Citra merasa canggung kalau harus tidur satu ranjang yang sama dengan Sakti. Sekalipun ada Ginata yang berada di tengah-tengah mereka, tetap saja atmosfernya jadi terasa sangat aneh.Rasanya ruang gerak Citra jadi sempit."Anda gak mau ganti baju atau mandi dulu? Gak boleh pegang bayi kalo dari luar rumah, apalagi baru dari rumah sakit," tanya Citra yang sebenarnya cuma alasan klise saja. Citra hanya ingin membuat Sakti pergi sebentar dari kamarnya agar ia bisa sedikit punya waktu untuk bernapas lega. Setidaknya, Citra berharap kalau Sakti pergi keluar lebih dulu dari kamarnya, dirinya bisa leluasa untuk mandi dan berganti pakaian.Namun, harapannya pupus seketika saat jawaban santai itu terlontar dari bibir tipis Sakti."Di rumah sakit aku memakai baju steril, pulang pun langsung naik mobil gak mampir ke tempat lain dulu. Lagipula aku gak berkeringat, jadi aku pikir aku aman dan cukup steril. Aku mau tidur karena capek, Citra. Kalo kamu mau mandi, ya mandi aja. Jangan hiraukan keber
"Bersandarlah. Punggungmu akan sakit kalo terbungkuk kayak gitu," ujar suara serak yang begitu dalam. Khas orang yang baru saya bangun tidur.Itu Sakti.Citra berjengit terkejut dan menegang di tempatnya setelah tiba-tiba mendengar suara pria itu. Tubuhnya menegang saat punggung mereka saling bersinggungan."A-Anda sudah bangun, dari kapan?" tanya Citra akhirnya. Walau dengan nada suara yang terdengar gugup."Dari saat kamu mengajak Gina bercerita," jawab Sakti sekenanya. Sembari sesekali menguap.Pupil mata Citra melebar. Wajahnya pun mulai memanas dan perlahan merona merah karena menahan rasa malu."Anda denger semua ucapan saya?" Citra bertanya lagi. Kali ini ia benar-benar sudah merasa hilang muka di depan Sakti, padahal ia sengaja hanya bercerita berdua dengan Gina karena merasa tak akan ada yang mendengarnya."Iya aku mendengar semuanya."Citra tersenyum kecut."Bersandarlah ke punggungku. Punggungmu akan sakit kalo terus-terusan duduk dengan posisi begitu."Walau sempat ragu, p
Harum bedak dan minyak wangi bayi memenuhi seisi kamar. Rengekan-rengekan kecil terdengar dari Gina saat sedang dipakaikan baju oleh Citra. Begitu selesai, tangis bayi itu pun lenyap seiring dengan Citra yang menggendongnya dan membawanya keluar dari kamar.Mereka pergi ke depan rumah untuk sekadar mengantarkan Sakti yang akan berangkat kerja."Kotak bekalnya gak ketinggalan kan?" tanya Citra dan langsung dijawab dengan anggukan kepala oleh Sakti.Kemudian, pria itu pun mencondongkan kepalanya untuk mengecup lembut pipi Ginata, sebelum tiba-tiba saja ia beralih mendaratkan kecupan singkat pada kening Citra."Papa pergi kerja dulu, ya, Gina. Kamu baik-baik sama Mama ya, " ucap Sakti begitu ringannya. Ia melirik ke arah Citra yang membeku di tempatnya, lalu mengulas senyum tipis sebelum kemudian ngibrit pergi menuju mobilnya.Citra yang masih berada dalam keterkejutannya itu pun hanya diam di ambang pintu dengan perasaan lingling. Baru, ketika mobil Sakti dinyalakan dan melaju pergi, Ci
"Aku pulang," ujar Sakti mengabarkan kepulangannya. Citra yang saat itu sedang memasak pun seketika menoleh dan tersenyum saat melihat Sakti menghampiri Ginata yang terlelap di strollernya."Kenapa gak ditidurkan di kamar?" tanya Sakti. Kemudian, ia pun berjalan menghampiri Citra untuk sekadar memberikan kotak bekal yang sudah kosong. "Saya cuma takut Gina jatuh dari atas ranjang pas saya tinggalin masak. Jadi, saya pikir lebih baik Gina tidur di stroller supaya bisa saya saya pantau sambil masak."Sakti hanya mengangguk-anggukan kepala lalu tanpa aba-aba dia mendaratkan kecupan di kening Citra dan seketika membuat perempuan itu mematung di tempatnya."Terima kasih sudah menjaga Gina dengan sangat baik dan memasak makanan enak untukku. Kalo gitu aku mau mandi dan ganti baju dulu," ujarnya tenang lalu kemudian melenggang pergi begitu saja. "Apa cium kening termasuk ke dalam peran yang harus dilakukan sampe kontrak berakhir?" tanya Citra tiba-tiba, sehingga membuat langkah Sakti pun
"Siapa perempuan itu?" desis Agnes bertanya sembari memberikan berkas yang perlu ditandatangai oleh Sakti."Bukan urusan kamu."Sakti dengan tenang membaca berkas itu lalu membubuhkan tanda tangannya di sana, tanpa sekalipun memperdulikan keberadaan Agnes yang masih setia berdiri di depannya."Apa perempuan itu Tiana?"Sakti diam. Ia tetap berusaha untuk tak memperdulikan keberadaan Agnia, juga berusaha menulikan telinganya dari segala ucapan perempuan itu."Kamu gak mungkin nikah sama kakak tiri kamu, kan, Sakti? Kamu jangan gila deh! Tolong sadar, Sakti... mau sampe kapan kamu suka sama kakak tiri kamu sendiri? Jangan buat duniamu sempit. Stop terobsesi sama Tiana," sungut Agnes.Seketika, Sakti pun berhenti dari kegiatannya. Ia terpaku di tempatnya untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menghela napas berat dan kembali melanjutkan kegiatannya. Lagi-lagi ia berusaha mengabaikan keberadaan Agnes, sembari berharap kalau Agnes akan berhenti mengoceh dan segera pergi.Namun, harapannya i
Hari yang sangat mendebarkan kenapa pula harus selalu terasa cepat sekali datang. Padahal, Citra berharap bisa punya waktu untuk mempersiapkan hatinya jika harus kembali ke kampung halamannya."Gina tidur? Apa dia baik-baik aja?" tanya Sakti di tengah-tengah perjalanan mereka menuju rumah bedeng yang dulu di tempati Citra.Dengan jalanan bebatuan, membuat Sakti khawatir kalau Gina akan menangis karena perjalanan yang tidak nyaman.Citra mengangguk kecil. "Gina tidurnya anteng banget," jawabnya."Syukurlah. Aku sudah khawatir."Tak lama kemudian mereka pun memasuki area perkampungan, lalu Sakti pun memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah bedeng. Mesin mobil dimatikan, lalu Sakti pun melepas sabuk pengamannya untuk kemudian mengubah posisi duduknya jadi menghadap ke arah Citra."Sini, Gina biar aku yang gendong. Udara di luar terlalu berdebu," ujar Sakti seraya mengulurkan kedua tangannya.Tanpa membantah, Citra pun menuruti permintaan Sakti. Ia mengurai ikatan gendongannya, lalu seca
"Apa kamu baik-baik saja? Apa lebih baik kita puter balik?" tanya Sakti risau sembari sesekali melirik ke arah Citra yang bergeming di tempatnya.Citra sendiri yang meminta Sakti untuk terus melaju mengambil jalur yang arahnya melewati lapangan tempat pesta pernikahan Badra diadakan. Bahkan, Citra meminta Sakti untuk menghentikan mobil tak jauh dari lapangan untuk sekadar melihat dengan jelas seperti apa pesta pernikahan ini."Saya baik-baik saja," jawab Citra dengan tatapan yang masih tertuju keluar jendela mobil tepat ke acara pernikahan yang berlangsung meriah.Untuk ukuran pesta pernikahan di kampung, pernikahan Badra dan Vina sangat megah. Satu lapangan bola yang luas itu hampir seluruhnya dipakai untuk acara pesta. Dekorasi yang sangat indah dan stan stan makanan prasmanan yang banyak, menandakan kalau mereka mengeluarkan banyak sekali uang untuk acara itu.Tak aneh. Badra menikahi Vina, anak seorang saudagar paling kaya di kampung ini. Mana mungkin pesta pernikahannya akan berl
Keterkejutan besar tercipta begitu jelas di wajah jelita Agnes. Lagi-lagi ia menatap ke arah Citra dan Gina yang berada dalam pelukannya."A-Anda sudah punya anak?" tanya Angnes sedikit terbata.Ada sorot terluka di kedua matanya, tapi Citra tak mengerti apa alasannya sehingga dia pun kemudian melirik ke arah Sakti untuk mencari jawabannya. Namun, nihil... Citra tak menemukan apa yang ia inginkan karena Sakti tak setitik pun menunjukan ekpresi di wajahnya. Wajah pria itu tetap datar."Iya. Putri pertamaku baru berusia 1 bulan lebih. Dia lahir lebih awal dan perkiraan dokternya," jawab Sakti tenang. Ia bahkan mengulas senyuman tipis yang tampak begitu bahagia ketika membicarakan Ginata.Tapi, berbanding terbalik dengan Agnes. Ia yang terluka saat tahu fakta kalau Sakti tinggal dengan seorang perempuan muda dan seorang bayi, jadi menganggap kalau senyuman tipis Sakti justru seperti sengaja ditujukan untuk mengejeknya.Sorot mata Agnes pun tiba-tiba berubah nanar. "Ternyata anda beneran
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang