Hujan deras mengguyur Jakarta sejak subuh tadi. Hingga saat sore menjelang, hujan itu tak kunjung reda.
Prayoga duduk gelisah di ruang keluarga, ada rasa tidak nyaman di hatinya. Pikirannya tertuju pada Neira, entah firasat buruk atau hanya khawatir karena pertengkaran mereka kemarin malam.
"Kamu kenapa?" tanya Amanda, ibunya. Wanita itu sedang menonton televisi di sebelah Yoga.
"Kenapa memangnya, Mah?"
"Gelisah begitu." Ucap Amanda cuek, sembari memasukkan keripik kentang ke mulutnya.
"Enggak, Yoga biasa aja." Elaknya, tapi yang terlihat justru sebaliknya. Jari tangan kirinya sedari tadi mengetuk acak gagang sofa, sedangkan tangan kanannya sibuk memutar-mutar handphone. Matanya memang mengarah ke televisi, tapi Amanda tahu persis bahwa pikiran anaknya sedang tidak di sini.
Amanda meletakkan bungkus keripik kentangnya. Menyandarkan tangan pada bahu sofa sebagai topangan kepala, lalu memandang fokus ke arah Prayoga yang berada di sampingnya. Amanda memicingkan mata penuh curiga.
Ditatap seperti itu, Prayoga risih. "Apa sih, Mah?" pemuda itu salah tingkah.
"Kalau mau bohong, les privat dulu tuh sama Mang Ujang,____ supir keluarga Prayoga______dia ahlinya." Cibir Amanda.
Prayoga menggeleng. "Isshhh ... Mamah."
Ia menyerah jika harus berbohong pada Amanda. Bukan perkara dia yang memang jarang berbohong dan amatir, tapi ibunya itu memang seperti cenayang jika menyangkut hati anaknya. Sulit dibohongi.
Prayoga bangkit meninggalkan Amanda. Dalam situasi seperti ini, lebih baik dia menjaga jarak dari ibunya. Dia yang tidak pandai berbohong pasti akan dibantai telak oleh ke-kepoan Amanda yang tiada tanding.
"Mau ke mana? Katanya mau nemenin Mamah nonton."
"Tidur." Jawabnya tanpa menoleh ke Amanda.
"Tidur apa 'tidur'?"
Prayoga tidak menjawab, ia memutar matanya jengah lalu setengah berlari menaiki anak tangga menuju lantai dua. Namun, saat langkahnya sudah tepat berada di depan pintu kamar, Prayoga justru berbalik. Ia, tidak bisa mengabaikan instingnya untuk kali ini. Dia yakin ada yang tidak beres dengan gadisnya.
Prayoga berlari dengan cepat menuruni anak tangga, lalu meraih kunci mobilnya di atas kulkas.
"Lho, katanya tidur? Mau ke mana lagi?" tanya Amanda ikut panik. Tergopoh mengikuti langkah cepat Prayoga.
"Ke rumah teman, sebentar aja kok Mah."
"Banjir lho di mana-mana, Ga."
Prayoga berbalik. Tersenyum manis ke Amanda lalu mencium pipi perempuan itu. Amanda mencebik, satu ini jurus andalan anaknya untuk meluluhkan hatinya. "Yoga cepat pulang kok, Mah. Janji." Bisiknya, lalu bergegas meninggalkan Amanda yang masih kebingungan.
Dan benar kata Amanda, banjir di mana-mana. Prayoga menatap ke arah langit yang menggelap dari balik kaca jendela mobil. Guntur dan kilat terlihat menyambar-nyambar di depan, hujan semakin deras dan sepertinya akan bertahan lama. Prayoga yang sejatinya orang sabar, tapi kali ini ia menjadi tidak sabaran. Berkali-kali Yoga membunyikan klakson di tengah banjir dan macet, walau sebenarnya itu percuma saja tidak akan memperlancar laju mobilnya.
Dalam keterdiamannya menunggu, hati Prayoga semakin kalut. Bodohnya dia, yang seharusnya semalam meninggalkan handphone-nya untuk gadis itu, atau kenapa tidak sekalian saja kemarin membelikan handphone baru untuk Neira? Ia merutuki kebodohannya.
Tiga jam berlalu, dan dirinya belum sampai pada tujuan. Seharusnya hanya butuh waktu dua jam bagi Prayoga untuk sampai ke kontrakan Neira.
Waktu terasa begitu lambat berjalan bagi prayoga, macet sepanjang jalan ini tak kunjung usai. Ia menenggak air minumnya, berharap sedikit mendapat ketenangan. Prayoga terus melirik ke arah jam tangannya, semoga kegelisahannya ini bukanlah pertanda buruk untuk kekasihnya.
"Ada apa dengan kamu, Nei?" gumamnya pelan, ia menyandarkan kepalanya pada setir.
***
Prayoga setengah berlari menyusuri gang masuk ke kontrakan Neira. Tidak peduli pada bajunya yang basah terkena hujan; tak peduli pada makian ibu-ibu yang tertabrak tubuhnya hingga terjatuh, ia hanya bisa berteriak minta maaf sambil terus berlalu.
Dengan napas yang masih ngos-ngosan, ia mengetuk pintu coklat itu berulang kali dengan tidak sabaran.
"Assalamualaikum."
Tak ada jawaban yang Prayoga dapatkan.
"Nei, kamu di dalam, kan?" lagi-lagi sunyi yang menjawab.
Yoga menempelkan telinganya pada pintu, samar-samar terdengar suara radio dari dalam sana. Tapi itu sama sekali tak membuat hatinya lega.
Sampai akhirnya, Prayoga melihat Sulastri datang dari arah gerbang. Sekonyong-konyong Prayoga menghampiri Sulastri yang sedang menutup gerbang.
"Permisi, Tante."
"Iya?" Sulastri berbalik menghadap Prayoga. Dan mengernyit saat melihat pemuda itu basah kuyup. Secara reflek Sulastri menggeser payungnya agar Prayoga tidak kehujanan.
"Maaf Tante, mau tanya. Itu kamar nomor empat masih tinggal di situ, Kan? Belum pindah?"
Sulastri melongok ke belakang Prayoga, ke arah kamar nomor empat milik Neira.
"Tadi pagi saya antar sarapan, masih ada kok Mbak Neiranya, lagi berkemas. Tapi tadi pukul dua saya ketok enggak nyaut, kayaknya sih tidur,Mas."
Prayoga melihat jam tangannya.
"Sekarang sudah pukul lima, Tante. Apa mungkin masih tidur ya? Soalnya masih ada suara radio di dalam, berarti belum pindah, kan?"
Sulastri mengerutkan alisnya, dia terdiam sejenak. Menatap bergantian antara Prayoga dan kamar Neira.
"Saya sudah gedor berkali-kali, sudah teriak-teriak juga dari tadi, Tante."
Wanita paruh baya itu menatap wajah Prayoga yang putus asa dengan iba.
"Kok perasaan saya jadi enggak enak ya." Gumam Sulastri, yang sedikit banyak terdengar oleh Yoga. Wanita itu langsung menarik tangan Yoga agar bergegas kembali ke tempat Neira.
Sesampainya di depan kamar Neira, Sulastri mengintip sedikit dari celah kaca jendela. Tak ada tanda-tanda ada seseorang di dalamnya.
"Dobrak aja, Mas!" putus Sulastri.
Tanpa bertanya apa-apa lagi, Prayoga langsung melakukan permintaan Sulastri. Karena sedari tadi sebenarnya ia ingin sudah ingin mendobrak pintu ini.
Dalam hitungan ketiga, pintu itu sudah terbuka.
Saat Sulastri dan Prayoga masuk, sudah ada tiga koper di bawah jendela. Alunan musik lagu lawas dari Chrisye itu terdengar dari arah dapur. Suara kran air terbuka juga terdengar dari arah kamar mandi. Yoga, segera ke sana.
"Nei ... " Yoga memanggil gadis itu dan mengetuk pintu kamar mandi berkali-kali, tapi tidak ada sahutan. Sulastri mencoba membuka, tapi pintu itu terkunci.
Yoga dan Sulastri saling bertatap, satu anggukan perlahan dari Sulastri menandai Prayoga untuk kembali menggunakan tubuhnya sebagai pendobrak pintu.
Yoga terhuyung ke depan saat pintu itu berhasil dia buka. Namun, lutut pemuda itu langsung lemas, mulutnya terbuka tapi tak mampu berucap apapun. Sedangkan Sulastri sudah berteriak histeris, membuat tetangga langsung berkerumun menghampiri mereka berdua.
Di sana; di kamar mandi itu, Neira terduduk lemas bersandar pada bak mandi yang airnya telah meluber. Gadis itu basah kuyup, pingsan, dengan tangan yang sudah bersimbah darah.
Ia, bunuh diri.
Tangan Yoga bergetar hebat saat mengangkat tubuh kekasihnya. Dia linglung,melihat wajah Neira yang sudah memucat seperti mayat, bibir gadis itu sudah membiru.Terseok Prayoga membopong Neira ke mobil, meletakkan gadis itu di kursi belakang bersama Sulastri."Saya ... Saya, tidak sanggup menyetir." Ucapnya terbata, matanya nanar melihat tangannya yang bergetar hebat. Berkali-kali ia mengusap air mata. Ini pertama kali dalam hidupnya melihat langsung korban bunuh diri, apalagi orang tersebut adalah orang yang ia cintai."Biar saya aja yang menyetir, Mas. Saya supir taksi kok." Ucap salah seorang lelaki yang merupakan tetangga Neira. Prayoga hanya mengangguk pasrah, bergegas duduk di kursi depan.Awalnya, mereka membawa Neira ke klinik terdekat, tapi karena kondisi Neira yang kritis membuat Prayoga harus membawanya ke rumah
Tidak semua orang bersenang hati menerima kebaikan orang lain. Entah karena ego, malu, tersinggung, gengsi dan berbagai macam alasan lain. Termasuk Neira yang enggan menerima bantuan Prayoga.Butuh tenaga ekstra bagi Amanda meyakinkan Neira untuk bersedia tinggal bersamanya. Ini salah satu bentuk tukar guling dirinya dan Prayoga. Dan untungnya, setelah diskusi yang alot, gadis itu menyetujuinya. Dan Amanda sangat bersyukur akan hal itu.Tak dapat dipungkiri. Amanda, selalu gagal membujuk Prayoga untuk melanjutkan kuliahnya di Inggris, kelak saat ia lulus. Yoga selalu beralasan tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian, tapi Amanda yakin bukan itu alasan sesungguhnya. Dan semua tebakan Amanda itu terjawab, saat malam tragedi bunuh diri Neira.Amanda masih sangat jelas mengingat peristiwa malam itu, saat Prayoga sendiri yang menawarkan diri untuk berangkat ke Inggri
Perlahan mata cantik itu mengerjap-ngerjap,menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke retina. Meski masih sedikit buram dan berbayang, tapi Neira mampu melihat ke sekitarnya. Hanya ada tirai-tirai putih yang mengelilingi tempat tidurnya, serta bau obat yang menyeruak masuk ke penciuman gadis itu.Kepalanya masih terasa sangat berat, tapi ia mencoba untuk bangun. Ranjang itu berderit karena tubuh Neira bergerak. Tak lama berselang, seorang perempuan berjas putih datang menyibak tirai di hadapannya."Sudah sadar?" tanya wanita itu lembut. Lalu mendekat ke arah Neira. "Masih pusing? Rebahan dulu ya, biar saya periksa lagi."Neira hanya menuruti apa yang dikatakan dokter perempuan itu."Saya di mana ya, Dok?""Di unit kesehatan kampus. Tadi kamu pingsan, jadi mahasiswa bawa kamu ke sini," ja
[Flashback sudah selesai. Part ini kembali di masa Neira sekarang *lihat kembali part 03*]Panas terik menyinari Jakarta siang ini, berkombinasi dengan macet dan polusi, membuat orang-orang menjadi cepat emosi dan tidak sabaran.Neira mengusap dahinya yang berkeringat dingin. Sebenarnya, tubuhnya sudah agak limbung, tapi wanita itu masih berusaha untuk bisa mengerjakan tugasnya."Lagi ramai, Nei. Tolong kerjanya lebih cepat ya!" seru salah satu rekan kerjanya yang lebih senior."Iya, Mbak." Hanya dua patah kata itu yang sanggup terlontar dari bibir tipisnya.Warung padang ini adalah tempat kerjanya yang ke sepuluh. Mulai dari menjadi jaga toko sepatu, penjaga warteg, dan bermacam-macam jenis pekerjaan yang lain, tak ada yang bertahan lebih dari satu hari. Kondisinya yang morning
Seseorang yang hidup sebatang kara seperti Neira, tidak punya tempat untuk tinggal, tidak punya keluarga untuk berbagi beban, bukanlah suatu yang mudah dijalani oleh semua orang. Jadi, jika saat ini ada satu keluarga yang bersedia menampung dirinya dengan penuh kehangatan, bolehkah Neira sebut mereka sebagai 'Rumah'?Dua bulan berada di rumah ini, membuat Neira merasa menemukan kembali hidupnya. Dia seolah bisa melihat harapan di depan sana, bahwa dia masih pantas untuk menikmati bahagia.Di saung belakang rumah inilah biasanya Neira menghabiskan waktunya bercengkrama dengan mak Oni. Wanita berusia lebih dari setengah abad, yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun kepada keluarga Bagaskara. Dari mak Oni juga lah Neira tahu, bahwa Ratih adalah istri kedua Bagaskara, setelah istri pertamanya____Paramita____meninggal dunia."Siang-siang lagi ng
Malam telah larut, tapi Neira masih asik menikmati setumpuk buku tentang teori kesehatan. Duduk berdiam, fokus membaca lembar demi lembar buku-buku itu di meja makan keluarga.Mungkin cita-citanya untuk menjadi Dokter tidak bisa ia wujudkan saat ini, tapi bukan berarti dia menyerah menggali ilmu kesehatan. Bagi dirinya bertemu dengan Ratih adalah anugerah terbesar dalam kondisinya saat ini. Mendapat keluarga, tempat tinggal, dan segudang buku kesehatan milik Ratih yang notabene adalah seorang perawat."Sudah pukul sebelas, kamu enggak istirahat aja?" Ratih datang tiba-tiba dari ruang tamu, menepuk pundak Neira agar wanita hamil itu sadar akan kehadirannya."Dikit lagi selesai babnya, tanggung."Ratih menarik kursi di samping Neira. Duduk dan meraih buku di hadapannya. Melakukan hal yang sama seperti yang Neira l
Senandung yang tidak begitu merdu itu terdengar dari saung belakang rumah.Mendaki gunung, lewati lembah ....Sungai mengalir indah ke samudera .... Bersama teman bertualang .... 🎶🎶🎶Agra tergelak dari balik handuk yang membelit separuh wajahnya._____ Wanita dewasa macam apa yang lebih memilih menyanyikan lagu Ninja Hatori, dibandingkan lagu cinta?Jarak antara dirinya dan Neira tidak terlalu jauh. Agra yang berdiri mematung, mengamati Neira dari bawah pohon mangga. Sedangkan Neira, wanita itusibuk memisahkan baju yang akan disetrika mak Oni sesuai jenis bahan.Agra melangkahkan kakinya mendekat. Sejenak pria itu ragu, apa yang harus dia lakukan? Menyapa tanpa alasan? Meminta baju atau celana yang belum disetrika?____ Hai! Celana dan bajunya menumpuk satu lemari di kamar. Agra me
Satu minggu berlalu, tanpa seorang pun di rumah ini yang tahu bahwa sedang ada perang dingin antara Neira dan Agra. Dua manusia itu bagai kucing dan tikus yang sedang bermain petak umpet. Di mana ada Neira, di situlah Agra memainkan intimidasinya. Dan di sudut manapun Agra berada di rumah ini, sudut itulah yang paling dihindari oleh Neira. Rasanya, Tom and Jerry jauh lebih akur dibandingkan dua manusia beda jenis kelamin ini.Seperti malam ini, saat semua keluarga sedang berkumpul di ruang tengah. Layaknya hari lain setelah makan malam. Mak Oni menonton televisi bersama Ratih, lalu di sofa ada Bagaskara membaca majalah bisnis dan sejenisnya, yang sesekali menimpali obrolan istrinya dan mak Oni membahas tentang gosip ataupun sinetron yang mereka tonton. Neira akan selalu duduk di sofa tunggal berbentuk tangan di sudut ruangan, sibuk membaca buku-buku materi kesehatan yang membosankan bagi banyak orang. Agra, biasanya tidak tertarik u
Pelukan hangat lima manusia itu hadir seolah perpisahan mereka begitu lama. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat kepada Ethan atas wisudanya, Agra memilih untuk mendorong kursi roda ayahnya dan berjalan di sisi ibunya. Seakan dirinya memberikan ruang bagi Neira dan Ethan untuk meluapkan kerinduan. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf atas tindakan cerobohnya tadi di dalam mobil. Dari sudut matanya, Agra bisa melihat jelas bagaimana dua manusia itu saling mendekap erat, atas nama kerinduan. Mendesah pasrah, Agra rela tak rela meninggalkan mereka Ethan dan Neira. Walau sejenak dapat hatinya terbersit sebuah tanya. Apakah mungkin secepat itu cinta hadir antara Ethan dan Neira? Wajah-wajah bahagia tampak jelas di sana. Ethan yang berbinar di sepanjang bercerita dengan Neira. Pun wanita itu yang selalu terlihat bersemu sejak dari bandara hingga kini mereka sudah akan tiba di rumah. Ayah dan ibu tak jauh berbeda, sesekali tergelak menimpali cerita Ethan dan Neira. Hanya Agra yang just
Langit cerah hari ini, secerah wajah Neira yang sudah tidak sabar bertemu dengan Ethan. Kini dirinya sedang berada di dapur, menyiapkan beberapa hidangan sarapan untuk diletakkan di atas piring. Entah kenapa, hatinya berbunga saat semalam Ethan mengabarkan hari ini mereka akan pulang. Mungkin karena rindu pada ibu dan bapak, atau mungkin juga dirinya merasa kembali terlindungi saat Ethan sudah berada di dekatnya. "Hari ini bapak sama ibu pulang ya, Mas?" tanya Mak Oni ketika menata sarapan di meja makan. Ada Agra di sana, duduk sendirian sedang membaca koran menanti sarapan siap. "Iya, nanti sore. Mak kok tau? Mami ngabarin?" Agra menurunkan korannya. "Bukan, Neira tadi kasih tau. Katanya semalam Mas Ethan ngabarin mau pulang.""Oh, Neira. Mak mau ikut saya jemput ke bandara?" Agra tersenyum melihat Mak Oni yang kegirangan atas penawarannya. "Duh, pengen banget Mas, tapi kerjaan Mak Oni masih banyak. Beresin kamar ibu, Mas Ethan, duh masih numpuk pokoknya. Nanti oleh-olehnya aja y
Agra susah payah menggendong Neira memasuki rumah. Wanita itu tertidur pulas saat perjalanan pulang. Dengan berat badan Neira yang berbadan dua, dan kondisi cidera Agra yang sebenarnya belum sepenuhnya pulih, lelaki itu benar-benar mengorbankan banyak tenaga. Jarak kamar Neira yang jauh di rumah bagian belakang dan harus melewati dapur, membuat Agra enggan mengantar wanita itu ke sana. Mau tak mau ia merebahkan wanita itu di kamar miliknya. Toh, wanita itu sudah pernah tidur di kamarnya, harusnya tak masalah dan tak akan marah saat nanti ia terbangun. Berpeluh keringat dan napas ngos-ngosan. Agra menghirup oksigen banyak-banyak setelah beban di lengannya itu hilang. Sumpah demi apa pun, lengannya benar-benar kebas sekarang. Setelah mengatur suhu AC, Agra menyelimuti Neira. Entah kenapa, wajah pulas Neira yang begitu polos membuat sudut bibir Agra tertarik ke atas dengan sendirinya. Menutup pintu perlahan, Agra meninggalkan Neira. Ia butuh minum! Namun, yang tidak Agra tahu, setelah
Gambar layar bergerak beraturan, menunjukan sesosok bayi cantik di sana. Bahkan sebuah senyum tersungging di bibir mungilnya. Baru kali ini Agra melihat langsung USG 4 dimensi kandungan Neira. Tak dapat dipungkiri, hatinya terenyuh. Bahkan saat suara detak jantung si kecil itu mulai terdengar di audio ruang periksa, jantung Agra berdetak berkali lipat kencangnya. Pelupuk matanya sempat panas dan berkaca, saat senyum si kecil mengembang jelas. Hidung, bibir, dagu, terlihat sama persis dengan milik Agra. "Wah, ini cetakan bapaknya ya. Ibunya tidak kebagian," canda dokter kandungan yang masih dengan telatennya menelusuri perut Neira dengan alat USG. Neira tersenyum kikuk, begitupun dengan Agra. Bagaimanapun mereka bukan sepasang suami istri yang sedang dengan gembira menanti si calon buah hati. Jadi jangan harap akan ada reaksi hangat dan suka cita yang berlebihan, apalagi mesra, saat melihat si kecil ada di sana. "Sehat kan, Dok?" tanya Agra, memecah kekakuan di antara mereka. "Seha
Pagi menyingsing. Mentari masih malu-malu keluar dari peraduannya. Namun, sejak selesai subuh tadi Agra sudah bergegas pergi ke pasar tradisional yang tak jauh dari rumah. Berbekal naik sepeda kayuh yang biasa Mak Oni pakai, Agra menikmati paginya dengan penuh suka cita. Rasanya sudah lama sekali dirinya tidak menikmati aktivitas semacam ini. Sendal jepit, celana pendek selutut, kaos putih polos presbody, tak lupa topi hitam kesayangannya dulu waktu masih berkuliah, menjadi outfit ternyaman yang ia kenakan. Agra tidak terlihat kikuk sama sekali. Beberapa pedagang justru masih mengenali Agra yang dulu acap kali ikut berbelanja bersama Ratih. Tak lupa, ia mampir ke tempat bubur kacang hijau langganannya sewaktu dulu. "Mang, sehat?" sapanya ketika baru memarkirkan sepeda di dekat gerobak bubur yang biasa mangkal di depan pasar itu. "Weh, Mas Agra. Lama tidak kelihatan." "Iya, Mang. Bubur satu ya, Mang." Agra berbegas mengambil kursi untuknya duduk. Menghirup udara pagi dalam-dalam,
"Kamu baik-baik aja di rumah?" Suara di seberang sana tampak sedikit lesu. "Hemm ...." Neira menjawabnya dengan bergumam. Matanya lelah dan ia sedikit lagi sudah akan terlelap. "Jangan capek-capek ya. Tidak ada Mak Oni di rumah, bukan berarti kamu harus kerjain semua hal sendiri." "Iya. Engga diforsir kok, Kak." "Agra tidak bikin ulah, kan? Larasati pernah datang?" ... Ada jeda, entah mengapa Neira justru terdiam saat Ethan bertanya tentang Agra. Ulah? Neira sedikit ambigu mencerna kata itu. "Kok diam? Kalian tidak terlibat pertengkaran lagi, kan?"______"Nei?" "Ah, iya. Apa, Kak? Maaf, Nei ketiduran." Neira tergagap. Alasan klise yang sedikit geli untuk di dengarkan, bahkan oleh dirinya sendiri. "Udah mau tidur ya? Padahal aku masih kangen mau ngobrol." "Kangen?" Pertanyaan yang entah Neira lontarkan untuk dirinya sendiri atau untuk Ethan. Dan seolah Ethan sadar, bahwa ia telah kelepasan bicara. "Eh, engga. Maksud Kakak, masih mau ngobrol sama kamu tanya keadaan. Waktunya US
"Tidak perlu khawatir. Bukan cidera parah, tapi memang butuh istirahat yang cukup." "Kemarin sempat demam lho, Dok," ucap Neira saat mengantarkan Dokter Arifin menuju teras rumah. Ia sengaja memanggil dokter pribadi keluarga Bagaskara itu hari ini untuk memeriksa keadaan Agra. Walau sebenarnya yang sakit menolak, tapi Neira tidak ingin tiap malam deg-degan karena tidak tahu separah apa kondisi Agra sebenarnya. Dokter Arifin tersenyum. "Wajar kok, Nei. Memang tidak bisa dikatakan cidera ringan, tapi juga bukan cidera berat. Demam biasanya terjadi karena tubuh Agra mengalami trauma pasca kecelakaan. Pastikan saja Agra cukup istirahat dan menghabiskan obatnya. Nah, yang satu ini kamu harus sedikit berusaha lebih keras. Agra sulit kalau disuruh minum obat. Oh, iya. Perbannya jangan lupa diganti ya, dua hari sekali jika tidak basah." Dokter Arifin menghentikan langkahnya, ia sudah sampai di ujung teras. "Neira usahakan, Dok. Sekali lagi terima kasih. Benar kan, Dok saya tidak perlu mem
Gerimis mendera malam ini. Sudah pukul sebelas malam, tapi Neira masih terjaga. Ia berbaring miring dengan gelisah, entah kenapa hatinya ingin sekali melihat Agra. Walau akal sehatnya berkata 'Jangan!'. Ia jengah dengan kegelisahan dan akhirnya memilih untuk duduk di tepi ranjang. Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia jadi begitu peduli yang berlebihan pada Agra? Neira mengembuskan napas sebal. Membelai perutnya yang buncit, mungkinkah efek bawaan bayi? Tak mau larut dalam kegelisahan yang berujung tidak dapat tidur nyenyak, Neira meraih sweeter hitam tipis miliknya untuk membalut daster yang ia kenakan. Peduli setan dengan harga diri, ia akan menemui Agra. Namun, baru beberapa langkah ia meninggalkan kamarnya, keraguan itu mendera. Neira meraih ponsel di saku dasternya, membuka kembali pesan yang tadi sore ia dapatkan dari Ethan. Jelas Ethan menuliskan di sana agar Neira menjaga jarak dengan Agra. Namun, sekarang kondisinya tidak sama. Haruskah ia tidak peduli pada Agra yang sedang tert
"Mak ... " Neira merengek di hadapan mak Oni yang kini sedang bersiap packing di kamarnya. "Masa Nei harus berdua aja di rumah sama mas Agra, Mak?"Mak Oni membuang napas berat, menatap iba pada Neira. "Mak juga kalau bisa engga pulang kampung, Nei. Rencananya kan nanti setelah ibu pulang, baru Mak pulang kampung, tapi cucu Mak udah brojol duluan gini mau bagaimana?" Mak Oni menarik resleting tasnya. Packing telah usai. "Mantu Mak yatim piatu, engga punya keluarga sama seperti kamu. Anak Mak baru bisa pulang tiga hari lagi, kan kasian menantu Emak, Nei. Sekarang di rumah sakit, cuma ditunggu sama tetangga." Mak Oni menggeser tubuhnya mendekat pada Neira. Wanita tua itu menyampirkan helaian rambut Neira yang terjatuh dekat mata, lalu menggenggam erat tangan Neira. "Mak udah cerita, kan? Cucu Mak yang pertama baru umur 4 empat tahun, pasti kamu bisa bayangin gimana paniknya menantu emak. Anaknya di rumah sendiri sama tetangga, dia sendiri bangun saja susah karena melahirkan Caesar. Mas