"Sayang, semalam bagaimana kamu bisa ada di belakang night clubku?" Pagi itu Paul masih memeluk istrinya di atas ranjang. Semalam, setelah kepergian Boy Azka,Pria bule tampan itu langsung membawa Syafa ke rumahnya. Sepanjang malam Syafa menangis sampai tertidur. Paul hanya memeluk istrinya itu tanpa bertanya-tanya apapun. Ia melihat hati Syafa terguncang. Sejak awal Syafa melarang Paul bertemu dengan Boy Azka. Kalau seandainya Syafa tidak melarangnya, sebenarnya Paul ingin sekali berbicara empat mata pada Boy Azka dan menanyakan apa keinginan pria yang dikenal sebagai salah satu pejabat di pemerintahan itu. "A-aku sendiri yang ke sana, Kak. Aku minta maaf." Syafa menggeliatkan tubuhnya dalam pelukan Paul. Hingga hasrat pengantin baru itu seketika terpancing. "Untuk apa kamu ke clubku, Sayang?" Napas Paul mulai memburu, ia mulai menciumi leher Syafa hingga ke bagian dada. Syafa meremang , lalu mulai mengerang dan mendesah. "Aku ... aaah ... Aku penasa ... ran aja," jawabnya dian
"Hai, Cantik. Mau gabung dengan Kami di sana?" Tiba-tiba seorang pria tampan dengan rambut diiikat menyapa Syafa dengan ramah. Syafa membalas dengan menggeleng sambil tersenyum. "Nggak, Kak. Makasih!" jawabnya sopan. "Ayolah! Kamu di sini sendirian. Aku akan kenalkan dengan teman-temanku di sana. Oh ya, kenalkan Aku Lintang. Semua yang ada di sana itu adalah teman-temanku. Tak akan ada satupun dari mereka yang akan berani menganggumu!' "Terimakasih, Kak Lintang. Aku di sini sedang menunggu suamiku." Syafa berusaha bicara seramah mungkin. Bagaimanapun juga, mereka adalah pelanggan club suaminya. "Suami? Kamu sudah punya suami? Lalu kenapa suamimu ninggalin kamu di sini sendirian?" Lintang malah berjongkok di depan kursi roda Syafa, membuat gadis itu sedikit risih. Sementara dua karyawan Paul hendak menegur, namun urung setelah mereka mengetahui bahwa pemuda yang sedang bersama Syafa itu adalah tamu kehormatan yang sudah membooking club malam itu. "Suamiku tidak ninggalin Aku se
"Apa maksudmu, Lintang? Siapa gadis yang kamu maksud memakai kursi roda?" Boy azka spontan bertanya pada putranya dengan wajah serius. Lintang terheran sejenak. Tidak biasanya sang Ayah menanggapi pembicaraannya dengan serius. Apalagi tentang wanita. Selama ini Boy hanya menanggapinya dengan santai dan berakhir dengan saling meledek diantara Ayah dan anak itu. "Oh, itu, Yah. Gadis yang Aku temui di night club tadi." Lintang menjawab dengan pandangan tak berpindah dari ayahnya. "Apa? Night club?" Lagi-lagi Lintang terheran melihat ayahnya terkejut. Padahal Ayahnya sudah tau kalau dia memang sering ke beberapa night club di Jakarta. "Iya, Night Club. Memangnya kenapa, Yah? Tadi kami mengadakak reuni di salah satu night club di Jakarta Utara. "Ah nggak. Gadis itu pasti cantik. Buktinya Dian sampai cemburu. Iya, kan?" Boy berusaha mengendalikan rasa terkejutnya. Ia kembali bersikap biasa. "Cantik banget, Yah. Tapi sayangnya dia memakai kursi roda sejak kecelakaan beberapa bulan yang
"Kak, Nanti malam Aku mau ikut ke night club lagi. Boleh, ya?" Paul yang sedang menyisir rambut panjang istrinya itu mengangguk. "Memangnya kamu nggak lelah? Hari ini kamu akan latihan berjalan." Syafa terdiam. "Tapi Aku penasaran mau lihat lantai dua night Cub itu Kak." Paul cukup terkejut dengan ucapan Syafa. "Apakah Syafa akan marah jika tau kalau di lantai dua itu disediakan kamar-kamar.yang bisa di sewa oleh para pengunjung?" Paul mulai gelisah. Ia tak peduli jika harus menutup clubnya..Tapi ia khawatir jika Syafa marah padanya. "Boleh, kak?"Paul terkejut karena Syafa sudah memutar tubuhnya dan kini berada tepat di hadapan. "Oh ya. Tentu boleh, Sayang! Sekarang kita ke rumah sakit dulu!' Mereka memang pagi-pagi sekali sudah bersiap hendak ke rumah sakit. Karena perjalanan dari Jakarta utara menuju Bogor akan memakan waktu satu sampai dua jam perjalanan. Semoga saja tidak terjadi kemacetan.. Di perjalanan Syafa nampak bahagia. Ia berharap dokter sudah memperbolehkan d
"Aku gendong aja ke mobil, mau?" bisik Paul pada istrinya yang terlihat kelelahan setelah bercengkrama dengan teman-temannya. Setelah hampir satu jam, Paul menghampiri Syafa ke warung bakso. Dia tidak tenang melihat teman-teman pria Syafa yang sudah banyak datang dan menghampiri istrinya. Dia merasa tersiksa karena rasa cemburu. Syafa memang paling cantik dan pintar diantara semua teman-temannya. Dari pembicaraam mereka, Syafa adalah gadis idola di sekolah mereka dulu. Saat Paul datang, sontak semua pria muda yang sedang berkumpul di depan Syafa satu persatu menjauh. Mereka tau diri karena Syafa sudah bersuami. Namun demikian, Paul tetap berusaha tersenyum ramah pada semua teman-teman Syafa "Makan bakso, Bang!" "Siang, Bang!" "Silakan duduk, Bang!" Mereka pun cukup ramah menyapa Paul. "Nggak usah digendong,Kak. Aku malu!" balas Syafa berbisik. Sementara Paul menatap istrinya yang manja dengan penuh cinta. Sesekali ia menyelipkan anak rambut Syafa ke balik telinga gadis itu. "
"Aku mau langsung mandi, Kak." Setelah melewati perjalaman panjang dan macet di mana-mana, Syafa dan Paul tiba di rumah saat hari sudah sangat sore. Sepasang suami istri itu baru saja masuk ke dalam.kamarnya. Syafa kini sudah berpindah duduk di atas ranjang. "Mau Aku mandiin, Sayang?" Paul memeluk istrinya dari belakang. Menghirup aroma tubuh khas Syafa yang senang memakai bedak bayi. Walau belum mandi, aroma tubuh Syafa selalu menjadi candu untuknya. Syafa mengangguk malu. Sejak menikah, dimandikan oleh suaminya itu selalu menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuknya. Paul sangat memanjakan dirinya. Suaminya itu menyentuh setiap inci tubuhnya dengan penuh kelembutan, hingga ia ingin berlama-lama bersama suaminya di dalam kamar mandi. Syafa mengangguk malu. Wajah Paul tampak sangat bersemangat. Ia langsung membuka resleting dress Syafa dari belakang. Syafa hanya pasrah. "Kali ini, Aku mau kita gantian. Nanti kamu juga harus mandiin aku, ya!" bisiik Paul sambil menatap tubuh
"Kenapa malam sekali pulangnya, Kak?" Syafa terkejut saat melihat jarum jam menunjukkan pukul dua malam. Ia yang baru saja terbangun mendengar pintu kamarnya dibuka, memandang wajah Paul yang nampak sedang banyak pikiran. "Kenapa belum tidur, Sayang?" Paul mengecup singkat bibir istrinya yang duduk di tepi ranjang. "Aku tadi sudah tidur. Tapi terbangun mendengar pintu terbuka." "Aku mengganggumu?" tanya Paul sambil mengusap lembut rambut panjang Syafa. Pria bule itu duduk tepat di sebelah istrinya.Syafa menggeleng. Wanita itu menggelayut manja pada lengan Paul. "Maaf, tadi meeting sampai malam. Banyak yang tidak setuju dengan keputusanku menutup layanan kamar." Paul merebahkan tubuhnya di ranjang dan membawa Syafa ke dalam pelukannya. "Maafin Aku, Kak. Karena permintaanku, Kak Paul jadi susah begini." Syafa merasa bersalah. "Nggak, Sayang. Memang untuk memperjuangkan sebuah kebaikan atau kebenaran itu tidak mudah. Harus banyak bersabar." "Kak Paul, ... itu kata-kata dari siap
"Tenanglah, Kamu masih bisa bekerja di clubku nanti." Paul memandang iba pada wanita cantik yang datang pagi buta ke rumahnya. "Kerja apa, Bos. Saya tidak punya keahlian lain. Lagipula, melayani para pria kaya di ranjang, hasilnya lumayan. Nggak cuma untuk makan aja, tapi biaya sekolah anak-anak tercukupi. Jangan bilang Kami para wanita hiburan di suruh pindah ke club lain. Karena kalau di club lain, mereka minta setoran dari kami." Paul mengela napas panjang. Ia tidak punya kata-kata bijak seperti yang banyak Maira jelaskan kemarin. ia tidak begitu paham. Manurut Maira sekecil apapun penghasilan asalkan halal, akan lebih baik.. Pria bule itu kemudian berdiri. "Tunggulah kabar dari kami dalam dua hari ini. Kalian bisa datang menemui asistenku!" "Baiklah Bos. Saya pulang." Wanita itu pamit setelah mengusap kedua matanya yang sudah basah. Paul masih bingung dengan keputusannya. Jika kamar-kamar yang cukup besar itu tidak lagi digunakan untuk pelanggan, lalu untuk apa? Hingga kini
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b