Kini keduanya berada di toko perhiasan, seperti kata Naren yang akan membawanya untuk mencari cincin pernikahan. Mereka sepakat untuk tidak mengadakan acara pertunangan dan langsung menikah saja. Sudah ada beberapa jenis cincin di hadapan keduanya, dari yang elegan hingga yang terlihat begitu mewah. Membuat Naren bimbang harus memilih jenis cincin mana yang terlihat paling bagus saat dipakai Renata karena semuanya pasti terlihat cantik di jari lentik perempuan itu."Yang sederhana saja, Mas." Putus Renata menarik atensi Naren.Panggilan itu masih terasa canggung, sebab beberapa jam yang lalu Naren masih bosnya. Tapi sekarang laki-laki itu menjadi calon suaminya. Ini masih terlihat tidak nyata bagi Renata."Yang biasa? Kau suka yang mana, aku menurut saja." Balas Naren karena semua bentuk cincin untuk laki-laki terlihat sama saja desainnya."Aku yang memilih?""Iya, kan kau yang akan memakainya."Renata mengangguk samar sebelum kembali memusatkan atensi ke beberapa cincin di hadapannya
"Papa kenapa lama sekali sih?! Naya kan mau cepat-cepat ketemu Mama!" Cecar Naya yang baru masuk ke dalam mobil.Di bangku kemudi Naren terkekeh melihat putrinya yang merengut marah. Bibir kecilnya mengerucut serta tatapan matanya tajam ingin menusuk. Tapi bukannya takut atau merasa bersalah, Naren justru semakin terkekeh karena putrinya terlihat sangat lucu."Maaf sayang, Papa harus menyelesaikan beberapa urusan dulu. Naya mau kan memaafkan Papa?" Tanya Naren yang kini sepenuhnya menghadap Naya."Tidak mau! Naya marah sama Papa. Biasanya Papa datang jam 12 tepat, kenapa hari ini telat 30 menit? Naya sudah lapar ingin makan!" Omel Naya yang terlihat benar-benar marah."Yahh... Naya tega dengan Papa? Padahal Papa sudah memesan tempat di restoran favorit Naya. Rencananya Papa ingin membawa Naya untuk makan siang di sana, tapi karena Naya tidak mau memaafkan Papa yasudah tidak jadi." Pasrah Naren yang pura-pura kecewa.Diam-diam Naren memperhatikan raut wajah putrinya yang berubah menyes
"Dari aku kecil hingga dewasa, aku tinggal di sini. Ya begini lah lingkungan tempat tinggal kami, berbeda dengan lingkunganmu, Mas."Renata tersenyum tipis saat Naren tidak berhenti memperhatikan bangunan rumah tua tempat tinggalnya dulu. Ya, sekarang mereka berada di panti asuhan tempat asal Renata. Mereka sudah berada di sini sejak sore hari hingga petang menjelang.Kedatangan Naya dan Naren disambut baik di panti, bahkan Naya cepat akrab dengan anak-anak seusianya. Mereka berkenalan dan mulai bermain bersama hingga kelelahan, Naya yang tidak memiliki banyak teman merasa sangat senang saat bertemu anak-anak panti. Begitu pula Naren yang sudah bertemu dengan bu Mirna dan memberi tahu tentang pernikahannya dengan Renata.Wanita paruh baya itu jelas sangat terkejut namun juga sangat bahagia mendengar kabar itu. Selama ini bu Mirna tidak pernah tahu jika Renata dekat dengan laki-laki, perempuan itu juga tidak pernah mengenalkan seorang teman laki-laki padanya, tapi hari ini tiba-tiba da
Naren tersenyum dalam pangutannya, ciuman hangat yang baru saja ia berikan terasa sangat tulus, tanpa sekalipun ada niat selain memberi sebuah keyakinan. Namun lelaki itu terpaksa melepaskan tautan bibir mereka karena Renata yang memukul dadanya, perempuannya mulai kehabisan napas. Naren terkekeh saat melihat Renata langsung menunduk malu, walau tercemar pantulan sinar rembulan Naren tahu pipinya bersemu. Perempuan itu bahkan tidak berani menatap wajahnya dan itu sangat lucu."Maaf, aku tidak bisa menahannya." Ujar Naren penuh penyesalan.Kedua tangan lelaki itu mengenggam kedua tangan Renata yang terasa dingin. Tidak ada jawaban dari Renata dan perempuan itu masih tak bergeming. "Renata, maafkan aku." Ulang Naren takut perempuannya marah.Lelaki itu menunduk ingin melihat wajah Renata sebelum akhirnya perempuan itu mengangguk pelan, membuat senyum kembali terpatri di bibirnya. Mereka terlalu lama duduk di selasar rumah dan berpangut bibir hingga tak menyadari jika hari semakin malam.
Semua penghuni mansion jelas tahu Naya adalah gadis kecil penguasa di mansion, semua orang menurut pada Naya tanpa terkecuali. Termasuk Aldeis dan Nawes yang sangat menyenyangi Naya. Jika Naren adalah putra mereka yang penurut, maka Naya adalah cucu yang sedikit pembangkang. Sebab Naren mendidik putrinya tak sekeras Naren saat mendidiknya dulu.Jika Naren kecil harus selalu menghormani orang tua, berbeda dengan Naya yang justru biasa saja dengan anggota keluarganya. Gadis kecil itu tidak pernah sekalipun menundukkan kepala kepada Nawes, Aldeis, apalagi Naren. Naya selalu mendongak angkuh karena merasa bisa memiliki semua yang dia inginkan, begitu lah cara Naren memanjakan putrinya, maka saat Naya tidak mendapatkan apa yang di inginkan, dia akan berubah menjadi rubah kecil yang suka menggigit, suka mengancam, begitulah Naren menyebutnya."Kakek! Kamu harus setuju Mama Renata menjadi Mamaku!" Begitu lah cara Naya meminta persetujuan pada Kakeknya. Gadis kecil itu akan memaksa dan harus
"Papa, Naya mau bertemu Mama." Pinta Naya saat mereka telah memasuki mobil. Air mata gadis kecil itu sudah tidak lagi mengalir, tetapi wajahnya memerah padam. Mata sembabnya menatap Naren sayu. Seolah memohon agar dipertemukan dengan Renata."Baiklah, kita jemput Mama sekarang." Ujar Naren setuju, lalu menyuruh sopir agar segera melajukan mobil. Meninggalkan mansion dengan perasaan campur aduk.Hari ini Naren memutuskan untuk tidak menyetir sendiri karena putrinya yang tak mau melepas pelukannya. Naya duduk dengan nyaman di atas pangkuan, bersandar di dada sang ayah. Menikmati usapan lembut di punggungnya."Papa, Naya mau Mama Renata." Mohon Naya dengan suara yang berubah bindeng."Iya, sayang. Tenang, Mama Renata akan menjadi Mamanya Naya." Tenang Naren yang sesekali menciumi pucuk kepala putrinya."Naya dengar kan, tadi Kakek bilang Papa boleh menikah dengan Mama. Jadi, Naya tidak perlu khawatir, jangan bersedih." Bujuknya.Naya diam tak menjawab, anak itu terlalu nyaman berada di
"Mama, apa kau tidak lelah bekerja terus?" Naya yang duduk di sofa bertanya pada Renata, gadis kecil itu tak lepas menatap Renata yang sibuk bekerja. Karena di serang bosan Naya jadi ingin mengusik Renata. Saat melihat Renata menggeleng, helaan napas kasar langsung berembus."Tidak, sayang.""Mama, Naya bosan, ayo bermain." pinta Naya yang kini turun dari sofa. Melangkah mendekati Renata."Sebentar lagi jam makan siang, apa Naya bisa menunggu sebentar lagi?" Alih Renata dari layar laptopnya. Wanita itu tersenyum kecil saat melihat bibir Naya mengerucut. Kemudian dengan gerakan cepat Renata mengangkat tubuh kecil yang bersandar pada kursi itu ke atas pangkuannya. Tangannya berayun untuk mengusap kepala Naya, merapikan anak-anak rambut yang menghalangi wajah cantik gadis kecilnya."Mama akan selesaikan pekerjaan dengan cepat, jadi jangan cemberut, oke?" "Tapi Naya bosan." keluh Naya. "Maaf ya, tidak ada boneka atau mainan di ruangan Mama." sesal Renata."Setelah selesai Mama berjanj
Tepat pukul dua belas siang Renata menyelesaikan laporannya, bertepatan dengan jam makan siang. Wanita itu menggerakkan tubuhnya pelan-pelan karena Naya masih tertidur di atas pangkuannya. Kali ini dia percaya dengan ucapan Naren jika memangku Naya membuat tubuhnya pegal-pegal, itu benar adanya.Renata bangun perlahan karena harus menyeimbangkan tubuhnya, baru setelah itu berjalan menuju sofa dan meletakkan Naya di atasnya. Wanita itu meregangkan tubuhnya yang hampir kaku, melemaskan otot-otot tubuhnya agar kembali rileks. Lain kali, dia akan menuruti ucapan Naren agar tidak pegal dua kali."Merawat anak memang tidak mudah, heuh bu Mirna pasti kesusahan selama ini karena merawat banyak anak." Ujarnya pada dirinya sendiri.Dan setelah ini dia akan merasakan apa yang sudah bu Mirna rasakan, merawat seorang putri kecil. Walaupun Renata sudah banyak membantu mengasuh adik-adik pantinya dulu, tetap saja rasanya akan berbeda. Tanggung jawabnya adalah sebagai seorang ibu, bukan sebagai seora
"Kalian sedang membicarakan apa?" Tanpa di undang Naren datang, lelaki itu turun dengan kemeja yang belum dikancingkan. Dasi dan jas ditenteng, datang dengan raut penuh penasaran. Suara bariton lelaki itu cukup mengejutkan Naya yang masih serius mendengarkan jawaban Renata. Begitu juga Renata yang sama sekali tidak menyadari kedatangan Narendra. "Membicarakan filosofi nasi goreng." Jawab Renata sembarang. Kedua alis Naren menukik tidak percaya, menatap intens pada Renata yang terlihat gugup. Perempuan itu terburu menyelesaikan bekal Naya dan mengalihkan pendangan ke sembarang arah. Naren tidak percaya jika kedua perempuannya membicarakan tentang filosofi nasi goreng dengan wajah yang serius, memangnya apa? "Iya, Papa. Mama sedang memasak nasi goreng untuk sarapan kita." Beruntungnya Naya yang tidak terlalu mengerti bisa berkompromi tanpa diberi tahu. Dan Beruntung Renata memang membuat nasi goreng pagi ini. "Memangnya apa filosofinya?" Naren bertanya sembari mendekat, dud
Mereka berpindah menuju wardrop, Renata yang lihai dan sudah terbiasa mengurus anak kecil dengan cekatan memakaian Naya seragamnya yang lucu. Lalu seperti permintaan anak itu, Renata menyisir rambutnya yang halus secara perlahan dan membaginya menjadi dua. Naya memiliki banyak sekali jepit rambut dan kunciran, juga pita-pita yang dibelikan oleh nenek. Perempuan itu dengan lihai menguncir rambut Naya menjadi dua, mengikatnya tanpa menimbulkan rasa sakit di kulit kepala, berbeda dengan nenek yang suka mengikat dengan kencang sehingga kulit kepala gadis kecil itu tertarik dan menimbulkan rasa sakit. Setelah mengikatnua dengan karet, Renata meraih dua buah pita berwarna merah muda. Lantas menalikan pita itu ke dua kunciran sebelumnya. Perempuan itu juga menambahkan dua jepit berbentuk lidi secara sejajar di sebelah kanan. Membuat Naya terlihat lebih manis dengan penampilannya. "Nah, sudah. Coba Naya berkaca." Renata memutar tubuh calon putrinya agar menghadap kaca. "WAHHH, CANTIK SE
"Mama sudah tidak marah kan pada Naya?" Mendengar itu Renata dengan cepat beralih, merapikan anak rambut milik Naya dengan senyuman kecil. "Tidak, Mama tidak pernah marah dengan Naya. Mama minta maaf ya sudah membuat Naya ketakutan." "Mama, Naya senang sekali. Mama tidak akan pergi lagi kan? Mama akan selalu berada di dekat Naya kan? Mama sayang Naya kan?" Pertanyaan ber-rantai itu membuat Renata terkekeh sekaligus sedih. Dia merasa lucu dengan bagaimana wajah Naya ketika bertanya padanya, namun juga merasa sedih sebab ternyata Naya menaruh begitu banyak harapan padanya. Harapan agar dia selalu menyanyanginya dan mencintainya, serta untuk tetap tinggal bersamanya. "Mama tidak akan pergi lagi, apapun yang terjadi, Mama juga akan selalu berada di sisi Naya dan Mama sangat-sangat sayang dengan Naya, Mama mencintai Naya seperti hidup Mama sendiri." "Benarkah? Kalau begitu Naya sangat bahagia mendengarnya. Mama mau janji kelingking dengan Naya?" Gadis kecil itu berbinar s
Pagi menjelang dengan tenang, disambut oleh cuitan burung gereja yang terbang melintas dari rumah ke rumah. Hangatnya sinar mentari menandakan dia siap memberi kekuatan bagi siapapun yang akan menjalani aktivitas dengan semangat. Embun-embun yang menempel di pepohonan mulai menetes secara perlahan. Renata merasa Naya semakin terasa erat memeluk perutnya, kepala gadis kecil itu bahkan dengan nyaman disandarkan pada dadanya untuk mencari posisi paling nyaman. Pagi yang sedikit dingin tidak mengganggu Naya untuk tetap terlelap di sebelah Renata. Pada hari-hari biasa, Naya lebih bayak menghabiskan malam sendirian sebab Naren jarang nememaninya tidur. "Sayang, sudah pagi." suara Renata lembut menyapu indra pendengaran. Memberi tahu pada gadis kecilnya jika sudah waktunya untuk melepas pelukan yang terlalu nyaman. "Apa Naya masih sangat mengantuk? Tapi Kau harus berangkat ke sekolah." lanjut Renata dengan sedikit menggoyangkan tubuh Naya. Naya hanya bergumam membalas ucapan Renata,
"Sudah selesai?" Suara bariton itu membuat Renata yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut bukan main. Sebab di sebelah ranjang ada Naren yang berdiri tenang melihat ke arahnya. "Maaf-maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu." jelasnya terkekeh. "Kau! Bukankan kau bilang akan menunggu di kamar Naya hingga aku selesai membersihkan diri? Kenapa sekarang ada di sini?!" tanya Renata dengan nada yang sedikit tinggi. Dia sedikit panik karena hanya memakai handuk dan dalaman. Kedua tangan wanita itu menyilang di depan dada dan mencoba mengeratkan handuk yang melilit tubuhnya. Naren benar-benar tidak bisa dipercaya! "Kau terlalu lama, aku bosan karena hanya melihat Naya yang tertidur." Jawab si lelaki terlampau santai. "Tapi aku belum ganti baji! Keluar sana!" usir Renata. "Lagian kenapa tidak memakai baju di dalam kamar mandi? Kau sengaja ingin menggodaku ya?" Mendengar itu Renata naik pitam, matanya melotot karena mendengar Naren berbicara kurang ajar padanya. Menggoda katan
"Masuk lah dulu, aku akan menggendong Naya." "Kita masuk bersama saja." Renata keluar dari mobil dan menunggu Naren yang ingin menggendong Naya. Sebab gadis kecil itu sudah terlalu pulas dalam tidurnya sehingga tidak terbangun sama sekali. Mereka berjalan beriringan menuju rumah dengan Renata yang bertugas membuka pintu. Lampu ruang tamu langsung hidup begitu mereka masuk, tidak gelap seperti sebelumnya. Rumah ini cukup luas jika hanya dihuni mereka bertiga, Renata bahkan tidak bisa membayangkan betapa lelahnya jika harus membersihkan rumah sendirian dan merawat Naya secara bersamaan. "Istirahatlah, aku akan membawa Naya ke kamarnya." "Aku tidur dimana?" tanya Renata bingung karena belum tahu harus beristirahat dimana. Barang-barangnya berada di kamar utama, tetapi tidak mungkin dia tidur dengan Naren malam ini. Mereka belum menikah, terlebih Renata baru meminta pembatalan nikah beberapa menit lalu. "Di kamar utama, bersamaku." jawab Naren dengan kedipan sebelah mata. Lelaki i
"Ayo kita pulang." ajak Naren. Lelaki itu berdiri dan mencoba untuk menarik Renata yang masih berjongkok. Dia merasa mereka seperti sepasang kekasih yang masih belasan tahun, sebab orang dewasa tidak mungkin bertengkar di pinggi jalan. Bibir lelaki itu tersenyum kecil, melihat Renata yang berjongkok persis seperti Naya jika sedang menangis. Mereka terlihat sangat mirip. "Aku bisa pulang sendiri." jawab Renata sedikit acuh. Wanita itu menghempaskan tangan Naren yang masih menggenggam tangannya. Wajahnya masam karena kesal bercampur sedih. Renata sepertinya berencana untuk merajuk pada lelaki itu. "Mau pulang ke mana?" "Apartemen." "Itu terlalu jauh dari sini." "Biar saja!" "Dan sudah tidak ada barang-barang milikmu disana." Renata yang sudah berjalan beberapa langkah tiba-tiba terhenti begitu mendengar ucapan Naren. Dia baru teringat jika sudah pindah ke rumah baru Naren sore tadi. Renata meruntuk mengapa dia melupakannya. "Tidak ada pilihan selain pulang bersamaku,
Naren menurunkam lututnya bertumpu pada tanah. Matanya menatap ke arah Renata yang masih setia menunduk, tidak ada niat untuk membalas tatapannya. Pada keadaan ini Naren tidak bisa memegang kendali ayahnya, apa yang diucapkan pria tua itu Naren tidak bisa mengontrolnya. "Renata, aku minta maaf atas nama ayahku. Kau juga harus tahu jika semua ini di luar kendaliku, aku sangat merasa bersalah padamu atas semua perbuatan tak beradab ayahku. Aku sungguh minta maaf padamu." Salah satu tangan Naren meraih telapak tangan Renata yang terasa begitu dingin. Di genggamnya tangan itu agar kembali hangat, menghalau angin kencang yang menerpa tubuh keduanya. "Aku akan mengabulkan semua keinginanmu, Renata, asal jangan minta aku untuk membatalkan pernikahan kita." "Kalau begitu kau egois, Narendra." Tanpa melepas genggaman tangan Naren, Renata mendongak. Membalas tatapan lelaki dihadapannya dengan tatapan yang sukar diartikan. Naren cukup terkejut ketika Renata memanggilnya hanya dengan nam
"Papaa, Naya mau mama, hiks." Naya berteriak seraya terus mengejar Renata yang berlari, kakinya sesekali tersenggal karena Renata berlari lebih cepat. Kaki kecilnya tidak bisa mengejar langkah yang besar. Sedangkan Narendra mengejar dari belakang, berusaha untuk menahan putrinya yang benar-benar terlihat kecewa. Dia juga tidak akan melepaskan Renata segampang itu, mereka memang tidak ada perjanjian namun Renata tidak bisa membatalkan pernikahan begitu saja saat sudah ada kesepakatan. Kalau Renata memaksa, Naren juga bisa lebih memaksa. "Naya!" Pekik Naren ketika Naya kembali terjatuh. Dengan langkah lebih cepat, Naren buru-buru menghampiri putrinya. Sedangkan gadis kecil itu, sekalipun kakinya terasa nyeri dia tetap berusaha untuk bangkit dan ingin kembali mengejar Renata. Suara tangisnya semakin pecah begitu melihat Renata yang semakin menjauh tanpa menoleh ke belakang. Di dalam dekap Naren, Naya menangis lebih keras dan meronta-ronta minta untuk dilepaskan. "Papaaa, mamaa