"Maaf, Nona?" tanya Chrisa tidak begitu mendengar jawaban dari nona mudanya. "Iya, kita langsung ke sana," jawab Emily. Chrisa mengangguk. Mereka segera kembali ke mobil, berniat langsung ke rumah paman Emily. "Nona, apa tidak sebaiknya Nona menelepon Tuan Muda untuk memberitahu beliau jika Nona Muda ingin menjenguk Paman Nona," ucap Chrisa sambil terus fokus ke jalanan di depannya. "Sepertinya tidak perlu, Kak. Lagi pula, aku di sana hanya sebentar."Chrisa diam dan masih menatap ke arah jalanan. Namun, dia kemudian mengambil ponselnya dan menekan satu buah tombol. Setelah itu, dia kembali fokus mengemudikan mobilnya. lima belas menit kemudian. Mobil yang di kendarai Chrisa bersama Emily sampai di sebuah pekarangan rumah yang tidak terlalu luas. Dia turun dari dalam mobil dan berjalan ke sisi di mana ada Emily. "Terima kasih, Kak," ucap Emily ketika Chrisa baru saja membukakan pintu untuk dirinya. "Sama-sama, Nona," jawab ChrisaEmily turun dari dalam mobil. Dia menatap rumah y
"Bagaimana kabar kamu, Emily?" tanya Gunawan ketika mereka tengah duduk di sofa ruang tamu. Walaupun Gunawan tahu sedikit tentang kabar Emily yang tersebar di kantor, tetapi Gunawan ingin dengar langsung dari Emily. Apa benar kabar yang dia dengar. "Aku baik-baik saja, Om," jawab Emily. "Apa Pak Axel memperlakukan kamu dengan baik? Om dengar waktu itu kamu tiba-tiba di bawa Pak Axel ketika sedang berada di kantor?""Ah, itu. Itu bukan hal baru, Om. Om Axel memang sering melakukan hal sesuka hatinya. Tapi ... dia baik kok, Om," jawab Emily sambil tersenyum pada Gunawan. Gunawan terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Emily, apa Om tidak salah dengar dengan sebutan kamu pada Pak Axel?" "Memangnya apa yang salah, Om?" tanya Emily tidak paham. "Kamu memanggil Pak Axel dengan sebutan Om?""Memangnya kenapa? Apa salah jika aku manggil Om Axel dengan sebutan 'Om'." Emily menatap wajah Gunawan yang terlihat sangat pucat. "Apa Pak Axel tidak marah?""Marah sih, Om. T
"Apa yang kamu lakukan Marcel?!" tegur seseorang dari arah belakang tubuh Marcel. Marcel berhenti. Dia kemudian berbalik dan menatap orang yang menegur dia tadi. Sama halnya dengan Emily, dia saat ini juga tengah menatap orang itu. Marcel tersenyum pada orang yang tengah berjalan mendekat ke arah dirinya dan Emily. "Bukan apa-apa, Pa. Aku hanya lagi kangen saja sama Emily. Mentang-mentang sekarang sudah menjadi menantu dan istri dari orang kaya, dia tidak pernah mau datang ke rumah kita lagi," ucap Marcel sambil menoleh ke arah Emily dan menatap Emily dengan tatapan yang sungguh sangat-sangat menyebalkan. "Cuih! Dia pandai sekali berakting. Seharusnya dia menjadi aktor saja, supaya bisa menyalurkan kelakuannya itu," ucap Emily di dalam hati. "Bukannya Emily tidak mau bermain ke rumah kita, Marcel. Emily hanya mulai sibuk dengan kuliahnya. Kuliah dia 'kan sudah mau masuk semester tiga, jadi dia pasti sibuk," ucap Gunawan membela Emily. Gunawan menghentikan langkahnya tepat di depan
Alice menatap Axel dengan tatapan kagum. Dia langsung berdiri dari duduknya. "Perkenalkan, saya Alice. Saya tante Alice," ucap Alice memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya pada Axel. Axel menatap tangan Alice yang terulur kepadanya sekilas. Namun, Axel tidak peduli, dia langsung beralih menatap Emily lagi. "Apa kamu akan membiarkan aku tetap berdiri terus, Emily?" Emily mengerjapkan kedua matanya beberapa kali dan segera bangun. "Ayo duduk, Om," ucap Emily. "Sudahlah aku sudah tidak ingin duduk. Lebih baik sekarang kamu tunjukan kamar kamu di mana, aku lelah."Emily melebarkab kedua bola matanya. Apa dia tidak salah dengar? Emily beralih menatap Chrisa yang sudah berada beberapa langkah di belakang Axel, ada Maxime juga di sana. "Apa kamu tidak mendengarku, Emily?" Axel kembali bersuara. Namun, kali ini suaranya terdengar lebih dingin dari tadi. Emily tersadar dari lamunannya. Dia menatap Axel. "Ah, iya. Ayo, Om." Emily berjalan lebih dulu, menunjukan jalan menuju ke kam
Napas Emily memburu ketika sudah menutup pintu kamarnya. Jujur saja, Emily masih takut berhadapan dengan Marcel tetapi dia tidak boleh seperti itu terus. Emily harus melawan rasa takutnya pada Marcel jika tidak maka Marcel akan semakin menjadi dan melakukan hal seenaknya pada dirinya. Emily tidak mau jika kejadian beberapa bulan lalu terjadi lagi kepadanya. Sudah cukup dia mengalami semua itu. Sementara itu, Axel yang sedari tadi tengah memperhatikan setiap sudut kamar Emily belum menyadari apa yang terjadi pada Emily. Dia baru menyadari ketika dia berbalik dan melihat Emily yang sedang menyandarkan punggungnya di daun pintu kamar dengan napas yang tidak beraturan. "Kamu kenapa?" tanya Axel sambil berjalan mendekat ke arah Emily. "Ti-tidak apa-apa," jawab Emily sambil menggelengkan kepalanya. Axel menatap Emily dengan tajam. "Katakan apa yang terjadi?""Tidak ada," jawab Emily. "Kau kamu tidak mau mengatakan apa yang terjadi jangan salahkan aku jika aku mencari tahu sendiri," ucap
Alice tersenyum dengan lebarnya ketika melihat Axel yang membuka pintu kamar Emily. Namun, senyumnya pudar ketika mendengar suara Emily yang berada di belakang Axel. "Siapa, Om?" Tidak lama Emily muncul dari balik tubuh Axel. "Tante?" ucap Emily sambil menatap Alice dengan tatapan terkejut, terkejut dengan penampilan Alice yang sungguh tidak seperti biasanya. Saat ini, Alice tengah memakai baju tidur dengan model yang sangat terbuka berbeda sekali dengan baju tidur yang biasanya Alice gunakan dulu ketika Emily masih tinggal di sana. Apa sekarang tantenya itu suka memakai baju seperti itu? Entahlah, Emily juga tidak tahu. "Ada apa, Tan?" tanya Emily ketika melihat Alice yang masih diam tetapi tatapan matanya tidak beralih dari Axel. "Tan?" Emily mengibaskan telapak tangannya tepat di depan wajah Alice. Alice tersadar. Dia dengan segera beralih menatap Emily. "Maaf kalau udah ganggu waktu kalian. Tante ke sini, cuma mau manggil kamu sama suami kamu itu untuk makan malam. Ini sudah w
"Bagaimana kuliah kamu, Emily? Apa semuanya lancar?" tanya Gunawan saat sedang makan malam. Emily yang tengah mengunyah makanan di dalam mulutnya menelan makanan itu lalu menatap Gunawan. "Semuanya lancar, Om. Jika tidak ada kendala satu bulan lagi aku naik semester tiga," jawab Emily. Gunawan menganggukan kepalanya. Dia beralih ke arah Marcel. "Kamu liat, Marcel. Emily bahkan sudah mau naik semester tiga, lalu kamu bagaimana? Kapan kamu akan sidang?"Marcel yang sedang makan langsung menaruh sendok dan garpunya di atas piring dengan keras. "Aku ini bukan Emily, Pa. Jadi jangan samakan aku dengan dia!" ucap Marcel sambil menatap Emily dengan tatapan tidak suka. "Siapa juga yang menyamakan kamu dengan Emily, Marcel. Papa hanya ingin kamu mencontoh Emily yang selalu fokus dengan apa yang dia kerjakan. Tidak malah selalu bermain-main dengan teman kuliah apalagi selalu pergi dengan perempuan yang tidak jelas seperti teman-teman cewek kamu itu.""Pa, aku pergi dengan teman-teman perempua
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Axel ketika melihat Emily masih berdiri di depan pintu kamarnya. Dia meletakkan tab miliknya dan menghampiri Emily. Emily menoleh ke arah Axel. "Aku hanya memikirkan Om Gunawan saja," jawab Emily. "Kalau kamu khawatir, kenapa kamu tidak menghampiri Om kamu saja?"Emily diam tidak langsung menjawab pertanyaan dari Axel. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di pinggiran tempat tidur. "Aku tidak mau membuat Tante Alice marah dan membuat Om Gunawan jadi pelampiasan kemarahan Tante Alice," jawab Emily sambil menundukkan kepalanya, menatap jari-jari tangannya. "Kenapa Tante kamu seperti sangat membenci kamu?" "Entahlah, aku juga tidak tahu, Om. Awal bertemu keluarga Tantenya ketika Mama dan Papa meninggal karena kecelakaan, sebelumnya aku sama sekali tidak tahu jika Mama memiliki seorang adik."Emily menatap langit-langit kamarnya. "Awalnya aku kira Tante Alice itu baik, tetapi setelah kejadian itu Tante Alice berubah total. Dia suka marah dan meme
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la