Alea benci dengan tatapan itu pada tubuhnya. Alea sangat jijik hingga perutnya mual ketika tangan kotor itu menyentuhnya.
‘Jangan sentuh aku!’ tangisnya menyesakkan dada. ‘Kumohon.’
‘Tidakkk!!!’
Alea terbangun dengan rasa haus luar biasa dan sangat membutuhkan udara. Keringat membasahi sekujur tubuhnya dan napasnya ngos-ngosan. Ia segera membekap mulutnya ketika melihat Alec berbaring di samping menghadap ke arahnya. Beruntung pria itu tak terganggu oleh keresahannya. Ia pun menyalakan lampu nakas dan menandaskan segelas air putih yang tersedia di sana. Lalu turun dan melangkah ke kamar mandi tanpa membuat suara sekecil apa pun.
Setelah mengusap wajahnya dengan air dingin, Alea menatap pantulan wajahnya yang sepucat mayat di wastafel. Bagaimana pun ia menyangkal kecantikan yang terukir di setiap sudut wajahnya, Alea tak bisa tak mengakui bahwa dirinya memang cantik. Mungkin bagi sebagian besar
Kedatangan mendadak Alec membuat Arsen sedikit terkejut. Seminggu sejak kematian mamanya, pria itu tak lagi menunjukkan batang hidungnya dan ia pun juga merasa tak perlu membentuk hubungan mereka menjadi lebih dekat. Alea bisa menjaga diri dengan baik, sesekali ia memang perlu menghubungi Alea, hanya sekedar basa-basi memastikan adiknya sehat dan tanpa luka lecet seujung kuku pun. Itu sudah lebih dari cukup.“Aku tahu kau ke sini tak mungkin hendak mengucapkan selamat untukku.”Alec mengambil tempat duduk di kepala sofa.Ujung bibir Arsen hanya berkedut tidak senang dengan ketidaksopanan Alec, tapi tak berkata apa pun dan duduk di sofa panjang. Mengangkat tangan pada sekretarisnya untuk menyiapkan minum.“Wine,” pesan Alec.“Sepertinya kau sedang mengalami hari yang berat.” Arsen hanya berharap bukan Alea penyebabnya.Alec hanya melirikkan mata, mengamati Arsen yang mencabut bolpoin di saku pria itu dan me
Suara gelak tawa anak kecil yang tertangkap telinga Alec membuat pria itu mengerutkan kening. Langkahnya yang tengah menyeberangi ruang tamu terhenti, pandangannya berputar ke sekitar, sekali lagi mendengarkan dengan lebih jelas samar-samar suara yang ditangkap telinganya. Setahu Alec, di rumahnya tidak ada anak kecil. Pelayan-pelayannya pun tidak ada yang memiliki anak kecil.Suara itu berpusat dari arah ruang tengah, Alec berjalan lebih dekat. Benar saja, Alea sedang sibuk berbicara dengan seorang anak kecil yang rambutnya dikuncir dua. Terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Kecuali wajah menyebalkan kakak ipar sialannya yang terjiplak di wajah mungil itulah yang membuatnya mendengus sebal. Untuk pertama kalinya merasa iri pada seorang Arsenio Mahendra. Karena bisa memiliki malaikat mungil secantik itu. Melihat kemiripan Arsen dengan anak kecil itu, sudah jelas anak itu pasti keponakan Alea.Mendadak pikiran tentang memiliki anak muncul di benaknya. Meskipun ia tidak
Lagi, Alea terbangun dengan badan remuk dan bekas-bekas merah yang nyaris memenuhi seluruh kulit dadanya. Dengan sangat berhati-hati, ia menyingkap selimut. Jika beruntung, Alec tak akan terbangun dan ia tak perlu melayani pria itu untuk seks pagi. Pangkal pahanya terasa sakit, setelah semalaman berusaha menyamai gairah Alec yang seolah tiada habisnya. Gairah pria itu memang tidak pernah habis.Alea berhasil mencapai pintu kamar mandi tanpa membangunkan Alec. Membuatnya mendesah lega dan mengunci pintu kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Ia ingin berendam, tapi jika tiba-tiba Alec terbangun dan ikut bergabung di bak mandi. Itu jelas tidak akan menjadi sebuah aktifitas yang tepat untuk menenangkan tulang-tulang tubuhnya yang pegal.Alea menyambar jubah mandi dan melilitkan handuk di rambutnya yang basah. Kemudian berjalan meraih pegangan pintu.“Kau mengunci pintu kamar mandi,” tegur Alec tepat ketika Alea memutar kunci dan membuka pint
Malam itu setelah selesai menidurkan Adara di kamar, Alea melihat Alec yang masuk ke ruang kerja pria itu. Ia pun masuk ke kamar untuk mengambil ponselnya dan langsung menghubungi Arsen. “Arsen?”“Ya?”“Apa besok kau akan menjemput Adara?”“Kenapa?”“B-bisakah aku saja yang mengantarnya ke rumah?”Arsen tak langsung menjawab.“A-aku juga ingin mengunjungi rumah.” Alea tahu Arsen sudah mencium niat yang ia sembunyikan. Dengan segera ia menolak prasangka tersebut sebelum Arsen mengatakan tidak. “Aku merindukan Mama. Kupikir hanya di rumahlah satu-satunya tempat aku bisa mengenang Mama.”Arsen masih diam. “Kauyakin tidak menggunakan Mama untuk alasan yang lain?”Pertanyaan Arsen menimbulkan rasa bersalah di dadanya. Tetapi Mamanya pasti mengerti, bahwa Arza adalah satu-satunya orang yang ia butuhkan saat ini.
Jam sembilan lebih, Arza tak juga muncul. Keresahan yang menggelayuti wajah Alea membuat Arsen menghentikan tindakan konyol adiknya tersebut dengan cara yang kasar. Arsen menyeret Alea keluar untuk masuk ke dalam mobil yang akan membawa adiknya kembali pulang.“Lepaskan aku, Arsen!” Alea meronta, berpegangan pada pinggiran pintu dengan satu tangan.Arsen hanya berdecak sekali, melepaskan pegangan Alea hanya dalam sekali tarikan yang keras dan melanjutkan membawa Alea masuk ke dalam mobil yang sudah dibuka oleh sopir.“Kau benar-benar keterlaluan, Arsen. Aku tak akan pulang sebelum bertemu dengan Arza!”“Tak ada jalan keluar bagimu selain menjadi istri yang baik untuk Cage, Alea.” Arsen menundukkan kepala Alea dan mendorong tubuh mungil itu ke dalam mobil. Tubuh Alea terhempas di jok belakang dengan tanpa daya walaupun kedongkolan menggelapi raut muka wanita itu. “Cage tak akan suka dan entah apa yang akan di
Alec mengerutkan kening ketika membuka foto-foto yang dikirim salah satu pengawal yang ia tugaskan untuk mengawasi Alea masuk ke ponselnya. Melihat Arza dan Alea yang berpelukan di depan salah satu klub malam. Itu lokasi yang tertulis di sana. Dan foto itu diambil satu menit sebelumnya. Sudah jam sepuluh malam, tapi istrinya itu masih berkeliaran di luar sana. Saat Alec melihat wajah Arsen, Karen, dan Alea, semua pasti tak akan menyangkal hubungan darah yang dimiliki ketiga bersaudara tersebut. Berbeda ketika dengan Arza. Meski pria itu memiliki ketampanan di atas rata-rata, karakter wajah yang dimiliki Arza berbeda dengan ketiga saudaranya yang lain. Begitu pun dengan kedua orang tua mereka. Bukan hal yang tak mungkin Arza anak di luar pernikahan atau anak angkat? Melihat biografi dan pernah mengenal Mahendra senior, kemungkinan Arza anak di luar pernikahan bisa ia sisihkan sejenak. “Roy, cari informasi tentang ketiga saudara istriku. Sedetail mungkin. Terut
Alec terkekeh. Lebih keras. “Kenapa tubuhmu tiba-tiba menjadi kaku, Alea?” “A-aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, Alec.” Alea berharap suaranya tak terdengar seperti sebuah cicitan. “Aku tidak memikirkan apa pun? Kenapa kau harus takut apa yang kupikirkan?” “Dari mana kau mendengar kabar itu?” “Bukan itu yang terpenting. Dan gosip itu juga tidak penting. Jangan membuang pikiranmu untuk hal semacam itu. Kau tahu aku memercayaimu, kan?” Alea tak tahu harus merasa lega atau tidak dengan kepercayaan yang diberikan Alec. Nyatanya ia mengkhianati kepercayaan itu dan masih memberikan hatinya untuk Arza. “Aku memberikanmu segalanya. Pernikahan, perasaanku, dan memenuhi semua kebutuhanmu. Bahkan aku menanggung beban keluargamu. Aku tahu kau bukan istri yang tidak tahu terima kasih. Jadi kau tidak mungkin mengkhianatiku.” “K-kenapa?” Alea benar-benar kehilangan suaranya. Bongkahan berat menyumpal tenggorokannya. “Kenapa apa?” A
Malamnya, Alea menyambut Alec yang muncul di pintu kamar dengan gugup. Berharap wajahnya tidak terlihat janggal meski berkali-kali ia sudah memastikannya di depan cermin. Raut lelah dan letih pria itu menunjukkan seberapa banyak urusan kantor yang menyita perhatian Alec. Ia sedikit bersyukur, kesibukan Alec membuatnya memiliki waktu lebih banyak untuk dirinya sendiri.Alec terhenti sejenak. Matanya menyipit sedikit penuh selidik ke arah Alea. Wanita itu berdiri di tengah kamar, dengan jubah tidur yang dibelikannya kemarin. Rambut tersisir rapi dan wajah yang dipoles tipis. Membuatnya ingin segera membawa wanita itu ke ranjang.Tapi ia tak akan melakukannya, sekarang. Ia tahu tujuan wanita itu menyambut kedatangannya dengan penampilan menggoda tersebut. Ia tahu Alea sudah tahu bahwa ia tahu rahasia istrinya. Tak menduga Alea akan menggunakan cara ini untuk mencairkan kemarahannya.Alea berjalan mendekat, mengambil jas dan tas dari Alec dan bertanya apakah ia haru
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?” Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu, Alec Cage. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.” “Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.” “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.” “Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.” “Aku tahu.” “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.” Saga menelengkan kepala menatap Alec, se
Alec memegang tangan di dalam genggamannya. Basah dan licin. Meremas tangannya begitu kuat. Sekuat tenaga yang mampu dikerahkan. Wajah basah yang dipenuhi peluh itu menoleh ke arahnya. Alec menyematkan dukungan lewat tatapannya. Mempersembahkan cintanya yang begitu besar lewat sinar di matanya. Alea membalasnya dengan seulas senyum tipis di wajahnya yang pucat.Ia ingin penderitaan ini cepat berakhir. Ia benci melihat Alea tidak berdaya seperti ini. Pun dengan kerapuhan wanita itu yang ternyata menyimpan kekuatan teramat besar. Alec memohon semua ini bisa cepat berakhir.Harapannya terkabul. Satu dorongan yang begitu kuat, kemudian kepala Alea terhentak ke belakang, dan kemudian suara tangis bayi bergema memenuhi ruangan.“Aku berhasil,” gumam Alea sangat lirih dengan mata terpejam.Alec menunduk. Mengecup kening Alea yang basah dengan kecupan yang sangat dalam seraya mengangguk. “Ya, kau berhasil melakukannya.”
“Semuanya baik-baik saja. Hanya tekanan dalam perut. Tidak ada darah dan bukan kontraksi ataupun tanda-tanda keguguran.” Alea nyaris menangis lega mendengar penjelasan dokter.“Sebaiknya sang ibu menghindari tindakan-tindakan keras semacam ini lagi. Beruntung tidak terjadi kecelakaan yang serius,” lanjut sang dokter setelah menanyakan tentang rambut berantakan Alea dan sudut bibir wanita yang sedikit robek. Juga luka cakaran di lengan.Alea meringis menahan malu. Mengelus rambut di samping kepalanya mencari kesibukan.“Baik, Dok.”“Suami harus tetap membuat keadaan mood ibu hamil tetap stabil. Tekanan dan stres juga bisa memanding kontraksi yang tidak kita inginkan.”Sekali lagi Arza mengangguk.Dibantu Arza untuk turun dari ranjang pasien. Saat itulah ia baru menyadari tidak membawa sepatu. Sepatunya entah hilang di mana dalam pertarungannya dengan Naina. Tadi Arzalah yang menggendongnya naik
Setelah merengek beberapa kali kalau kakinya pegal dan tak kuat berdiri lebih lama lagi, akhirnya Alec mengijinkan Alea pergi ke dekat kolam renang untuk beristirahat. Satu-satunya tempat di rumah ini yang sepi dari tamu undangan.Alea duduk di pinggiran kolam, merendam telapak kakinya yang pegal. Dan udara malam yang berhembus, seketika melenyapkan kegerahannya.Ternyata wanita bernama Sesil itu bukan siapa-siapa, tak henti-hentinya Alea tersenyum mengingat fakta tersebut. Mengulang momen ketika Alec berkata, ‘Apa aku pernah mengatakan itu anakku?’Rasanya dada Alea mengembang dan ingin meledak.‘Bolehkah ia sedikit berharap pada hubungan mereka?’Berharap bahwa Alec memang begitu peduli padanya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai pengandung anak pria itu.‘Apakah harapannya terlalu berlebihan?’Alea takut jika harapannya yang terlalu tinggi, rasa kecewa yang akan didapatkannya saat terhem
Alec pulang lebih malam dan Alea masih duduk di sofa menonton televisi. Pria itu mengambil remote TV dan langsung mematikannya.“Sudah malam, Alea. Pergilah tidur.”“Aku masih ingin menonton.”Alec menatap Alea sejenak. “Naiklah ke tempat tidur dan hanya lima belas menit.”Alea ingin membantah, tapi ia memilih diam dan menurut. Berpindah ke tempat tidur.Alec menyalakan TV kembali dan meletakkan remotenya di nakas samping Alea.“Apa kau sudah minum vitaminmu?” Alec membuka laci tempat tablet vitamin Alea disimpan. Memastikan jumlahnya berkurang.Alea mengangguk meski tahu pria itu pasti sudah tahu dari laporan pelayan.Alec memasukkan kembali tablet di tangannya ke nakas. Melonggarkan dasinya ketika hendak membalikkan tubuh.“Alec?” Alea menahan lengan pria itu.Alec menoleh.Alea diam sejenak. “A-apa ... kau akan memiliki anak dengan wanita
“Bangun, Alea.”Alea hanya diam ketika Alec menggoyangkan pundak untuk membangunkannya.“Kau harus makan.” Alec tahu wanita itu berpura-pura tertidur. Ia bahkan sudah hendak naik ke mobilnya untuk berangkat ke kantor ketika pelayan melaporkan bahwa Alea tidak memakan makan pagi di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Yang seharusnya sudah satu jam yang lalu wanita itu menghabiskannya, saat ia masih disibukkan panggilan di ruang kerja.“Apa kauingin makan dari mulutku seperti anak kecil?”Mata Alea membuka, seketika dia bangun terduduk.Alec duduk di pinggir kasur dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Alea. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu di saat ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor, dan bukannya malah membujuk istrinya yang tengah merajuk. “Buka mulutmu.”“Aku bisa makan sendiri.” Alea mengambil piring nasi di tangan Alec.Alec membiarkan
“Sepertinya pergelangan kaki istrimu terkilir di kolam renang, Alec,” beritahu Jean Cage ketika Alec masuk ke kamar.Alec duduk di pinggiran ranjang menggantikan Jean Cage, memeriksa pergelangan kaki kanan Alea dan menyentuhnya pelan lalu mendengar ringis kesakitan Alea. “Apakah sakit sekali?”Alea mengangguk.“Sebelah sini?” Alec menekan dengan hati-hati. Mencari pusat rasa sakit tersebut.Sekali lagi Alea mengangguk.Alec kembali mengamati pergelangan kaki Alea dengan lebih teliti. Kemudian menyentuhnya dengan kedua tangan di atas dan bawah, dan secara tiba-tiba menekannya ke arah yang tepat dengan gerakan yang secepat kilat dan perhitungan yang pasti. Ia sudah sering kali mengalami dan menangani kaki atau tangannya yang terkilir, tentu saja hal seperti ini tidak ada artinya.Alea menjerit, tersentak kaget dengan rasa sakit yang lebih besar seperti menghantam pergelangan kakinya dengan keras, sebel
“P-perutku,” tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. “Apakah sakit?”“Sedikit.” Alea mengangguk pelan. “Lakukan dengan pelan-pelan.”“Katakan jika aku membuatmu tak nyaman.”Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Me
Alec menghambur ke arah Alea dalam dua langkah yang lebar, menyambar pergelangan tangan wanita itu terlalu kuat lalu menyeretnya keluar balkon. Menyeruak di antara kerumunan para tamu yang menatap keduanya penuh ingin tahu. Mengabaikan rintih kesakitan wanita itu ketika melintasi lorong menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Alec mendorong Alea lebih dulu dan Naina menyusul.Naina terlihat sangat gembira dengan adegan yang terpampang di hadapannya. Kilatan licik tak henti-hentinya melintasi bola mata gelap wanita itu. mencari sudut terbaik melihat ekspresi tersiksa Alea.Alec mengeluarkan kunci dari saku jasnya dan langsung memasukkannya ke lubang di bawah deretan angka. Alea mengenali kunci itu seperti yang dimiliki Arsen. Lift itu meluncur turun dengan sangat mulut tanpa hambatan. Tak akan berhenti hingga sampai di lantai yang tuju. Dan tentu saja tak akan ada seorang pun yang akan merecoki amarah Alec terhadap Alea.“Sakit, Alec,” rintih Alea men