“Ke sini.”Gadis yang mengaku bernama Elina Fanwald tersebut bergerak ragu ke arah Alano yang memintanya mendekat. Keadaan kelas itu masih tenang, hanya empat mahasiswa tadi menatap Alano dengan ekspresi tak santai. Mereka nampaknya ingin sekali menyerbu Alano sekarang juga.“Berdiri di sini selama jam pelajaran saya.” Alano menunjuk tepat di samping meja dosen di depan kelas.“Tapi, Pak. Saya ....”“Saya tidak menerima protes, sebab pelajaran akan dimulai. Keluarkan buku kalian!”Elina menghembuskan napas pasrah mendengar kalimat tersebut. Dia terpaksa berdiri di sana, bak orang bodoh, seakan menjadi asisten dosen. Perlahan Elina mengeluarkan buku dari tas dan membuka buku tersebut dalam posisi berdiri.Alano menatap datar empat pria yang masih santai dengan kaki ke atas. Mereka juga tak mengeluarkan satu pun buku. “Jika kalian tidak ingin belajar pada mata pelajaran saya, silakan keluar. Saya persilakan, saya tidak suka ada sampah di dalam kelas saya.”Kalimat Alano tentunya kembali
Elina berjalan kaku mengikuti langkah kaki Alano. Dia melihat tatapan terpesona semua mahasiswi untuk Alano. Tak heran, melihat tampannya dosen muda itu memang membuat para kaum hawa tak bisa untuk tak merasa kagum. Setiap hari mereka semangat ke kampus hanya untuk melihat wajah tampan itu.“Ya, ampun, liat mereka. Pada nganga semua, begitu terpana sama Pak Dosen ini,” celetuk Elina di sela langkahnya.Alano sendiri hanya diam dan terus melangkah. Dia tak pernah menghiraukan celotehan dan bisikan para mahasiswinya. Bagaimana dia sudah terbiasa sedari kecil menjadi pusat perhatian. Begitulah perbedaan signifikan antara Avram dan Alano. Jika dulu Avram mengurung diri dan tak biasa dengan keramaian, maka berbanding terbalik dengan Alano, dia sudah terbiasa akan keramaian sedari kecil.Tak heran, mengingat latar kehidupan Avram dan Alano juga begitu berbeda. Meski mereka sama-sama keras, tetapi kehidupan Avram tentu jauh lebih keras. Alano mendapatkan kasih sayang yang sempurna dari kedua
Meski merasa heran dan bingung saat mengetahui Elina tak mengingatnya. Alano tak memaksa dan tak memberitahukan apa pun kepada Elina akan kisah mereka ketika kecil. Alano pun berniat mencaritahu hal apa nan terjadi. Dia juga bertanya-tanya, kenapa bisa selama ini bawahan Dakasa tak menemukan keberadaan Elina.“Apa mungkin dia baru datang ke Indonesia sekitar dua atau satu tahun ini? Sampai kabarnya tak terendus oleh pengawal Dakasa? Pencarian Elina memang dihentikan paksa oleh Mama dua tahun lalu, sepertinya kemungkinan besar dia ke Indonesia setelah proses pencarian dihentikan.”Alano masuk ke dalam mobil, dia akan segera pulang. Pasalnya tak ada lagi jadwalnya untuk mengajar hari ini. Pria tampan itu melajukan mobilnya sampai perhatiannya teralihkan kepada sesuatu di depan sana. Mata Alano sedikit memicing ketika melihat wajah nan dikenalnya. Pria itu menepikan mobil dan melihat jelas keadaan di luar sana.“Lebih baik kalian pergi, atau teriak!” geram Elina menatap dua pria di sampi
“Ke mana?”“Hah? Apanya, Pak? Katanya Bapak mau antar saya pulang.”Alano menatap Elina sekilas sembari terus melajukan mobilnya. “Saya tidak tahu di mana alamat rumahmu.”Elina terkejut, kemudian cengengesan. “Iya juga, he he. Depan belok kanan, Pak.”Alano mengikuti arahan Elina. Dia membelokkan kepala mobil ke arah kanan. Mereka tak ada yang bersuara, sehingga membuat Elina merasa greget sendiri. Perempuan cerewet yang biasanya suka bercerita, kini harus dibuat diam mengikuti kedataran Alano. Kedua bibir Elina berdenyut, ingin sekali bersuara.Perempuan itu melirik ke arah samping. Seakan terkesan mencuri pandang pria di sampingnya. Alano tak bersuara, dia terus melajukan mobil dengan ekspresi datar itu. Elina malah fokus pada tangan kekar Alano yang terekspos karena pria itu menggulung lengan kemajanya hingga sikut.“Boleh dipegang tidak, ya? Kekar sekali, sepertinya enak diajak buat gandengan, he he.” Elina terkekeh akibat kalimatnya di dalam hati.“Isi otakmu berkelana.”Elina t
“Hah, yang benar!”Elina meringis ketika suara pekikan seseorang di balik telepon membuat telinganya berdenging. Dia menggerutu menatap layar ponselnya. Suara itu masih berceloteh di seberang sana.“Elin, Eliin!”Elina menggulir bola matanya mendengar orang tersebut memanggil namanya. “Apa?” ketusnya malas.“Kau ini bagaimana, sih? Kenapa malah diam setelah bercerita. Sudah kau beritahu aku hal mengejutkan, sekarang kau malah menghilang,” gerutu Mei, teman kampus Elina.“Bisa tidak usah berteriak? Kupingku sakit karena suaramu,” ucap Elina malas.“Ya, namanya juga aku syok. Kamu yang membuat aku terkejut, sampai harus berteriak.”“Tidak usah lebai juga, berteriak biasa saja ‘kan bisa.”“Tidak bisa, bagiku tidak bisa. Bagiku, jika sedang terkejut, itu harus dinikmati. Berteriak seperti tadi adalah satu hal yang menggairahkan. Itu pertanda aku sedang menjiwai rasa terkejut tersebut. Itu menyenangkan, coba saja kalau kau tak percaya. Jika ki ....”“Sudahlah, aku ingin tidur. Memang lebih
“Itu dia.” Mei hampir berteriak menatap kedatangan Alano yang baru saja keluar mobil.“Kau ini, diamlah! Kita bisa malu,” gerutu Elina menatap Mei kesal.“Ya, ampun. Lihatlah wajah tampannya itu. Tidak kusangka, sekarang dia mengajar kelas kita juga. Kau lihat, rambut abu-abunya itu menggoda sekali. Rasanya ingin memainkan rambut itu. Astaga, mau kupegang rasanya.”Elina mendengkus mendengar celotehan temannya. Dia memang juga menikmati ketampanan wajah dosen muda itu. Namun, Elina memilih menahan kalimat-kalimatnya di dalam hati. Sebab Elina sejujurnya lebih tak terkendali dibandingkan Mei. Elina jika sudah tak terkendali, dia bahkan bisa berani mendekat ke arah Alano tanpa sadar. Nanti ujung-ujungnya malu sendiri.“Elin, kemarin kau pulang pakai mobil itu?” tanya Mei kepada Elina yang langsung mengangguk.“Benar, mobilnya sejuk. Berada di sampingnya lebih sejuk, ah, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.”“Apa aku bisa nanti diajak pulang juga, ya? Apa aku harus mempraktekkan seper
“Enggh ....”“Kamu udah bangun?” Mei langsung bergerak dan mendekat ke arah Elina nan sedang terbaring di atas ranjang ruangan kesehatan kampus.Perlahan kedua mata Elina mulai terbuka. Dia menatap sekitar dan menangkap wajah Mei, sang sahabat. Mei sendiri berdiri tepat di samping ranjang memperhatikan wajah Elina nan baru siuman.“Lo udah sadar betulan ini? Minum dulu, deh, ini.” Mei memberikan sebotol air mineral kepada Elina nan masih diam.Elina dengan patuhnya meneguk air mineral tersebut. Dia kembali memperhatikan sekitar dengan wajah polosnya. Perlahan Elina memberikan botol air mineral itu kepada Mei.“Apa kita di kampus?” tanya Elina kepada Mei.“Iya, kau lupa kejadian beberapa menit lalu?”Kening Elina berkerut mendengar pertanyaan Mei. “Kejadian?”“Astaga, apa kau benar-benar melupakannya?” gerutu Mei menatap Elina gemas.Elina diam, dia nampak mengingat sesuatu. “Emm, aku tak ingat. Tapi ... asal kau tahu, tadi aku mimpi sesuatu yang sangat mengejutkan.”Kedua alis Mei ber
Elina menatap Mei yang sedang tertawa di luar sana sambil mengangkat tangannya seakan memberi Elina semangat. Detik berikutnya Elina menoleh ke samping ketika mendengar suara pintu mobil. Alano sudah masuk dan dia semakin merasa kaku. Elina kembali menatap Mei di luar sana, sang sahabat nampak tertawa melihat ekspresi kaku serta wajah pucat Elina.“Apa kau tak bisa memasang seatbelt? Atau selama ini pengawalmu yang memasangkannya?”Suara berat Alano mengejutkan Elina. Perempuan itu menoleh dan menatap Alano yang sedang menatapnya. Elina menunduk, dia memang belum memasang seatbeltnya. Itu bukan karena tak bisa, tetapi karena tak sadar saking kakunya berada di dalam mobil itu.“Saya bisa, Pak. Saya lupa.” Elina menarik tali seatbelt tersebut dan mencoba memasangnya.Alano terus memperhatikan pergerakan Elina dengan ekspresi datar itu. Merasa diperhatikan seperti itu, Elina malah semakin tak tenang. Tiba-tiba saja tenaganya tak ada untuk menarik tali seatbelt tersebut. Elina terus berus
“Makan yang banyak, kamu tadi malam juga tidak makan, ‘kan? Banyak-banyak lauknya, ini, kamu suka ini.” Lavira memberikan sepotong ikan bakar kepada Elina. Elina terkekeh menatap Lavira yang begitu perhatian. “Makasih, Ma. Mama juga makan yang banyak, biar nanti kita sama-sama bulet, hehe.” Lavira ikut tertawa mendengar kalimat menantunya. Dia tak menyangka jika gadis kecil yang bertahun-tahun dia cari, akhirnya sekarang berada di depannya. Meski Elina belum mengingat siapa Alano dan keluarga, setidaknya sekarang Elina sudah menjadi istri Alano. Hal itu membuat Lavira merasa lebih tenang, dia juga tak menuntut Elina untuk mengingat dirinya. Seperti ini saja sudah membuat Lavira merasa senang. Sett ... Elina terkejut ketika tiba-tiba Alano memberikan secentong sayur brokoli di atas nasinya. Elina menoleh dan menatap Alano dengan wajah polos. Alano sendiri nampak santai, terus menyuap makanannya dengan ekspresi datar seperti biasa. Lavira tersenyum menatap itu, dia merasa senang keti
“Ini masuknya ke mana?”“Aku juga tidak tahu.”“Makanya lebih tarik, lebarkan sedikit lagi.”“Sudah tidak bisa ini, Mas.”Lavira dan Avram saling tatap tepat di depan pintu kamar Alano. Kamar yang mulai hari itu akan dihuni pula oleh Elina. Setelah tadi sepasang pengantin baru itu meminta izin untuk ke kamar lebih dulu. Lavira ingin menyusul dan mengantarkan makanan untuk Elina, sebab setahunya Elina belum makan malam.Namun, siapa sangka niat mereka malah mendapatkan perkata-perkataan demikian. Lavira tersenyum, dia berfikir hal yang diinginkannya. Kegiatan malam pertama para pengantin baru pada umumnya. Avram pun menatap senyum sang istri, dia terkekeh kecil.“Mereka akan kasih kita cucu ‘kan, Pa?” tanya Lavira cukup terdengarn polos.Avram kembali terkekeh geli. “Biarkan saja mereka, ayo kita kembali ke bawah. Kamu juga harus segera tidur, ini sudah larut.”“Iya, tapi ... Elin belum makan, Pa.”“Nanti kalau mereka sudah selesai, mungkin akan terasa lapar. Alan bisa bantu Elin ambil
Sepasang insan sekarang sedang duduk di tepian ranjang sambil saling lirik. Mereka adalah sepasang pengantin baru yang baru saja sah setelah acara ijab qabul beberapa jam lalu. Alano dan Elina, mereka duduk dengan sudut mata sama-sama melirik satu sama lain.Alano pun menghela napas pelan. Dia nampaknya cukup bingung harus melakukan apa setelah ini. Lavira dan Avram tadi sempat menggoda dirinya. Alano si kaku, dia tak pernah memiliki kekasih. Dia tak tahu cara berhubungan dengan perempuan, tetapi dia adalah pria normal dan tak sepolos Avram dulu. Alano sudah dewasa, sehingga dia tahu kegiatan apa biasa dilakukan sepasang pengantin baru.Hanya saja, masalahnya sekarang adalah mereka pribadi. Alano dan Elina terbilang menikah tanpa ada kata cinta. Mereka hanya saling merasa nyaman satu sama lain untuk saat ini. Elina pun tertarik kepada Alano karena ketampanan pria itu, dan tentunya merasa nyaman. Elina sejujurnya tak paham dengan perasaannya sendiri, setiap kali melihat dan berdekatan
Elina menatap ke samping, di mana kedua orang tuanya berada. Dia tak menyangka jika dirinya benar-benar akan segera menikah dengan Alano. Kemarin-kemarin dia masih berpikir jika Alano hanya bercanda. Sampai akhirnya satu minggu kemudian kedua orang tua Elina datang ke Indonesia dan mengatakan jika mereka senang tahu Elina akan menikah dengan Alano.Elina meminta pernikahan ini tak usah ada pesta sebelum dirinya wisuda. Sebab dia tak ingin diserbu oleh para fans Alano selama di kampus. Hal itu akhirnya dituruti oleh Alano. Akhirnya mereka hanya akan mengadakan ijab qabul saja dulu, sebelum nanti mengadakan pesta mewah setelah Elina benar-benar wisuda.“Kami keluar dulu, Sayang. Nanti akan Mama jemput kalau sudah selesai.”“Iya, Ma,” sahut Elina sambil menarik napas.Cklek ...“Astaga, sahabatkuu ini. Kau menikungkuu!”Elina terkejut ketika tiba-tiba Mei masuk ke dalam ruangan tempatnya menunggu, Mei berteriak. Hari ijab qabul yang begitu tiba-tiba. Tak hanya mengejutkan Elina, tentu sa
Elina menatap Lavira yang terlihat begitu antusias memperlihatkan berbagai macam bentuk mode gedung pernikahan. Perempuan itu masih tak paham dengan keadaan tiba-tiba ini. Baru tadi Alano mengatakan dia akan mengurus pernikaha, pria itu sudah memberitahu Lavira dan Avram. Sekarang Lavira nampak sangat semangat memperlihatkan berbagai macam dekorasi gedung pernikahan.“Kamu suka yang ini? Ini cantik juga, astaga, jadi bingung,” celoteh Lavira.“M-maaf, Tante. Ini beneran bakalan nikah?”Lavira menoleh dan menatap Elina yang nampak sangat bingung. Perempuan itu terkekeh, dia melirik Alano di samping Avram. Dua pria itu juga berada di sana, mereka duduk tak jauh dari tempat Lavira serta Elina berada. Kini mereka berempat sedang berada di sofa ruangan keluarga mansion Dakasa, setelah tadi Elina sudah sempat diajak makan malam oleh Alano.“Kamu tidak bilang lebih jelas sama, Elin, No? Dia kebingungan loh, ini,” ucap Lavira kepada Alano.“Udah, Ma. Dia mau.”“Masa iya, terus kenapa dia nany
“Kata orang-orang, dia itu psikopat. Jadi dia suka bunuh orang, aku ngeri kalau nanti menikah dengannya ... pas aku lagi tidur, malah dicekik dan mati.”Alano menatap Elina yang melanjutkan kalimatnya. Dia berdeham sambil tertawa kecil mendengar kalimat takut Elina. “Kalau memang begitu, seharusnya kau sedari tadi sudah aku cekik dan mati,” cetus Alano santai.Kalimat Alano itu membuat Elina terdiam. Perempuan itu kembali menggeliat pelan, sampai kelopak matanya bergerak pelan pula. Kening Elina berkerut ketika dia berniat membuka mata. Dengan mata sedikit memicing, akhirnya kini dua bola mata itu terbuka. Elina menatap sekitar sambil menggeliat, sampai pergerakannya terhenti ketika melihat paha seseorang tepat di samping tubuhnya.Mengikuti paha tersebut, Elina mendongak sampai akhirnya kedua bola matanya menangkap wajah tampan seseorang. Saat dua pasang bola mata itu beradu pandang, tepat ketika itu pula Elina melotot. Dia melotot karena terkejut melihat wajah tampan Alano di saat d
“Kami senang, akhirnya sekarang bisa tenang melepas Elin di Indonesia. Kemarin kami risau, masalahnya Elin keras ingin berkuliah di Indonesia, padahal kami belum bisa kembali ke sana. Akhirnya kalian bertemu lagi, kami senang. Maaf karena tidak memberitahu lebih cepat, sebab kemampuan kami yang serba terbatas.”Suara seorang perempuan dewasa di layar ponsel milik Avram terdengar. Ada sepasang suami istri di sana sedang berbicara dengan Lavira. Mereka adalah kedua orang tua Elina. Sesuai kalimat Alano tadi, mereka akan menghubungi kedua orang tua Elina. Akhirnya setelah sekian lama, mereka kembali bisa berkomunikasi. Orang tua Elina meminta maaf karena tidak bisa memberitahukan keberaaan Elina nan masih selamat dari kejadian kebakaran kala itu.“Tidak masalah, Kak. Kami mengerti, bukan salah kalian juga. Kalian juga sudah berusaha menghubungi, kami senang sekarang bisa melihat Elin lagi. Dia masih sama, tumbuh semakin cantik, dan gadis polos nan cerewet,” terang Lavira dengan nada rama
Rasanya Alano tak terlalu lama beraktivitas di dalam kamar mandi. Namun, ketika dia keluar, Alano sudah menemukan Elina terbaring di atas tepian ranjangnya. Sebelah kaki perempuan itu terjuntai dengan kedua mata tertutup. Hembusan napas perempuan polos itu terlihat tenang dan teratur, itu pertanda jika dia sedang tidur.Hanya beberapa menit ditinggal mandi. Elina tertidur di atas ranjang Alano, mungkin sudah terlalu lelah. Biasanya perempuan itu akan tidur siang jika pulang dari kampus. Hari ini kegiatannya terasa padat, pergi ke mansion Alano dengan segera alasan untuk melarikan diri. Apalagi setelah semua rencana dan alasannya gagal, perempuan itu bercerita cukup lama dengan Lavira. Sampai akhirnya masuk ke dalam kamar Alano dan diajak jahil oleh si pemilik kamar.“Dia benar-benar masih sama, suka tidur sembarangan. Kalau bergerak sedikit, dia bisa jatuh.” Alano menatap tubuh Elina yang memang begitu mepet di tepian ranjang.Perlahan pria itu menarik pinggang Elina, kemudian mengang
Elina duduk kaku di tepian ranjang kamar Alano. Setelah tadi sempat berbincang sebentar dengan Lavira. Akhirnya kini Elina berada di kamar Alano. Pria itu katanya sedang menyelesaikan pekerjaan di ruangan kerjanya di mansion tersebut. Lavira malah menyuruh Elina menunggu Alano di dalam kamar pria itu.“Aduh, aku harus apa sekarang? Masa aku harus berbaring di sini? Kalau nanti Pak Alan marah bagaimana?”Meski Lavira yang menyuruh Elina untuk menunggu di dalam kamar tersebut. Tetap saja Elina merasa tak enak jika harus tidur di kamar seorang pria. Apalagi pria itu adalah dosennya sendiri. Pergerakan Elina bahkan cukup terbatas. Sejujurnya dia penasaran ingin melihat-lihat isi kamar Alano, tetapi dia takut jika nanti Alano keburu kembali ke dalam kamar.“Emm, itu apa?” Elina melihat sebuah lemari dan terfokus kepada sebuah kotak kecil tanpa penutup di dalam lemari tersebut.Elina melangkah mendekat ke arah lemari dengan wajah penasarannya. Dia memicingkan mata sambil meraih sebuah kotak