Nawang bergeming sembari menarik nafas panjang. Sebenarnya tak apa jika dia harus angkat kaki dari rumah ini. Bukan berarti Nawang takut untuk hidup di luar sana. Tapi Nawang tidak tega meninggalkan Axelle. Nawang sudah menganggap Axelle seperti anaknya sendiri. "Iya, Bu, saya nggak akan bilang sama Marsel," jawab Nawang pasrah. Rasa cintanya pada Axelle membuatnya memutuskan untuk mengalah. "Bagus kalau begitu. Memang seharusnya begitu. Jadi pembantu itu harus tahu diri." Intan terus merendahkan Nawang. Nawang membalik badan dan berjalan pergi meninggalkan dapur. Sambil berjalan kembali ke kamar Axelle, Nawang mengusap setitik air mata yang mulai jatuh. "Aku nggak boleh cengeng. Orang miskin harus punya mental baja." Nawang berbicara dengan dirinya sendiri. Sambil duduk menatap tembok, Nawang berpikir keras. Bagaimana dia bisa bertahan di rumah ini sedangkan dia tidak memegang uang sepeserpun? Bagaimana juga tentang asupan gizi untuk Axelle? Sedangkan Axelle baru memasuki fase M
"Tapi saya nggak bisa ngasih upah yang banyak," jawab ibu pemilik warung. "Oh ... nggak apa-apa, Bu. Saya cuma butuh buat beli makan. Kalau kebutuhan saya yang lain sudah dicukupi sama bos saya.""Kalau buat beli makan ya Insya Allah cukup. Oiya ... ngomong-ngomong siapa namamu?""Nama saya Nawang, Bu. Kalau nama ibu?""Nama saya Sri. Panggil saja Bu Sri. Oiya ... saya mau cerita sedikit soal siapa ibu dari bosmu itu."Mendengar kalimat itu, Nawang langsung terlihat antusias untuk mendengarkan. Para pembeli sudah pada pulang. Kesempatan bagi mereka untuk mengobrol tanpa takut didengar oleh siapapun. "Ibu kenal dengan Bu Intan?" tanya Nawang. "Nggak cuma kenal. Dulu dia teman sekelas saya." Nawang terkejut mendengarnya. Jika benar demikian, berarti Bu Intan tidak kaya sejak lahir. Dia juga berasal dari keluarga dengan ekonomi yang biasa saja. "Saya pikir orang tua Bu Intan itu orang kaya sejak dulu, Bu," sambung Nawang. "Enggak. Intan dulu ya anak orang biasa seperti kita ini. Ta
"Di rumah itu ada pintu belakang yang jarang dibuka. Tapi sebenarnya kamu bisa cepat sampai di sini jika lewat pintu itu. Tanpa ketahuan sama satpam di depan," jelas Bu Sri dengan raut wajah serius. "Oya? Kok ibu bisa tahu?""Dulu pembantu yang bekerja di situ sering memesan makanan di warung ibu. Ibu nganternya lewat pintu belakang. Apa sih bahasa kerennya sekarang? COD ya?" tanya Bu Sri sambil garuk-garuk kepala. Nawang terkekeh kecil. "Iya, Bu. Benar. Nanti akan aku coba cari di mana letak pintu itu.""Kalau sekarang paling udah jarang dibuka, Nak. Paling juga sudah banyak ditumbuhi tumbuhan liar. Pokoknya pintunya itu di dekat kolam renang."Nawang mengangguk mengerti. Dia mengucapkan terima kasih pada Bu Sri karena sudah banyak membantu. Karena hari sudah semakin sore, Nawang pamit pulang. Takut keduluan oleh Marsel. Bu Sri pun tidak membiarkan Nawang pulang dengan tangan kosong. Dia memberikan sebungkus nasi dengan lauk bali telur dan orek tempe untuk Nawang. "Terima kasih b
"Sebenarnya mau kamu apa sih, Na? Kalau kamu mati kelaparan di sini nanti aku juga yang repot. Nyiapin acara tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari ...""Eh ... eh ... ngomong apa itu? Kamu doain aku cepat mati? Dengerin ya, Sel, aku nggak akan mati semudah itu," sambar Nawang. Dia memasang wajah sebal. "Habisnya kamu ngeselin. Selalu bikin aku naik darah.""Kamu dan ibumu juga begitu," gumam Nawang dalam hati "Bahkan berlipat-lipat ngeselinnya. Andai saja aku nggak sayang dengan Axelle, sudah angkat kaki aku dari rumah ini."Namun jangankan semua kalimat itu bisa meluncur bebas dari bibirnya, Nawang malah memilih untuk meredamnya. Nawang mengerti, Marsel begini karena tidak tahu hal yang sebenarnya terjadi. Dan Nawang memilih diam karena dia tidak mau mengadu domba keduanya. Dia tidak mau melihat hubungan ibu dan anak menjadi hancur."Terus ngapain kamu makan nasi bungkus? Mana ada gizinya? Padahal tadi aku sudah belikan kamu kerang laut. Ke mana makanan yang aku belika
Nawang membawa Axelle melangkah masuk. Bu Sri menuntun Nawang ke sebuah ruangan kecil di salah satu sudut warung. Terpisah dengan ruang depan di mana pengunjung makan. Mata Nawang langsung membola. Ruang kecil itu penuh dengan mainan dan kasur kecil yang pas untuk tubuh Axelle. Tak lupa Bu Sri juga menyiapkan kipas angin agar Axelle tidak kegerahan berada di dalamnya. "Ibu nyiapin ini semua buat Axelle?" tanya Nawang dengan tatapan heran. "Tentu saja. Buat siapa lagi memangnya?" jawab Bu Sri masih dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. "Bu, sambutan ini terlalu berlebihan. Saya kan hanya pembantu ibu di sini," ucap Nawang dengan mata mulai berkaca-kaca. "Nggak ada yang namanya pembantu di sini. Memangnya ini restoran mewah apa? Sengaja ibu buatkan ruangan ini agar Axelle nyaman dan tidak rewel kalau kamu tinggal kerja," ujarnya dengan sorot mata penuh binar. "Ya Allah, Bu. Ibu baik sekali dengan saya. Bagaimana caranya saya membalas semua ini?" Nawang hampir mencebik. Dia t
"Oh ... tadi habis ngajak Axelle jalan-jalan di halaman belakang."Marsel mengeryit. Dia menengok sebentar ke arah belakang. Rumput-rumput liar itu masih ada. Bahkan belum tampak berkurang."Katanya tadi mau bersih-bersih?""Belum sempat. Axelle rewel. Kan katamu kalau Axelle rewel aku harus pending pekerjaan lainnya."Marsel mengangguk ringan. Tapi dia tetap menaruh curiga pada Nawang. Diperhatikannya Nawang beserta Axelle. Marsel mencari hal yang bisa saja memberikan petunjuk. "Ya sudah. Aku mandiin Axelle dulu ya," pamit Nawang lalu melenggang pergi. Dia mengangkat tubuh Axelle dari dalam stroller lalu membawanya ke kamar mandi sambil menenteng sebuah kantong plastik berwarna hitam. "Apa isi dari kantong plastik itu ya?" pikir Marsel. Saat hendak berjalan pergi, tanpa sengaja dia kakinya tersandung roda stroller anaknya. "Aduh!" pekik Marsel sambil mengangkat sebelah kakinya ke atas. Dia lalu memandang ke bawah. Matanya melihat ceceran tanah di atas lantai. Marsel berjongkok.
"Kan ibu sendiri yang nyuruh Pak Marsel buat jangan belikan saya makanan yang mahal-mahal," sambar Nawang langsung. "Ya tapi ..." "Tapi apa, Bu?" Nawang tersenyum lebar. Sengaja dia menggoda perempuan itu. "Sini kalau ibu nggak doyan makanannya. Biar saya yang makan." Nawang hendak meraih makanan itu. Tapi Intan segera menjauhkannya dari jangkauan tangan Nawang. "Enak saja. Saya nggak akan kasih kamu makanan ini. Biar saja kamu mati kelaparan di sini," jawabnya kejam. Entah seberapa banyak umpatan yang tertahan di mulut Nawang. Ingin rasanya dia mengucap sumpah serapah untuk perempuan itu. Tak habis pikir rasanya. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik merawat cucunya, tapi dia tidak pernah diberikan sebungkus makanan pun oleh perempuan itu.Intan pergi sambil menenteng kantong kresek berisi makanan-makanan yang baru saja dibeli oleh Marsel. Sampai di depan rumah, dia membuang semua makanan itu ke tong sampah. Lalu meninggalkannya pulang ke rumah. Nawang mulai berurai air mata
Riuh tawa menggema di sudut Restoran Piring Mas, sebuah restoran mahal di pusat kota. Langit-langit tinggi itu dihiasi lampu kristal. Empat perempuan duduk mengelilingi meja bundar dengan piring-piring porselen berisi hidangan mahal : foie gras, lobster thermidor dan salad yang lebih banyak hiasan daripada sayur. Intan memulai percakapan. Seperti biasanya, dia selalu membahas soal Nawang. Selalu dan tak pernah bosan. "Aku heran deh sama si Nawang," mulainya. Teman-temannya pun mulai menyimak. Mereka selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluhan Intan. "Heran kenapa lagi?" sahut Maria dengan santai sambil melahap makanannya. "Dia kayak nggak tersiksa gitu. Padahal setiap hari makanannya selalu aku ambil. Tapi dia nggak kelihatan lemas atau kelaparan," gumamnya lagi. "Kayak tahan banting gitu ya," sahut yang lain. "Iya. Padahal aku tahu dia nggak pernah megang uang. Gaji dia sudah dibayar di awal oleh Marsel. Untuk biaya operasi anaknya yang gagal itu.""Aku kalau lihat s
Intan menggenggam setir dengan erat. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Matanya fokus ke jalan tapi pikirannya menggelegak penuh amarah. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, mendumel sendiri meluapkan kekesalannya. Jalanan yang seharusnya menjadi jalur pulang biasa terasa seperti arena peperangan batin baginya. "Sialan, Maria!" gerutunya "Katanya foto itu adalah Nawang. Dia kerja nganterin makanan. Tapi kok tadi dia di rumah. Bikin aku malu saja. Untung aku belum maki-maki dia."Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone lalu menggeser layar, mencari nama Maria. Dering pertama belum selesai tapi Maria langsung menjawab. "Iya, gimana, Tan? Sudah puas melabrak si Nawang?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Apanya yang dilabrak? Orang dia ada di rumah. Nggak kemana-mana. Kamu sengaja nipu aku ya," bentak Intan dengan kasar. "Nipu apaan? Orang bener kok yang aku lihat tadi si Nawang. Meskipun dia pakai helm dan aku foto dari samping. Tapi aku yakin itu si Nawang. Oh ... harusnya aku t
Intan memandangi layar ponselnya dengan sorot mata menyala. Sebuah foto terpampang jelas, menampilkan sosok Nawang sedang mengendara motor matic sambil membawa satu kantong plastik besar berisi nasi kotak. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu cepat. Jadi benar. Perempuan itu punya pekerjaan sampingan. Dia pikir Nawang akan terpuruk setelah diperlakukan tidak baik oleh dirinya. Tapi nyatanya, dia masih punya akal untuk mencari penghidupan lain.Intan menggertakkan gigi. Itu berarti rencananya selama ini untuk membuat Nawang menyerah dan minta pergi dari rumah Marsel gagal total. Perempuan itu ternyata lebih tangguh dari yang ia bayangkan. Dan itu membuatnya geram bukan main.Dengan cepat, ia meraih tas kecilnya dan bergegas ke pintu. Ia sudah bertekad untuk pergi ke rumah Marsel dan langsung melabrak Nawang. Akan dia buat Nawang menyesal karena berani melangkah di luar aturan yang Marsel buat.Namun langkahnya terhenti saat suara berat suaminya terdengar dari belakang. "Mau ke mana k
Setengah jam Intan hanya mendiamkan makanan tersebut. Dia berpikir keras. Mau diapakan makanan sebanyak itu sedangkan dia enggan memakannya. Jika dia memberikan makanan itu pada suaminya pun, suaminya akan curiga. Karena Intan jarang membeli makanan murah seperti itu. Biasanya selera Intan selalu tinggi. Tak ada pilihan lain selain membuangnya. Intan segera membawa makanan itu ke belakang sebelum ketahuan oleh suaminya. Kakinya melangkah dengan hati-hati. Untuk sampai di halaman belakang, Intan harus melewati kamar mandi. Dan suaminya sedang ada di dalam kamar mandi. Dia berjalan mengendap-ngendap seperti maling di rumahnya sendiri. Sesampainya di halaman belakang, tangan Intan segera mengangkat tutup tong sampah pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara. Saat Intan mengangkat kantong plastik besar berisi makanan itu dari tanah, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Lagi ngapain kamu?" Intan langsung menelan ludah saat mendengar suara itu. "Suamiku. Mampus aku!" rutuknya dal
Riuh tawa menggema di sudut Restoran Piring Mas, sebuah restoran mahal di pusat kota. Langit-langit tinggi itu dihiasi lampu kristal. Empat perempuan duduk mengelilingi meja bundar dengan piring-piring porselen berisi hidangan mahal : foie gras, lobster thermidor dan salad yang lebih banyak hiasan daripada sayur. Intan memulai percakapan. Seperti biasanya, dia selalu membahas soal Nawang. Selalu dan tak pernah bosan. "Aku heran deh sama si Nawang," mulainya. Teman-temannya pun mulai menyimak. Mereka selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluhan Intan. "Heran kenapa lagi?" sahut Maria dengan santai sambil melahap makanannya. "Dia kayak nggak tersiksa gitu. Padahal setiap hari makanannya selalu aku ambil. Tapi dia nggak kelihatan lemas atau kelaparan," gumamnya lagi. "Kayak tahan banting gitu ya," sahut yang lain. "Iya. Padahal aku tahu dia nggak pernah megang uang. Gaji dia sudah dibayar di awal oleh Marsel. Untuk biaya operasi anaknya yang gagal itu.""Aku kalau lihat s
"Kan ibu sendiri yang nyuruh Pak Marsel buat jangan belikan saya makanan yang mahal-mahal," sambar Nawang langsung. "Ya tapi ..." "Tapi apa, Bu?" Nawang tersenyum lebar. Sengaja dia menggoda perempuan itu. "Sini kalau ibu nggak doyan makanannya. Biar saya yang makan." Nawang hendak meraih makanan itu. Tapi Intan segera menjauhkannya dari jangkauan tangan Nawang. "Enak saja. Saya nggak akan kasih kamu makanan ini. Biar saja kamu mati kelaparan di sini," jawabnya kejam. Entah seberapa banyak umpatan yang tertahan di mulut Nawang. Ingin rasanya dia mengucap sumpah serapah untuk perempuan itu. Tak habis pikir rasanya. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik merawat cucunya, tapi dia tidak pernah diberikan sebungkus makanan pun oleh perempuan itu.Intan pergi sambil menenteng kantong kresek berisi makanan-makanan yang baru saja dibeli oleh Marsel. Sampai di depan rumah, dia membuang semua makanan itu ke tong sampah. Lalu meninggalkannya pulang ke rumah. Nawang mulai berurai air mata
"Oh ... tadi habis ngajak Axelle jalan-jalan di halaman belakang."Marsel mengeryit. Dia menengok sebentar ke arah belakang. Rumput-rumput liar itu masih ada. Bahkan belum tampak berkurang."Katanya tadi mau bersih-bersih?""Belum sempat. Axelle rewel. Kan katamu kalau Axelle rewel aku harus pending pekerjaan lainnya."Marsel mengangguk ringan. Tapi dia tetap menaruh curiga pada Nawang. Diperhatikannya Nawang beserta Axelle. Marsel mencari hal yang bisa saja memberikan petunjuk. "Ya sudah. Aku mandiin Axelle dulu ya," pamit Nawang lalu melenggang pergi. Dia mengangkat tubuh Axelle dari dalam stroller lalu membawanya ke kamar mandi sambil menenteng sebuah kantong plastik berwarna hitam. "Apa isi dari kantong plastik itu ya?" pikir Marsel. Saat hendak berjalan pergi, tanpa sengaja dia kakinya tersandung roda stroller anaknya. "Aduh!" pekik Marsel sambil mengangkat sebelah kakinya ke atas. Dia lalu memandang ke bawah. Matanya melihat ceceran tanah di atas lantai. Marsel berjongkok.
Nawang membawa Axelle melangkah masuk. Bu Sri menuntun Nawang ke sebuah ruangan kecil di salah satu sudut warung. Terpisah dengan ruang depan di mana pengunjung makan. Mata Nawang langsung membola. Ruang kecil itu penuh dengan mainan dan kasur kecil yang pas untuk tubuh Axelle. Tak lupa Bu Sri juga menyiapkan kipas angin agar Axelle tidak kegerahan berada di dalamnya. "Ibu nyiapin ini semua buat Axelle?" tanya Nawang dengan tatapan heran. "Tentu saja. Buat siapa lagi memangnya?" jawab Bu Sri masih dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. "Bu, sambutan ini terlalu berlebihan. Saya kan hanya pembantu ibu di sini," ucap Nawang dengan mata mulai berkaca-kaca. "Nggak ada yang namanya pembantu di sini. Memangnya ini restoran mewah apa? Sengaja ibu buatkan ruangan ini agar Axelle nyaman dan tidak rewel kalau kamu tinggal kerja," ujarnya dengan sorot mata penuh binar. "Ya Allah, Bu. Ibu baik sekali dengan saya. Bagaimana caranya saya membalas semua ini?" Nawang hampir mencebik. Dia t
"Sebenarnya mau kamu apa sih, Na? Kalau kamu mati kelaparan di sini nanti aku juga yang repot. Nyiapin acara tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari ...""Eh ... eh ... ngomong apa itu? Kamu doain aku cepat mati? Dengerin ya, Sel, aku nggak akan mati semudah itu," sambar Nawang. Dia memasang wajah sebal. "Habisnya kamu ngeselin. Selalu bikin aku naik darah.""Kamu dan ibumu juga begitu," gumam Nawang dalam hati "Bahkan berlipat-lipat ngeselinnya. Andai saja aku nggak sayang dengan Axelle, sudah angkat kaki aku dari rumah ini."Namun jangankan semua kalimat itu bisa meluncur bebas dari bibirnya, Nawang malah memilih untuk meredamnya. Nawang mengerti, Marsel begini karena tidak tahu hal yang sebenarnya terjadi. Dan Nawang memilih diam karena dia tidak mau mengadu domba keduanya. Dia tidak mau melihat hubungan ibu dan anak menjadi hancur."Terus ngapain kamu makan nasi bungkus? Mana ada gizinya? Padahal tadi aku sudah belikan kamu kerang laut. Ke mana makanan yang aku belika
"Di rumah itu ada pintu belakang yang jarang dibuka. Tapi sebenarnya kamu bisa cepat sampai di sini jika lewat pintu itu. Tanpa ketahuan sama satpam di depan," jelas Bu Sri dengan raut wajah serius. "Oya? Kok ibu bisa tahu?""Dulu pembantu yang bekerja di situ sering memesan makanan di warung ibu. Ibu nganternya lewat pintu belakang. Apa sih bahasa kerennya sekarang? COD ya?" tanya Bu Sri sambil garuk-garuk kepala. Nawang terkekeh kecil. "Iya, Bu. Benar. Nanti akan aku coba cari di mana letak pintu itu.""Kalau sekarang paling udah jarang dibuka, Nak. Paling juga sudah banyak ditumbuhi tumbuhan liar. Pokoknya pintunya itu di dekat kolam renang."Nawang mengangguk mengerti. Dia mengucapkan terima kasih pada Bu Sri karena sudah banyak membantu. Karena hari sudah semakin sore, Nawang pamit pulang. Takut keduluan oleh Marsel. Bu Sri pun tidak membiarkan Nawang pulang dengan tangan kosong. Dia memberikan sebungkus nasi dengan lauk bali telur dan orek tempe untuk Nawang. "Terima kasih b