“Oh, ini ... bukan apa-apa. Hanya proposal usaha teman saya,” jawab Pak Ezar.
Aku berusaha mencari kejujuran lewat ekspresinya, tapi yang kulihat adalah semburat keraguan di wajahnya.Apakah ada sesuatu yang ditutupi Pak Ezar dariku?“Oh,” lirihku pura-pura percaya.Paling tidak, aku juga sedikit tahu bentuk proposal itu seperti apa? Dan yang dibikin Pak Ezar bentuknya lain, tidak seperti proposal pada umumnya.Apa temannya Pak Ezar punya format khusus saat bikin proposal?Tampak aneh, tapi aku tak akan mendesaknya untuk memberitahuku kebenarannya.Aku sadar posisiku di mana. Aku tak sepenting itu untuk tahu segala hal tentangnya.“Kamu kenapa bangun? Emang perutmu sudah mendingan?” tanya Pak Ezar sembari menutup sedikit laptopnya. Lalu, menatapku sebentar.Aku menyangga kepala di punggung sofa, lalu meliriknya sekilas.“Haus tadi, Pak.”“Hmm. Oh, ya ... skripsimu sudah sampai mDada ini mendadak sesak melihat kedekatan suami dan perempuan muda yang entah datang dari belahan dunia mana?Aku meneguk ludah berkali-kali dengan tatapan yang tak lepas mengamati dua insan yang tengah tertawa-tawa bahagia. Apa Pak Ezar tak memikirkan perasaanku? Istrinya ada di sini, tapi mengapa ia menganggap seperti tak ada. Baru saja tadi malam ia melambungkan harapanku, nyatanya kembali dihempaskan ke dasar bumi. Ah, salahnya juga karena aku terlalu mudah melambungkan harapan setinggi-tingginya pada orang seperti Pak Ezar. Ini belum masuk kategori cemburu, kan? “Sha, lu gak kenal cewek itu siapa?” tanya Mika yang kubalas dengan gelengan. “Labrak gak, nih?” tanya Vina. Setidaknya, aku bisa melihat kilat kekesalan pada kedua bola matanya.“Pliss, jangan cari keributan di sini,” kekeh Mika. “Nah, iya. Nanti kita dipecat Bu Aina karena bikin kegaduhan di acarnya. Gak lucu!” timpalku.
“Tau gak kak? Dia pernah nyuap pihaknya stasiun TV, cuma biar dia yang isi itu salah satu acara di sana.”“Uwah! Mantep mainnya!” “Mantep apaan kek gitu, Kak?”“Mantep stresnya tuh orang.” Aku terkekeh pelan. “Kamu kok bisa tau semua tentang dia? Personilnya lambe turah ya?”“Ya kan sempat trending waktu itu, Kak.”Sungguh, tak bisa dipungkiri jika muka polos dengan segala kelembutannya juga terdapat duri-duri yang menancap sempurna di tubuhnya. Aku sampai tertipu dengan wajah cantik dan polosnya Manda selama ini. Ternyata, hatinya tak begitu mencerminkan kecantikan luarnya. Padahal, aku sempat mengaguminya. Batal, ah! Segala pujian yang sempat terlontar lebih baik kutarik lagi. Ah, intinya sudah lost respect! Tapi, yang masih jadi pertanyaan adalah mengapa Pak Ezar masih menjalin hubungan dengan Manda hingga saat ini? Bukankah Manda sudah menyakitinya? Lalu? Apa lagi
Aku menghempaskan badan tepat di kursi depan meja kerja Mika. Ia yang tengah sibuk bermesraan dengan data-data keuangan tampak kaget dengan kehadiranku tiba-tiba.Ia melihat jam tangannya sekilas, lalu menatapku penuh tanya. “Kenapa lu? Datang-datang kek orang kesurupan. Ini baru jam 1 juga. Lu jadwalnya kan jam 4.”“Mau numpang ngadem di sini.”“Dih, kek gak punya rumah aja lu,” cibir Mika. “Bukannya lu ada jadwal bimbingan hari ini?”“Ada, tapi batal,” cetusku malas.“Kok bisa?”Mika menghentikan aktivitasnya, lalu fokus padaku seakan tahu kalau aku butuh teman untuk bercerita.Ah, aku memang butuh tempat untuk melampiaskan segala unek-unek yang membuat jiwa setengah terpasung. “Gue telat 10 menit nemuin Pak Ezar,” ucapku memonyongkan bibir sambil menopang wajah dengan kedua tangan. BRAK!Aku tersentak saat Mika menggebrak meja. Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku. “10 m
“Kenapa diam, hmm?” tanya Pak Ezar dengan alis terangkat. “Gak yakin kalau sudah bergelimang pahala yang bisa kamu bawa mati?”Kulihat sudut bibirnya tertarik, mencipta seutas senyum tipis yang sangat manis. Manisnya ngalahin janji mantan. Cuaks! ‘MasyaAllah, ganteng banget suami gue kalau senyum begini.’Seketika, aku meringis kecil merasakan perih yang seperti tertusuk begitu Pak Ezar mengolesi obat merah pada telapak tanganku. “Siapa bilang saya gak yakin? Malah yakin kalau pahala saya banyak dari orang-orang yang menzolimi saya kok, Pak.” Aku memanyunkan bibir kesal. Pak Ezar tertawa kecil. “Memang siapa yang menzolimi kamu?”“Ada tuh,” cetusku mencuri-curi pandang ke arahnya. ‘Ada, tuh. Pak Dosen yang teganya minta ampun,’ lanjutku dalam hati. Pak Ezar tiba-tiba mengacak rambutku sambil tersenyum. Duh, ini gimana ceritanya? Rambut yang diacak-acak tapi hati yang berantakan. ‘Tolong!
Mika yang tampaknya sudah menangkap maksud pembicaraanku tertawa terbahak-bahak. Ia sampai memegang perutnya saking hebohnya tertawa. “Si Manda yang dikasi nama belut gorong-gorong sama Asha, Vin,” ucap Mika di sela tawanya. “Astagfirullah. Kok jahat banget sih kamu, Sha? Lanjutkan, Ukhti!”Lah? Ini si Vina nyuruh istighfar, tapi minta lanjutkan juga.“Terus-terus, apa kata adik iparmu?” tanya Mika. Aku pun menceritakan secara detail apa pun yang kudengar dari Freya tanpa ada yang terlewat sedikit pun pada mereka berdua.“Gak nyangka, si Manda begitu,” ujar Vina“Demi cuan dan ketenaran sih biasanya,” timpal Mika.Kami pun diam bergelut dengan pikiran masing-masing beberapa saat.“Sha, menurut gue lu harus lebih gigih lagi deh buat berjuang dapatin hatinya Pak Ezar. Itung-itung buat nyelamatin dia juga,” Mika menopang pipinya dengan satu tangan. Aku mengangguk-angguk pelan. Dalam
“Pak Ezar grogi ya digombalin sama saya?” tanyaku memicing penasaran begitu kami makan malam.“Mana ada saya grogi?” ‘Dih, gak mau ngaku. Sok jual mahal banget ini Pak Dosen.’“Ah, masa sih? Tadi sampai batuk-batuk begitu?”Bibir ini tersungging tipis sambil menyuap makanan dengan santai. Pak Ezar pun terlihat tak begitu peduli dengan obrolanku. Ia cukup santai saja melahap makanannya. “Pak, e—”Uhuk! Uhuk! Uhuk!“Makanya kalau makan jangan banyak bicara, Asha,” protes Pak Ezar lalu memberiku minum yang kuteguk hingga tandas setengahnya. “Karma itu. Orang makan mulutnya kayak Ibu-Ibu lagi rumpi.”Aku mendengus kesal mendengar ucapan Pak Ezar. Enak saja aku dikatain Ibu-Ibu rumpi? Kalem begini juga.“Saya gak pernah rumpi loh, Pak. Jangan sembarangan bicara.”“Mana ada gak pernah rumpi? Kalo ngumpul sama teman kamu terus bahas orang lain apa itu bukan rumpi namanya?”
Begitu Mika berlalu ke ruangannya, ponselku tiba-tiba berdering. Sigap, aku meraihnya dari saku celana dan melihat ada pesan masuk dari Pak Ezar. ‘Tumben jam segini nge-chat gue?’[Asha, sibuk gak?][Gak begitu sibuk. Kenapa, Pak?] [Saya kirim foto, tolong pilihin, ya. Saya bingung mau pilih yang mana? Keliatan bagus semua.]Foto yang dimaksud pun sudah masuk di ponselku. Beberapa pilihan gaun yang sangat cantik. Sebisa mungkin aku menahan senyumku. Dalam hati kecil berharap kalau barang itu untukku sebagai kado ulang tahun, walau sebenarnya aku tak terlalu berminat barang-barang begitu.[Buat siapa, Pak?] [Manda. Dia ulang tahun besok.]Aliran darahku seketika terhenti dengan napas yang ikut tercekat. Di dalam sana seolah ada tangan tak kasat mata yang sengaja meremas hati hingga hancur. Pertahananku luluh lantak. Jiwaku terpelanting. Senyum yang tadi tercipta, perlahan memudar dan menyadarkan diri agar tak berharap spesial di hidup seseorang. Tak semestinya aku berharap hal
“Dia gak boleh mati, Ka,” lirihku masih memandang wanita malang itu dengan iba. “Gue tau, Asha. Tapi, lu juga gak usah cari mati!” sungut Mika. “Lu bisa bayangin kalau piso tadi itu nancap di tubuh lu? Yang ada kasian Pak Ezar jadi duda.”“Vin, ambil kain dulu di mobil,” pinta Mika. Beberapa saat kemudian, Vina kembali membawa kain sesuai permintaan Mika. Setelahnya, dia mengikat kain itu di tanganku sebagai bentuk menghalangi darah agar tidak keluar terlalu banyak.“Aku akan melompat!” Wanita itu tertawa. Semua orang panik mendengar ucapannya. Hanya saja, dari kejauhan aku sempat melihat wanita itu juga tampak panik saat satu kakinya tadi terpeleset. ‘Dia takut mati!’“Kenapa kamu mengkhianatiku? Kamu jahat! Kamu jahat! Aku mau mati saja!”“Aku akan lompat!”“Lompat aja, Mbak. Lompat! Lompat kalau memang berani bunuh diri?!” teriakku. Mika sampai menyenggol lenganku ka
Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa
Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny
Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks
Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.