"Aku boleh bertanya lagi?" "Yang aneh-aneh lagi?" Adrian tersenyum mesem. "Kali ini tidak." "Baiklah, apa?" "Hem, kenapa sampai di usia kamu yang sudah dewasa ini, kamu belum pernah pacaran?" tanya Adrian, ingin tahu. "Apa kamu nggak pernah menyukai laki-laki sebelumnya?"Manda sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tapi ia mencoba menjawab dengan tenang."Dulu, semasa SMA, aku pernah menyukai seorang laki-laki," ucapnya sambil tersenyum tipis, seperti sedang mengenang masa lalunya. "Tapi aku nggak pernah mengungkapkan atau menunjukkan perasaan itu. Aku hanya menyimpannya dalam hatiku saja." Adrian mengangkat alis, ia nampak sangat penasaran. "Kenapa?"Manda menundukkan kepala, tangannya meremas ujung selimut. "Karena aku nggak percaya diri. Aku merasa aku nggak pantas untuk dia. Dia pintar, populer, dan punya banyak teman. Sementara aku, cuma seorang gadis sederhana yang bahkan n
"Aku inginkan kamu." Adrian menatap wajah Manda yang memerah dalam keremangan lampu kamar. Napas mereka terdengar begitu dekat, menyatu dengan detak jantung yang menggema di telinga masing-masing. Tubuhnya bergerak mendekat, begitu pula wajahnya. Hawa hangat dari napas Adrian menyentuh pipi Manda, membuat gadis itu semakin gugup.Ketika bibir mereka hampir bersentuhan lagi, tiba-tiba bayangan wajah lain muncul di benak Adrian. Wajah mantan kekasihnya, yang penuh dengan kenangan masa lalu yang seharusnya sudah ia lupakan. Bayangan itu terlalu nyata, seolah-olah wanita itu sedang ada di hadapannya.Adrian tertegun, gerakannya terhenti. Ia menatap Manda sejenak, lalu menarik dirinya menjauh dengan raut wajah yang sulit dibaca."Ada apa?" tanya Manda bingung, melihat perubahan mendadak pada suaminya.Adrian tak menjawab. Ia hanya membaringkan tubuhnya di sisi Manda dan menutupi matanya dengan lengannya. Napasnya terdengar berat, seolah
Suasana kantor siang itu terasa berat. Adrian menatap layar laptopnya dengan alis berkerut, pikirannya penuh oleh pekerjaan yang menumpuk."Ya ampun, kapan pekerjaan ini akan selesai." liriknya nyaris frustasi. Sesekali ia menghela napas panjang, tangannya memijat pelipis. Sedangkan di sudut lainnya, Manda duduk diam, wajahnya lesu. Mereka berada di ruang yang sama, tetapi rasanya ada tembok tebal yang memisahkan keduanya.Sesekali Adrian mencuri pandang ke arah istrinya. Ia mendesah lagi, kali ini lebih keras. "Kenapa kami harus sekantor dan seperkerjaan?" pikirnya mendengkus kesal, "Jadi begini ini rasanya ketika ada masalah rumah tangga, dan kamu harus seruangan dan satu pekerjaan yang sama dengan pasangan kamu. Ribet semua, ribet! Suasana jadi tidak menyenangkan, bawaannya hanya pengen marah-marah saja. Kalau bukan karena mama yang mengancam, aku sudah pasti tidak akan pernah setuju dengan pengaturan ini." lanjutnya masih meng
Malam itu penuh kehangatan di rumah keluarga Surya. Setelah sekian lama, akhirnya mereka bisa duduk bersama menikmati makan malam. Pak Surya yang masih dalam masa pemulihan tampak bahagia, meskipun sesekali ia terlihat sedikit lelah."Kangen banget makan bareng begini," ujar Bu Herawati, sambil menyendok sayur ke piring suaminya. "Papa juga pasti sangat rindu kan, makanan dirumah." "Pasti Ma, apalagi makanan buatan Mama." puji Pak Surya. Manda tersenyum, melihat ayahnya yang ceria seperti dulu. "Makanya Papa harus cepat sembuh biar nggak perlu ke rumah sakit lagi. Ya Pa." Deswita, sibungsu, ikut menimpali. "Iya, Pa. Kalau Papa sehat, kita bisa bersama terus setiap hari." Pak Surya menghela nafas lega. "Alhamdulillah, Papa merasa sangat bersyukur sekali kita masih bisa berkumpul lagi. Kalian semua, do'akan papa berumur panjang, dan sehat selalu ya." "Aamiin." jawab semua berbarengan. Bu Herawati ters
Bab 27 "Perkenalkan bu, saya Rendy, asisten Pak Adrian, atasan Bu Amanda di kantor." ujar pria itu dengan suara tenang.Herawati menatap Rendy dengan alis terangkat."Adrian? Atasan Manda? Lalu, ada perlu apa, malam-malam begini datang kemari?" tanyanya, penuh rasa curiga.Rendy tersenyum, sedikit kikuk. "Maaf, Bu. Ada urusan pekerjaan yang mendesak. Bisakah saya bertemu dengan Bu Manda?"Herawati berpikir sejenak sebelum akhirnya memanggil anaknya."Ehm, sebentar ya saya panggilkan." ucapnya memasang raut wajah yak enak. "Manda! Ada tamu, Nak." serunya dari pintu.Langkah Manda terdengar tergesa. Ia muncul dengan wajah heran, mengenakan kaus dan celana santai. Begitu melihat siapa yang berdiri di depan rumah, ekspresinya berubah tegang."Pak Rendy?" katanya, setengah berbisik.Rendy mengangguk. "Selamat malam, Bu Manda. Maaf kalau saya mengganggu. Tapi, Pak Adrian menyuruh saya datang kemari karena ad
Sesampainya di kantor, Adrian segera turun dari mobil, diikuti oleh Manda yang berjalan dengan langkah ragu. Rendy, yang sudah setia mengantar mereka, membuka pintu untuk Adrian."Terima kasih, Ren. Kamu bisa pulang dulu," ucap Adrian. "Aku akan lembur malam ini. Setelah selesai, aku sendiri yang akan mengantar Manda pulang."Rendy mengangguk dengan sopan. "Baik, Pak. Selamat bekerja."Setelah Rendy pergi, Adrian mengarahkan Manda menuju ruangannya. Begitu masuk, ia segera menghidupkan lampu dan duduk di kursinya yang besar dan nyaman. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja, membuat ruangan terlihat sedikit berantakan."Manda, tolong kerjakan laporan yang aku minta tadi," ujar Adrian sambil menunjuk meja kerjanya.Manda tertegun, lalu melirik tumpukan dokumen di meja itu. Ia mengenali laporan yang dimaksud Adrian, karena ia sudah menyelesaikannya tadi siang sebelum pulang. Namun, ia tak menyangka Adrian tidak menyadarinya.
"Kamu yakin ini tempatnya?" tanya Adrian sambil melirik kearah sekitar.Mobil Adrian kini telah berhenti di depan sebuah warung nasi goreng pinggir jalan. Lampu neon sederhana menerangi meja-meja kayu yang berjejer rapi. Aroma khas bumbu nasi goreng menyeruak di udara."Iya, Mas. Tempat seperti ini justru lebih nyaman," jawab Manda sambil membuka pintu mobil.Adrian mengikutinya keluar, tampak sedikit canggung. Beberapa pengunjung warung sempat melirik ke arah mereka, terutama Adrian yang jelas terlihat seperti orang asing di tempat itu dengan setelan formalnya."Mas, kita duduk di sana saja," tunjuk Manda ke salah satu meja kosong.Adrian hanya mengangguk dan mengikuti langkah Manda.Seorang pelayan datang dengan senyuman ramah. "Mau pesan apa, Mbak? Mas?"Manda tersenyum. "Dua porsi nasi goreng spesial dan dua teh manis hangat, ya, Mbak.""Baik mbak, seperti biasa kan?" "Iya mas."
"Aduh perutku.' ucap Adrian, ketika terbangun dengan rasa nyeri yang tajam di perutnya. Malam itu terasa panjang. Berkali-kali ia harus bolak-balik ke kamar mandi karena diare yang tak kunjung reda. Setelah beberapa jam, tubuhnya terasa lemas, dan peluh dingin membasahi wajahnya."Pasti gara-gara nasi goreng semalam," gumamnya dengan nada kesal. "Awas kamu ya Manda, kamu harus bertanggung jawab." sungutnya kesal. Ia lantas meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Jemarinya langsung mencari nama Manda di daftar kontak. Tanpa ragu, ia menekan tombol panggil.Sementara gitu, di tempat lain, Manda terbangun oleh dering telepon yang terus-menerus mengganggu tidurnya. Nomor tak dikenal terpampang di layar ponselnya, membuatnya enggan menjawab."Siapa sih pagi-pagi begini? Astaghfirullah hal Adzim, belum juga subuh, ganggu saja." gumamnya sambil mematikan suara ponsel.Namun, telepon itu kemba
Suasana dalam mobil terasa begitu sunyi. Hanya suara deru mesin dan roda yang bergesekan dengan jalan yang terdengar. Adrian duduk di balik kemudi, sesekali melirik ke arah Manda yang tetap memandang ke luar jendela dengan ekspresi dingin. Ia tahu, ia harus mengatakan sesuatu.Setelah mengumpulkan keberanian, Adrian akhirnya membuka mulut. "Manda, aku mau minta maaf."Tak ada reaksi dari Manda. Wanita itu tetap memandang ke luar jendela, seolah tak mendengar permintaan maaf Adrian.Adrian menghela napas. "Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya mengucapkan nama itu saat kita sedang bersama, tapi .... " Adrian menjeda kalimatnya, Ia menoleh kearah wanita disampingnya. Manda masih bergeming, tangannya terlipat di atas pangkuan. Ia terlihat begitu tenang, tapi Adrian tahu, di balik ketenangan itu, ada perasaan yang terluka."Manda ..." Adrian memanggilnya lagi, mencoba menarik perhatian.Kali ini, Manda mengger
Adrian langsung menjawab tanpa ragu, "Tentu saja bisa, Bu. Saya tidak keberatan sama sekali."Manda yang sedang berdiri di sampingnya menatap Adrian dengan mata membola. "Apa?" bisiknya kaget, tapi Adrian pura-pura tak mendengar."Nah kan, bagus kalau begitu!" kata Bu Herawati dengan wajah cerah. "Ayo masuk, Pak Adrian. Saya sudah siapkan makanan di meja makan."Manda tak bisa berbuat apa-apa selain mengalah. Ia mendesah pelan sambil menunduk. Dalam hati, ia mengutuk Adrian yang membuatnya tak bisa membantah ibunya. Dengan setengah hati, ia mengikuti langkah ibunya dan Adrian ke dalam rumah.Di ruang makan yang sederhana namun rapi, Bu Herawati memperkenalkan Adrian kepada suaminya. "Pa, ini bosnya Manda, Pak Adrian. Dia baik sekali sampai mau jemput Manda ke kantor."Pak Surya yang sedang memegang koran langsung meletakkannya di meja dan berdiri untuk menjabat tangan Adrian. "Wah, bosnya Manda ya? Senang sekali bisa bertemu. Saya Surya, papa Manda."Adrian tersenyum sopan sambil m
Adrian mengetuk pintu pelan, menunggu dengan sabar sambil merapikan kerah jasnya. Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan sosok Bu Herawati yang mengenakan daster bunga-bunga sederhana."Assalamu'alaikum," sapa Adrian dengan senyum sopan."Wa'alaikumsalam," jawab Bu Herawati, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Oh, bapak ... bukannya bosnya Manda ya, yang malam itu juga datang kemari?"Adrian tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Bu. Saya Adrian. Kebetulan pagi ini saya datang untuk menjemput Manda. Apakah dia masih di rumah?""Oh, masih, Pak Adrian. Tunggu sebentar ya." Bu Herawati tersenyum lebar, merasa senang dengan kehadiran bos putrinya yang tampan itu. "Eh, tapi ... ada keperluan apa sampai menjemput ke rumah?" tanyanya ingin tahu. Adrian menjelaskan dengan tenang, "Ada sesuatu hal yang perlu saya bicarakan, sebelum meeting pagi ini, saya takut, waktunya tidak keburu, jadi saya pikir lebih baik kami ke ka
"Aku ingin ... Aku ingin kamu," kata Adrian langsung, tanpa berputar-putar.Manda tercengang, wajahnya memerah seketika. "Apa? Apa maksudmu, Adrian?" tanyanya, suaranya bergetar."Aku tidak bisa memikirkan hal lain sejak tadi. Aku ingin kamu. Aku ingin menikmati tu buhmu, sekarang juga." pinta Adrian sedikit memdesah, nafasnya memburu, seiring dengan gairahnya yang sedang tinggi Manda terdiam, hatinya berdebar keras. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya menatap Adrian dengan mata yang membulat."Adrian, aku ..."Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Adrian sudah mendekat, mengecup bibirnya dengan lembut. Manda tidak sempat menolak atau memberi respons. Tubuhnya kaku sejenak, tetapi ia tidak mendorong Adrian untuk menjauh.Sentuhan itu terus berlangsung, Adrian manarik pinggang Manda, agar tubuh keduanya kian dekat. Dan Adrian tidak berhenti, Ia lantas membimbing tubuh istrinya perlahan ke arah ranjang. Denga
Adrian duduk di sofa dengan wajah murung, sementara Manda bersiap-siap pergi ke kantor. "Aku pergi dulu, jangan lupa makan dan minum obat. Semoga cepat sembuh ya." Manda melangkah ke arah pintu, namun, suara Adrian membuatnya menghentikan langkah kakinya. "Berhenti," ucap Adrian tegas.Manda menoleh, keningnya berkerut. "Kenapa? Saya harus ke kantor, ada laporan yang harus saya selesaikan 'kan?"Adrian menatapnya dingin. "Kamu nggak perlu ke kantor hari ini. Kamu tetap di sini. Ada hal yang lebih penting untuk kamu selesaikan."Manda mengangkat alis, bingung. "Apa maksudnya? Aku nggak ada urusan lainnya, mas."Adrian berdiri perlahan, memegang perutnya yang masih terasa nyeri."Tanggung jawab. Kamu harus tanggung jawab karena bikin saya menderita semalaman gara-gara nasi goreng pedes itu."Manda hampir tertawa, tapi ia menahannya. "Mas, aku sudah bilang kan, itu bukan salahku. Kan sudah aku bilang agar di
"Aduh perutku.' ucap Adrian, ketika terbangun dengan rasa nyeri yang tajam di perutnya. Malam itu terasa panjang. Berkali-kali ia harus bolak-balik ke kamar mandi karena diare yang tak kunjung reda. Setelah beberapa jam, tubuhnya terasa lemas, dan peluh dingin membasahi wajahnya."Pasti gara-gara nasi goreng semalam," gumamnya dengan nada kesal. "Awas kamu ya Manda, kamu harus bertanggung jawab." sungutnya kesal. Ia lantas meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Jemarinya langsung mencari nama Manda di daftar kontak. Tanpa ragu, ia menekan tombol panggil.Sementara gitu, di tempat lain, Manda terbangun oleh dering telepon yang terus-menerus mengganggu tidurnya. Nomor tak dikenal terpampang di layar ponselnya, membuatnya enggan menjawab."Siapa sih pagi-pagi begini? Astaghfirullah hal Adzim, belum juga subuh, ganggu saja." gumamnya sambil mematikan suara ponsel.Namun, telepon itu kemba
"Kamu yakin ini tempatnya?" tanya Adrian sambil melirik kearah sekitar.Mobil Adrian kini telah berhenti di depan sebuah warung nasi goreng pinggir jalan. Lampu neon sederhana menerangi meja-meja kayu yang berjejer rapi. Aroma khas bumbu nasi goreng menyeruak di udara."Iya, Mas. Tempat seperti ini justru lebih nyaman," jawab Manda sambil membuka pintu mobil.Adrian mengikutinya keluar, tampak sedikit canggung. Beberapa pengunjung warung sempat melirik ke arah mereka, terutama Adrian yang jelas terlihat seperti orang asing di tempat itu dengan setelan formalnya."Mas, kita duduk di sana saja," tunjuk Manda ke salah satu meja kosong.Adrian hanya mengangguk dan mengikuti langkah Manda.Seorang pelayan datang dengan senyuman ramah. "Mau pesan apa, Mbak? Mas?"Manda tersenyum. "Dua porsi nasi goreng spesial dan dua teh manis hangat, ya, Mbak.""Baik mbak, seperti biasa kan?" "Iya mas."
Sesampainya di kantor, Adrian segera turun dari mobil, diikuti oleh Manda yang berjalan dengan langkah ragu. Rendy, yang sudah setia mengantar mereka, membuka pintu untuk Adrian."Terima kasih, Ren. Kamu bisa pulang dulu," ucap Adrian. "Aku akan lembur malam ini. Setelah selesai, aku sendiri yang akan mengantar Manda pulang."Rendy mengangguk dengan sopan. "Baik, Pak. Selamat bekerja."Setelah Rendy pergi, Adrian mengarahkan Manda menuju ruangannya. Begitu masuk, ia segera menghidupkan lampu dan duduk di kursinya yang besar dan nyaman. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja, membuat ruangan terlihat sedikit berantakan."Manda, tolong kerjakan laporan yang aku minta tadi," ujar Adrian sambil menunjuk meja kerjanya.Manda tertegun, lalu melirik tumpukan dokumen di meja itu. Ia mengenali laporan yang dimaksud Adrian, karena ia sudah menyelesaikannya tadi siang sebelum pulang. Namun, ia tak menyangka Adrian tidak menyadarinya.
Bab 27 "Perkenalkan bu, saya Rendy, asisten Pak Adrian, atasan Bu Amanda di kantor." ujar pria itu dengan suara tenang.Herawati menatap Rendy dengan alis terangkat."Adrian? Atasan Manda? Lalu, ada perlu apa, malam-malam begini datang kemari?" tanyanya, penuh rasa curiga.Rendy tersenyum, sedikit kikuk. "Maaf, Bu. Ada urusan pekerjaan yang mendesak. Bisakah saya bertemu dengan Bu Manda?"Herawati berpikir sejenak sebelum akhirnya memanggil anaknya."Ehm, sebentar ya saya panggilkan." ucapnya memasang raut wajah yak enak. "Manda! Ada tamu, Nak." serunya dari pintu.Langkah Manda terdengar tergesa. Ia muncul dengan wajah heran, mengenakan kaus dan celana santai. Begitu melihat siapa yang berdiri di depan rumah, ekspresinya berubah tegang."Pak Rendy?" katanya, setengah berbisik.Rendy mengangguk. "Selamat malam, Bu Manda. Maaf kalau saya mengganggu. Tapi, Pak Adrian menyuruh saya datang kemari karena ad