Aku menggeleng, tubuhku mendadak tak enak, dan refleks saja akhirnya kaki ini berlari masuk ke dalam. Di salam Bapak tampak sedang ditenangkan oleh para tetangga, cepat kulihat ke kamar, di sana Poppy sama Mia sedang terisak sambil memeluk ibu yang sedang tidur di atas kasur."Neneeek, bangun Nek, banguun kenapa Nenek pergi ninggalin kami, Nek," isak si Mia.Tegg. Mendadak jantung ini seperti ditebas samurai panjang. Hancur, melayang dan amblas dalam waktu bersamaan.Ibu? Kenapa sama ibu? Air mata menerobos begitu saja, rasa sesak dan lemas di persedian mendadak menyerangku. Aku pun ambruk di dekat Poppy dan Mia.Sementara para tetangga cepat mengelus pundakku."Yang sabar Mas Hasan yang sabar," bisiknya pelan."Ibuuu!!" Aku refleks berteriak mengeluarkan semua rasa sesak dalam dada."Ibuu, Ibu kenapa? Maafin Hasan Bu, maafin Hasan," cecarku lirih. Kupeluk ibuku yang sudah dingin dan terbujur kaku itu."Om Hasaan, Nenek Om Nenek." Mia berhambur memelukku. Anak itu tampak sesak dan li
Setelah kepergian ibu, semua emang masih kelihatan normal tapi aku tahu, gak ada yang baik-baik aja. Semuanya kehilangan dan semuanya kebingungan."Sedih banget Kakak San, setelah ibu pergi rasanya dunia Kakak berubah 180 derajat," kata Kak Alfa sore itu. Warung sudah agak sepi dari pembeli jadi kami kadang nongkrong di bangku panjang depan warung."Kenapa sih ibu harus pergi secepat ini? Di saat Kakak belum siap," kata Kak Alfa lagi. Asmi cepat elus pundaknya."Sabar, Kak."Jangankan Kak Alfa, aku saja rasanya sulit menggambarkan perasaanku sekarang."Dulu waktu masih ada ibu walau udah usia setua ini rasanya Kakak gak pernah yang namanya pusing ngurusin urusan Mia dan Poppy sampai ke akar-akarnya, sekarang baru sadar setelah ibu gak ada, Mia udah gede, bentar lagi dia lulus sekolah mana gak mau lanjut kuliah, gak mau kerja, mau nya dia langsung nikah muda sama pacarnya," ujar Kak Alfa lagi."Hah? Si Mia itu mau udah punya pacar rupanya?" tanyaku cepat.Kak Alfa mengangguk, "Kakak s
Esok hari Pukul 4 sore Mia neleponin Kak Alfa berkali-kali."Kak angkat tuh.""Gak ah males, biarin aja biar tahu rasa itu anak, dia pikir dia bisa apa kalau ngeyel sama, Kakak?" jawab Kak Alfa sambil meriject ponselnya kesal.Kak Alfa ini emang persis banget kayak ibu, kalau udah kesel ya kesel dia.Tring tring pada hari minggu kuturut ayah ke kota.Gak aneh kalau udah denger dering begitu ya pasti itu ponsel Asmi yang bunyi.Cepat kuambil di laci."Tuh 'kan si Mia nelepon ke sini sekarang." "Eh masa? Ada apa sih itu anak? Kok neleponin terus."Kak Alfa merebut ponselnya Asmi dari tanganku, buru-buru ia menerima panggilan telepon dari Mia dan meloudspeaknya."Halo Tante, Tante, Mama sama Om kapan balik sih?" tanya Mia tanpa basa-basi."Hmm ada apa emang?" tanya Kak Alfa ketus."Mama? Tadi Mia neleponin Mama kok gak diangkat-angkat kenapa sih?""Males.""Haeh Mama ini gimana sih? Katanya kalian mau pada ketemu sama calon Mia, ini orangnya udah di depan rumah Tante Asmi, tapi mereka g
"Gak tahu Aa juga bingung, kalau Kak Alfa marah karena kita maen asal terima, gimana?""Itu dia yang Neng bingung.""Kami paham mungkin Om dan Tantenya Mia ada sedikit kekhawatiran di hati karena Mia masih kecil, tapi untuk masalah ekonomi insya Allah Salman sudah cukup mampu untuk menafkahi keponakan Mas Hasan dan Mbak Asmi, selain itu kami juga bingung entah kenapa anak saya Salman sudah benar-benar mentok katanya, gak mau pindah atau ganti yang lain meski banyak wanita di luaran sana, jadi kami benar-benar berharap lamaran ini akan diterima." Pak Musa bicara lagi dengan wajah penuh harap.Aku dan Asmi makin bingung."Om ngomong, ngapain pada mikir sih? Udah buruan terima aja," bisik Mia di telingaku."Diem kamu Mia, gak segampang itu urusannya."Mia pun diam dengan bibir mencucu."Oh ya sampai lupa, ini ada hadiah sedikit untuk Mia, mohon kiranya diterima sebagai kenang-kenangan kami pernah berkunjung." Bu Fatimah menaruh jinjingan plastik yang kupikir itu adalah lapis.Tapi iseng
Nah 'kan kalau udah tahu itu emas aja warna matanya udah beda lagi aja. Hadeeh dasar Kak Alfa ... Kak Alfa ampun deh."Sini, ini emas Mia, Mia mau pake buat kawin lari aja kalau Mama gak mau nerima Salman jadi suami Mka." Cepat Mia merebut emas itu dari tangan Mamanya."Eh jangan, jangan dong Mia, masa iya kawin lari, duh pokoknya kalau itu laki-laki beneran baik dan kaya raya, Mama setuju, Mama setuju sama kalian berdua."Mia bergidik, "hih apaan sih, tadi katanya ogah.""Sekarang mau Mama terima itu laki-laki Mi, tapi dengan syarat dia harus baik sama kamu dan sama Mama," kata Kak Alfa lagi dengan semangat.Mia menjebik, "ya emang calon suami Mia baik, tar nikah aja maharnya mau dikasih duit 1 milyar," tandas Mia seraya melengos pergi menaiki anak tangga.Aku, Asmi dan Kak Alfa melongo."Duit 1 milyar? Yang bener itu anak San?" tanya Kak Alfa masih terbengong-bengong.Aku menggeleng bingung, gak tahu juga itu anak bener apa kagak. Tapi sejauh ini semua yang dia omongin emang gak ada
"Waktu itu sekolah Mia pernah berkunjung ke pabrik kami, saya lihat sekilas dia wajahnya kok manis banget ya, imut dan ... ngangenin," jawab Salman malu-malu.Mia mesam-mesem, cepat kusikut lengannya."Aheum ada yang muji jangan sampe idungmu terbang Mia, inget tuh idung gak bisa diganti sama belalai gajah.""Stress," balas si Mia.Aku terkekeh, sekarang Asmi yang injak kakiku di bawah."Awww.""Bisa diem gak?" bisiknya melotot. Aku nyengir saja.Obrolan kami akhirnya selesai. "Mari nanti diantar lagi oleh sopir Salman," kata Salman setelah berpamitan.Kami semua pun bangkit dari tempat masing-masing, tapi sebelum kami semua beranjak pergi, Kak Alfa malah memanggil pramusaji."Mas, Mbak bisa tolong sini gak?" katanya.Sontak saja kami pun berbalik badan. Ada apa lagi tuh Kak Alfa?"Mas, bisa gak ini sisa makanannya dibungkus?" tanya Kak Alfa pelan.Mia melongo dan cepat menghampiri Mamanya."Mama apaan sih malu-maluin deh.""Sayang Mia ini harganya mahal-mahal, masa makanan jutaan gi
"Mamamu masa kita gak dikasih makanan sedikitpun, minimal taro sebox kek, lah malah dibawa balik ke kontrakan semua.""Eh masa? Keterlaluan banget emang ih Mamanya Mia tuh, tar deh Mia ambilin, orang makanan banyak gitu mau dikemanain?" sahut Mia seraya pergi menyusul emaknya.Akhirnya aku nunggu sebentar di meja makan, mau masak apa juga? Mie instan gak ada, warung Kuningan Asmi gak buka, hadeeh.Tak lama Mia datang, dia bawa 5 box makanan."Nih Om, buat Tante Asmi, Poppy sama Om Fatih juga, ayo pada dimakan sebelum Mama tahu," kata anak itu."Loh ini kamu gak minta sama emakmu, Mi?""Enggak Om, ribet, udah makan aja sekarang biar bungkusnya kita cepet-cepet buang."Buru-buru aku dan Mia pun melahap makanan kami, lalu membagikan satu box satu ke kamar Poppy dan Mas Fatih. Tapi saat akan kubawa makanan jatah Asmi ke atas, Kak Alfa datang teriak-teriak."Miaaa!!!""Hasan? Oh jadi kamu yang ambil makanan Kakak? Sini balikin," katanya sambil merebut box makanan yang tengah kupegang."
"Apaan sih maksa banget," ucap Kak Alfa sambil melengos pergi.Dadaku refleks kembang kempis. Tapi Sabaar sabaar, aku gak boleh sampe kepancing emosi, kasihan Bapak, takut denger di luar."Tadi acaranya jadi San?" tanya Bapak saat aku sudah kembali ke teras."Jadi Pak, kurang lebih sebulan setelah lulus si Mia bakal nikahnya.""Ya syukurlah kalau udah jelas kapan waktunya, nikahnya mau di mana katanya?""Penggennya si Salman sih di Mekkah, Pak.""Eh serius kamu San?" tanya Bapak tak percaya. Wajah beliau mendadak berseri."Serius Pak, tapi ... kayaknya gak jadi, soalnya kendalanya berat, Pak.""Pasti soal si Angga ya?"Aku mengangguk, tadi waktu kami di resto selain ngomongin soal waktu dan tempat, kami juga akhirnya jujur pada si Salman soal kondisi papanya Mia."Sebetulnya bukan kami gak setuju kalian nikah di Mekkah, tapi masalahnya Papanya si Mia itu sekarang lagi di penjara Man." Begitu kira-kira Kak Alfa ngomong tadi saat di resto.Salman sempet kelihatan kaget, dia sampe harus
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
Ranti DatangKarena penasaran aku pun bangkit menguping dekat pintu dapur."Iya iya kamu tenang aja, pokoknya Mas secepetnya kirim, Mas 'kan harus minta dulu sama istri Mas, uangnya baru cair tadi," kata si Broto lagi.Waduh parah. Ini sih bau-bau perselingkuhan kayaknya. Kasihan si Ratu ular, dia dikadalin sama lakinya."Wah aku harus buru-buru bawa si Ratu ke sini. Biar seru nih lanjutannya."Gegas aku ke depan.Tok! Tok! Tok! Kuketuk pintu kamar si Ratu cepat-cepat."Raaat, Raaat, buka!"Pintupun dibuka walau agak lama."Apaan sih? A Hasan? Ada apa? Ngetok pintu kayak mau nagih hutang aja," ketusnya, kesal."Rat, ayo buruan ke belakang. Kamu harus denger juga apa yang tadi Aa denger," ajakku tanpa basa-basi.Si Ratu mengernyit, "apaan sih, ogah," ketusnya sambil membanting pintu.Tok tok tok!"Rat Rat, buka Rat bukaa!""Berisik. Sana pergi! Ganggu orang istirahat aja!" teriaknya dari dalam.Aku mendengus kesal sambil kukeplak daun pintu kamar itu sedikit, "huh dasar, ya udah kalau
"Nah itu baru bagus," timpalku sambil kujentikan jari telunjuk dan jempolku.Si Ratu menoleh, "Apaan sih, ikutan aja," ketusnya.Aku menjebik, lah sok cantik amat, tuh bibir pake digaling-galingin gitu segala. Kesel banget dah."Loh Dewi, Putri, ada apa ini teh? Kenapa kalian mendadak enggak mau ambil uangnya?" tanya Ibu mertua, beliau kelihatan bingung."Gak ah Bu, gak usah, biar bagian Putri dikasih ke orang lain aja, buat Ibu juga gak apa-apa." Si Putri menjawab. Wanita berkulit putih itu nyengir kuda sambil lirak-lirik pada kakaknya, si Dewi.Aku sih paham, mereka pasti beneran takut sama omonganku tadi, takut mereka dijadiin tumbal haha."Dewi juga, biar duitnya buat Ibu aja, atau ... buat Bapak sekalian." Si Dewi melirik ke arah Papa mertua dengan tatapan sinis."Wah wah. Tumben-tumbenan nih pada baik," timpalku lagi sambil nyengir puas."Enggak!" sembur si Ratu kemudian. Dia spontan berdiri dari kursinya."Apaan sih kok jadi pada gak kompak gini? Dewi! Putri! Pokoknya kalian ak
"Ck dibilangin gak percaya," tandasku, gegas aku bangkit dan mabur ke depan. Di depan rumah aku cekikikan sendiri sambil geleng-geleng kepala, si Dewi itu bener-bener banget dah, obsesi banget dia sampe abis sahur pun masih nanyain soal kesalahpahaman semalem yang dia lihat haha.***Malam takbiran tiba.Alhamdulillah karena uang penjualan saham Asmi udah cair, malam itu juga Asmi langsung ajak aku lagi ke rumah ibu mertua."Ratu, Dewi, Putri, ini uang buat Teteh bayarin rumah teh udah ada, mau ditransfer sekarang apa gimana?" tanya Asmi pada ketiga adiknya.Mereka saling melirik sebentar sebelum akhirnya si Ratu menyahut."Ya sekarang dong Teh, kalau udah ada duitnya ngapain disimpen terus, si Putri juga 'kan mau pake buat lunasin sewa pelaminan.""Oh ya udah atuh, Teteh transfer ke rekening kamu aja semua dulu ya, nanti baru kamu bagi-bagi ke adik-adikmu.""Ya buruan, bawel ah," ketus si Ratu.Tau dah, kenapa orang satu itu makin ketus aja sama Asmi sekarang."Udah, tuh udah Teteh
"K-kami ...." Si Dewi dan Si Putri gelagapan, wajahnya terlihat tegang dan panik."Nguping ya kalian?" desakku."Enggak, kata siapa?" jawab si Dewi cepat."Dewi, Putri, jadi kalian teh lagi ngapain di sini?" tanya Asmi."Kami ... emm ... Teteh ngapain di dalam? Kok ada lilin sama baskom isi daun di dalam kamar? Dan ...." Si Dewi melirik ke arahku dengan tatapan aneh."Kenapa?" tanyaku risih."A Hasan pake apa itu? Kalian beneran ....""Beneran apa?" desakku."Kalian beneran ... ngepet?""Hah?" Aku dan Asmi saling melirik dengan mata melongo."Ngepet?" Asmi mengulang."Ya ngepet, kalian ngepet biar bisa dapat duit banyak 'kan?" "Astagfirullah Dewi, apa-apaan kamu teh? Omongannya kenapa ngaco begitu atuh ah.""Tapi bener 'kan Teteh sama A Hasan ngepet? Buktinya itu di dalam ada lilin sama baskom isi daun terus A Hasan pake jubah hitam begini," timpal si Putri sambil terus menerus lirik-lirik ke dalam kamar."Astagfirullah." Asmi elus dada sambil geleng-geleng kepala. Sementara aku cek
"Neng, kalau malam ini nginep di rumah Ibu lagi saja gimana?" tanya Ibu mertua saat aku sampai di dekat Asmi."Iya Bu, Ibu teh tenang aja, Neng pasti nginep lagi di sini, oh ya, kalau si Papa teh kemana? Kenapa enggak kelihatan lagi?""Tadi teh pamit katanya mau nyari rempah sama dedaunan buat penurun tekanan darah.""Ck ck ck ai ai Papa teh ada-ada aja, meski berasal dari kota ternyata masih percaya pengobatan tradisional begitu.""Ya bagus dong Neng, itu namanya melestarikan kebudayaan leluhur," timpalku cengengesan.Asmi menjebik saja.-Sore hari selepas aku balik sebentar ngabarin Hasjun kalau kami mau menginap lagi, di desa hujan gede.Bahkan saking gedenya sampe aliran listrik di desa mati dan signal hape pun jadi darurat.Gak aneh sih, emang di desa sering banget mati lampu dan darurat signal begini saat hujan gede, tapi lama-lama jengkel juga karena mati listrik dan mati signal itu gak nyaman banget rasanya.Aku pikir ini salah satu yang bikin gak enaknya tinggal di desa Asm
"Oh saya jadi sungkan," kata Pak Mantri lagi."Ah Pak Mantri ini kayak sama siapa saja atuh.""Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Teh Asmi, semoga ibunya cepat membaik.""Baik Pak, biar suami saya antar ke depan."Pak mantri mengangguk, gegas aku antar dia ke depan bareng si Ratu CS.Setelah mantri itu pergi, aku buru-buru kembali ke dalam, tapi belum sempat kaki ini melangkah ke kamar, kudengar si Ratu CS pada rumpi."Eh gak salah itu Teh Asmi ngasih lebihan duit ke mantri itu sampe 300 rebu?" bisik si Putri."Iya, kalau Teh Asmi gak punya duit harusnya duit 300 rebu gede loh, jangankan yang gak punya duit, kita aja yang duitnya banyak sayang banget rasanya kalau ngasih segitu banyak, gile aja, duit loh itu," balas si Dewi.Wah karena topiknya kayaknya seru, aku pun mundur lagi ke dekat jendela depan, kupasang telinga tegak-tegak, nguping kayaknya seru nih haha."Halah palingan pencitraan, biar dikata banyak duit, gak usah heran sama orang desa tuh, emang pada begitu kalau carm
Kudengar suara Asmi dan ibu mertua, ternyata mereka lagi ada di kamar ibu mertua."Ibu teh enggak apa-apa Neng, cuma sedikit pusing aja kepala Ibu, rebahan sebentar juga nanti sehat lagi."Kasihan, ibu mertua pasti pusing karena kelakuan anak-anaknya yang pada dableg itu."Ibu teh enggak usah banyak pikirian, udah biar acara hajatan Putri, Neng yang urus aja.""Iya Neng, Ibu teh percaya sama Neng, cuma Ibu teh pusing sama kelakuan adik-adikmu, udah pada dewasa kok bisa mereka teh sikapnya begitu sama kamu dan Papamu.""Gak apa-apa, mungkin mereka hanya belum paham aja bagaimana menerima, orang baru dalam kehidupan mereka Bu.""Semua ini salah Ibu, dulu Ibu terlalu memanjakan mereka dan selalu menanamkan rasa benci sama kamu di hati mereka.""Udah atuh Bu, yang dulu teh biarlah berlalu, enggak usah atuh dibahas lagi, mereka bersikap begitu mungkin karena mereka belum bisa menerima kenyataan aja.""Iya, Neng."Obrolan mereka terdengar makin lesu, aku sampe gak tega dengernya, karena saa