“Manusia aja kalau udah mati gak bisa liat makamnya sendiri, apalagi ikan,” celetuk Bina.
Aku mengulum senyumku mendengar respons Bina. Untungnya, Elizha tak memperpanjang pertanyaannya lagi.Padahal sudah was-was, jangan sampai Elizha malah melanjutkan perdebatan dengan pertanyaan yang semakin di luar prediksi BMKG. Misalnya, ikan kalau mati bisa jadi hantu, tidak?Kan, agak meras keringat, eh meras otak ya buat jawabnya.Sepersekian detik, tiba-tiba ada kupu-kupu yang terbang melewati kami. Aku yang kebetulan menunduk, melihat tatapan Elizha mengikut arah kupu-kupu itu.“Kak, kalau kupu-kupu pakai makeup, warnanya bisa semakin cantik gak, ya?”Hah?‘Ini kenapa si Elizha otaknya rada geser juga, sih?’Lagi, aku melongo tak percaya dengan pertanyaannya yang benar-benar di luar prediksi BMKG.“Kamu pikir kupu-kupu mau kondangan pake makeup segala?” timpal Bagas yang entah sejak kapan sudah berjalanCeklek!Mata ini melebar melihat Mas Ezar mengendap-endap masuk ke kamar di mana aku, Elizha, Bina, dan Naila berada. ‘Astaga! Dia ngapain ke sini, sih?’“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku berbisik. Dia menyeringai tipis, tanpa menjawab pertanyaanku. “Udah tidur?” tanyanya balik berbisik, begitu ia sudah berdiri di samping tempat tidur di dekat aku.Aku melirik Elizha yang tampaknya sudah tertidur pulas sambil memeluk tanganku. Naila dan Bina pun sudah tidur saling membelakang memeluk guling masing-masing. ‘Duh, ini anak nempel banget lagi sama gue,’ gerutuku dalam batin.Nada suaraku sangat pelan. “Udah, tapi tangan aku, Mas.”Mas Ezar mengusap rambutnya gusar melihat tanganku dipeluk erat oleh Elizha. “Tarik pelan-pelan,” pintanya.Aku pun berusaha menarik tangan ini dari pelukan Elizha dengan sangat pelan. Hanya saja, saat upayaku sudah nyaris berhasil, ia meng
“Rumah Kakak kan di sini, Sayang,” lirihku sambil meletakkan dagu di atas kepalanya. Elizha memelukku sangat erat seakan enggan untuk berpisah. Bisa dibilang, semenjak aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya setelah pergi dari rumah di umur 9 tahun, Elizha memang sangat dekat denganku. Ayah dan Mama Maya sendiri sampai heran kenapa Elizha bisa secepat itu akrab dan lengket padaku? Padahal sama orang lain bocah ini susah dekat, bahkan sangat pemalu. “Tapi, Kakak nanti datang kan ke rumah lagi?” tanyanya. Kuanggukkan kepala dan tersenyum simpul. Walau tidak tahu, kapan akan pulang lagi ke rumah Ayah? Setidaknya jawabanku tak membuat Elizha bersedih. “Iya, Dek. Nanti kalau Kak Ezar libur, Kakak pulang,” jawabku asal.Sebelum magrib, aku dan Mas Ezar mengantar mereka ke bandara. Berhubung karena satu mobil tak muat, jadi Mas Ezar meminta tolong pada sopir orang tuanya untuk ikut mengantar. Aku paling tidak suka aca
“Asha Cantikku, walaupun kamu mulai kerja lagi, jangan capek-capek ya. Kondisikan tangan kamu juga,” ujar Mas Ezar saat kami tengah sarapan. Aku menatapnya tajam sambil mengunyah sarapanku. “Biasa aja manggilnya, Mas. Gak usah panggil-panggil Asha Cantikku segala. Geli tau.”“Dih, suka-suka aku. Kan di mataku emang cantik, Sayang. Luar dalam. Asha itu bidadarinya Ezar.”Aku menghela napas panjang. “Iya, tau kalau aku cantik. Mas Ezar ke mana aja baru sadar kecantikan Asha yang paripurna ini?”Seketika itu Mas Ezar tertawa terbahak-bahak. Dia sampai keselek makanan yang sedang dikunyahnya saking hebohnya tertawa. Uhuk! Uhuk!“Makanya kalau makan jangan jadi kuntilanak, Mas,” omelku mengusap-usap lembut punggungnya. “Kok kuntilanak?”“Ya kan kuntilanak yang suka ketawa-ketawa hihihi, gitu.”Lagi, Mas Ezar tertawa lepas seolah tak punya beban. “Sayang ... aku tuh suka nyesal tau,” ucapnya sambil menopang wajah di atas meja. Dia telah menyelesaikan sarapannya dan sibuk menontonku yang
Bukan karena mendadak jadi orang bisu jadi aku diam seribu bahasa. Namun, aku sendiri tak tahu harus bagaimana menanggapi pertanyaan Vina? Pengalamanku persoalan rumah tangga masih sangat minim walau nyatanya aku sudah menikah dua bulan lebih dulu dari Vina. Tapi, pernikahanku bahkan seperti halnya sebuah lelucon yang terjadi begitu tiba-tiba dan berjalan, mengalir begitu saja dari hari berganti hari. Pun bisa dibilang, sangat jauh dari aktivitas rumah tangga pada umumnya. Jadi, apa yang mesti kukatakan pada Vina jika ia bercerita tentang rumah tangganya yang sedang tak baik-baik saja?Sedang, aku sendiri baru beberapa minggu ini merasakan pernikahanku benar-benar ada.Aku menatap sebentar, lantas menelan ludah dalam-dalam. “Gak pernah, Vin. Mertua gue santai aja sih. Bebas. Gak nuntut ini dan itu. Lagian, Mas Ezar juga udah punya rumah sendiri, jadi ngapain coba tinggal di rumah orang tua?”“Kalau soal pekerjaan, ra
Aku meraih tas lengan di lemari khusus penyimpanan barang karyawan, kemudian bergegas untuk pulang ketika jam shift-ku hari ini sudah berakhir. Mengingat, Freya juga tadi menghubungiku untuk menjemput di toko. Katanya, dia akan nginap di rumah.Entah, aku juga agak heran kenapa dia tiba-tiba mau menginap di rumah? Tidak ada hujan, tidak ada angin, tapi sepertinya ada pohon yang tumbang. Aku curiga, adik iparku itu mau ngorek-ngorek informasi tentang Fadly. Demi apa pun? Masa iya Freya jatuh cinta sama playboy cap kadal seperti Fadly? Sungguh, sangat tak bisa kubayangkan jika itu benar-benar terjadi. “Sha, kamu benaran gak mau diantarin pulang?” tanya Vina begitu kami sudah berada di lobby. “Kagak. Adek ipar gue mau jemput,” jawabku.“Oh, tumben?”“Kagak tau gue juga. Kayaknya ada pisang di balik tepung.”“Jadinya pisang goreng,” kekeh Vina. Tak berselang lama, mobil Freya pun be
Mas Ezar langsung duduk di dekatku dengan tatapan tajam menatapku dan Freya bergantian.Seketika itu napasku tercekat di saat juga susah payah menelan ludah. Padahal, bukan aku yang berulah, tapi mengapa jadinya jantungku yang berdetak tak menentu?“Katakan, ada apa dengan Fadly?” tanya Mas Ezar, sekali lagi. Aku menanti Freya untuk menjawab, tetapi ia hanya membisu, sesekali menunduk memainkan jari-jarinya. Jadi kasihan melihatnya, dia pasti takut jujur pada kakaknya sendiri. “Gak apa-apa, Mas. Kata Freya, suara Fadly waktu nyanyi kemarin bagus,” ucapku berbohong. Sedikit menambah senyum ke arah Mas Ezar sekadar untuk menyakinkan.Nyatanya, tatapannya yang tajam menukik membuatku mati kutu walau berusaha bersikap biasa saja. “Aku tidak pernah mengajarimu untuk berbohong, Sayang. Dan aku yakin, Ayah Jian, Papa Juan dan Ibu Rus juga tidak pernah mengajarimu berbohong,” ucapnya lembut, tetapi penuh
Tak ada kata yang terucap dari bibir Mas Ezar. Hanya embusan napasnya yang berulang, terdengar sangat berat.Barangkali, seberat ia memberi restu untuk Freya jika seandainya suatu hari nanti memperkenalkan Fadly pada keluarganya. “Aku gak akan mempermasalahkan dengan siapa pun Freya, Sayang, tapi ... kalau sama Fadly, aku ....”Aku membungkam mulut Mas Ezar dengan jari telunjukku. “Kalau Freya maunya sama dia, terus seandainya Fadly juga mau sama Freya, kamu bisa apa? Tetap mau menentang hubungan mereka?”Kening ini terangkat, menunggu jawaban dari Mas Ezar. Namun, ia tak kunjung menjawab, hanya jakunnya yang bergerak naik turun pertanda kalau sedang meneguk ludah dalam-dalam. “Sebagai Kakak, kamu berdoa aja yang baik-baik untuk Freya. Mengawasi boleh, jangan terlalu mengekang. Kalaupun nanti, Freya berjodoh sama si Fadly, semoga pas itu Fadly sudah pensiun dari playboy-nya.”Aku menghela napas panjang, kemudian beralih memegang tangan Mas Ezar. “Sepertinya kamu sangat leleh hari in
Freya menghela napas panjang, lalu menatapku sekilas, kemudian kembali menyendok nasi ke mulutnya. “Beda banget sih, Kak. Sempat culture shock juga pas pertama kali masuk kelas di Indonesia. Kalau di Austi gak ada paksaan kita masuk kuliah, kalo di Indo kontrak kuliahnya malah daftar hadir jadi penentu nilai. Cuma dapat jatah 3 hari untuk bolos,” ungkap Freya. Aku tertawa kecil. “Di Indonesia itu penentu nilai gak cuma daftar hadir, Dek, tapi juga tugas-tugas, dan yang paling ngaruh itu mood dosen.”“Hah? Mood dosen?”Aku bergumam pelan sambil melirik Mas Ezar yang tengah fokus menyantap sarapannya dalam diam. “Kamu bayangin, aku dulu pernah dapat nilai C dari dosen gak punya hati nurani cuma gara-gara telat 3 menit. Gila gak tuh, Frey? Padahal daftar hadir full, tugas juga lengkap. Cuma perkara 3 menit dikasi C. Pas diprotes malah dikasi e-ror!”“Gila! Kejam banget itu dosen, Kak? Masih muda atau udah tua dosennya?”Aku senyum-senyum tipis melirik Mas Ezar yang juga menatapku tajam
Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa
Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny
Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks
Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.