berbalik, Paul sudah duduk dengan senyum nakal saat melihat tingkahnya. Pria tua itu menggeleng geli, karena Sierra berusaha memeluk tubuhnya sendiri.“Apa kamu pikir aku tidak bisa melihat?” komentar Paul.“Saya hanya takut ada orang di pantai, Tuan,”“Tidak ada siapapun,” sahut Paul. “Tempat ini khusus untuk kita,”Sierra menutup rapat bibirnya. Merasa begitu bodoh karena me
Pesta pernikahan itu akhirnya berakhir. Sierra membuang pandangan jauh menembus kaca mobil Rolls-Royce Phantom warna hitam. Tidak ada Lukman yang mengantarnya dan Paul menuju lokasi villa tempat mereka akan menghabiskan waktu. Sierra tidak mengenal sopir yang duduk di depannya. Sementara Paul, di luar berdiri mengobrol dengan seseorang sebelum berjabat tangan dan masuk ke dalam mobil, menyusul Sierra.Paul mengenakan kemeja putih bersih yang dipadukan dengan celana khaki. Tak bisa dipungkiri jika dia teramat tampan untuk pria paruh baya seusianya. Jika dibandingkan dengan Martin, ketampanan Paul lebih teduh dan dewasa. Cocok untuk Sierra yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya mendapat perlindungan seorang ayah.“Maaf lama menunggu, Si,” Paul mengecup punggung tangan Sierra.Sierra menggeleng. “Dia kolega Tuan?”“Oh, dia karyawanku yang akan mengurusi semuanya bersama Lukman selama aku menghabiskan bulan madu denganmu,” jelas Paul. Wajahnya tampak begitu bahagia. Berbanding terbalik
Pernikahan Paul dan Sierra tetap dilangsungkan, tepatnya seminggu setelah kejadian di apartemen Martin. Pernikahan itu digelar di sebuah vila mewah yang terletak di pinggir pantai. Mereka hanya mengundang beberapa kerabat dekat serta kolega Paul, sebisa mungkin menjaga agar pernikahan itu tetap intim demi menutup privasi. Itu semua atas permintaan Sierra yang masih belum terbiasa menjadi bagian dari dunia Paul yang kaya raya.Sebuah tenda putih besar didirikan di tengah taman vila, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar putih dan merah di setiap sudutnya. Di bawah tenda, kursi-kursi tertata rapi dengan pita satin putih. Di dekat pantai, sebuah altar kecil disiapkan dari kayu dengan latar belakang laut biru yang berkilauan. Altar tersebut dihiasi dengan bunga-bunga tropis dan kain sutra yang berkibar lembut tertiup angin.Sierra mengenakan gaun putih dengan desain yang anggun dan elegan. Gaunnya panjang tampak mengalir, dengan detail renda di bagian tulang selangka dan lengan. Rambutnya
“Martin … lepaskan,” rintih Sierra, sebisa mungkin mendorong mundur tubuh Martin dari tubuhnya.Semakin Sierra berontak, semakin adrenalin Martin terpacu. Dia sudah terlalu gelap mata untuk menyadari bahwa tindakannya itu salah dan bisa saja membahayakan kandungan Sierra. Jika saja Sierra masih sama seperti dia yang dulu, masih mencintai Martin tanpa menanggung beban mengandung bayi Paul, dia pasti akan menikmati ciuman Martin. Tapi segalanya telah berubah diantara mereka.“Martin!” Tiba-tiba dari arah belakang Paul datang. Pria tua itu menarik tubuh Martin sekencangnya dan dia pukul tepat di pipi kiri Martin. Tanpa pertahanan, Martin seketika ambruk ke lantai.“Si, kamu tidak apa-apa?” Paul berusaha menolong Sierra yang masih sangat ketakutan. Dia mendekap wanita itu begitu erat.Sementara Martin yang jatuh perlahan bangkit. Tubuhnya gemetar melihat sang ayah begitu mencemaskan Sierra, dan dengan tega menyingkirkannya layaknya sampah. Sedari kecil, Martin selalu merasakan penolakan
Elisha terus menemani Martin meluapkan seluruh kesedihannya, hingga tanpa sadar Martin tertidur di pangkuan Elisha. Wanita itu membiarkan Martin terlelap, tidur melingkar di atas sofa yang tentu tak mampu menampung tinggi badan Martin. Sementara dia memilih untuk tidur di kamarnya sendiri, berharap Martin bisa segera melupakan kesedihannya saat pagi menjelang. Dan keesokan harinya, saat Elisha membuka mata Martin sudah tidak ada di sofa. Meskipun kecewa, Elisha tidak bisa melakukan apapun. Sementara itu, di tempat lain, Sierra yang tidak lagi bekerja mulai membiasakan diri untuk memasak membantu Sarah menyiapkan sarapan. Dia tidak ingin terus terlarut dalam kesedihan, dan mencoba untuk menerima kenyataan meski masih ada perasaan sedih karena kehilangan Martin.“Kamu istirahat saja, Sierra. Bukankah kamu sedang mual?” tanya Sarah.Sierra menggeleng sambil tersenyum. “Tapi aku tidak ingin merasakannya. Aku coba cari di internet, itu namanya morning sickness,”Sarah terkikik bersama Sie
“Ayo berdiri,” Susah payah Elisha menarik tubuh Martin agak bangkit berdiri.“Kita mau kemana?” protes Martin masih dengan keadaan setengah sadar. Namun dia tidak melawan ketika Elisha melingkarkan lengan kanannya pada pundak Elisha.“Aku tidak akan membiarkanmu mengakhiri hidup,” tandas Elisha, sedikit meringis menyadari betapa beratnya tubuh Martin.Dengan jalan yang sedikit kelimpungan, Elisha membawa Martin dan menghentikan salah satu taksi yang kebetulan lewat. Elisha memutuskan untuk membawa Martin ke apartemennya sendiri, yang masih terletak tidak jauh dari sana.Tak berapa lama, taksi itu sampai di depan apartemen Elisha. Masih dengan kepayahan, Elisha membawa Martin untuk masuk ke dalam lobi apartemen. Namun beruntung kali ini si sopir taksi berinisiatif untuk membantu Elisha membopong Martin hingga mereka masuk ke dalam lift.“Kamu bisa istirahat di sini,” Elisha membaringkan tubuh Martin di atas ranjang miliknya.Elisha yang kelelahan setelah membawa Martin, memutuskan untu
Martin berjalan dengan langkah gontai, menyisiri jembatan besar yang ada di sisi apartemennya. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangannya, saling bersinggungan dengan beberapa kendaraan yang melaju kencang. Angin malam menerpa wajah Martin yang pucat, dan pandangannya kabur akibat sisa pengaruh alkohol yang begitu mendominasi jiwanya.Setiap langkah yang dia ambil terasa amat berat. Begitu juga dengan beban yang kini dia tanggung sendirian. Dia masih begitu ingat, betapa dia kecewa karena mendapat penolakan dari Elisha beberapa waktu lalu. Dan kini dia harus kembali sakit hati atas perbuatan Sierra dan ayahnya.Martin terus melangkah tanpa tujuan pasti. Yang ada di pikirannya kini hanyalah terus berjalan, kemanapun kaki membawanya. Dia hanya ingin menenangkan otaknya dari segala kerumitan yang ada bertubi-tubi bagai peledak yang sengaja dilempar ke depan muka. Martin mengumpat keras ke arah sungai besar di bawahnya, mengutuki takdirnya sendiri.***Salome membuka paksa pintu depan rum