"Tuan Eric." Eric menoleh ketika mendengar suara wanita yang begitu dia kenal. Lelaki itu menyimpitkan matanya. Dia menatap Alena dari ujung kaki sampai ujung rambut. Sudah lebih dari sepuluh tahun mereka tidak bertemu sejak malam panas tersebut. "Apa yang kau lakukan di sini, Alena?" tanya Eric dingin. Wanita ini yang telah menghancurkan kehidupan rumah tangganya. Wanita ini yang telah membuat dia kehilangan segala-galanya. "Tidak perlu dingin begitu, Tuan Eric. Aku yakin kau merindukan aku, 'kan?" Tanpa permisi wanita itu duduk di pangkuan Eric. Tak ada cara lain hanya pria ini yang bisa membuat dia kembali pada Bastian. "Jaga sikapmu, Alena!" hardik Eric hendak mendorong tubuh Alena agar turun dari atasnya. Secepat kilat Alena memeluk leher Eric dengan agresif. "Eric!" Wanita itu memainkan jarinya di dada bidang pria yang dia duduki tersebut. "Apa kau tahu bagaimana nasib anak kita?" ujar Alena seraya melepaskan kancing kemeja atas lelaki itu. Walau Eric sudah berusia dan
Bee mengeliat di balik selimut tebalnya. Dia membuka mata perlahan lalu duduk di atas ranjang. Wanita itu menoleh ke arah samping. Tidak ada suaminya. Mungkin Bastian sudah berangkat kerja. "Kenapa aku bisa kesiangan?" gumamnya menyimak selimut tebal tersebut. "Pagi."Bee terkejut ketika melihat sang suami masuk ke dalam kamarnya seraya membawa nampan berisi sarapan pagi dan segelas susu segar. Wanita itu mengucek matanya berulang kali untuk memastikan apakah dia salah lihat? Atau sedang bermimpi. Bastian meletakkan nampan di atas nakas. Lalu dia berjongkok dan menatap istrinya yang duduk di bibir ranjang. "Ayo cuci muka dulu, kita sarapan!" ucap Bastian. "Sarapan?" ulang Bee. "Bukan! Tapi makan pagi," ketus Bastian memutar bola matanya malas. Jangan sampai niatnya ingin romantis malah di buat kesal oleh wanita hamil itu. "Ayo." Bastian mengulurkan tangannya. "Tunggu sebentar, Tuan Suami," ucap Aluna. "Mau apa?" Kening Bastian mengerut heran. Bee menempelkan punggung tangann
"Kak, kenapa pelan sekali jalan mobilnya?" tanya Bee. Bagaimana tidak, mobil tersebut jalannya sangat pelan bahkan seperti tak berjalan. Padahal perjalanan antara vila dan kota cukup jauh. Kalau sepelan ini kapan sampainya? "Sebaiknya kau diam saja jangan banyak protes," sambung Bastian. Kenapa dia tidak suka melihat Bee bicara dengan Julio? "Ck, kalau pelan begini kapan sampainya, Tuan Suami?" gerutu Bee memutar bola matanya malas. "Tidak apa lama. Asal kau dan anak kita selamat," jawab Bastian tersenyum. Dia menarik wanita itu agar bersandar di dadanya. "Ck, apa hubungannya?" tanya Bee tak habis pikir. "Aku sengaja meminta Julio pelan-pelan. Aku takut bayi kita bergetar di dalam sana dan nanti dia bisa sakit," jawab Bastian santai. Bee membulatkan matanya sempurna. Ternyata sang suami yang meminta asistennya tersebut menjalankan mobil dengan pelan. Wanita itu geleng-geleng kepala salut. Sementara Julio sebagai anak buah hanya menurut saja. Walau dalam hati dia pun jengkel de
"Bagaimana, Dokter? Apa jenis kelamin anakku?" tanya Bastian tak sabar. Sang dokter tersebut tersenyum. Usia kandungan Bee baru memasuki bulan ketiga. Jadi, dia harus jelaskan dengan baik pada Bastian. Kalau tidak, bisa-bisa dia kehilangan pekerjaan. "Maaf, Tuan. Usia kandungan Nona baru memasuki bulan ketiga. Jadi, kita belum bisa melihat jenis kelaminnya. Di usia ke-enam bulan nanti baru bisa di prediksi jenis kelamin bayi Anda," jelas Arumi, dokter yang menangani pemeriksaan kandungan Bee. "Ck, kenapa bisa begitu? Alatnya yang tidak canggih atau dokter memang tidak tahu?" protes Bastian. Dia tak sabar mengetahui jenis kelamin anaknya. Pokoknya Bastian ingin laki-laki dan dia tidak mau perempuan. Bee memutar bola matanya malas. Wanita hamil muda itu menggeleng melihat sikap suaminya yang menurutku di luar batas pemikiran seorang CEO ternama. "Ck, Tuan Suami, apa dulu kau tidak pernah belajar biologi?" tanya Bee setengah menyindir. "Tidak pernah. Aku 'kan belajar ilmu bisnis,"
"Cie cie yang jatuh cinta pada istri kecilnya," ledek Bee mengedipkan matanya jahil ke arah Bastian. "Hem, jangan terlalu percaya diri." Bastian berusaha payah menyembunyikan perasaannya. Dia tidak mau terlihat bucin di depan istri kecilnya itu. "Percaya diri itu penting, Tuan Suami. Daripada percaya pada orang lain," celetuk Bee. Bee memeluk lengan suaminya dengan manja. Dia mengedipkan matanya jahil. Tak lupa tangannya menarik-narik ujung baju Bastian. Hal itu sukses membuat lelaki itu terpesona dengan wajah imut dan menggemaskan istrinya. Tak bisa dia pungkiri jika wanita ini memiliki daya tarik sendiri. "Terima kasih, Tuan Suami. Aku juga mencintaimu banyak-banyak, sebanyak pasir di lautan dan setinggi langit ke tujuh," ucap Bee tak lupa mengedipkan matanya dengan jahil. Bastian terkekeh. Dia memeluk wanita yang berstatus Istrinya tersebut. "Banyak sekali?" ujar Bastian menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah istrinya. "Makanya itu tidak akan kalah walau di terjang ombak
"Mom," panggil Kenzo. Milly menoleh ke arah putranya dan tersenyum simpul. Dia sedang memandangi Thia yang bermain bersama para pelayan di taman. Kehadiran gadis kecil itu cukup mampu menutupi luka di hatinya. "Apa kau sudah temukan siapa Bee?" tanyanya. Kenzoe menggeleng. Dia sudah mengerahkan seluruh anak buahnya tetapi tidak ada yang petunjuk yang mengatakan bahwa Bee adalah adiknya yang hilang beberapa belasan tahun lalu. "Belum, Mom. Aku sudah berusaha mencari tahu identitas Bee tetapi sepertinya memang ada orang yang menutup rapat informasi tersebut," jelas Kenzo serasa menghela napasnya panjang. Milly memalingkan wajahnya. Seketika panas menjalar di bagian pipi dan ulu hati. Sekuat apapun dia tahan air mata untuk tidak jatuh. Tetap saja meleleh begitu saja. Dia sangat berharap bahwa Bee adalah anak kandungnya yang hilang bertahun-tahun lalu. Ada ikatan batin yang bisa dia rasakan antara dirinya dan wanita tersebut. Oleh sebab, itu Milly ingin sekali tahu siapa Bee sebenarn
"Huwek!"Bee berlari ke kamar mandi. Wanita itu memuntahkan semua isi yang ada di dalam perut. Sayangnya yang keluar hanya cairan berwarna kekuningan. "Sayang." Bastian berhambur menyusul istri kecilnya. Lelaki itu tampak panik sambil mengurut tengkuk Bee. "Sayang, kau kenapa? Apa kau baik-baik saja?" cecar Bastian. Wajahnya sampai pucat karena terkejut mendengar istrinya yang muntah-muntah. "Perutku seperti di kocok-kocok, Tuan Suami," keluh Bee. Tatapan mata wanita itu tampak sendu. Padahal usia kehamilannya sudah memasuki bulan ketiga tetapi dia masih saja mengalami morning sicknesss. Bastian mengangkat tubuh wanita itu kembali ke ranjang mereka. Segera dia meminta para pelayan membuatkan minuman hangat untuk istri kecilnya. "Sayang, wajahmu pucat sekali!" Bastian mengusap dahi istrinya yang sedikit berkeringat. "Tuan Suami, sakit," renggek Bee. "Kita ke rumah sakit!" Lelaki itu kembali menggendong istrinya keluar dari kamar tanpa peduli jika dirinya yang masih memakai piy
Bastian turun dari mobil sambil menggendong tubuh kecil istrinya. Tak hanya panik tetapi dia juga menangis. Rasa takut dan cemas akan kehilangan itu kian menjelma menjadi hal-hal yang menakutkan. Dia sudah pernah kehilangan Alena dia masa lalu. Rasa sakitnya sampai sekarang masih ngilu di ulu hati. Walah pada akhirnya dia pertemukan tetapi perasaan sudah tak sama seperti dulu lagi. "Cepat periksa istriku!" teriak Bastian. Para dokter dan perawat yang bertugas di ruang UGD sontak berhambur ke arah Bastian serta menyiapkan semua alat medis untuk memeriksa kondisi Bee. Bastian meletakkan istrinya dengan pelan. Badannya sampai bergetar dengan wajah pucat karena ketakutan. "Sayang, kau harus bertahan. Jangan tinggalkan aku pergi. Aku takut kehilanganmu. Kau segalanya," ucap Bastian mengecup punggung tangan Bee. "Maaf, Tuan. Tolong berikan kami ruang untuk memeriksa keadaan nona," ucap salah satu perawat. "Aku ingin menemani istriku di sini. Apa susahnya tinggal periksa saja?" bantah
Beberapa tahun kemudian....Bastian menatap kue ulang tahun yang bertulisan angka 26 di atasnya. Dia mengerutu kesal. Bagaimana tidak? Istrinya baru berusia 26 tahun. Sedangkan dia sudah berusia 42 tahun. Ahhh jauh sekali selisih usia mereka. Ingin rasanya Bastian mempermuda dirinya agar serasi dengan Bee. Bee semakin hari semakin cantik. Pesonanya membuat siapa saja yang melihatnya terkagum-kagum. Sedangkan Bastian semakin hari semakin tua, bagaimana dia tidak mengerutu kesal. Apalagi jika dibandingkan, mereka bagai kakak dan adik saja. Bukan pasangan suami istri."Dad, kenapa lama? Kapan kita beri Mommy surprise?" gerutu putra sulung Bee dan Bastian. "Tunggu sebentar, Son!" Bastian mengambil kaca. Dia menatap wajahnya di cermin."Masih tampan. Tidak berkeriput. Tapi kenapa serasa sangat tua dari istriku," protes Bastian dalam hati. "Son, coba lihat wajah Daddy. Apakah Daddy ini sangat tua?" tanya Bastian pada putranya yang baru berusia enam tahun itu."Daddy memang tua," sahut B
Acara panjang itu cukup menguras waktu dan tenaga. Apalagi dengan tamu undangan yang mencapai ribuan orang. Tentu tamu dari Eric, Bastian, Bram dan Lucas bukanlah orang-orang biasa. Mereka penjabat serta pembisnis yang sudah lama mengenal keempat pengusaha ternama itu. Bastian menggendong tubuh istri kecilnya masuk ke dalam kamar. Sementara ketiga anak kembar mereka masih diurus oleh Dominic dan Milly yang ingin menghabiskan waktu bersama ketiga cucu kembarnya. "Hubby, apa aku berat?" Bee melingkarkan tangannya di leher sang suami. "Hem, tidak. Kau ringan!" sahut Bastian. Bee merebahkan kepalanya di dada bidang Bastian. Rasanya masih seperti mimpi bisa memeluk tubuh kekar suaminya itu. Setelah banyak kejadian yang mereka alami, kini keduanya bisa menikmati kebahagiaan yang telah lama hilang dari pandangan mata. Bastian meletakan tubuh kecil istrinya di atas ranjang. Jika dulu malam pertama mereka berbeda, maka malam ini akan dia membayar segala kesalahan yang ada di masa lalu.
Beberapa bulan kemudian. Keempat wanita cantik tengah menatap pantulan diri mereka di depan cermin. Mereka mengenakan gaun pengantin dengan warna dan model yang sama. Rambut mereka sengaja digerai indah dengan mahkota yang tertanam di atas kepala keempatnya. "Nak," panggil Santa. Santa menatap Bee dan Chaca dengan tatapan kagum. Kedua wanita muda yang masih bertahan mahasiswa ini adalah para menantu kesayangan yang membuat dirinya seperti memiliki anak perempuan. "Iya, Mom." Hari ini, Eric, Bastian, Lucas dan Bram akan melangsungkan pernikahan secara bersamaan. Eric dan Santa memutuskan untuk kembali bersama dan berusaha melupakan kejadian lampau yang pernah memisahkan mereka berdua. Eric dan Santa tak mau egois karena Bastian dan Bram meminta agar rujuk untuk mewujudkan impian keluarga bahagia. Sementara Bastian ingin membuat pesta pernikahan mewah agar semua dunia tahu bahwa Bee adalah istri kecilnya. Dia ingin menebus satu tahun yang lalu ketika menikahi Bee tanpa kehadiran k
Tata terdiam saat mendengar penjelasan dari Lucas. Pantas saja selama ini kakaknya itu selalu tak mau membahas Lucas. "Apa Kakak masih mencintai Kak Tania?" tanya Tata. Tata akan melepaskan Lucas jika memang lelaki ini masih mencintai kakaknya. Dia tak mau menjadi penghalang untuk kebahagiaan sang kakak. Sebab dia tahu jika selama ini Tania berusaha bangkit dari semua perasaan bersalah. "Sayang." Lucas mengenggam tangan Tata. "Perasaanku pada Tania sudah hilang sejak malam panas kita. Kau adalah wanita yang sekarang memiliki sepenuh hatiku. Ini bukan gombalan, tetapi ini perasaan yang aku rasakan," ucapnya tersenyum lebar seraya menyatukan tangan mereka. Tata menatap bola mata Lucas berusaha mencari kebohongan melalui mata lelaki itu, tetapi yang dia temukan adalah ketulusan. "Tapi Kak Tania masih cinta sama Kakak," ucap Tata tersenyum kecut. Lucas terkekeh pelan. Dia tahu jika Tania masih mencintainya. Namun, perasaannya pada wanita itu memang sudah tak ada lagi sejak kita berp
Santa memeluk Bee dengan rasa bahagia penuh. Akhirnya setelah menunggu sekian lama dia bisa lagi melihat senyum manis wajah menantu cantiknya ini. "Mommy takut sekali melihatmu, Nak," ucapnya mengusap bahu wanita itu. "Mom." Bee melepaskan pelukannya pada Santa. "Apa kabarmu?" tanyanya tersenyum lembut. Wanita ini sudah seperti anak kandungnya sendiri. Sementara Milly dan Dominic hanya bisa saling memeluk satu sama lain. Mereka ingin sekali berhambur ke arah Bee lalu mengatakan jika rindu wanita itu. Akan tetapi, Bee masih marah dan tak mau bicara pada mereka, lantaran masa lalu yang sulit dijelaskan. "Mommy baik, Nak," jawab Santa sembari mengecup kening Bee dengan haru. Lalu Bee melirik ke arah kedua orang tua kandungnya. Ada rasa marah dan kecewa di hati wanita cantik itu, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ada rindu juga yang mengemban dalam dadanya. "Daddy, Mommy!" panggil Bee. Kedua orang itu terkejut ketika dipanggil oleh anak yang sudah lama mereka rindukan kehadirannya.
"Ini, Bas!" Lucas memberikan botol kecil pada Bastian. "Apa ini?" tanya Bastian bingung. "Obat penawar racun," jawab Lucas. "Cepat suntikan pada Bee!" suruhnya. Semua keluarga berkumpul di vila mewah Bastian kecuali Kenzo, sejak tadi lelaki itu tak jua muncul. Entah ke mana dia pergi? Dengan siapa dan sedang berbuat apa? Mata Bastian berkaca-kaca dia menatap kedua lelaki yang tenang tersenyum padanya. "Terima kasih, Lucas." Bastian memeluk sahabatnya. Sekian lama hidup dalam kemarahan dan kekecewaan, akhirnya dia bisa mengakhiri rasa marah dan dendam yang menghantam dadanya. "Sama-sama, Bas. Semoga kau dan Bee hidup bahagia selamanya. Jaga dia dengan baik," ucap Lucas melepaskan pelukan Lucas. "Pasti. Itu adalah tugas dan tanggungjawab ku," sahut Bastian. "Kak.""Bram." Bastian dan Bram saling memeluk erat. Kakak beradik yang pernah selisih paham karena sebuah kondisi dan keadaan, kini kembali saling memberi maaf. "Terima kasih, Bram," ucap Bastian. Tanpa malu pria itu menang
"Argh!" Julio tersungkur sambil memegang kakinya yang tertembak. Tata dan Chaca membuka matanya. Keduanya terkejut karena melihat Julik yang tersungkur dengan darah mengalir dari bagian kakinya. "Cepat tangkap dia!" perintah Kenzo. "Baik, Tuan," sahut ketiga anak buah suruhan Kenzo yang mengangkat Julio berdiri. "Hai, Julio!" Kenzo menyunggingkan senyum liciknya. Bukannya takut Julio malah membuang ludahnya yang bercampur darah ke atas lantai. "Sekarang Anda tahu siapa saya, Tuan?" Julio membalas dengan senyuman mengejek. "Tidak hanya tahu, tetapi mengenal siapa kau sebenarnya, Julio. Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu bernapas dengan baik setelah menyakiti adikku," ucap Kenzo. Lucas dan Bram berhambur ke arah Tata dan Chaca. "Sayang." Tata memeluk sang kekasih sambil menangis ketakutan. "Jangan takut, sekarang sudah aman," ucap Lucas menenangkan. "Swetty." Bram mengangkat tubuh kecil Chaca. "Kakak," renggek Chaca. Wajah gadis itu sampai pucat karena ketakutan. Dia piki
Tata dan Chaca saling berpelukkan karena ketakutan melihat tatapan mata Julio yang seolah ingin menelan mereka hidup-hidup. "Ta, aku takut," renggek Chaca menangis hebat. "Ck, kau pikir aku berani?" ketus Tata yang juga sebenarnya takut. Julio berjalan ke arah dua wanita itu sambil membawa belatuk di tangannya. Wajahnya tampak merah penuh amarah, tangan mengepal dengan rahang yang mengeras menandakan bahwa dia benar-benar sedang marah. "Kalian mencari masalah dengan saya, Nona!" tekan Julio mengarahkan belatuk itu ke arah Tata dan Chaca. "Kak Julio, ampun, maaf," mohon Chaca. "Kami hanya menyelamatkan Bee," sahutnya beralasan. Julio menarik sudut bibirnya merasa terkecoh dengan ucapan gadis di depannya ini. "Kalian adalah target selanjutnya. Saya akan membuat kalian seperti nona Bee, atau bahkan lebih dari nona Bee karena sudah berani bermain-main dengan saya!" Pria itu berjalan menghampiri Tata dan Chaca yang sudah ketakutan dengan wajah pucat mereka. "Kak Julio, ka-u tidak i
"Apakah mereka aman?" tanya Bram yang mulai tak tenang. "Kenapa mereka seperti panik?" Lucas menunjuk ke arah manson mewah itu. Dia juga panik dan takut terjadi sesuatu pada kekasih kecilnya. Kenzo memutar bola matanya malas. Kedua sahabatnya itu sudah dikasih tahu, masih saja tidak paham dan tenang. "Mungkin mereka sudah tertangkap!" sahut Kenzo asal. "Apa maksudmu?" tanya Bram dan Lucas bersamaan sambil menatap Kenzo tajam. Kenzo bergidik ngeri, niat hati bercanda kenapa malah membuat bulu berdiri? "Aku bercanda," sahut Kenzo memutar bola matanya malas. "Mereka sedang menjalankan misi." Bram kembali melihat ke arah mansion. Jika saja tadi tidak dicegah oleh Kenzo, sudah pasti pria itu akan keluar dari mobil dan berlari menemui kekasih kecilnya. "Hubungi anak buah agar segera menyusul ke sini!" perintah Kenzo. "Kau memerintahku?" Bram menatap tajam sahabatnya itu. "Bukan. Tapi menyuruh!" ketus Kenzo. "Cepat hubungi!" titahnya lagi. "Iya!" Bram mengotak-atik ponselnya dan m