Bau cat menyeruak menusuk hidung, ketika Agra memasuki ruang apartemen. Sejenak, ia menatap lengang ruangan ini. Ruang demi ruang yang ia pugar untuk menyambut kedatangan Larasati kembali dalam hidupnya.
Dulu, apartemen ini begitu monoton. Hanya ada warna brown, abu, hitam, dan putih. Begitu monokrom dan maskulin. Tapi kini, Agra sengaja merenovasinya agar sedikit lebih manis. Menambah beberapa interior yang sedikit feminim dan juga sentuhan warna-warna cerah.
Perlahan, jemarinya menelusuri bantal sofa berbulu warna baby pink. Larasati sendiri yang memilihnya minggu lalu. Agra beranjak, berdiri tertegun di depan bufet besar warna putih tempat home teaternya diletakkan. Berjajar cantik frame foto mereka berdua. Matanya menjelajah pada vas bunga transparan di atas meja berisi setangkai mawar putih kesukaan Larasati, lalu pada hordeng mewah paduan warna putih,
Setiap orang memiliki titik balik dengan hidupnya. Begitupun dengan Neira. Ia tidak boleh terus seperti ini, hidup dengan masa depan yang tidak jelas.Neira memandang pantulan dirinya yang ada di cermin. Titik matanya fokus pada perutnya yang membuncit, ia tersenyum simpul. Sudah banyak yang ia korbankan. Dia ... Telah banyak kehilangan. Kini, jika ada hal yang harus dia korbankan lagi, itu adalah dirinya sendiri. Bukan anaknya. Satu-satunya hal yang harus ia lakukan, adalah mengambil apa yang seharusnya menjadi haknya. Selebur apapun nanti dirinya, ia____ tidak boleh menjadi satu-satunya orang yang tersakiti.Bingkai bibir merahnya mematri senyum penuh kebencian. Dagunya terangkat, tegas memandang pantulan wajahnya yang berada di cermin. Rambut bergelombangnya yang terbiasa terkuncir, kini tergerai indah. Polesan riasan yang selama ini menjadi momok bagi dirinya, mulai saat ini akan menjadi sahabat
Dalam langkah yang tenang dan anggun itu. Sungguh, hatinya sebenarnya remuk redam. "Bayi kamu." Kata yang keluar dari mulut Agra itu memang tidak salah, bayi dalam perutnya ini memang adalah bayinya. Tapi kata-kata itu benar-benar menyakiti hatinya. Kata sederhana untuk sebuah penolakan.Ia mendongak ke langit. Seolah apa yang ia lakukan itu mampu membendung air matanya yang hendak menetes. Hingga satu tarikan pada lengannya menyadarkan Neira, bahwa lelaki berengsek itu sekarang sudah ada di sampingnya.Agra, memojokkan Neira hingga punggung wanita itu membentur pintu mobil."Maksud kamu apa?" tanya Agra pelan, tapi dalam."Dari sisi mananya yang belum jelas?" Neira, tak ragu lagi untuk menatap lurus ke arah manik mata milik Agra."Saya mencoba peduli sama kamu. Dua kali saya beri kamu cek untuk melanjutkan hidup. Kamu menolak._____Sekarang, saya menawarkan kehidupan ya
Semua tak lagi sama. Entah apa yang berbeda, tapi bersama Larasati malam ini sungguh terasa hambar dan kosong. Agra seperti layangan putus, tidak tahu ke mana arah hatinya berlabuh. Bukankah di hadapannya ini adalah wanita yang ia impikan dan idamkan? Wanita yang ia cintai selama ini?Agra hampir tidak paham dengan semua yang diucapkan Larasati, ia hanya bisa tersenyum merespon semuanya. Hatinya, otaknya, fukusnya, entah kini berada di mana."Kamu lagi banyak pikiran?" tanya Larasati yang hanya disambut gelengan dan senyum. Lelaki itu berusaha menghiburnya dengan usapan lembut di pipi Larasati. Tapi tentunya Larasati bukan perempuan bodoh yang bisa dengan mudah dibohongi. Instingnya sebagai perempuan, tahu persis ada yang tidak biasa dari Agra."Kamu dari tadi diem aja, enggak seperti biasanya. Pikiran kamu lagi enggak di sini."
"Kamu mau minum apa? Air putih atau air mineral?"Pertanyaan macam apa itu? Apa bedanya air putih dengan air mineral? Neira memutar bola matanya. Agra yang bertanya, jadi menghentikan aktivitas catat mencatat menu orderan makan siang karena yang ditanya hanya diam. Lalu bertopang dagu melihat ke perempuan yang ada di depannya ini."Pertanyaan macam apa itu? Senormalnya orang itu bertanya yang beda rasa. Mau es teh atau es jeruk? Mau jus atau air mineral?" ____ Neira berceloteh tanpa peduli tatapan gemas Agra. Tangan kanan dan kirinya bergantian memperagakan pilihan antara es teh dan es jeruk, jus dan air mineral, dan berbagai merk minuman yang ia sebutkan.____"Kalau air putih dan air mineral, apa beda rasanya coba?" Neira mengedikkan dagu sebagai protes."Bedanya ..." Agra menopang kedua tangannya pada meja_____"Air putih bisa saja hangat. Kalau air mineral sudah pasti dingin. Jadi mau yang mana?""Es teh.""Enggak boleh!""Ih ... Tadi nanya, sekarang dijawab malah enggak boleh. Terus
"Kamu sama mas Agra tuh, sebenarnya ada apa sih?" tanya mak Oni pada Neira yang sedang rebahan di saung belakang rumah. "Ada apa memangnya, Mak?" Alih-alih menjawab, Neira justru bertanya balik. Ia bangkit duduk, menoleh pada mak Oni yang sedang membersihkan kolam ikan. "Mak memang sudah enggak muda. Tapi justru karena Mak udah tua, jadi banyak makan asam garam. Mak juga pernah muda, tahulah urusan anak muda bagaimana.""Asem sama garam kalau dicampur memang enak sih, Mak. Seger. Kayak asinan.""Ih, kamu ini. Mak serius lho, Nei." Mak Oni melotot ke arah Neira yang masih cengengesan di atas saung. "Walau keluarga Bagaskara baik sama kita, tapi kita tetap harus bisa tahu diri. Mak cuma takut kamu salah paham sama mas Agra dan berharap lebih." Neira rasanya tertohok. "Mas Agra memang baik, dia enggak akan mempermainkan wanita. Tapi kamu tahu sendiri, mas Agra sudah punya mbak Laras. Jadi jangan sampai kamu baper," kata Mak Oni mengakhiri ceramah siangnya. Ia meletakkan serok ikan, l
"Kamu ngapain ke sini?" sembur Ratih saat melihat anaknya datang."Papah yang telepon Agra. Minta Agra jemput Mami, takut bawa belanjaannya banyak. Lagian kenapa engga bawa mobil sih, Mi?"Agra menyerobot duduk di bangku depan Neira. Agra belum tahu jika bangku kosong di sebelahnya adalah milik Larasati. Wanita itu sedang ke toilet."Mami belum ganti kaca mata, udah burem."Agra hanya mengangguk."Kamu mau makan?"Agra menggeleng. "Mami masih makan? Kalau sudah selesai pulang, yuk.""Bentar, yang punya bangku di samping kamu belum balik. Lagi ke toilet." Agra melongok ke sebelah, kenapa dia baru sadar ada piring makan milik orang di sebelahnya."Siapa, Mi?""Aku," jawab Larasati di belakang Agra. Sontak Agra menoleh. Dia tidak tahu bahwa Larasati dengan maminya akan bertemu. Larasati mengambil duduknya kembali."Wahhh ... Kok Agra engga tahu ya, Mami janjian sama Larasati ketemuan." Agra melirik ke arah Ratih penuh curiga."Lho ... Laras yang mengajak Mami bertemu, iya, kan Laras?""Iy
Riuh rumah sakit siang ini menghantarkan Agra pada lorong ruang VVIP. Bau obat menyeruak menusuk hidung. Ragu, ia membawa langkahnya menuju ruangan di ujung sana. Di mana seseorang yang ia sakiti seminggu lalu, terbaring pucat penuh dengan rasa depresi.Seminggu itu pula, Agra baru hari ini berani memperlihatkan batang hidungnya. Ia memilih kabur ke apartemen malam itu, menghindari segala interogasi yang sudah pasti akan di lancarkan Bagaskara. Nyatanya, hingga tujuh hari lamanya, Bagaskara tidak mencari Agra. Tidak datang ke apartemen ataupun menelepon anak kandungnya itu. Bahkan, saat hari ke-empat Agra terpaksa pulang demi mengambil berkas kantor, Bagaskara dan Ratih memilih untuk mengunci mulut mereka rapat-rapat. Tak ada tegur sapa.Pintu bercat putih itu sedikit terbuka saat Agra datang. Ada berbagai rasa yang berkecamuk di hati Agra. Rasa kasihan, rasa bersalah, marah, bingung, segala
Di negeri nun jauh di sana, Prayoga didera gelisah berbulan-bulan. Ia tak lagi fokus pada pendidikannya, walau awal mula datang ke tempat ini, ia telah bertekad untuk fokus agar segera lulus dan bersanding dengan Neira. Nyatanya, semua keganjilan yang ia rasakan perihal komunikasinya dengan Neira, membuatnya buyar.Gadis pujaannya itu, tidak pernah sekalipun mau menjawab teleponnya. Ia hanya membalas pesan dari Prayoga seadanya. Tidak pernah update media sosial, pun gadis itu juga tidak pernah mau mengirim video kegiatannya pada Prayoga. Saat Prayoga memintanya untuk video call, betapa banyak alasan dari Neira yang Prayoga dapatkan.Awalnya Prayoga mencoba percaya, bahwa gadis yang ia cintai itu memang tengah dilanda kesibukan perkuliahan, apalagi Neira mengambil jurusan kedokteran. Tapi makin lama semua alasan yang gadis itu lontarkan tidak bisa diterima oleh akal sehat Prayoga.
Pelukan hangat lima manusia itu hadir seolah perpisahan mereka begitu lama. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat kepada Ethan atas wisudanya, Agra memilih untuk mendorong kursi roda ayahnya dan berjalan di sisi ibunya. Seakan dirinya memberikan ruang bagi Neira dan Ethan untuk meluapkan kerinduan. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf atas tindakan cerobohnya tadi di dalam mobil. Dari sudut matanya, Agra bisa melihat jelas bagaimana dua manusia itu saling mendekap erat, atas nama kerinduan. Mendesah pasrah, Agra rela tak rela meninggalkan mereka Ethan dan Neira. Walau sejenak dapat hatinya terbersit sebuah tanya. Apakah mungkin secepat itu cinta hadir antara Ethan dan Neira? Wajah-wajah bahagia tampak jelas di sana. Ethan yang berbinar di sepanjang bercerita dengan Neira. Pun wanita itu yang selalu terlihat bersemu sejak dari bandara hingga kini mereka sudah akan tiba di rumah. Ayah dan ibu tak jauh berbeda, sesekali tergelak menimpali cerita Ethan dan Neira. Hanya Agra yang just
Langit cerah hari ini, secerah wajah Neira yang sudah tidak sabar bertemu dengan Ethan. Kini dirinya sedang berada di dapur, menyiapkan beberapa hidangan sarapan untuk diletakkan di atas piring. Entah kenapa, hatinya berbunga saat semalam Ethan mengabarkan hari ini mereka akan pulang. Mungkin karena rindu pada ibu dan bapak, atau mungkin juga dirinya merasa kembali terlindungi saat Ethan sudah berada di dekatnya. "Hari ini bapak sama ibu pulang ya, Mas?" tanya Mak Oni ketika menata sarapan di meja makan. Ada Agra di sana, duduk sendirian sedang membaca koran menanti sarapan siap. "Iya, nanti sore. Mak kok tau? Mami ngabarin?" Agra menurunkan korannya. "Bukan, Neira tadi kasih tau. Katanya semalam Mas Ethan ngabarin mau pulang.""Oh, Neira. Mak mau ikut saya jemput ke bandara?" Agra tersenyum melihat Mak Oni yang kegirangan atas penawarannya. "Duh, pengen banget Mas, tapi kerjaan Mak Oni masih banyak. Beresin kamar ibu, Mas Ethan, duh masih numpuk pokoknya. Nanti oleh-olehnya aja y
Agra susah payah menggendong Neira memasuki rumah. Wanita itu tertidur pulas saat perjalanan pulang. Dengan berat badan Neira yang berbadan dua, dan kondisi cidera Agra yang sebenarnya belum sepenuhnya pulih, lelaki itu benar-benar mengorbankan banyak tenaga. Jarak kamar Neira yang jauh di rumah bagian belakang dan harus melewati dapur, membuat Agra enggan mengantar wanita itu ke sana. Mau tak mau ia merebahkan wanita itu di kamar miliknya. Toh, wanita itu sudah pernah tidur di kamarnya, harusnya tak masalah dan tak akan marah saat nanti ia terbangun. Berpeluh keringat dan napas ngos-ngosan. Agra menghirup oksigen banyak-banyak setelah beban di lengannya itu hilang. Sumpah demi apa pun, lengannya benar-benar kebas sekarang. Setelah mengatur suhu AC, Agra menyelimuti Neira. Entah kenapa, wajah pulas Neira yang begitu polos membuat sudut bibir Agra tertarik ke atas dengan sendirinya. Menutup pintu perlahan, Agra meninggalkan Neira. Ia butuh minum! Namun, yang tidak Agra tahu, setelah
Gambar layar bergerak beraturan, menunjukan sesosok bayi cantik di sana. Bahkan sebuah senyum tersungging di bibir mungilnya. Baru kali ini Agra melihat langsung USG 4 dimensi kandungan Neira. Tak dapat dipungkiri, hatinya terenyuh. Bahkan saat suara detak jantung si kecil itu mulai terdengar di audio ruang periksa, jantung Agra berdetak berkali lipat kencangnya. Pelupuk matanya sempat panas dan berkaca, saat senyum si kecil mengembang jelas. Hidung, bibir, dagu, terlihat sama persis dengan milik Agra. "Wah, ini cetakan bapaknya ya. Ibunya tidak kebagian," canda dokter kandungan yang masih dengan telatennya menelusuri perut Neira dengan alat USG. Neira tersenyum kikuk, begitupun dengan Agra. Bagaimanapun mereka bukan sepasang suami istri yang sedang dengan gembira menanti si calon buah hati. Jadi jangan harap akan ada reaksi hangat dan suka cita yang berlebihan, apalagi mesra, saat melihat si kecil ada di sana. "Sehat kan, Dok?" tanya Agra, memecah kekakuan di antara mereka. "Seha
Pagi menyingsing. Mentari masih malu-malu keluar dari peraduannya. Namun, sejak selesai subuh tadi Agra sudah bergegas pergi ke pasar tradisional yang tak jauh dari rumah. Berbekal naik sepeda kayuh yang biasa Mak Oni pakai, Agra menikmati paginya dengan penuh suka cita. Rasanya sudah lama sekali dirinya tidak menikmati aktivitas semacam ini. Sendal jepit, celana pendek selutut, kaos putih polos presbody, tak lupa topi hitam kesayangannya dulu waktu masih berkuliah, menjadi outfit ternyaman yang ia kenakan. Agra tidak terlihat kikuk sama sekali. Beberapa pedagang justru masih mengenali Agra yang dulu acap kali ikut berbelanja bersama Ratih. Tak lupa, ia mampir ke tempat bubur kacang hijau langganannya sewaktu dulu. "Mang, sehat?" sapanya ketika baru memarkirkan sepeda di dekat gerobak bubur yang biasa mangkal di depan pasar itu. "Weh, Mas Agra. Lama tidak kelihatan." "Iya, Mang. Bubur satu ya, Mang." Agra berbegas mengambil kursi untuknya duduk. Menghirup udara pagi dalam-dalam,
"Kamu baik-baik aja di rumah?" Suara di seberang sana tampak sedikit lesu. "Hemm ...." Neira menjawabnya dengan bergumam. Matanya lelah dan ia sedikit lagi sudah akan terlelap. "Jangan capek-capek ya. Tidak ada Mak Oni di rumah, bukan berarti kamu harus kerjain semua hal sendiri." "Iya. Engga diforsir kok, Kak." "Agra tidak bikin ulah, kan? Larasati pernah datang?" ... Ada jeda, entah mengapa Neira justru terdiam saat Ethan bertanya tentang Agra. Ulah? Neira sedikit ambigu mencerna kata itu. "Kok diam? Kalian tidak terlibat pertengkaran lagi, kan?"______"Nei?" "Ah, iya. Apa, Kak? Maaf, Nei ketiduran." Neira tergagap. Alasan klise yang sedikit geli untuk di dengarkan, bahkan oleh dirinya sendiri. "Udah mau tidur ya? Padahal aku masih kangen mau ngobrol." "Kangen?" Pertanyaan yang entah Neira lontarkan untuk dirinya sendiri atau untuk Ethan. Dan seolah Ethan sadar, bahwa ia telah kelepasan bicara. "Eh, engga. Maksud Kakak, masih mau ngobrol sama kamu tanya keadaan. Waktunya US
"Tidak perlu khawatir. Bukan cidera parah, tapi memang butuh istirahat yang cukup." "Kemarin sempat demam lho, Dok," ucap Neira saat mengantarkan Dokter Arifin menuju teras rumah. Ia sengaja memanggil dokter pribadi keluarga Bagaskara itu hari ini untuk memeriksa keadaan Agra. Walau sebenarnya yang sakit menolak, tapi Neira tidak ingin tiap malam deg-degan karena tidak tahu separah apa kondisi Agra sebenarnya. Dokter Arifin tersenyum. "Wajar kok, Nei. Memang tidak bisa dikatakan cidera ringan, tapi juga bukan cidera berat. Demam biasanya terjadi karena tubuh Agra mengalami trauma pasca kecelakaan. Pastikan saja Agra cukup istirahat dan menghabiskan obatnya. Nah, yang satu ini kamu harus sedikit berusaha lebih keras. Agra sulit kalau disuruh minum obat. Oh, iya. Perbannya jangan lupa diganti ya, dua hari sekali jika tidak basah." Dokter Arifin menghentikan langkahnya, ia sudah sampai di ujung teras. "Neira usahakan, Dok. Sekali lagi terima kasih. Benar kan, Dok saya tidak perlu mem
Gerimis mendera malam ini. Sudah pukul sebelas malam, tapi Neira masih terjaga. Ia berbaring miring dengan gelisah, entah kenapa hatinya ingin sekali melihat Agra. Walau akal sehatnya berkata 'Jangan!'. Ia jengah dengan kegelisahan dan akhirnya memilih untuk duduk di tepi ranjang. Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia jadi begitu peduli yang berlebihan pada Agra? Neira mengembuskan napas sebal. Membelai perutnya yang buncit, mungkinkah efek bawaan bayi? Tak mau larut dalam kegelisahan yang berujung tidak dapat tidur nyenyak, Neira meraih sweeter hitam tipis miliknya untuk membalut daster yang ia kenakan. Peduli setan dengan harga diri, ia akan menemui Agra. Namun, baru beberapa langkah ia meninggalkan kamarnya, keraguan itu mendera. Neira meraih ponsel di saku dasternya, membuka kembali pesan yang tadi sore ia dapatkan dari Ethan. Jelas Ethan menuliskan di sana agar Neira menjaga jarak dengan Agra. Namun, sekarang kondisinya tidak sama. Haruskah ia tidak peduli pada Agra yang sedang tert
"Mak ... " Neira merengek di hadapan mak Oni yang kini sedang bersiap packing di kamarnya. "Masa Nei harus berdua aja di rumah sama mas Agra, Mak?"Mak Oni membuang napas berat, menatap iba pada Neira. "Mak juga kalau bisa engga pulang kampung, Nei. Rencananya kan nanti setelah ibu pulang, baru Mak pulang kampung, tapi cucu Mak udah brojol duluan gini mau bagaimana?" Mak Oni menarik resleting tasnya. Packing telah usai. "Mantu Mak yatim piatu, engga punya keluarga sama seperti kamu. Anak Mak baru bisa pulang tiga hari lagi, kan kasian menantu Emak, Nei. Sekarang di rumah sakit, cuma ditunggu sama tetangga." Mak Oni menggeser tubuhnya mendekat pada Neira. Wanita tua itu menyampirkan helaian rambut Neira yang terjatuh dekat mata, lalu menggenggam erat tangan Neira. "Mak udah cerita, kan? Cucu Mak yang pertama baru umur 4 empat tahun, pasti kamu bisa bayangin gimana paniknya menantu emak. Anaknya di rumah sendiri sama tetangga, dia sendiri bangun saja susah karena melahirkan Caesar. Mas