“Hun.”Tidak menemukan Yasmen berada di sisi tempat tidurnya, Byakta yang baru saja bangun itu segera bangkit menuju kamar mandi. Tidak juga menemukan Yasmen di sana, Byakta mencoba beralih menuju walk in closet. Hasilnya sama, istrinya juga tidak berada di sana.Tidak biasanya Yasmen beranjak dari tempat tidur, sebelum Byakta bangkit lebih dulu. Ke mana perginya Yasmen di pagi buta seperti ini. Matahari saja belum muncul dari peraduannya, tetapi Yasmen sudah lebih dulu menghilang dari kamar.Tidak menemukan sang istri di kedua tempat tersebut, Byakta segera keluar kamar lalu menuruni tangga. Ia segera pergi ke belakang, saat tidak melihat Yasmen di ruang keluarga. Sampai akhirnya, Byakta melihat sang istri berdiri di depan kompor dan terlihat sedang mengaduk sesuatu. Di samping Yasmen, sudah ada Susi yang sepertinya tengah memberi arahan pada Yasmen.“Ehm.” Byakta mencoba mengalihkan fokus kedua wanita yang berdiri bersisian dengan deheman kecilnya. Benar saja, keduanya langsung meno
“Hei! Princess!”Yasmen yang tengah berjalan menuju lift segera menoleh pada arah asal suara. Ia melihat Endy baru saja memasuki lobi Casteel High, melalui pintu parkiran basement. Tidak ada yang berubah dari pria itu, tetap rapi dan penampilannya memang lebih terlihat lugas daripada Byakta.“Mas Endy!” Langkah Yasmen terhenti. Ia menunggu Endy menghampirinya lalu kembali berkata, “Apa kabar?”“Sedihlah,” jawab Endy lalu terkekeh sebentar. Tatapannya sedikit turun ke bawah, melihat sebuah rantang susun yang dibawa Yasmen dengan kedua tangan. Isinya pasti makan siang untuk Byakta, karena sebentar lagi waktunya makan siang akan tiba. “Tiap ke sini, sudah nggak bisa lihat kamu lagi.”Yasmen balas terkekeh sambil melanjutkan kembali langkahnya menuju lift. “Gombal, ih!”“Nggak gombal! Aku serius!” Endy menunjuk rantang yang yang dibawa Yasmen. “Tiap hari bawa makan siang buat Byakta?”“Nggak.” Yasmen menggeleng dan sedikit mengangkat rantang di tangan. “Baru ini aku bawa makan siang. Aku,
“Kalau cewek, nanti mau aku kasih nama Melati, biar sama kayak namaku.” Yasmen kembali membuka mulut, saat Byakta sudah mengangkat satu sendok nasi ke ujung bibirnya. Sebenarnya, Yasmen sudah makan lebih dahulu saat baru datang ke ruangan Byakta. Namun, karena tidak tega melihat Byakta yang masih bekerja dan belum makan, maka Yasmen hanya makan sedikit saja.Yasmen menunggu sang suami selesai dengan pekerjaannya, baru melanjutkan makan siangnya bersama.“Hm.” Terserah Yasmen saja, Byakta hanya mengikuti kemauan ibu hamil yang selalu saja ngambek, dan semakin manja belakangan ini. Yang penting nama anaknya kelak memiliki arti baik, itu saja sudah lebih dari cukup. Tidak ada yang perlu diperdebatkan. “Kalau anaknya laki-laki?”Yasmen menunggu kunyahannya selesai lebih dulu. Selama itu, yang dipandangi Yasmen hanyalah wajah Byakta yang baru saja menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Mau ditengok dari sudut mana pun, suaminya itu selalu saja terlihat tampan di mata Yasmen, dan tidak ada t
“Air, listrik, internet, dan lain-lainnya udah aku bayar.” Yasmen menatap layar laptopnya dengan serius. Menghitung semua pengeluaran rutin, yang kerap ia bayar setiap bulan setelah menjadi istri Byakta. Terbiasa memegang uang dengan jumlah tanpa batas, membuat Yasmen cukup mengerut dahi ketika melihat gaji Byakta setiap bulannya.Bagi orang seperti Byakta, menerima gaji dengan nominal standar pendapatan jabatan direktur, mungkin sudah lebih dari cukup. Bahkan, Byakta bisa membangun kosan mewah dengan target dari kalangan menengah ke atas.Akan tetapi, beda lagi ceritanya dengan Yasmen. Melihat nominal yang masuk ke dalam rekening Byakta setiap bulan, kala itu langsung membuatnya sakit kepala. Yasmen harus menekan gaya hidup hedonnya, untuk bisa menyatukan tujuan pernikahan mereka. Ditambah, saat awal pernikahan, Pras mencabut semua fasilitas keuangan Yasmen hingga tidak bisa berkutik sama sekali.Sebenarnya, Yasmen masih bisa bernapas lega karena memiliki back up finansial dari Nando
“Yakin habis ini langsung pulang?” Pertanyaan tersebut sudah tiga kali Byakta, ajukan sebelum mereka menuju ke meja kasir untuk membayar barang belanjaan. Untuk ketiga kalinya pula, istrinya itu mengangguk dan tidak ingin pergi ke mana pun setelah berbelanja barang keperluan rumah.“Dari tadi nanya itu mulu, padahal udah aku jawab,” gerutu Yasmen mulai mendahului Byakta menuju meja kasir, untuk berdiri di belakang antrean yang tidak terlalu panjang. Namun, mau secepat apapun Yasmen berjalan, tetap saja Byakta bisa dengan cepat menyusulnya.“Ya, maksudku, kamu nggak mau mampir makan dulu?” Semenjak hamil, istrinya itu jarang sekali makan di luar atau membeli makanan seperti biasa lalu di bawa pulang. Yasmen lebih sering menghabiskan waktunya memasak, dan akan memakan makanan hasil masakannya sendiri.Apa Yasmen tengah berhemat hingga tidak ingin pergi ke mana pun? Jika hanya pergi ke restoran, Byakta masih sangat-sangat sanggup untuk memenuhi keinginan istrinya itu. Bahkan, bila diinga
“Yakin pulang, ya?” Setelah membeli tiga buah ayam geprek seperti yang diminta Yasmen, Byakta masih saja mengajukan pertanyaan yang serupa. “Nggak mau minta beli makanan apa, gitu, Hun? Kamu, nggak pernah minta dicariin mangga muda, atau … rujak, yang asem-asem? Ngidak apa, kek, begitu? Masa’ nggak pernah minta yang aneh-aneh?”Sambil mengunyah ayam gepreknya, Yasmen menoleh heran pada Byakta. Yasmen menghabiskan makanan di mulutnya terlebih dahulu, barulah membalas ucapan sang suami. “Mas Bee itu kenapa, sih? Harusnya bersyukur aku nggak ngidam aneh-aneh. Emang mau, aku suruh beli rendang langsung ke Sumatra sana? Atau, aku minta beliin apel Malang, tapi harus langsung dari sana. Kalau nggak, aku mau minta coto Makassar tapi makannya harus di Sulawesi. Mau?”“Itu kelewatan namanya. Terlalu lebay.” Byakta jadi gemas sendiri dengan balasan Yasmen. “Maksudku … ya, sudahlah.”Sepertinya Yasmen benar. Bypangkuakta harusnya bersyukur karena sang istri tidak pernah ngidam yang aneh-aneh. Ia
“Sudah, Dok?” Sang dokter menghela dan sudah tidak heran lagi. Sama seperti pemeriksaan pertama Yasmen tempo hari, yang lebih heboh dan cerewet adalah kedua orang tua gadis itu, terutama Bira. Ini sudah keempat kalinya Bira bertanya dengan tidak sabar, mengenai jenis kelamin sang cucu yang sedari tadi tidak mau diajak bekerja sama. Sementara satu-satunya orang yang tetap anteng justru suami Yasmen. Pria itu hanya diam dan mendengarkan semua keributan yang dilakukan oleh kedua mertuanya. “Sebentar, ya, Pak.” Sang dokter lagi-lagi menghela. “Adek bayinya malu sepertinya,” ucapnya berusaha bercanda untuk mengusir ketegangan di dalam dirinya. Terkadang, memberi pelayanan pada pasien VVIP yang tidak sabaran seperti Bira, butuh kesabaran yang sangat luar biasa. “Gimana kalau kita istirahat lima menit?” usul Bira. “Sambil di sounding bayinya, biar malam ini kita bisa langsung tahu jenis kelaminya.” “Papi mesti, deh!” sambar Yasmen. “Nggak mau sabaran.” “Sama, kan, sama kamu?” balas B
“Hun?”Sejak keluar dari rumah sakit hingga sampai di rumah, Yasmen tidak terlalu banyak bicara. Sepanjang perjalanan pulang pun, gadis itu hanya membalas ucapan Byakta dengan kalimat yang pendek-pendek saja.“Apaaa?” jawab Yasmen dengan malas. Duduk di tepi ranjang, seraya melempar tasnya begitu saja. Yasmen merebahkan tubuh, lalu berbaring miring memunggungi Byakta.“Nggak enak badan?” Setelah meletakkan kunci mobil dan ponsel di nakas, Byakta segera duduk di samping Yasmen. Ia mengusap punggung gadis itu dengan perlahan, dan kembali berujar, “Dari tadi diam aja. Diajak papi mampir makan juga nggak mau. Kenapa?”“Aku mau anak cewek, Bee.” Yasmen berbalik perlahan, lalu membawa tangan Byakta ke pipinya. “Kayak Rara, sama anaknya Sila nanti. Kalau lahir, kan, bisa bareng-bareng juga mainnya.”“Memangnya kalau laki-laki, nggak bisa main bareng?”“Bisa. Tapi, kan …” Yasmen menghela pendek, sambil mengusap perutnya. “Beda, Bee.”“Gampanglah itu.”“Gampang gimana?”Byakta ikut menyentuh p
Haluu Mba beb tersaiank … Saia langsung aja umumin daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak Imperfect Love : ArPi Kim : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Mulya Purnama : 750 koin GN + pulsa 150 rb Elin land : 500 koin GN + pulsa 100 rb Miss Ziza Ziza S : 350 koin GN + pulsa 50 rb Ziza Ziz S : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeeh @kanietha_ . Jangan lupa follow saia duluuuh .... Saia tunggu konfirmasi sampai hari Minggu, 2 April 2023, ya, jadi, saia bisa setor datanya hari Senin ke pihak GN. Daaan, kiss banyak-banyak atas dukungan, juga atensinya untuk Bee and Hunny ~~ Kita ketemu lagi di GN, Insya Allah habis lebaran yaaa .... Kissseeess …..
Apa ini? Asisten nyonya besar keluarga Sagara tiba-tiba menelepon dan meminta Arista datang ke kediaman atasannya. Bukan di rumah jabatan yang ditempati saat ini, tetapi di rumah pribadi kediaman Sagara. Bahkan, Arista dijemput langsung oleh salah satu sopir keluarga tersebut. Arista seperti di sidang. Duduk seorang diri dan menghadapi empat orang yang mentapnya dalam diam. “Maaf, Bu Aida.” Daripada hanya didiamkan, Arista akhirnya membuka mulut. “Kenapa saya dipanggil ke sini? Apa ada masalah, atau butuh bantuan saya?” Tatapan Arista tertuju sekilas pada Bira yang duduk paling ujung, di samping Pras. Jangan-jangan, pertemuan kali ini adalah buntut dari pembicaraan Arista dan Bira malam itu. Jangan-jangan, semua ucapan yang dikatakan Bira saat itu bukan hanya gurauan belaka. Jangan-jangan … Semakin dipikirkan, Aristas semakin sakit kepala karena takut menebak-nebak jawabannya. “Saya minta maaf kalau harus minta kamu datang mendadak seperti sekarang.” Aida berujar dengan sikap ang
Arista mengerjap dengan mulut yang terbuka. Berdiri mematung pada celah pintu mobil yang sudah dibuka Vincent sebelumnya. Mendengar perkataan Bira dan wajah serius pria itu, Arista jadi tidak bisa mengeluarkan kata-kata. “Becanda, Ris.” Bira spontan tertawa saat melihat Arista membeku dengan wajah tegang. Wanita itu mungkin syok akibat mendengar ucapan Bira barusan. “Buruan masuk, aku sudah lapar.” “Ahh …” Mulut Arista ikut melempar tawa, garing. Ia mengangguk, kemudian masuk ke dalam mobil dan menggeser bokongnya ke sisi pintu yang lain, karena Bira jelas akan duduk di sebelahnya. “Jangan terlalu tegang,” kata Bira setelah menutup pintu. “Kerja sama aku memang harus serius, tapi santai aja.” “Iya, Mas.” Arista kembali tertawa, terkesan dipaksakan. “Lagian, masa’ buaya dipercaya.” Bira tertawa. “Eh, tapi aku serius masalah yang tadi. Aku memang lagi nyari istri, soalnya lagi pusing disuruh nikah terus sama nyonya besar.” Arista berdecak. “Cewek-cewek di Casteel High, kan, banyak
“Kenapa belum pulang?” Bira menatap layar komputer yang dipandang Arista. Wanita itu memandang situs web yang berisikan berbagai video, yang bisa diunggah oleh penggunanya di berbagai belahan dunia manapun asal memiliki akses internet.“Hujan deras, Mas,” kata Arista sembari mengangkat wajah, menatap Bira yang berdiri di sampingnya. Dari pria itu datang ke kantor di pagi hari, sampai pulang di sore hari, atau malam sekali pun ketika mereka lembur, wangi parfum Bira tetap setia menempel di tubuh pria itu. Intensitas wanginya tidak berubah sedikit pun. “Saya nggak bawa jas hujan.”“Terus kenapa belum pulang?” ulang Bira kembali mempertanyakan hal yang sama. “Kita nggak lembur, dan kamu sebenarnya bisa pulang duluan.”“Hujan deras, Mas.” Arista juga mengulang jawaban yang sama, dan mulai menahan kekesalannya.“Aku tahu sekarang hujan deras, tapi kenapa kamu belum pulang?” tanya Bira sekali lagi. “Pesan taksi, kek! Gajimu di sini lebih besar dari Firma Sagara, masa’ bayar taksi buat pulan
Pagi itu, Bira berhenti di depan meja sekretarisnya sebelum memasuki ruang kerja. Perangkat komputer di meja Arista tampak belum menyala, pun dengan kursi kerja yang masih rapi menempel rapat dengan sisi meja.Bira mengeluarkan ponsel. Melihat notifikasi yang masuk di dalamnya. Tidak ada nama Arista di sana. Itu berarti, wanita itu tidak memberi info sama sekali tentang ketidakhadirannya, atau mungkin keterlambatannya. Kalau begitu, biarlah Bira menunggu kabar dari wanita itu sembari melakukan pekerjaannya.Saat Bira baru membuka pintu, hawa sejuk pendingin udara langsung menerpa wajahnya dengan suhu seperti biasa. Itu artinya, sudah ada seseorang yang menyalakan pendingin ruangannya lebih dulu, dan itu pasti Arista.“Mas Bira!”Bira terkejut mendengar seruan yang dilontarkan dengan nada kesal padanya. Namun, entah mengapa seruan tersebut juga terdengar sedikit manja. Sedikit mengusik indra pendengarannya.“Arista? Kamu kenapa?”“Mas Bira pasti tahu kalau pak Lex sudah nikah sama bu
Bira berhenti melangkah di depan meja sekretaris barunya. Ia bersedekap, lalu menghela saat melihat paras manis itu memanyunkan bibirnya.“Pagi, Mas Bira.” Arista tidak mengerti, mengapa ia harus dipindahkan dari Firma Sagara ke Casteel High seperti sekarang. Sejak awal menginjakkan kaki di dunia kerja, Arista sudah berada di firma hukum tersebut dan semua karyawan yang ada di sana sudah seperti keluarga baginya.Namun, perintah tiba-tiba dari Pras membuatnya tidak bisa mengajukan protes. Memangnya, karyawan mana yang berani membantah titah seorang Pras? Arista mungkin masih bisa bernegosiasi bila Lex yang memberinya perintah. Akan tetapi, sayangnya orang tersebut adalah Pras.Pria arogan yang selalu saja bertindak sesuka hati.“Pagi.” Bira berdecak, karena Pras benar-benar mengganti sekretaris lamanya dengan Arista. Apapun alasan yang ada di balik itu, Bira harus tetap menutup mulut dan tidak boleh membocorkannya pada siapapun. Jika Arista bertanya, maka Bira cukup mengatakan semua i
“Rajaaa.” Hari masih terbilang masih pagi, tapi Yasmen mulai mengeluarkan “tanduknya” karena baru saja menginjak sebuah lego yang membuat telapak kakinya nyeri seketika. Padahal, Yasmen sudah berulang kali memberitahu putranya, agar selalu membereskan semua mainannya ketika sudah selesai bermain. Namun, berapa kali pun Yasmen berujar dan memberi perintah, hasilnya tetap saja sama. Setelah bermain, bocah yang sudah berusia lima tahun itu, langsung meninggalkan semua mainannya begitu saja. Alhasil, Susilah yang akan membersihkan semuanya seperti biasa dan Yasmen hanya bisa mengelus dada. Anehnya, Raja akan selalu bersikap patuh bila sudah berada di rumah Pras. Mana berani bocah itu menghambur mainannya yang ada di sana. Seusai bermain, Raja akan selalu membereskan semua barangnya pada tempatnya, walaupun dalam keadaan yang tidak sempurna. Ternyata, merawat dan mendidik anak tidak semudah bayangan Yasmen. Keinginan untuk memiliki banyak anak pun Yasmen urungkan seketika, karena itu sem
Ternyata, semua tidak seperti yang ada di bayangan Yasmen. Setelah sebulan tinggal di rumah Bira, akhirnya Yasmen mengerti bagaimana perasaan Byakta. Mungkin hampir sama seperti yang dirasakan Yasmen saat ini, ketika memutuskan tinggal di rumah Mario.Bukan … kedua mertua Yasmen bukanlah sosok mertua kebanyakan, yang ada di sinetron maupun novel-novel online yang bertebaran di jagat maya. Justru sebaliknya. Mario dan Miskah bahkan terlalu baik, hingga membuat Yasmen semakin merasa tidak nyaman berada di rumah tersebut. Ditambah, tidak adanya asisten rumah tangga di rumah Mario, membuat Yasmen yang terbiasa memerintah jadi semakin segan berada di rumah mertuanya.Tidak mungkin, kan, Yasmen menyuruh mertuanya untuk membuatkannya ini dan itu? Belum lagi, Yasmen mau tidak mau harus tahu menempatkan diri. Ia harus berusaha bangun lebih pagi, walaupun, semalam hanya tidur beberapa jam karena putranya yang terus meminta ASI. Dan masih banyak hal lain yang membuat Yasmen semakin tidak enak ha
Akhirnya, Yasmen bisa pulang dari rumah sakit dan langsung menuju ke rumah orang tuanya. Yasmen sudah menetapkan hati, untuk tidak menambah anak lagi. Ditambah dengan proses menyusui yang penuh dengan drama, semakin membuat Yasmen enggan untuk hamil, dan melahirkan di masa mendatang. “Apa itu, Bu?” Yasmen melihat Susi membawa sebuah nampan ketika memasuki kamarnya. “Sayur bening, tapi pake daun katuk,” jawab Susi meletakkan satu mangkok sayur di nakas. Setelahnya, ada sebuah piring yang sudah berisi nasi dan ayam goreng bagian dada dengan potongan besar di atasnya. Susi juga meletakkan segelas air putih, dan segelas susu. “Di suruh makan sama ibu. Pelan-pelan aja, yang penting dihabisin.” “Tapi aku sudah makan tadi di rumah sakit, Bu.” Yasmen melihat boks bayi yang letaknya tidak sampai satu meter dari tempat tidurnya. “Mbak Yasmen sekarang menyusui, jadi makannya harus banyak dan bergizi biar ASInya juga lancar,” terang Susi kemudian bergeser ke samping boks bayi untuk melihat bay