Keesokan harinya, Tanisha pergi menemui Kalandra di sebuah tempat yang biasa orang-orang pakai untuk refreshing di hari libur. Tentunya dengan janji terlebih dahulu. Tujuannya bertemu Kalandra karena ingin menanyakan perihal Aqlan yang terlihat tak baik-baik saja dari kemarin. Kini Tanisha dan Kalandra sedang berada di sebuah gazebo yang terletak di tengah-tengah danau. Di sekitar gazebo yang mereka tempati pun ada gazebo-gazebo lain yang turut berdiri kokoh di atas danau. Tempat ini memang sengaja dirancang seperti ini agar para pengunjung tak jenuh dan dapat merasakan suasana yang lebih berbeda. "Sebaiknya lo gak usah tau dulu, Cha," ujar Kalandra saat Tanisha bertanya apa yang terjadi pada Aqlan ketika di tempat mengajarnya, Al-Muhajirin. Matanya yang selalu terlihat waspada itu kini fokus menatap jernihnya air danau yang diisi oleh berbagai jenis ikan yang menarik. "Kenapa? Emang seserius itu, ya, masalahnya? Soal apa, sih?" tanya Tanisha makin penasaran. Perempuan itu bahkan s
Rezvan berdiri mematut di depan cermin sambil menyisir dan menyugar rambutnya dengan jari-jari tangan. Raut wajahnya terlihat begitu semangat disertai rona bahagia di kedua pipinya. Rezvan mengambil jaketnya lalu ia pakai secepat kilat dengan sangat rapi. Kemudian, ia mengenakan sepatunya dan segera menyambar kunci motor yang ia gantung di tempat menggantung kunci. Matahari yang menampakkan dirinya dan menyorotkan sinar hangat pada Rezvan lalu baru saja keluar dari rumah, seolah ikut berbahagia dengan suasana hati laki-laki itu sekarang. Entah apa yang membuatnya senang, yang jelas pasti ada hubungannya dengan Tanisha. Rezvan segera menyalakan mesin motornya, menaiki, dan kemudian menjalankannya. Suara deru motor yang tak terlalu menggelegar pun mulai menggema melewati setiap rumah di komplek tersebut. Laki-laki yang mengenakan helm full face itu memamerkan senyum ramahnya pada setiap yang ia temui di jalan. Seburuk apa pun masa lalu Rezvan, ia yang dahulu dan sekarang jelas berbe
"Kamu kenapa mukul Andra?! Ada masalah apa, sih, kamu sama dia? Hah?!" teriak Tanisha tepat di depan wajah Rezvan. Kedua tangannya terus mendorong tubuh laki-lakinya serta terus memojokkannya. Orang-orang di sekitar mereka membantu Kalandra kembali berdiri. Ada juga yang hendak meleraikan Tanisha dengan Rezvan. Namun, perempuan itu memberi isyarat agar tak ikut campur dan ia pastikan tak akan ada lagi baku hantam. "Masalah apa lo bilang?! Dia maksa kalo lo harus pulang sama dia!""Terus apa masalahnya? Kamu gak berhak marah cuma karena hal itu." Tanisha berucap dengan penuh penekanan. Kedua matanya tajam menatap lurus pada Rezvan. Gurat kemarahan begitu terlihat di wajahnya. Rezvan pun terdiam. Kalimat yang dilontarkan oleh perempuan di depannya itu seolah telah menamparnya begitu keras. Napasnya yang semula begitu memburu kini perlahan menjadi kembali stabil. Ia baru sadar, ini bukanlah masa lalunya, di mana ia yang memiliki Tanisha sepenuhnya dengan alasan status pacar yang melin
Gadis dengan gamis hijau muda berjalan penuh semangat di sebuah lorong sekolah pesantren. Raut wajahnya menggambarkan kebahagiaan. Di tangannya terdapat sebuah rantang kecil berisi makanan yang ia masak sendiri. April—gadis tersebut—segera menuju ruang guru untuk memberikan rantang makanan itu kepada seseorang yang amat ia kagumi sedari dulu, Aqlan. Ia semakin senang saat mendapati Aqlan yang sudah ada di ruang guru. "Mas Aqlan!" Aqlan yang tengah menyiapkan buku untuk materi mengajar hari ini pun sontak menoleh ke arah suara tersebut. Ia tersenyum kikuk saat menyadari seseorang yang memanggil namanya itu adalah April. Gadis itu berjalan mendekati meja Aqlan lalu meletakkan rantang yang tadi ia bawa ke atasnya. "Mas Aqlan, aku bawain sarapan, nih. Aku sendiri, lho, yang masak. Pasti Mas Aqlan belum makan, kan?""Eee ...." Lagi-lagi Aqlan hanya tersenyum kikuk, tak tahu harus menjawab bagaimana. Ingin sekali ia berkata bahwa dirinya sudah sarapan di rumah. Sarapan masakan istri ter
Seorang pengemudi ojek online dengan seorang penumpang perempuan di depannya tiba di depan gerbang pesantren Al-Muhajirin. Setelah menyerahkan beberapa lembar uang, perempuan itu lantas memasuki gerbang dan disambut hangat oleh penjaga gerbang. Istri dari Aqlan tersebut—Tanisha—menarik napas terlebih dahulu sebelum berjalan lebih jauh ke area pesantren. Ia sudah menebak-nebak kalau para santri di sana pasti akan menunduk hormat padanya. Sesuatu yang paling membuat Tanisha merasa tak nyaman saat mendatangi pesantren milik mertuanya itu. Benar saja, baru saja Tanisha berjalan beberapa langkah, sudah ada 2 orang santriwati yang berlalu di hadapannya sambil membungkukkan badan hormat. Tanisha yang melihat itu hanya tersenyum kikuk seraya menganggukkan kepala pelan. Bukan keinginannya untuk datang ke tempat menuntut ilmu agama ini. Lagi-lagi Tanisha diminta oleh sang Bunda untuk membawakan makan siang pada Aqlan. Kalau bukan karena permintaan oleh malaikat tak bersayapnya, Tanisha pasti
"Tumben banget kamu ke sini, Nisha. Ada apa?" tanya Sardan sembari menjatuhkan tubuhnya ke salah satu single sofa di ruang tamu tersebut. "Nggak papa, kok, Abi. Pengen jenguk aja, sekalian nganterin makan siang buat Bang Aqlan," jawab Tanisha. Sardan mengangguk paham. Ia pun mengajak Tanisha untuk berbincang-bincang perihal perjalanan rumah tangga Tanisha dengan putranya, Aqlan. Sebagai putra pertama, tentu Sardan berharap Aqlan benar-benar dapat menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga kecilnya. Ilmu-ilmu mengenai kehidupan rumah tangga yang sudah Sardan sampaikan pada Aqlan diharapkan dapat diamalkan oleh laki-laki itu. Sementara itu, Raidah meminta kepada salah satu santri di sana untuk membuatkan minuman. Sambil menunggu, Raidah pun ikut masuk ke dalam percakapan antara suami dan menantunya itu. "Aqlan gimana? Nggak ngerepotin kamu, kan? Suka bikin kesel gak? Soalnya Aqlan itu orangnya kadang suka ngerjain," tanya Raidah diiringi tawa ringan. "Nggak, kok. Bang Aqlan baik," ja
Beberapa hari ke belakang ini Rezvan dilanda rasa penasaran yang seolah terus-menerus menghantui pikirannya. Semenjak insiden di pasar itu, Rezvan pun menjadi lebih banyak diam dan melamun. Hal itu tentu membuat Fathan heran, apalagi laki-laki itu juga selalu melamun di tengah-tengah kegiatan rapat. Rezvan ingin sekali mencari tahu tentang sesuatu yang ia rasa Kalandra sembunyikan darinya. Perkataan Kalandra sewaktu di pasar seakan-akan terus terngiang di telinganya dan mendorong laki-laki itu untuk mencari tahu sendiri ketimbang menunggu kepastian kapan waktu akan memberi tahunya. "Woy! Ngelamun mulu lo! Lagi waktu kerja ini!" seru Fathan saat memergoki Rezvan tengah melamun padahal seharusnya laki-laki itu turut memantau proses berjalannya shooting. "Terserah gue, lah," sahut Rezvan diiringi tatapan sinis yang ia layangkan. Fathan berdecak kesal. Ia pun memilih untuk mengabaikan Rezvan dan pergi ke area sekitar tempat shooting untuk meng-handle segala urusan di sana. Ia paham, j
Pukul 9 malam, Aqlan dan Tanisha baru kembali dari Al-Muhajirin. Saat memasuki kamar beriringan, tampak keduanya begitu kelelahan. Kedua mata mereka sudah tak sabar untuk diajak pergi menonton sebuah drama di alam mimpi. Sebenarnya Aqlan selesai mengajar bakda Isya, tetapi—seperti kebiasaan laki-laki—ia diajak berbincang-bincang dahulu oleh sang ayah bersama kerabat yang lainnya juga. Tanisha yang tak berani pulang sendiri di malam hari pun terpaksa ikut Aqlan dan menghabiskan waktu bersama sepupu-sepupu perempuan dan bibi-bibi Aqlan. "Ah ... capek banget hari ini," keluh Tanisha sambil merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Aqlan yang sedang mengganti pakaiannya pun tersenyum melihat tingkah sang istri. Setelah acara menggantinya selesai, Aqlan pun segera menghampiri Tanisha lalu mengusap kepala perempuan itu. "Ganti baju dulu sana. Abis itu cuci tangan, cuci kaki sama sikat gigi. Nanti kita tidur bareng," titah Aqlan lembut. Tanisha mendengkus kesal. Ia paling tak suka diganggu ket
Beberapa bulan kemudian semenjak kejadian Tanisha keguguran, semua kembali berjalan dengan normal. Hubungannya dengan Rezvan kembali membaik. Tak ada lagi saling diam mendiami satu sama lain. Semua benar-benar kembali ke keadaan di mana mereka baru memulai yang namanya bahtera rumah tangga. Persoalan Theano, laki-laki itu sudah ditangkap dan dipenjara atas kasus yang ia lakukan. Meneror, menyerang, dan membuat kandungan Tanisha keguguran. Meski begitu, tak ada rasa dendam atau benci di hati Tanisha dan Rezvan. Mereka senang karena telah mendapat keadilan. Namun, mereka juga tetap memaafkan perbuatan Theano. Hari-hari berjalan dengan penuh kebahagiaan dan canda tawa. Tak ada kekhawatiran akan keturunan yang belum juga diamanahkan. Tanisha dan Rezvan menjalani semuanya dengan penuh kesabaran. Diiringi doa dan ikhtiar, mereka tak berhenti berharap agar Tuhan kembali mempercayakan seorang anak pada mereka. "Sayang, aku berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah," ucap Rezvan
Afzar tampak keheranan saat mendapati Tanisha yang sudah kembali dari taman, tetapi dengan wajah yang tampak murung. Perempuan itu melewatinya begitu saja. Bahkan tak membalas sapaannya saat ia menyapa. Afzar yang semula duduk di luar ruangan inap pun lekas mengekori Tanisha hingga ke dalam. Ia masih menatap dalam diam memandangi sang adik yang duduk di atas ranjang sambil tertunduk lesu. "Cha, tadi Rezvan dateng ngejenguk. Udah ketemu belum?" tanyanya sambil menarik kursi mendekati ranjang. Tanisha mengangguk mengiyakan. "Ketemu. Tadi di taman." "Terus, sekarang dia di mana? Kok, gak bareng kamu?" tanya Afzar lagi seraya celingak-celinguk mencari keberadaan suami adiknya. "Aku belum mau ketemu sama dia dulu, Bang. Dan tolong, jangan bicarain dia juga di depan aku." Setelah mengatakan itu, perempuan dengan piyama warna biru tosca itu meluruskan kedua kakinya, lalu ditutupi dengan kain selimut yang tebal. Afzar memandangi wajah adiknya tersebut lekat-lekat. Dapat ia lihat jejak k
BRUK!Untuk ke sekian kalinya Rezvan melempar tubuh Theano ke lantai hingga tersungkur. Memar dan darah menyebar di beberapa bagian anggota tubuh laki-laki itu. Keadaannya sangat memprihatinkan, seolah sedang berada di antara hidup dan mati. Laki-laki dengan wajah penuh amarah itu berjalan mendekati Theano yang masih berusaha untuk bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Dinding di belakangnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang serasa sudah begitu remuk. Rezvan, dengan napasnya yang memburu, dengan kasar menarik kerah baju Theano hingga laki-laki yang sudah sangat lemah itu berdiri lunglai. Tatapan yang ia layangkan begitu tajam setajam mata elang. Tatapan itu seolah mengartikan berapa marahnya atas apa yang dilakukan oleh lawannya tersebut. "Dengerin gue, Theano. Kalo lo masih berani nyentuh istri gue dikit aja, gue gak akan pernah biarin lo hidup lagi. Sekarang lo beruntung masih gue kasih kesempatan buat hidup. Inget, perbuatan lo gak akan semudah itu gue maafin," tegas Rezvan
Semua anggota Garparez langsung menuju lokasi saat mendapat kabar bahwa Tanisha terluka akibat didorong oleh Theano hingga terjatuh. Wajah-wajah panik yang tertutup helm memenuhi jalanan. Kendaraan yang mereka kendalikan pun dilajukan begitu cepat. Sementara itu, Rezvan yang ditemani Kalandra bergegas mengambil langkah cepat dengan mengantarkan Tanisha ke rumah sakit. Raut wajah Rezvan tampak sangat khawatir. Keselamatan istri dan calon anaknya benar-benar membuatnya tak dapat duduk tenang barang sekejap saja. Bahkan, ketika Tanisha sudah dimasukkan ke ruang IGD, Rezvan masih saja tak henti-hentinya bersikap sangat panik. Ia tak mau menunggu sambil duduk. Terus saja dirinya mondar-mandir di depan pintu sambil menyatukan kedua tangan, berharap tak ada kabar menyakitkan nantinya. Kalandra yang paham apa yang tengah dirasakan oleh calon ayah itu tak mampu berbuat apa pun. Sejujurnya ia juga merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Tanisha. Betapa menyesalnya karena sebagai seorang l
Suara pintu yang diketuk beradu dengan suara bel hingga terdengar seluruh penjuru rumah. Tanisha yang saat itu sedang bekerja di depan laptopnya lantas bergegas turun ke bawah menuju pintu utama. Suara bel yang dipencet beberapa kali membuat Tanisha makin mempercepat langkahnya. Suara yang sangat keras itu seolah membuat gendang telinganya hampir pecah. Diiringi perasaan kesal ia pun lekas membuka pintu dan matanya pun menangkap sosok lelaki yang tak ia kenal. "Mau ketemu siapa, ya?" tanya Tanisha dengan wajah masam. Penampilan laki-laki yang seperti anak geng motor itu membuatnya seakan kembali diingatkan pada kebohongan suaminya. "Kamu. Tanisha Azzahra Khalisah," jawab laki-laki itu disertai senyuman yang tak dapat perempuan itu tebak senyuman apakah itu. "Aku? Kamu siapa? Ada urusan apa kamu sama aku?" Nada bicara Tanisha terdengar agak ketus. Matanya terus mengamati penampilan laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. "Saya cuma mau menyampaikan satu hal dari atasan sam
Keesokan paginya, Rezvan sudah siap dengan setelan pakaiannya. Namun, yang ia pakai bukan baju untuk bekerja seperti biasanya. Kali ini ia mengenakan kaos berwarna biru tua yang dibalut dengan jaket berbahan levi's. Dilihat dari penampilannya, sudah dapat ditebak kalau ia hendak pergi ke markas Garparez. Tanissha yang menyadari hal tersebut lantas menggerutu terus-menerus. Lidahnya tak berhenti mengumpati suaminya bahkan di saat ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kecewa yang belum juga mereda pun membuatnya tak sudi menanyakan apa pun pada laki-laki itu. Rezvan menatap istrinya dari kejauhan—tepatnya di balik pintu dapur. Ada rasa khawatir bercampur cemas saat melihat istrinya yang kini masih terlihat sibuk itu. Bayang-bayang Theano yang mungkin saja akan mendatangi Tanisha kapan pun dia mau. Apalagi membayangkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada perempuan itu rasanya ia tak sanggup. Rezvan tahu Tanisha masih marah padanya. Memang bukan hal yang mudah untuk mengemb
Pagi kembali menyapa. Mentari pun ikut menyambut dengan masuk ke celah-celah jendela dan memberikan kehangatan bagi setiap penghuni rumahnya. Aroma-aroma masakan dari setiap rumah menguar dari balik jendela dapur hingga mengundang rasa lapar yang telah tertahan semalaman. Akan tetapi, kehangatan itu tak dapat dirasakan oleh pasangan suami istri yang baru pulang dini hari tadi. Tak ada percakapan ringan yang menyertai kegiatan mereka di awal hari. Tak ada pelukan mesra yang biasanya selalu datang memberikan senyum manis yang menawan hati. Hanya ada keheningan tanpa ada keributan yang biasanya ada setiap hari. Di antara Tanisha maupun Rezvan, tak ada yang berani menyapa lebih dahulu. Masing-masing dari mereka fokus dengan urusannya tanpa memedulikan hubungan mereka yang terancam renggang. Kejadian semalam seolah mengubah 180 derajat kebiasaan mereka sehari-hari. Walaupun dengan rasa terpaksa, Tanisha menyiapkan sarapan pagi begitu cepat. Tak ada nyala kompor yang mengeluarkan api, d
Di malam yang gelap gulita itu Tanisha keluar dari area rumah sakit menuju taman tempat para pasien jalan-jalan untuk menenangkan diri. Di sana perempuan itu bersimpuh di atas rumput dengan kepala mendongak menatap langit. Sesakit inikah dibohongi? Kecewa yang mendalam seolah tak ada lagi celah untuk dapat memercayai sesuatu yang sudah disadari bahwa itu adalah kebohongan. Tanisha tahu, banyak kebaikan yang telah dilakukan Rezvan untuknya. Namun, entah mengapa satu kebohongan itu telah meruntuhkan seluruh kepercayaan yang pernah ia berikan pada laki-laki itu. Entah mungkin karena faktor kehamilan atau apa pun itu, yang jelas kini ia benar-benar kecewa. Dengan langkah yang terseok-seok Rezvan datang menyusul istrinya. Wajahnya tampak khawatir. Matanya bergerak luar mencari keberadaan Tanisha. Saat matanya menangkap sosok yang dicarinya, ia pun langsung berlari dan memeluk perempuan itu. "Acha! Lo ngapain di sini? Ayo, duduk di kursi. Kita bicarain ini baik-baik, ya?" Rezvan memegan
Semua orang di lapangan tersebut terkejut dengan teriakan Rezvan. Mereka yang semula sedang bertarung memperebutkan kemenangan lantas menghentikan pertarungan mereka dan berlari menghampiri suara teriakan itu. Lawan mereka, yaitu anak buah Theano tertawa penuh kemenangan saat menyadari ketua dari lawan mereka sudah hampir tumbang. Wajah-wajah penuh kekhawatiran tampak jelas mengelilingi Rezvan yang terkulai lemas dengan Kalandra di sebelahnya. Laki-laki itu segera menyuruh seseorang untuk memanggil ambulan agar sahabatnya dapat segera ditangani. Tanpa akhir yang diharapkan, pertarungan ini selesai dengan kekecewaan. Perdamaian yang menjadi tujuan kini hirap tak berbekas. Theano dan antek-anteknya tertawa lepas melihat kekalahan dari rivalnya, Rezvan. Lagi, tentang Tanisha yang sudah mengetahui yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi dengan hak itu. Tak lama setelah dipanggil, ambulan pun datang dan segera mengeluarkan tandu untuk membantu mengangkat Rezvan masuk ke dalam mobil