Bukan nya menyambut pertanya-an yang Dita layang kan untuk nya, Jeni justru melanjut kan langka kaki nya, mengbai kan Dita yang kini kembali memanggil nya. "Jen----, Jeni----," panggil Dita dengan teriak kan, namun-sahabat nya itu tak mem perduli kan nya, dan terus mengayun kan langka kaki itu , "Kenapa, Jeni nampak aneh begitu? Apakah ada hal serius, yang dia ketahui tentang, Aditya?" gumam Dita, dengan rasa penasaran yang seketika timbul di dalam diri nya.Beberapa menit kemudian.Aditya telah berada di kampus nya. Namun, pria itu tak luput dari pertanya-an ke dua sahabat baik nya, Dion, dan juga Roki, yang masih menyimpan rasa penasaran, tentang bagai mana bisa sahabat baik nya itu, menikah dengan Dita, yang notabene adalah wanita yang paling dia benci di muka bumi ini. "Lo, tega, banget, sih-Dit?! Selama ini, tega ngerahasia- hal se besar ini, dari gue dan ama Dion," ujar Roki, yang nampak tidak terima."Iya. Jujur, gue, ama Roki sampai saat ini, masih nggak habis pikir. Semua
Awan tak lagi putih, langit tak lagi cerah, sebab kini malam telah kem bali menyapa, bersama hadir nya bulan, dan bintang yang ber sinar terang di atas sana.Langit begitu indah malam ini, kian mem pesona saat bintang-bintang, ber kelap-kelip di atas sana. Me lempar kan tata pan nya se jauh mungkin, namun-sekejap, men dung, telah ter lihat di wajah nya, saat bayangan masa lalu, kem bali menari-nari dalam ingatan nya. "Takdir-yang mem pertemu kan kem bali kami, mem buat aku masih sulit untuk menerima nya. Namun, kenapa luka itu ber tambah perih, sebab kini dia adalah suami sahabat baik ku," gumam Jeni, dengan air mata yang telah menyeruak, mem basahi ke dua pipi nya. Flasback OnMen jadi salah satu murid ter tampan di sekolah, dan kian sempurna, dengan kekaya-an yang di miliki, oleh keluarga nya, mem buat se orang Aditya Wijaya, begitu di gandrungi wanita. Dan, salah satu nya adalah, Jeni Wahyudi, salah satu murid kelas IPS."Jen---, itu pangeran, lo!" ujar salah satu sahabat nya,
Belum juga Dita menyelesai kan ucapan nya, Aditya sudah ter lebih dahulu mengayun kan langka kaki nya menuju kamar mandi.Mem buka pintu kamar mandi, dan mengunci nya. Merasa lelah, Aditya menyandar kan tubuh koko nya, pada badan pintu, tengge lam dalam apa yang dia pikir kan, saat bayangan masa lalu kem bali menari dalam ingatan nya.Flasback OffPagi ituAditya-sama sekali tidak menyangka, kalau Jeni-akan meng hubungi nya pagi itu, pada hal hubungan ke dua nya telah lama ber-akhir. "Ada, apa-lo hubungi gue?!" Aditya yang saat itu baru saja datang, nampak sangat kesal, saat Jeni menga jak nya untuk ber temu."Dit---, aku hamil." Jeni ber suara dengan pelan, namun-Aditya dapat men dengar nya."Tadi, apa-lo, bilang?! Lo, hamil?!" tanya Aditya-penuh penekanan, dengan memasang tatapan tidak percaya nya. "Iya--," sahut Jeni lirih, namun dengan air mata yang telah jatuh mem basahi ke dua pipi nya,"Aku, ingin kamu menikahi-ku!" ujar Jeni kemudian, dan apa-yang baru saja wanita itu kata ka
Dita sibuk me lihat-lihat dalaman mana, yang akan dia ambil nya, untuk Aditya. Sibuk- dengan kegiatan yang dia lakukan, mem buat sampai gadis ber kaca mata itu, tak menya dari, kalau saat ini Aditya sudah berada di belakang nya. Mem balik kan se tenga wajah nya, dan kaget, setelah men dapati keberada-an Aditya. Dita cepat-cepat menying kir, karena merasa begitu dekat dengan Aditya. "Ke-ke napa, kamu ke mari?" tanya Dita, dengan pias dan juga gugup yang telah memenuhi wajah nya. "Tentu-saja mengambil dalaman ku, memang apa lagi!" sahut Aditya ketus."Kalau-begitu, aku akan ke luar-saja!" ujar Dita, dengan segera menyerobot-kan tubuh nya, ber lalu dari dalam ruangan itu. Ber lalu nya Dita dalam ruang ganti, turut mem bawa pandangan se-orang Aditya, yang terus mengikuti langka kaki wanita itu, dan tanpa diri nya sadari, wajah nya mem bentuk sebuah senyuman. Menyentuh dada nya, dengan detak jantung yang memompa lebih cepat. Berada begitu dekat dengan Aditya, mem buat Dita tak mampu be
Dita-begitu hanyut dalam apa-yang men jadi beban pikiran nya, se bab tidak menyang kah kalau Jeni sahabatbaik nya, akan menyimpan begitu banyak kejutan."Dit---," panggil Lisa tiba-tiba, sem bari menggun cang-gun cang kan tangan gadis itu, saat men dapati Dita yang nampak melamun. Dita-yang seketika, mengali kan pandangan nya pada Lisa, di sambut wanita itu dengan ucapan, "Tuh, suami kamu lewat!" lanjut Lisa kemudian, dengan mem buang pandangan nya, ke arah depan.Dita, mengalih kan pandangan nya pada arah pandang Lisa, dan di sana diri nya, men dapati Aditya, yang saat ini tengah ber sama Dina. Saling menatap, dengan pandangan yang sangat sulit untuk di-arti kan, "Kamu, nggak cem buru, Dit?!" tanya Lisa, tiba-tiba. "Cem buru?" sahut Dita, dan dia pun-seketika melepas kan tawa renyah nya, "Aku nggak ber hak cem buru, sebab itu sama saja, dengan akan mem buat ku ter luka nanti nya," sahut Dita kemudian, dengan senyuman yang masih lepas di wajah nya."Tapi, Aditya masih lia-tin kamu t
"Malam Pak--," sapa Arman sopan, dengan mengem bang kan senyum di wajah nya, saat ber tatapan dengan atasan nya. Rasa penasaran, dengan kebersama-an Arman, dan juga Dita, mem buat Papa Herman, tak sabar untuk melayang kan pertanya-an. "Kalian ber dua, ber sama?" tanya Papa Herman, dengan tatapan penuh selidik nya pada Dita, dan juga Arman. "Dita, adalah sahabat baik, dari adik ku. Dia ber kunjung ke rumah, dan aku memutus kan untuk mengantar nya pulang." Sedikit kaget, dengan apa yang baru saja dia dengar, kalau menantu nya, ber sahabat baik, dengan adik dari salah satu karyawan nyam "Jadi, Dita ber sahabat baik dengan adik kamu?" tanya Papa Herman, dengan masih menunjuk kan raut wajah tidak per caya nya. "Iya, Paa. Saya ber sahabat baik dengan adik Kakak Herman, nama nya Jeni. Kami ber sahabat baik, sejak sama-sama men duduki bangku kuliah." "Kalau begitu duduk lah! Ke-asyik kan bicara dengan mu, mem buat saya, sampai lupa menyuruh kamu untuk duduk," pinta Papa Herman, dan Ar
Sunyi kian menguasai, dengan langit yang se makin meng hitam, kala bumi terus merangkak, menuju penghujung tengah malam. Merasa sudah cukup lama, dia berada di luar rumah, Aditya mengayun kan langka kaki nya ke dalam rumah.Menaiki anak tangga, sekejap raut wajah itu berubah, saat ada DM masuk, dan itu, dari Jeni."Ingin, bicara dengan ku?" gumam Aditya, saat men dapati DM dari Jeni, yang mengajak nya untuk ber temu, "Wanita ini, benar-benar gila!" gerutu Aditya, dengan me masuk kan gawai, ke dalam saku celana nya. ******Tak, ada lagi kegelapan, sebab kini pagi telah kem bali menyambut, saat sang men tari kem bali menyinari bumi.Melewat kan sarapan pagi ber sama, itu lah yang selalu ter jadi di keluarga Wijaya. "Pagi, Maa---, pagi Paa---," sapa Aditya, yang baru saja datang. Men darat kan tubuh nya pada sebuah kursi tunggal, dan mem berikan pandangan nya pada Dita, yang juga tengah menatap pada nya. Segera memaling kan pandangan nya cepat-cepat, saat merasa tatapan Aditya, sera
Ini pertama kali bagi Dita, pergi ke kampus ber sama se orang Aditya Wijaya, sejak status nya, dan pria itu sebagai sepasang suami-istri ter kuak. Begitu berat, saat menurun kan ke dua kaki nya. Dita benar-benar malu, saat ini, sebab banyak sekali mahasiswa yang tengah menghabiskan waktu nya di depan gedung kampus."Ngapai-lo, masih di dalam?!" tanya Aditya, dengan nada suara nya yang ter dengar kesal, saat mendapati Dita yang masih betah ber lama-lama di dalam mobil nya. Memikir kan tidak mungkin-diri nya akan terus berada di dalam mobil, akhir nya dengan hati yang berat, Dita menurun kan ke dua kaki nya. Setelah diri nya telah berada di luar, sorak-sorai menyambut kemunculan nya, dan Aditya.Ber beda dengan Aditya yang nampak tenang, Dita justru merasa begitu malu, dengan yel-yel dari mahasiswa-mahasiwa Bima Bangsa"Sampai ketemu, ya-Culun--," ujar Aditya-dengan nada mengejek, dan segera mem bawa langka kaki nya, meninggal kan Dita yang masih mematung di tempat.Dita mengedar kan
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi
Dunia Dita seperti berhenti berputar, setelah dirinya mendapati kedatangan Mama Nita. Serasa seperti mimpi, bolamata wanita itu tak ada kedipan sama sekali saat menatap pada wanita yang masih berstatus ibu mertuanya nya. Hingga, Dita nampak tercengang saat menyadari kalau saat ini posisinya dan Mama Nita sudah sangat dekat. Sekian tahun tak bersua, membuat suasana canggung begitu terasa untuk kedua wanita beda generasi itu. Saling menatap, namun keduanya tetap dengan diam. Bingung, harus memulainya dari mana. "Dit--." Mama Nita bersuara pelan, setelah sekian detik keheningan melandanya dan Dita. Dia tahu, kalau menantunya itu ingin menyapanya lebih dulu namun merasa sungkan."Maa," sahut Dita, dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Sebab, walaupun sang ibu mertua telah bersuara terlebiih dahulu namun dirinya masih merasa canggung. "Maaf, untuk semuanya. Mama sangat menyesal. sebab telah membencimu padahal kau tidak melakukan kesalahan apapun,"lirih Mama Nita. Mimik wajahnya tela
Aditya membeo. Pria itu masih memfokuskan pandangannya pada kedua orangtuanya. Kedatangan mereka sama sekali tidak disangka-sangka pria itu. Terutama sang Bunda--yang juga turut datang bersama ayahnya. "Adit! Bagaimana? Apakah Dita, sudah melahirkan?" tanya Mama Nita. Mimik wajah wanita paruhbaya itu menunjukkan kekhwatirannya yang teramat sangat. Saat melayangkan pertanyaan, Mama Nita melemparkan pandangannya ke arah pintu ruang operasi. Aditya tak langsung menyambut. Sebagai orang yang turut tahu tentang dia dan Dita selama ini, Aditya melirikkan matanya-menatap sang ayah dengan lekat. Dan, Papa Herman yang ditatap seperti itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. Pria paruhbaya itu seolah sudah mengerti tatapan dari putranya, itu. "Belum Maa," sahut Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar berat. Saat menjawab pertanyaan Mama Nita, hati Aditya mendadak perih sebab operasinya sudah memakan waktu sedikit lama. Raut wajah pria itu mendadak layu. "Kita berdoa semoga operasinya be
Suara dering telepone terdengar di dalam ruangan, membuat keheningan yang melanda seketika membelah. Dan, ternyata itu panggilan telepone yang datang dari gawai milik Aditya yang saat ini sedang dalam pengisian daya. "Dari tadi HPmu terus saja berbunyi, dan sepertinya itu telepone yang penting," ujar Mama Nita memberitahu.Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ibunya tanpa menunggu lama lagi, Aditya segera menghampiri gawainya yang tersimpan di atas sebuah kabonet kecil. Melepaskan colokannya, dan mendapati nama Bibi Supi pada layar HPnya. Meyakini ada sesuatu yang serius, Aditya segera melakukan panggilan balik pada Bibi Supi. Saat melakukan telepone balik, Aditya tak berada lagi di ruangan yang sama dengan kedua orang tuanya dan Roki. Lki-laki tampan itumemilih untuk berpisah ruang, menuju teras rumah dengan kolam renang yang berada di depannya. Apa yang Aditya lakukan, membuat ketiga sosok yang bersamanya seketika dilanda rasa penasaran. Dan, mendapati bagaimana gestur tub