“Masih belum ditemukan juga?” Mika bertanya. Laisa dan Razan menggeleng.
“Jangan-jangan teman dari pulaumu itu kabur?” duga Lisa.“Mustahil!” kata Razan yakin. “Beberapa kali saat polisi meminta bertemu untuk menanyakan hal terkait penyelidikan, dia selalu bekerja sama. Dan namanya Adien bukan teman dari pulau.”“Tapi menurut tetangganya, dia hanya pulang hari itu saja. Setelah itu enggak ada yang tahu di mana dia tinggal. Kalau bukan kabur pasti bersembunyi. Dan kalau enggak salah kenapa harus bersembunyi.”“Bagaimana kalau bukan bersembunyi tapi menenangkan diri?” ujar Razan. “Bagaimana pun dia wanita yang lemah, butuh perlindungan. Setelah apa yang menimpanya di pulau, dia pasti ketakutan. Mungkin dia pulang ke rumah orang tuanya atau apa pun itu.”“Hohoho,” Laisa menirukan suara tawa sinterklas. “Jangan terkecoh, Bro. WMenurut pengusutan Razan, Mai sama sekali tidak berselingkuh dengan pria yang menjadi kepala daerah seperti yang beredar. Mereka dekat dan pria itu menyukai Mai adalah bagian yang benar. Tapi kedekatan Mai hanya sebatas teman, tidak pernah lebih atau bahkan intens. Pria itu berusaha dekat dan menggoda Mai juga bagian yang benar. Jadi, sebenarnya semua bermula karena pria itu dan secara langsung membuat Mai terkena imbasnya. Menciptakan fitnah di sana-sini. Bahkan setelah masalah menjadi lebih besar, pria itu diturunkan dari jabatannya, dan Mai dihujat dari berbagai sisi, pria itu tetap mendatangi Mai. Pria itu mengutarakan perasaan dan kesungguhannya untuk serius pada Mai. Orang-orang yang mengetahui hal itu semakin tidak berhenti menyerang Mai. Sebelum masalah dugaan perselingkuhan diketahui publik, Mai pernah dilabrak sang istri. Kejadian itu kembali diangkat ke permukaan, membuat orang-orang percaya pada apa yang beredar di dunia maya.
Laisa terus mengomel sepanjang jalan. Mempertanyakan jalan pikiran Mika yang tidak masuk akal. Membenci atau memaafkan memang hak prerogatif Mika, tapi Laisa tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa kesal. “Aku enggak salah, kan, mengatai Mika seperti itu? Dikhianati Jovita dia menderita selama seminggu, percaya pada penipu itu menderita sebulan. Sekarang mengambil risiko demi penipu itu. Apa Mika mau menderita seumur hidup?” “Iya, iya. Laisa yang benar. Mika pasti mengerti kalau Laisa hanya khawatir,” Razan menanggapi. “Siapa yang khawatir?! Aku marah, bukan khawatir!” elak Laisa. Razan hanya menanggapi dengan tawa. Bagaimana kedekatan Laisa dan Mika, Razan tahu persis. Laisa tidak pernah merasa khawatir seperti khawatir pada Mika. Laisa tidak pernah protektif, seperti ia protektif pada Mika. Terkadang, Razan sungguh merasa iri dengan perhatian yang bisa Mika dapatkan. Konyol! Bukannya
Pagi-pagi Laisa berkunjung ke rumah Mika. Semalam Razan sudah menceritakan apa yang didengarnya. Mika memang tipe yang tidak mudah menyerah. Tidak mungkin lagi memaksanya untuk mundur. Kalau sudah begitu, dibanding melarang lebih baik Laisa menemani sampai akhir. Hanya dengan menemani, Laisa bisa memastikan keamanan Mika. Begitu sampai, Laisa disambut pengurus rumah. Dari pengurus rumah Laisa tahu Mika sama sekali tidak keluar dari ruang kerjanya sejak semalam. Laisa naik ke lantai dua. Dalam ruang kerja, Mika tertidur dalam keadaan duduk dan menggunakan lipatan tangan sebagai bantalan kepalanya. Laisa melihat sekitar untuk mencari selimut tapi tidak ada di mana pun mata Laisa mencari. Karena tidak ada selimut, Laisa menggunakan jaketnya. Tidur Mika terlihat tidak tenang. Ada bekas air mata yang mengering. Laisa mengambil botol obat tidur yang ada di atas meja dan memperhatikan komposisinya. “Sudah begini berat kenapa enggak dile
“Aku akan menemui Rania.” Mika telah memikirkannya berkali-kali dan keputusan yang dibuat dalam kepalanya selalu sama. Menemui Rania. Sebenarnya jika Rania benar dimanfaatkan maka tidak akan ada banyak informasi yang diketahui olehnya. Meski seperti itu, Mika tetap ingin mencoba. Spontan saja kalimat itu mendapat penolakan keras dari Laisa. Ia sama sekali tidak setuju. Benar ada kemungkinan Rania memiliki informasi yang mereka butuhkan tapi tidak ada jaminan Rania akan bekerja sama. Juga bukan tidak mungkin Rania akan kembali berbohong. “Kita tidak akan tahu sebelum mencoba,” ujar Mika. “Jangan karena ketakutan-ketakutan yang belum tentu terjadi, kita gagal memanfaatkan peluang.” “Tapi kita enggak bisa mengambil risiko!” tegas Laisa tidak mau kalah. “Terlalu berbahaya.” Setelah Mika mengetahui adanya Game Invitasi dan mencoba memainkannya, perlahan
Tidak ingin membuang-buang waktu, Mika segera mengatur pertemuannya dengan Rania palsu yang bernama asli Kyra. Begitu disetujui, Mika segera lepas landas mengunjungi penjara. Kyra sama sekali tidak tahu siapa orang yang datang mengunjunginya. Karena tempat yang dituju adalah ruangan khusus bukannya ruang kunjungan umum, jelas orang yang membesuknya memiliki tujuan lain. Bisa jadi pengacara atau petugas dari tim penyidik. Begitu pintu di buka dan melihat siapa orang yang berada dalam ruangan, langkah Kyra tertahan untuk sesaat. Ia begitu terkejut, tidak menyangka. Kyra pikir ia tidak akan pernah bertemu dengan Mika lagi seumur hidupnya. "Sepertinya kamu bisa hidup dengan baik di tempat ini," ucap Mika. Kyra melihat sekelilingnya. Mika hanya datang seorang diri. Tapi jelas tidak benar-benar sendiri. Pembicaraan mereka diawasi. Beberapa orang pasti berada di ruang kontrol untuk menonton. "Tentu. Aku orang yang mudah bera
"Orang itu mengirim pesan lebih dulu pada Isamu, artinya bukan kamu yang membongkar identitasnya." Penjelasan Kyra mungkin mengurangi satu dari banyak pertanyaan di kepala Mika, tapi tetap tidak mengubah apa pun. Saat mengetahui mengenai kasus Mai, Mika sudah memikirkan kemungkinan itu. Jawaban yang didengarnya hari ini sama sekali tidak mengurangi beban dan tanggung jawabnya. "Padahal aku sudah berusaha menghentikanmu hari itu," sambung Kyra. "Ternyata kamu sengaja tertangkap basah saat menguping," ujar Mika. Kyra tidak menjawab. Ia sendiri melakukannya tanpa pikir panjang. Tidak tahu kenapa harus peduli. Sebenarnya kalaupun Isamu salah paham pada Mika, tidak akan merusak rencananya. Sekali pun Mika merasa bersalah, bukan ia yang memikul beban itu. "Terima kasih karena peduli padaku." Kelopak mata Kyra melebar. Kata-kata Mika membuatnya terenyuh. Seperti ada bagian dari dirinya yang mencair dan hatinya menjadi
"Permisi!" Kyra yang membawa nampan berisi pesanan meletakkan satu per satu makanan di meja pemesannya. "Selamat menikmati," katanya kemudian berlalu. Sebelumnya Kyra bekerja di salah satu perusahaan batu bara dengan penghasilan tetap. Dengan gaji dari pekerjaannya yang digunakan hanya untuk menghidupi diri sendiri, ekonomi Kyra stabil dan ia hidup dengan aman. Setelah kasus yang menimpa Mai viral, kehidupan Kyra pun ikut berubah. Ia keluar dari perusahaan dan beberapa kali bergonta-ganti pekerjaan. Ketika ayah dan ibu bercerai, Kyra ikut ayah dan Mai ikut ibu. Ibu kemudian pindah ke kota lain dan akhirnya menikah lagi di sana. Setelah ayah Kyra juga menikah, Kyra memilih keluar dari rumah dan tinggal sendiri. Meski Kyra dan Mai tidak tinggal satu rumah bahkan tidak lagi di satu kota, keduanya masih rutin bertukar kabar. Mai sering datang untuk mengunjungi kakak dan ayahnya. Beberapa kali bahkan menginap di tempat Kyra tinggal.
"Kyra!" Seorang pria yang berdiri di balik meja kasir memanggil. Kyra yang baru selesai mengantarkan pesanan meletakkan nampan dan mendekat ke arah orang yang memanggilnya. "Seorang pelanggan yang tadi duduk di dekat pintu menitipkan ini untukmu." "Aku?" tanya Kyra. "Apa isinya?" Yang ditanya menggeleng tidak tahu. Juga tidak tertarik mencari tahu. Barang yang diberikan pada Kyra adalah sesuatu yang dibungkus dengan map cokelat. Dari luar berbentuk seperti buku namun dalam ukuran yang lebih kecil. Kyra hendak membuka map pembungkus tapi perhatiannya teralihkan pada pelanggan yang baru datang. Dengan sigap Kyra menyambut dan membawakan buku menu. Menunda keingintahuannya terhadap isi map. Selanjutnya pelanggan terus berdatangan. Hanya menyisakan jeda untuk melepas lelah sejenak. Kyra sibuk mondar-mandir mengantar pesanan, melayani permintaan tambah menu, juga komplain mengenai makanan yang lambat datang. Sampai waktu pulang, Kyra melupaka
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari dua jam, sampailah Mika dan Laisa di sebuah rumah sakit yang terletak di pinggir kota. Kyra dirawat di sana. Dua hari yang lalu Kyra ditemukan di pesisir pantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudut bibirnya pecah dan memar di mana-mana. Nelayan yang menemukannya kemudian membawanya ke rumah sakit."Halo!" Laisa menyalami seorang pria yang telah menunggunya di lobi rumah sakit."Halo, saya orang yang menghubungi Anda." Pria itu balas menyalami Laisa. Juga bersalaman dengan Mika. "Orang yang akan kita temui ada di ruang rawat lantai tiga," tambahnya menjelaskan."Apa dia benar orang yang kita cari?" Mika meminta kepastian.Kyra menghilang selama lebih dari tiga bulan. Selama itu, Mika beberapa kali mendapat petunjuk. Petunjuk palsu yang berakhir pada kekecewaan. Kali ini, meski harapan sama tingginya seperti yang lalu-lalu, ia tetap tidak ingin merasa lebih kecewa."Bisa saya pastikan dia be
“Mika tidak perlu tahu dari mana Ayah bisa mendapatkan dokumen itu. Mika hanya perlu tahu bahwa yang tertulis di sana adalah benar,” tegas Ayah. Sembari menatap anaknya dengan tatapan ingin dimengerti, Ayah melanjutkan, "Setelah ini Mika tidak perlu khawatir. Segalanya akan segera selesai."Mika menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan dan lebih banyak lagi yang tidak ia mengerti. Tapi, apa Ayah akan memberi jawaban?"Bagaimana dengan Kyra? Bagaimana dengan keselamatannya?" Setidaknya Mika harus mengetahui sesuatu yang juga penting.Ayah terdiam sesaat. Setelah semua yang terjadi, tidak ada yang bisa menjamin apa yang selanjutnya akan terjadi. Mereka tidak tahu bagaimana kemampuan musuh yang saat ini dihadapi. Mereka tidak bisa menghitung peluang bahwa Kyra akan baik-baik saja."Tanpa memedulikan keselamatannya Ayah membuat keputusan sendiri?" Mika terlihat kecewa."Itu pekerjaannya!" Ayah berkata p
Saat ini Kyra menghilang, Zay juga ikut menghilang. Sementara Mika yang masih diliputi ketidaktahuan nyaris frustrasi. Mika sama sekali tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di benak Kyra. Awalnya Mika pikir setelah mengunjungi Zay, ia setidaknya akan mendapatkan sedikit titik terang. Namun ia terlambat selangkah. Zay telah pergi. Pada akhirnya tidak ada yang Mika dapatkan. Mika sedang merenungkan semua yang telah ia alami hingga detik ini. Ada firasat buruk yang menjalari kepalanya setiap kali memikirkan Kyra. Sudah banyak orang dikorbankan dalam permainan. Kini yang ada di pikiran Mika hanya menyelamatkan Kyra dan mengakhiri semua. Ketika masih sibuk dengan pikiran-pikirannya, Mika mendengar suara dari balkon. Suara-suara yang mencurigakan namun sama sekali tidak membuat Mika panik. Ia duduk dengan tenang sembari menunggu. "Akhirnya datang juga." Mika menunjukkan ekspresi kebosanan.
"Sekarang bagaimana?" Laisa bertanya kepada Mika ketika mereka telah berada di halte. "Ke tempat Kyra tinggal," jawab Mika singkat. "Mika masih mengkhawatirkan anak itu?" Bagi Laisa, selain Kyra masih ada banyak hal yang patut dikhawatirkan. Salah satunya adalah kesehatan Mika sendiri. Mika tidak menanggapi. Ia telah membuat keputusan dan apa pun yang Laisa katakan tidak akan bisa mengubahnya. "Bukankah harusnya Mika pulang dulu agar Ibu enggak khawatir." Meski Mika tidak meminta, Laisa tetap memberi alternatif pilihan. Mika menggeleng tegas. "Kalau sudah pulang enggak akan mudah untuk ke luar lagi."Benar, Laisa membatin. Ibu Mika pasti tidak akan dengan mudah memberi izin bagi putri kesayangannya ke luar dan berkeliaran di jalan. Ditambah lagi apa yang akhir-akhir ini baru menimpa Mika.Laisa menghela napas. Sebenarnya Laisa tahu ia tidak akan bisa mengubah apa yang telah Mika putuskan, tapi setidaknya ia telah me
"Apa dia?" Laisa menunjukkan foto seseorang di layar ponselnya. Ia ingin wanita yang berbicara dengannya mengidentifikasi wajah yang ia tunjukkan. Wanita yang berbicara dengan Laisa memperhatikan lekat foto yang ditunjukkan. Keningnya berkerut dalam saat mencoba mengingat. "Saya enggak lihat jelas wajahnya tapi dari ciri-ciri persis orang ini." "Siapa?" Mika yang penasaran, mengintip ponsel Laisa dan hasilnya cukup mengejutkan. "Kenapa? Kenapa Kyra?"Mika sungguh tidak menyangka Laisa akan menunjukkan foto Kyra. Tidak alasan Kyra dicurigai. Juga, tidak ada alasan bagi Laisa menemui Zay tengah malam. Kecuali ..."Kyra mempunyai petunjuk yang enggak kita ketahui?" Laisa berbicara seolah tahu apa yang sedang Mika pikirkan.Mika tidak menyahut ataupun membalas. Ia tidak tahu jawabannya. Tidak tahu apa yang tengah Kyra pikirkan. Juga tidak tahu apa yang wanita itu rencanakan. Ia hanya percaya bahwa Kyra tidak akan mengkhianatinya.Apa yang ingin ditanyakan telah ditanyakan dan apa yang p
"Mika yakin mau keluar dari rumah sakit?" tanya Laisa untuk ke sekian kalinya. Mika juga mengangguk untuk ke sekian kalinya. Laisa membantu berkemas tapi ia terus bertanya tentang ini dan itu. Laisa tidak bisa tidak khawatir. Terlebih, karena pembicaraan semalam sama sekali tidak menyenangkan. Setelah pembicaraan semalam, Mika lebih banyak diam. Ada kemarahan, perasaan kecewa, dan sorot mata penuh kekhawatiran. Laisa tahu persis rasanya. Bahkan sampai detik ini, ia tidak ingin percaya. Dadanya masih terasa sesak. "Bagaimana dengan Ibu Mika? Bagaimana dengan kesehatan Mika?" Laisa tidak berhenti bertanya. "Sudah seperti ini, aku tidak bisa hanya berbaring di rumah sakit." Mika bicara tanpa menatap lawan bicaranya. Ia menghentikan aktivitasnya. Laisa ikut berhenti. Kemudian menghela napas. "Aku akan menghubungi orang tuaku. Jangan khawatir!" tambah Mika. "Kalau begitu aku akan mengurus administrasinya." Laisa menawarkan bantuan dan berlari ke luar ruangan. Begitu Laisa pergi,
Kegelapan semakin pekat dan malam semakin larut. Bulan berselimut awan, sedang bersembunyi dengan nyaman. Bintang tidak menyapa, tersipu oleh gemerlap kesibukan kota yang tiada henti.Laisa berusaha memejamkan matanya namun tanpa hasil. Mencoba membenamkan wajah di atas bantal pun sia-sia. Meringkuk di balik kemul juga gagal. Padahal ia merasa lelah, merasa butuh istirahat.Laisa berharap setelah bangun keesokan harinya, semuanya akan baik-baik saja. Ia berharap kemarahannya telah berkurang. Berharap rasa sakit hatinya terobati. Berharap kesedihannya hilang. Berharap kemelut dalam kepalanya lenyap.Hela napas panjang terdengar di tengah kesunyian kamar. Laisa merasa malam ini seolah tanpa akhir. Merasa genrenya berubah melankolis. Ia tidak suka. Benci pada dirinya sendiri yang seperti ini."Ah, kepalaku sakit!" keluh Laisa.Merasa tumpat oleh keheningan sekeliling yang seakan menghisapnya, Laisa memutuskan beranjak. Ia tidak boleh seperti ini terus-menerus.Laisa mengambil jaket kulit
Kyra masih menunggu. Ketika pintu dibuka dengan kasar dan seseorang melangkah ke luar, Kyra sedikit terkejut.Orang yang ke luar lebih dulu adalah Laisa. Raut wajahnya terlihat semakin tidak baik dan emosinya yang berantakan tampak begitu jelas. Ia tampak tidak baik-baik saja dan tidak mencoba berpura-pura baik-baik saja.Hasil pembicaraan bisa ditebak tidak berakhir dengan baik. Meski seperti itu, Kyra tetap penasaran. Ia mengintip ke dalam ruangan sebelum pintu akhirnya tertutup. Tampak jelas wajah putus asa Razan dan pipi kirinya yang memar kemerahan. Bayaran atas pengkhianatannya.Laisa pergi tanpa mengatakan apa pun. Kyra membuntut juga tanpa bertanya apa pun. Apa pun yang keduanya bicarakan, yang terpenting adalah bagaimana Laisa tidak goyah. Dan semua itu sudah terlihat jelas dari hasil pembicaraan yang tidak berakhir dengan baik.Laisa adalah tipe yang emosional. Bagaimana kondisi emosi dalam dirinya, telah tercermin dari tindakannya. Bahkan sebelum ia mengatakan apa pun. Tind
Razan bersikeras minta diberi waktu untuk bicara berdua dengan Laisa. Kyra sebenarnya merasa keberatan. Ia pikir, ia memiliki hak untuk mengetahui kebenaran yang Razan sembunyikan. Orang yang terlibat sejak awal adalah dirinya. Dibanding Laisa maupun Razan, Kyra memiliki alasan paling kuat untuk mengetahui segala yang bersangkutan dengan kasus.Namun, melihat dari sisi lain, apa yang terjadi antara Laisa dan Razan juga melibatkan masalah pribadi keduanya. Karena masalah umum dan pribadi tercampur aduk, dengan berat hati Kyra memberi ruang untuk keduanya bicara berdua.Kyra meninggalkan ruang karaoke dan berdiri menunggu di luar. Ia harus senantiasa siaga, agar jika sesuatu terjadi, ia bisa cepat mengambil tindakan.Membiarkan Laisa dan Razan berbicara berdua, Kyra hanya bisa meninggalkan kepercayaannya. Ia yakin Laisa tidak akan mudah terperdaya pada apa yang mungkin Razan akan tawarkan."Semoga saja." Kyra menghela napas dan berkata lirih. Tampaknya ia tidak yakin seratus persen pada