Axel keluar dari ruang kerja Tuan Del Piero dengan wajah merah padam. Dia sungguh tidak habis pikir dengan Opa-nya itu.
Waktu itu, Opa-nya meminta dia untuk segera menikah. Setelah dia menikah, sekarang Opa-nya meminta dia untuk segera memberi Opa-nya cucu.Sungguh ... Axel menyesal sudah kembali ke Indonesia jika seperti ini. Seharusnya, dia tinggal di Meksiko saja. Mengurus semua bisnis yang ada di sana, tanpa ada orang yang mengganggu dirinya."Ada apa, Tuan Muda?" tanya Maxime ketika masuk ke dalam ruang kerja milik Axel dan melihat raut wajah Axel yang sudah merah padam."Opa mulai berulah lagi!" jawab Axel sambil menyandarkan kepalanya di sandaran kursi kerjanya dengan mata tertutup.Maxime menautkan alisnya. "Maksud, Tuan Muda?"Axel menghela napas kasar. "Opa meminta cucu.""Ukhuk! Ukhuk! Ukhuk!" Maxime terbatuk ketika mendengar apa yang diucapkan bosnya.Axel langsung membuka matanya dan menatap Maxime kesal. "Ukhuk! M-maaf, Tuan Muda," ucap Maxime sambil menunduk.Axel mendengkus. Setelah itu, dia memijat kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing. Axel sangat pusing dengan permintaan Opa-nya. Bahkan pusingnya saat ini melebihi pusingnya ketika dia harus menangani masalah bisnis."Apa kamu ada solusi agar aku cepat punya anak?"Maxime menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Solusinya hanya satu, Tuan Muda.""Apa?" tanya Axel sambil menatap Maxime."Ekhem." Maxime berdeham untuk menetralkan suaranya. "Anda harus tidur dengan Nona Muda dan membuat dia hamil, Tuan Muda."Axel menyugar rambutnya. "Bagaimana aku bisa tidur dengan dia, sementara aku ...." Axel tidak melanjutkan kalimatnya."Sudahlah Maxime, lebih baik sekarang kamu pergi. Aku ingin istirahat," ucap Axel mengalihkan pembicaraan."Baik, Tuan Muda," jawab Maxime yang kemudian langsung pergi dari ruangan bosnya itu.***Emily keluar dari ruang kerja Tuan Del Piero dengan wajah muram. Di tangannya ada sebuah paper bag yang di dalamnya ada sebuah baju pemberian Tuan Del Piero.Emily masuk ke dalam kamarnya dan kamar Axel. Dia mengembuskan napas panjang sambil menaruh paper bag itu di atas tempat tidur. Setelah itu, Emily mengambil baju yang ada di dalam paper bag."Astaghfirullah hal'adzim, baju apaan ini?" tanya Emily pada dirinya sendiri ketika melihat baju yang ada di tangannya sangat tipis dan kekurangan bahan itu."Ini sih baju renang anak SD, tapi untuk berenang saja ini tidak pantas," gumam Emily sambil membolak-balikan baju pemberian Tuan Del Piero."Sebenarnya apa tujuan Opa memberikan baju seperti ini sama aku?" tanya Emily sambil terus menatap baju itu dan memikirkan kata-kata Tuan Del Piero tadi yang mengatakan jika Axel akan menyukai baju itu. "Kok aku ragu ya?""Sudahlah, lebih baik aku simpan saja baju ini. Aku tidak mau memakai baju seperti ini. Dan lagi, jika sampai Om Axel melihat ini. Dia pasti akan mengira jika aku ingin menggoda dia."Emily menyimpan baju itu. Setelah itu, dia masuk ke dalam kamar mandi dan membiarkan kamarnya tidak terkunci.Sementara Axel yang sangat frustasi memikirkan permintaan Opa-nya, memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Dia ingin membicarakan sesuatu dengan gadis yang saat ini sudah sah menjadi istrinya.Ceklek ...Axel membuka pintu kamarnya dan berjalan masuk. Dia menoleh ke penjuru kamar dan tidak menemukan gadis kecil yang sudah sah menjadi istrinya."Ke mana dia?" tanya Axel pada dirinya sendiri. Namun, pertanyaannya terjawab ketika dia mendengar suara gemericik air di dalam kamar mandi.Lelaki berumur tiga puluh delapan tahun itu bisa menebak jika Emily sedang mandi. Dia kemudian menduduk dirinya di sofa sambil menyibukkan diri dengan benda pipih di tangannya. Akan tetapi, aktifitasnya terganggu ketika dia merasakan dirinya telah menduduki sesuatu.Dengan cepat Axel berdiri dan menatap benda yang tadi dia duduki. "Apa ini?" tanya Axel pada dirinya sendiri sambil menatap benda itu dengan seksama.Hingga beberapa detik kemudian, kedua mata Axel melotot ketika mengingat benda apa itu. "Kenapa dia ceroboh sekali menaruh benda seperti ini di sini!" ucap Axel kesal.Setelah itu, Axel berjalan menuju tempat tidur dan memutuskan untuk duduk di sana. Menyibukkan dirinya kembali dengan ponsel di tangannya. Menatap setiap laporan yang dikirim oleh orang kepercayaannya di Meksiko.Ceklek ...Pintu kamar mandi terbuka. Emily yang belum menyadari keberadaan Axel di dalam kamar berjalan dengan santai, hanya dengan handuk yang ia lilitkan di tubuhnya. Dia berjalan menuju sofa, di mana dia menaruh bajunya tadi.Sebenarnya Emily biasa membawa bajunya ke dalam kamar mandi. Akan tetapi, karena tadi banyak yang dia pikirkan, dia menjadi lupa dan meninggalkan baju gantinya di atas sofa.Emily baru saja akan memakai dalamannya. Namun, tindakannya terhenti ketika dia mendengar suara dehaman seseorang.Ekhem ...Dengan takut, Emily menoleh ke sumber suara dan melihat siapa yang ada di sana. Ya, walaupun Emily bisa menembak siapa orang yang ada di belakangnya. Akan tetapi, dia tetap memastikannya.Kedua mata Emily melebar ketika melihat siapa yang sedang duduk di atas tempat tidur.Gluk!Emily menelan salivanya dengan kasar. Dia sangat takut dengan keberadaan Axel di sana. Apalagi, saat ini Emily hanya memakai handuk.Sementara Axel segera menyimpan ponselnya ketika Emily sudah keluar dari dalam kamar mandi. Dia beranjak dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Emily.Emily semakin takut. Detak jantungnya mulai berdetak tidak karuan ketika Axel semakin dekat dengannya."Apa kamu sengaja melakukan ini?" tanya Axel dengan raut wajah dan nada bicara yang sangat dingin."Maksudnya?" tanya Emily tidak paham.Axel menatap Emily dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Sudah tahu maksud saya?"Emily menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil mengangguk. "Aku tidak bermaksud serpeti ini, Om," jawab Emily dengan suara tercekat.Axel mendengkus mendengar panggilan Emily untuk dirinya. Dia menatap tajam Emily. Setelah itu, dia berbalik dan berkata, "cepat pakai baju kamu, ada hal yang harus kita bicarakan!""Ba-baik, Om."Dengan cepat Emily memakai baju tepat di belakang Axel. Ingin rasanya dia masuk ke dalam kamar mandi tetapi dia tidak ingin Axel marah kepada dia. "Saya sudah selesai, Om."Axel berbalik dan menatap Emily dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia mengambil sebuah kertas yang ada di saku kemejanya. Setelah itu, dia memberikan kertas itu kepada Emily dan setelahnya dia duduk di sofa sambil mengangkat satu kakinya dan menaruh kakinya di atas kaki yang lain."Maksud Om apa?" tanya Emily tidak paham ketika melihat kertas di tangannya."Itu surat perjanjian."Emily menautkan alisnya. "Sesuai apa yang tertulis di kertas itu. Pernikahan kita akan berjalan sampai kamu memberikan saya seorang anak. Jika nanti kamu sudah memberikan saya seorang anak, maka saya akan membebaskan kamu dari pernikahan ini. Saya juga akan memberikan sepertiga harta kekayaan saya untuk kamu dengan catatan kamu harus melahirkan anak laki-laki.""Tetapi perlu kamu ketahui, jika saya tidak mudah berhubungan dengan sembarang wanita. Jika kamu ingin saya menyentuh kamu, maka kamu harus membuat saya tergoda dengan kamu," ucap Axel sambil menatap tubuh Emily dengan tatapan mencemooh.Hati Emily sangat sakit ketika mendengar ucapan Axel. Apalagi dengan tatapan Axel, dia seakan sedang direndahkan secara tidak langsung oleh Axel. "Seberapa banyak apapun, Tuan memberi saya uang, saya tidak akan menerimanya. Saya melakukan semua ini hanya demi Opa.""Cih!" Axel berdecih. Setelah itu, dia langsung pergi keluar dari kamar entah akan ke mana.Emily menatap pintu kamar yang sudah tertutup rapat. "Aku berjanji demi Opa, aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku."Beberapa jam yang lalu ketika di ruang kerja Tuan Del Piero. "Bantu Opa agar Axel segera menyentuh kamu dan memberikan Opa penerus." Emily melebarkan kedua matanya. "I-itu tidak mungkin Opa," ucap Emily sambil menundukkan wajahnya. "Tidak mungkin kenapa? Opa yakin kamu bisa, Emily. Opa mohon sama kamu tolong penuhi permintaan Opa. Dan Opa mohon tolong buat Axel jatuh cinta sama kamu juga." Emily menatap Tuan Del Piero sejenak. Setelah itu, dia menundukkan kepalanya. "Aku tidak yakin apa aku bisa melakukan itu, Opa. Bahkan sepertinya Om Axel tidak menyukai aku." Tuan Del Piero tersenyum tipis mendengar panggilan Emily ke cucunya. Namun, tidak lama wajahnya kembali biasa. Dia mengenggam tangan Emily dengan erat. "Opa yakin kamu bisa, Sayang. Sekeras-kerasnya batu, pasti bisa hancur juga dengan tetesan air yang terus menerus jatuh di atas batu itu." Emily mengembuskan napasnya dengan berat ketika mengingat permintaan Tuan Del Piero. Apalagi saat ini di tangannya ada sebuah kertas, k
Axel menyeringai. Dia berdiri dan berjalan mendekat ke arah Emily. Setelah itu, dia menatap Emily yang ada di hadapannya dan mendekatkan wajahnya pada wajah Emily. Dengan reflek Emily menutup matanya, dia juga menahan napasnya ketika wajah Axel semakin dekat dan hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Dapat Emily rasakan deru napas Axel menerpa kulit wajahnya. Gluk ... Emily menelan salivanya dengan susah. Seringaian kembali muncul di bibir Axel ketika melihat Emily menutup matanya. Dia mengelus lengan bagian atas Emily hingga bawah dengan jari telunjuknya. "Aku tahu, kamu pasti akan menyetujui perjanjian itu. Karena perjanjian itu sangat menguntungkan untuk kamu," ucap Axel dengan suara sensual. "Tapi maaf, aku tidak bernapsu dengan kamu," ucap Axel yang kemudian langsung menjauhkan dirinya dari Emily. Mendengar kalimat Axel membuat Emily langsung membuka matanya lebar-lebar. Dia menatap Axel yang berjalan masuk ke dalam kamar mandi dengan tatapan kesal. "Hih, nyebelin ban
Ceklek ... Axel yang sedang bingung kenapa dirinya bisa baru bangun tidur langsung mengalihkan pandangannya ke arah suara pintu kamar mandi yang terbuka. Dia bisa melihat Emily yang keluar dari dalam kamar mandi dengan pakaian yang sudah rapi. Axel penasaran ke mana Emily akan pergi tetapi dia tidak menanyakannya pada Emily dan memilih untuk diam dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. BLAM! Emily menoleh ke arah pintu kamar mandi yang sudah tertutup. Namun, dia langsung mengedikkan bahunya tidak peduli dan memilih melanjutkan menyisir rambutnya dan segera bersiap-siap karena sebentar lagi waktunya Tuan Del Piero sarapan. Axel yang sudah selesai keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk di pinggangnya. Dia menatap Emily yang sudah siap dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah itu, dia berjalan ke arah tempat tidur, dia menggeram kesal ketika tidak melihat baju di atas tempat tidur. "Di mana bajuku?" tanya Axel dengan nada kesal. Emily yang sedang merapikan berkas-berkasnya
Emily berjalan cukup cepat ke ruang tengah bersama Chrisa. Saat ini dia sudah hampir telat untuk pergi ke kampus. Ini semua gara-gara Chrisa yang terus saja bertanya ini itu kepada dirinya tadi. Seharusnya Emily tidak susah bercerita pada Chrisa, tetapi jika bukan pada dia lalu pada siapa Emily bercerita? Karena saat ini Emily tidak memiliki siapa-siapa. "Wah ... wah ... wah ... lihat Nona Muda kita, semakin hari semakin cantik saja."Emily yang sedang berjalan terkejut dengan kehadiran seorang pria cukup tampan, tinggi, dan bersetelan kantor sedang berdiri menghadang langkahnya dan menatap Emily dengan tatapan mesumnya. Dengan refleks Emily langsung mundur beberapa langkah menghindari pria itu. "Maaf, Tuan Muda Alfa. Sebaiknya Anda menyingkir, Nona Muda harus segera pergi ke kampus karena dia sudah telat," ucap Chrisa pada pria itu yang tidak lain adalah Alfa. "Siapa kamu, berani-bedaninya mengatur saya? Ingat! Kamu itu cuma pembantu di sini! Jadi jangan syok!" ucap Alfa sambil me
Axel menatap Maxime dengan tatapan datar. Setelah itu, dia tersenyum miring. "Apa kamu menyukai dia?" Mendengar pertanyaan dari Axel, membuat Maxime terkejut. Dia langsung mengangkat wajahnya dan menatap tuan mudanya itu. "Saya tidak mungkin menyukai Nona Muda, Tuan Muda. Saya melakukan itu karena Nona Muda memang pantas mendapatkannya. Bagaimanapun juga, Nona Muda adalah istri Anda. Jadi, sudah sepantasnya saya melayani istri Anda itu."Axel menatap Maxime dengan seksama, melihat apa asistennya itu mengatakan hal sebenarnya atau sedang berbohong. Namun, setelah dilihat-lihat sepertinya Maxime mengatakan hal sejujurnya."Jadi ... apa para klien dari Singapura sudah datang?" tanya Axel tidak mau membahas hal yang menurut dia tidak penting. "Belum, Tuan Muda. Tapi, tadi mereka memberi kabar jika saat ini mereka sedang dalam perjalanan kemari."Axel mengangguk. "Kalau begitu kamu boleh kembali ke ruanganmu."Maxime hanya diam. "Apa kamu tidak mendengarku, Maxime?" tanya Axel dengan sua
Emily menatap pria yang berdiri di sebelah mejanya. "Aku nggak apa-apa," jawab Emily sambil menundukkan kepalanya kembali. Pria itu tersenyum, dia kemudian langsung duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Angel dan Sherly. "Kamu kenapa sih, Emily? Perasaan, satu bulan ini kamu menghindar dari aku terus?" tanya pria itu sambil terus menatap Emily. Emily hanya diam tidak menghiraukan pria di depannya. Hal itu, membuat pria itu mengepalkan telapak tangannya. Setelah itu, dia menarik buku yang sedang dibaca oleh Emily. "Kamu apa-apaan sih, Raihan?" Emily menatap pria di depannya dengan tatapan kesal. "Kamu yang apa-apaan! Kenapa setiap aku ajak bicara selalu seperti itu? Apa kamu tahu sikap kamu itu membuat hati aku sakit, Mily!"Emily menghela napasnya. "Aku udah bilang, Rai. Tolong jauhi aku, aku ini sudah bersuami, jadi tolong jangan ganggu aku lagi."Raihan menatap Emily dengan tatapan sedih. "Kenapa, Mily? Kenapa kamu malah menikah dengan pria yang bahkan memiliki skandal jika pr
Maxime baru saja akan membuka berkas yang baru saja diberikan oleh manager personalia. Dia ingin mengecek data-data para calon karyawan yang mendaftarkan diri untuk bekerja di sana. Akan tetapi, tidak jadi karena telepon yang ada di sebelah kanannya berbunyi. Dengan segera, Maxime mengambil telepon itu untuk mengangkat telepon yang tidak lain dari Axel. "Saya, Tuan Muda.""Siapkan mobil sekarang!""Un—""Tut ... Tut ... Tut ..."Maxime mendengkus. "Tuan Muda Axel mah kebiasaan," ucap Maxime sambil menaruh telepon ke tempat semula."Tapi ngomong-ngomong mobil untuk apa ya? Bukannya tidak ada jadwal keluar? Atau jangan-jangan ada hal darurat?" ucap Maxime bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tidak ingin membuat Axel menunggu lebih lama, dengan segera Maxime menghubungi salah satu security untuk menyiapkan mobil untuk Axel. Setelah itu, dia baru beranjak dari tempat duduknya untuk menuju ruangan Axel. ***Sementara di ruangan Axel. Saat ini Axel tengah mengepalkan telapak tangannya d
Axel keluar dari dalam mobil, setelah Maxime membukakan pintu mobilnya. Dia menatap ke kampus Emily kuliah. "Sekarang dia ada di mana?" tanya Axel to the point. "Siapa, Tuan Muda?" tanya Maxime tidak paham. Axel menoleh menatap asisten pribadinya itu dengan tatapan tajam. "Siapa lagi kalau bukan gadis kecil itu!" geram Axel. "Ah, Nona Muda?""Menurut dari laporan Chrisa, saat ini Nona Muda Emily sudah keluar dari kelas dan mungkin Nona Muda saat ini sedang berada di kantin, Tuan Muda," jawab Maxime. "Tunjukan jalannya!" perintah Axel. "Baik, Tuan Muda." Maxime langsung berjalan lebih dahulu, menunjukkan jalan pada Axel. Sedangkan Axel, dia berjalan mengikuti Maxime tanpa peduli dengan jeritan para mahasiswi yang mengagumi dirinya. ***Sementara di kantin. Raihan terus menatap Chrisa yang berada di depan Emily. Dia sangat kesal dengan perempuan yang ada di hadapannya itu, kesal karena gara-gara perempuan itu, tangan Emily jadi terlepas. "Menyingkir kamu dari hadapan Emily!" ucap
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la