Sejak Aqlan pulang ke rumah, raut wajah laki-laki itu nampak selalu murung. Bahkan ia yang biasanya memberikan senyum pada Tanisha pun kini justru tak diberikannya. Tentu hal tersebut membuat Tanisha kian penasaran mengingat saat berangkat tadi pun Aqlan terlihat tengah menahan tangis. Tanisha tak berniat menanyakannya pada Aqlan karena ia rasa itu bukanlah urusannya. Ia memilih untuk menonton sebuah film movie di laptopnya dan tak mencoba mendekati Aqlan untuk saat ini karena takut terkena amukan darinya. Tak lama kemudian, giliran Tanisha yang mendapat panggilan telepon dari seseorang saat ia tengah asyik menonton. Dengan mata yang terfokus pada jalannya film, ia geser begitu saja tombol hijau di ponselnya tanpa melihat layar ponselnya terlebih dahulu. "Halo?"Wajah Tanisha berubah tak suka setelah mendengar jawaban dari seberang sana. "Ketemu? Ngapain?""Aku nggak ada waktu.""Oke, oke. Baik. Besok, kan? Baiklah, besok."Secepat kilat Tanisha langsung mematikan ponsel dengan wa
Tanisha berjalan lunglai memasuki kamarnya. Seluruh tubuhnya basah kuyup karena tadi ia nekat menerobos hujan. Pasalnya, hujan tak reda-reda, angkutan umum pun tak ada yang lewat. Ia juga tak sanggup jika harus terus-menerus dekat dengan Rezvan. Tanisha segera melepas pakaian basahnya lalu menutupi tubuhnya dengan handuk. Hawa dingin seolah masih menerpanya sehingga membuat sekujur tubuhnya terasa menggigil. Setelah ia selesai mengeringkan tubuh basahnya, Tanisha pun mengoleskan minyak kayu putih ke bagian-bagian tubuh yang cenderung terkena penyakit jika sudah hujan-hujanan. Tanisha menghirup udara dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya perlahan. Ada sensasi lega dan hangat yang menyapa tubuhnya. Baju piyama dengan lengan panjang terpasang di tubuhnya yang agak kurus itu. Tanisha pun melanjutkan kegiatannya dengan mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil. Bersamaan dengan itu, pikirannya menjadi melayang pada kejadian di halte tadi. Masih dapat ia rasakan sisa-sisa b
Hari ini Rezvan pergi menemui Kalandra di tempat biasa mereka berdua. Entah dorongan dari mana ia begitu teringin menceritakan tentang perasaannya pada teman lamanya itu. Ia berpikir, apa salahnya berbagi kebahagiaan kepada orang lain mengenai betapa berbunga-bunga hatinya. Apalagi Rezvan sudah berbaikan dengan Kalandra soal ia yang tiba-tiba memukuli laki-laki itu saat tengah berada di JPO. Rezvan berjalan dengan penuh sukacita menuju sebuah tempat rekreasi yang berlokasi di sebuah danau. Ia begitu tak sabar untuk bercerita banyak hal pada Kalandra mengenai Tanisha. Walaupun Rezvan belum sepenuhnya mengakui tentang perasaannya pada Tanisha yang kembali tumbuh, tetapi hatinya tak dapat berbohong bahwa sejatinya ia telah jatuh cinta kembali pada perempuan itu. Di lubuk hatinya yang terdalam, Rezvan begitu berharap Tanisha pun merasakan hal yang sama meskipun kemungkinannya sangat kecil mengingat perlakuannya di masa lalu yang tak bisa dimaafkan semudah itu. Namun, apa salahnya berj
"Fathan!" Rezvan berjalan cepat sambil menyingkapkan lengan bajunya. Deru napasnya memburu, kedua matanya menatap jalang. Raut wajah laki-laki itu nampak begitu marah hingga membuat siapa pun yang melihatnya merasa ketakutan. Fathan yang sedang duduk santai dan berbincang-bincang dengan teman-temannya lantas menoleh ke arah suara tersebut. Keningnya mengernyit heran. Ia berdiri seraya menatap Rezvan penuh tanda tanya. Dengan tangan yang terkepal kuat, Rezvan melayangkan satu pukulan mematikan ke wajah Fathan. Kemudian, tanpa ampun ia menyusulnya dengan pukulan-pukulan lain. Lawannya hanya menatap bingung dan tak sanggup membalas karena pukulan yang mengenainya terlalu tiba-tiba. "Bangsat lo, Than! Banci! Beraninya sama cewek doang!" bentak Rezvan dengan ekspresi yang begitu terlihat sangar. Ia kembali memukul beberapa bagian tubuh Fathan hingga membuat sang empu merasa kewalahan. Laki-laki itu bahkan sampai terbatuk-batuk seraya memegangi perutnya yang tadi terkena pukulan hebat R
Tanisha mendorong pintu yang terbuat dari kaca hingga terbuka lebar. Saat ia memasuki rumah bagi para buku itu, matanya langsung disambut dan dimanjakan oleh ratusan—bahkan mungkin ribuan buku—yang tersusun rapi di rak-rak yang berjejer dengan rapi pula. Kedua mata bulatnya berbinar senang. Perasaannya begitu antusias dan tak sabar untuk menyusuri setiap rak buku yang ada di sana. Tanisha langsung berjalan menuju rak yang khusus buku-buku non-fiksi hingga yang fiksi. Hatinya amat gembira, ia seolah tengah memasuki surga dunianya. Mungkin saat ini kausudah dapat menebak sedang berada di manakah Tanisha. Ya, gramedia. Alasan perempuan itu pergi ke tempat ini adalah untuk mencari buku yang akan ia jadikan referensi bagi cerita yang hendak digarapnya. Entah kunjungannya yang ke berapa kali ke tempat ini, bahkan buku-buku yang sebelumnya pun sudah begitu banyak tersimpan di rak buku miliknya. Buku memang selalu menjadi sumber informasi yang sangat valid dan dapat dipercaya mengenai apa
Derap kaki Tanisha bergerak begitu cepat. Wajahnya tertekuk menahan tumpukan kekesalan yang menggunung di dalam hatinya. Sementara itu, dengan wajah tak berdosanya, Rezvan terus mengikutinya dan tak henti-hentinya menyamakan langkah kakinya dengan Tanisha. Rezvan seolah tak ingin menyerah begitu saja. Sebelum perempuan itu menerima permintaan maafnya, ia tak akan berhenti untuk terus mendekati Tanisha dan mengucap kata maaf berkali-kali. Padahal, tanpa ia sadari, hal itu justru membuat empunya merasa makin dilanda rasa kesal. "Cha, maafin gue, ya? Ya, ya, ya? Gue janji gak akan gitu lagi." Ditatapnya Tanisha dari samping yang ia rasa malah makin mempercepat langkah kakinya. Perempuan itu nampak tak menghiraukan ucapannya hingga membuat Rezvan merasa tak tenang dan tak enak hati. "Acha, jangan gini, dong. Gue janji gak akan mukulin orang sembarangan lagi, deh. Ya? Ntar cantiknya ilang, lho, kalo ditekuk mulu kek gitu mukanya," ujar laki-laki tersebut dengan niat membujuk Tanisha. Na
Tumpukan kitab di atas meja turut menemani keheningan yang dirasakan oleh perempuan berusia 23 tahun itu. Cahaya remang-remang dari lampu belajar menyoroti salah satu kitab yang tengah dibacanya. Kedua matanya sedari tadi terus mengerjap. Wajar saja, gadis itu sudah duduk di tempat itu sekitar 2 jam. Merasa kedua matanya menjadi perih, ia pun lantas menutup kitabnya lalu mengusap kelopak matanya. Matanya itu terasa berat, mungkin karena sudah tak sanggup menahan kantuk. Gadis bernama April itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada sebuah buku diari yang berada di tumpukan buku lain dan terletak paling atas. Diari dengan sampul putih itu kemudian ia buka dan ia baca halaman demi halamannya. Tulisan-tulisan ia goreskan beberapa tahun lalu itu ia baca kembali. Sesekali tawa renyahnya bergema menghilangkan suasana sepi sejenak. Diari itu berisi tulisan-tulisan tentang Aqlan. April memang telah mengagumi laki-laki itu sedari dahulu. Namun, perbedaan antara dirinya dan Aqlan membuatnya
Rasa canggung berselimut keheningan seolah mengelilingi Tanisha dan Aqlan sedari memtari baru menampakkan dirinya. Masing-masing sibuk melalukan rutinitas di pagi hari tanpa memedulikan satu sama lain. Hari-hari yang mereka lewati secara sendiri-sendiri membuat hubungan yang sempat begitu dekat kini kembali merenggang. Tanisha tengah sibuk mencuci piring bekas memasak dan sarapan. Suara gemericik air serta denting sendok dan piring yang saling bersentuhan mengisi keheningan di area dapur yang cukup luas ini. Sementara itu, Aqlan asyik membaca-baca buku berisi materi untuk ia sampaikan pada anak didiknya nanti. Sudah menjadi hal yang biasa baginya untuk membaca-baca sekilas sebelum berangkat mengajar. Tanpa Tanisha dan Aqlan sadari, kerenggangan yang terjadi di antara keduanya justru telah membuat hubungan yang lain menjadi dekat. Tanisha dengan Rezvan yang makin hari makin saling bertaut pikiran, dan Aqlan dengan April yang walaupun keduanya saling diam, tetapi masing-masing selalu
Beberapa bulan kemudian semenjak kejadian Tanisha keguguran, semua kembali berjalan dengan normal. Hubungannya dengan Rezvan kembali membaik. Tak ada lagi saling diam mendiami satu sama lain. Semua benar-benar kembali ke keadaan di mana mereka baru memulai yang namanya bahtera rumah tangga. Persoalan Theano, laki-laki itu sudah ditangkap dan dipenjara atas kasus yang ia lakukan. Meneror, menyerang, dan membuat kandungan Tanisha keguguran. Meski begitu, tak ada rasa dendam atau benci di hati Tanisha dan Rezvan. Mereka senang karena telah mendapat keadilan. Namun, mereka juga tetap memaafkan perbuatan Theano. Hari-hari berjalan dengan penuh kebahagiaan dan canda tawa. Tak ada kekhawatiran akan keturunan yang belum juga diamanahkan. Tanisha dan Rezvan menjalani semuanya dengan penuh kesabaran. Diiringi doa dan ikhtiar, mereka tak berhenti berharap agar Tuhan kembali mempercayakan seorang anak pada mereka. "Sayang, aku berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah," ucap Rezvan
Afzar tampak keheranan saat mendapati Tanisha yang sudah kembali dari taman, tetapi dengan wajah yang tampak murung. Perempuan itu melewatinya begitu saja. Bahkan tak membalas sapaannya saat ia menyapa. Afzar yang semula duduk di luar ruangan inap pun lekas mengekori Tanisha hingga ke dalam. Ia masih menatap dalam diam memandangi sang adik yang duduk di atas ranjang sambil tertunduk lesu. "Cha, tadi Rezvan dateng ngejenguk. Udah ketemu belum?" tanyanya sambil menarik kursi mendekati ranjang. Tanisha mengangguk mengiyakan. "Ketemu. Tadi di taman." "Terus, sekarang dia di mana? Kok, gak bareng kamu?" tanya Afzar lagi seraya celingak-celinguk mencari keberadaan suami adiknya. "Aku belum mau ketemu sama dia dulu, Bang. Dan tolong, jangan bicarain dia juga di depan aku." Setelah mengatakan itu, perempuan dengan piyama warna biru tosca itu meluruskan kedua kakinya, lalu ditutupi dengan kain selimut yang tebal. Afzar memandangi wajah adiknya tersebut lekat-lekat. Dapat ia lihat jejak k
BRUK!Untuk ke sekian kalinya Rezvan melempar tubuh Theano ke lantai hingga tersungkur. Memar dan darah menyebar di beberapa bagian anggota tubuh laki-laki itu. Keadaannya sangat memprihatinkan, seolah sedang berada di antara hidup dan mati. Laki-laki dengan wajah penuh amarah itu berjalan mendekati Theano yang masih berusaha untuk bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Dinding di belakangnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang serasa sudah begitu remuk. Rezvan, dengan napasnya yang memburu, dengan kasar menarik kerah baju Theano hingga laki-laki yang sudah sangat lemah itu berdiri lunglai. Tatapan yang ia layangkan begitu tajam setajam mata elang. Tatapan itu seolah mengartikan berapa marahnya atas apa yang dilakukan oleh lawannya tersebut. "Dengerin gue, Theano. Kalo lo masih berani nyentuh istri gue dikit aja, gue gak akan pernah biarin lo hidup lagi. Sekarang lo beruntung masih gue kasih kesempatan buat hidup. Inget, perbuatan lo gak akan semudah itu gue maafin," tegas Rezvan
Semua anggota Garparez langsung menuju lokasi saat mendapat kabar bahwa Tanisha terluka akibat didorong oleh Theano hingga terjatuh. Wajah-wajah panik yang tertutup helm memenuhi jalanan. Kendaraan yang mereka kendalikan pun dilajukan begitu cepat. Sementara itu, Rezvan yang ditemani Kalandra bergegas mengambil langkah cepat dengan mengantarkan Tanisha ke rumah sakit. Raut wajah Rezvan tampak sangat khawatir. Keselamatan istri dan calon anaknya benar-benar membuatnya tak dapat duduk tenang barang sekejap saja. Bahkan, ketika Tanisha sudah dimasukkan ke ruang IGD, Rezvan masih saja tak henti-hentinya bersikap sangat panik. Ia tak mau menunggu sambil duduk. Terus saja dirinya mondar-mandir di depan pintu sambil menyatukan kedua tangan, berharap tak ada kabar menyakitkan nantinya. Kalandra yang paham apa yang tengah dirasakan oleh calon ayah itu tak mampu berbuat apa pun. Sejujurnya ia juga merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Tanisha. Betapa menyesalnya karena sebagai seorang l
Suara pintu yang diketuk beradu dengan suara bel hingga terdengar seluruh penjuru rumah. Tanisha yang saat itu sedang bekerja di depan laptopnya lantas bergegas turun ke bawah menuju pintu utama. Suara bel yang dipencet beberapa kali membuat Tanisha makin mempercepat langkahnya. Suara yang sangat keras itu seolah membuat gendang telinganya hampir pecah. Diiringi perasaan kesal ia pun lekas membuka pintu dan matanya pun menangkap sosok lelaki yang tak ia kenal. "Mau ketemu siapa, ya?" tanya Tanisha dengan wajah masam. Penampilan laki-laki yang seperti anak geng motor itu membuatnya seakan kembali diingatkan pada kebohongan suaminya. "Kamu. Tanisha Azzahra Khalisah," jawab laki-laki itu disertai senyuman yang tak dapat perempuan itu tebak senyuman apakah itu. "Aku? Kamu siapa? Ada urusan apa kamu sama aku?" Nada bicara Tanisha terdengar agak ketus. Matanya terus mengamati penampilan laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. "Saya cuma mau menyampaikan satu hal dari atasan sam
Keesokan paginya, Rezvan sudah siap dengan setelan pakaiannya. Namun, yang ia pakai bukan baju untuk bekerja seperti biasanya. Kali ini ia mengenakan kaos berwarna biru tua yang dibalut dengan jaket berbahan levi's. Dilihat dari penampilannya, sudah dapat ditebak kalau ia hendak pergi ke markas Garparez. Tanissha yang menyadari hal tersebut lantas menggerutu terus-menerus. Lidahnya tak berhenti mengumpati suaminya bahkan di saat ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kecewa yang belum juga mereda pun membuatnya tak sudi menanyakan apa pun pada laki-laki itu. Rezvan menatap istrinya dari kejauhan—tepatnya di balik pintu dapur. Ada rasa khawatir bercampur cemas saat melihat istrinya yang kini masih terlihat sibuk itu. Bayang-bayang Theano yang mungkin saja akan mendatangi Tanisha kapan pun dia mau. Apalagi membayangkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada perempuan itu rasanya ia tak sanggup. Rezvan tahu Tanisha masih marah padanya. Memang bukan hal yang mudah untuk mengemb
Pagi kembali menyapa. Mentari pun ikut menyambut dengan masuk ke celah-celah jendela dan memberikan kehangatan bagi setiap penghuni rumahnya. Aroma-aroma masakan dari setiap rumah menguar dari balik jendela dapur hingga mengundang rasa lapar yang telah tertahan semalaman. Akan tetapi, kehangatan itu tak dapat dirasakan oleh pasangan suami istri yang baru pulang dini hari tadi. Tak ada percakapan ringan yang menyertai kegiatan mereka di awal hari. Tak ada pelukan mesra yang biasanya selalu datang memberikan senyum manis yang menawan hati. Hanya ada keheningan tanpa ada keributan yang biasanya ada setiap hari. Di antara Tanisha maupun Rezvan, tak ada yang berani menyapa lebih dahulu. Masing-masing dari mereka fokus dengan urusannya tanpa memedulikan hubungan mereka yang terancam renggang. Kejadian semalam seolah mengubah 180 derajat kebiasaan mereka sehari-hari. Walaupun dengan rasa terpaksa, Tanisha menyiapkan sarapan pagi begitu cepat. Tak ada nyala kompor yang mengeluarkan api, d
Di malam yang gelap gulita itu Tanisha keluar dari area rumah sakit menuju taman tempat para pasien jalan-jalan untuk menenangkan diri. Di sana perempuan itu bersimpuh di atas rumput dengan kepala mendongak menatap langit. Sesakit inikah dibohongi? Kecewa yang mendalam seolah tak ada lagi celah untuk dapat memercayai sesuatu yang sudah disadari bahwa itu adalah kebohongan. Tanisha tahu, banyak kebaikan yang telah dilakukan Rezvan untuknya. Namun, entah mengapa satu kebohongan itu telah meruntuhkan seluruh kepercayaan yang pernah ia berikan pada laki-laki itu. Entah mungkin karena faktor kehamilan atau apa pun itu, yang jelas kini ia benar-benar kecewa. Dengan langkah yang terseok-seok Rezvan datang menyusul istrinya. Wajahnya tampak khawatir. Matanya bergerak luar mencari keberadaan Tanisha. Saat matanya menangkap sosok yang dicarinya, ia pun langsung berlari dan memeluk perempuan itu. "Acha! Lo ngapain di sini? Ayo, duduk di kursi. Kita bicarain ini baik-baik, ya?" Rezvan memegan
Semua orang di lapangan tersebut terkejut dengan teriakan Rezvan. Mereka yang semula sedang bertarung memperebutkan kemenangan lantas menghentikan pertarungan mereka dan berlari menghampiri suara teriakan itu. Lawan mereka, yaitu anak buah Theano tertawa penuh kemenangan saat menyadari ketua dari lawan mereka sudah hampir tumbang. Wajah-wajah penuh kekhawatiran tampak jelas mengelilingi Rezvan yang terkulai lemas dengan Kalandra di sebelahnya. Laki-laki itu segera menyuruh seseorang untuk memanggil ambulan agar sahabatnya dapat segera ditangani. Tanpa akhir yang diharapkan, pertarungan ini selesai dengan kekecewaan. Perdamaian yang menjadi tujuan kini hirap tak berbekas. Theano dan antek-anteknya tertawa lepas melihat kekalahan dari rivalnya, Rezvan. Lagi, tentang Tanisha yang sudah mengetahui yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi dengan hak itu. Tak lama setelah dipanggil, ambulan pun datang dan segera mengeluarkan tandu untuk membantu mengangkat Rezvan masuk ke dalam mobil