Virni menatap Vernon dengan mata lebar, tak percaya dengan kabar yang dia dengar. "Ya, mana mungkin. Aku juga masih ga bisa percaya apa yang aku lihat dengan mataku sendiri. Di kantor, hampir terjadi perbuatan bejat. Yang sangat aku sayangkan justru dilakukan oleh orang yang selama ini sangat dipercayai perusahaan." Vernon kesal, tapi juga terdengar nada kecewa di sana. "Huh, apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia bisa sampai segila itu?" Virni menggeleng-geleng keras. "Aku juga ga tahu. Selama dia kerja ga pernah ada sikapnya yang aneh sama karyawati. Aku benar-benar kalap melihat kelakuannya. Dasar pria tua ga laku!" sentak Vernon kesal. Virni tersenyum juga mendengar itu. Vernon masih bisa saja lucu meskipun sedang kesal. "Kamu sudah beritahu papa?" Virni mengambil gelas, membuatkan minuman untuk Adisti. "Ga kepikir, Kak. Aku ga bisa bayangin, papa akan kayak gimana kalau tahu. Dia sangat sayang Pak Cahyo, sangat percaya padanya," jawab Vernon. "Tapi kalau kejadiannya kayak gi
"Apa? Pak Vernon tidak bohong? Sungguh, Bapak cinta sama saya?" Wajah kuyu Adisti berubah sumringah. Senyum cantik yang Vernon sukai muncul di bibirnya. "Ya, aku ga bohong. Kamu memang membuat aku jatuh cinta." Vernon pun tersenyum lepas. Tin!! Tin!! "Pak, awas!" Suara keras klakson dari arah depan dan teriakan Adisti membuat Vernon gelagapan. Dengan sigap dia fokus lagi pada posisi. "Astaga, aku melamun." Vernon berkata lirih. "Bapak baik-baik saja?" tanya Adisti. "Sorry, aku hilang fokus." Vernon menjawab dengan pandangan tetap pada jalanan. Adisti mengusuk dadanya. Hampir saja mereka celaka. Untung Vernon sigap, segera dia bisa mengendalikan setir dengan cepat. Hening lagi hingga mereka tiba di rumah kos Meity. Pintu rumah dibuka saat Adisti baru turun dari mobil. Meity berdiri di depan pintu dengan tatapan tegang. Adisti belum memberitahu yang terjadi, hanya mengirim pesan, ada masalah dia terpaksa pulang malam. Vernon menemani Adisti sampai di teras, berhadapan dengan Mei
"Rupanya dia tidak merasa bersalah? Dia melimpahkan kesalahan pada Adisti?" Vernon geram sekali mendengar apa yang ayahnya katakan. "Lalu, apa yang kamu tahu? Kenapa bukan kamu yang datang dan mengatakan padaku apa yang terjadi?" tukas Varen. "Kalau memang Cahyo yang tidak betul, kamu harusnya dari awal sudah beritahu aku." "Kemarin, aku, dengan mata kepalaku sendiri, mendapati Cahyo hampir menodai salah satu karyawati terbaik yang ada di kantor ini. Aku sangat marah dan menghajar dia habis-habisan," kata Vernon dengan kepala panas. Andai Cahyo ada di depannya, Vernon tidak akan segan meneruskan tinju pada laki-laki ceking itu. "Apa? Kamu jangan asal tuduh!" Varen terkejut mendengar penjelasan Vernon. "Aku bukan anak kecil yang tidak bisa memahami apa yang terjadi di depanku, Pa." Vernon menegaskan. Lalu dia menceritakan apa yang dia lihat di kantor Divisi Promosi dan Marketing. Varen mengerutkan kening, sedang mulutnya setengah menganga. Dia masih tidak yakin yang Vernon katakan
Varen terlihat tidak nyaman dan resah. Dia memandang putranya serius. "Aku percaya. Aku sudah melihat semuanya," ujar Varen. "Hanya saja, lebih sepuluh tahun, aku mengerti bagaimana Cahyo, bersama dia, tahu dia seperti apa dalam bekerja. Pikiranku masih enggan menerima semua ini." Vernon menatap papanya. Vernon bisa paham yang Varen rasakan. Tapi Vernon tidak akan mengubah keputusannya, tidak akan melunakkan hati dan memaafkan Cahyo begitu saja. "Cahyo seharusnya mendapat hukuman lebih dari sekedar dipecat. Secara hukum, dia bisa dipidanakan." Varen meneruskan kalimatnya. "Aku sedih, tapi juga sangat marah. Terima kasih kamu sudah bertindak benar, Vernon." Vernon sangat lega mendengar pernyataan Varen. Langkah selanjutnya, Vernon harus cepat memilih pengganti Cahyo. Jujur saja, tidak akan mudah mencari pegawai yang punya kapasitas seperti Cahyo. Tuuttt .... "Halo?" Varen menerima panggilan di ponselnya. "Hm, ya, aku sudah bicara dengan Vernon. Kamu membuat aku bertengkar dengan a
Rima dengan sigap mendekati Varen, memberikan peluk dan cium untuk calon ayah mertuanya. Varen menyambut Rima dengan ramah. "Ya, aku ada urusan dengan Vernon. Kamu ngapain menyusul Vernon ke sini? Dia lagi bekerja." Varen menepuk lengan Rima, senyum pria itu belum sepenuhnya hilang. "Ah, Papa. Vernon ini masih saja cuek soal pernikahan. Hari ini jadwal kami foto prewed. Persiapan buat di undangan juga, fotonya. Pasti dia ga ingat," ujar Rima manja. Matanya melirik ke arah Vernon. "Sungguh? Kupikir masih minggu depan." Vernon menggaruk kepala. "Tuh, kan ... beneran deh, Pa, dia makin ga peduli. Untung mama udah buat list apa-apa yang mesti dilakukan. Aku tinggal ngikutin." Rima berpindah ke sebelah Vernon. Tangannya merangkul Vernon dari sisi kiri. "Bukan ga peduli, Rima. Aku masih belum bisa ninggalin kerjaan. Aku kejar sampai minggu depan, lalu fokus buat acara nikah," kata Vernon. Dia memegang lengan Rima dan memandang wanita cantik di sisinya. Dia mencermati setiap detil dari R
Melihat tatapan terkejut Hanny, sampai pria itu melonjak bangun dari kursinya, membuat Adisti refleks menutup wajah dengan dua tangannya. Adisti menunduk. Rasa malu dan jijik dengan diri sendiri menguasainya. Adisti menangis. "Adisti ...." Hanny mengelus dada. Wajahnya merah padam. Ini sama sekali tidak dia duga. Hanny pindah, duduk di sisi Adisti. "Adisti ...." Pelan, tangan Hanny menyentuh pundak Adisti. Dengan cepat Adisti menarik bahunya, menghindar. Hanny mengepalkan tangan, menyimpannya lagi. Reaksi Adisti membuat dia tahu, Adisti trauma dan sensitif dengan sentuhan. Hanny sedikit mundur, memberi jarak di antara mereka. "Maaf, Adisti, maaf ... ini ...." Hanny bingung mau bicara apa. Dia masih mencoba kembali mendarat, menerima kenyataan yang dia dengar. Adisti mengangkat wajahnya, dengan malu-malu melihat pada Hanny. "Pak Vernon yang menolongku, Kak. Jika dia tidak balik ke kantor kemarin, aku ga tahu, apa yang akan terjadi denganku." "Ya Tuhan ...." Hanny kembali duduk. Di
Hanny menarik badannya mundur hingga merapat ke punggung kursi yang dia duduki. Kedua pipinya menggembung, kaget dengan reaksi galak yang Ernita tunjukkan. "Kak Hanny mau kalau punya pacar, serius, sampai udah tunangan, niat mau nikah, eh, dia ngaku jatuh cinta sama orang lain. Mau?" Ernita menatap garang pada Hanny. Hanny mengangkat kedua tangan ke depan dadanya, memberi isyarat agar Ernita tenang. "Untung ketahuan sebelum nikah, kalau udah, amit-amit!!" sentak Ernita. Emosinya makin meluap. "Ih, sabar, Nona Manis. Ini Kak Hanny, bukan kekasih kamu yang main dua-duaan sama hati lain. Kakak Hanny ga bakalan kayak gitu, kali!" sahut Hanny dengan suara tegas dan meyakinkan. Ernita menatap Hanny. Ekspresi yang Hanny tunjukkan membuat Ernita tidak bisa menahan diri. Bukan emosi marah yang dia tebar, sebaliknya tiba-tiba Ernita tertawa. "Haa ... haa ... Lucu, Kak Hanny lucu amat, sih, haa ...." Ernita menggeleng-geleng, sementara tawanya masih lepas. Hanny hanya melongo melihat Ernit
Vernon sedikit menjauh dari Adisti. Dia mengajak Della dan Hanny bicara. Adisti menyandarkan kepala di dinding di belakangnya dengan mata terpejam. Rasa hatinya tidak karuan. Tidak dia kira seberat ini kembali masuk ke dalam kantor. Dia harus mengumpulkan semua kekuatan untuk bisa bertahan satu hari saja. "Adisti!" Vernon memanggil. Adisti membuka mata dan melihat Vernon yang berdiri tak jauh darinya. "Iya, Pak, maaf." Adisti menegakkan badannya. "Kamu pindah ke ruangan sebelah, ya? Kami akan rombak ruangan ini," kata Vernon. "Oh, ya ... sekarang?" Adisti berdiri. "Yup. Tidak akan lama. Ayo." Vernon mengajak Adisti bersamanya. Adisti mengikuti Vernon. Sedang Hanny dan Della mulai bergerak, memindahkan barang-barang. Tidak lama tampak dua orang OB muncul dan membantu membereskan ruangan. Vernon duduk di samping Adisti. Ada Lestia di ruangan itu dengan dua pegawai lain. Mereka terlihat sibuk, tetapi sesekali melihat ke arah Vernon dan Adisti. "Aku ingin suasana baru di ruanganmu
Vernon tersenyum tidak ada henti. Melihat tingkah Adisti begitu girang, menikmati kebersamaan mereka di negeri yang indah dengan suasana romantis, sangat menyenangkan. Adisti merasa seperti dibawa ke surga saja merasakan segala hal yang tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebaikan dan ketulusan Vernon menerima dia apa adanya, dan menyayangi Felicia , membuat Adisti ingin memberikan membahagiakan Vernon. Semua yang dia limpahkan belum tentu bisa membalas yang Vernon telah berikan untuknya dan Felicia. "Terima kasih buat semuanya, Mas. Aku kayak Cinderella aja. Semua yang ga kepikir aku nikmati karena jadi istri anak sultan." Adisti memeluk pinggang Vernon. Vernon tersenyum, tidak menjawab, hanya membalas pelukan Adisti. Pelukan itu cukup sebagai jawaban, Vernon bahagia bersama Adisti. Bulan madu berlalu. Vernon dan Adisti kembali ke tanah air, kembali ke Malang, dan pada kehidupan nyata mereka. Rumah Vernon telah dirombak sesuai dengan kebutuhan sebuah
Pesta usai. Vernon dan Adisti bersiap meninggalkan Malang dan segera meluncur. Adisti bertanya Vernon mengajaknya ke mana, Vernon masih saja menjawab rahasia. Percuma sekalipun Adisti merayu dan meminta Vernon memberitahu. "Ibu, Ayah! Hati-hati di jalan!" Tangan kecil Felicia melambai ke arah mobil yang mengantar Vernon dan Adisti ke bandara. Adisti dan Vernon membalas lambaian itu dengan senyum bahagia. "Gonna miss you, Sweet heart!" Adisti berkata dengan senyum masih tertinggal. "Ga usah khawatir lagi. Cia bisa tinggal di mana saja dia mau. Dengan Papa dan Mama, Ayah dan Ibu, Kak Virni atau Ernita? Aman." Vernon memegang tangan Adisti dan mengusapnya dengan lembut. "Iya. Terlalu banyak cinta buat Cia. Aku ga usah khawatir. Mas Benar," ujar Adisti dengan hati lega. Bandara, lalu pesawat. Berdua dengan Vernon, ah, selalu saja penuh kejutan. Di bandara baru Adisti tahu, tujuan mereka adalah ke Jakarta. Tidak sampai tiga jam kemudian, mereka sudah sampai di tujuan, salah satu hotel
Adisti refleks mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Kenapa si ibu jadi mirip sama Si Bos tampan, bisa gini kelakuannya? "Haa ... haa ... Vernon benar. Kalau sedang kaget atau gugup, kamu memang lucu." Savitri menoleh pada Vernon. Apa? Vernon cerita apa saja soal Adisti pada Savitri? Degdegan makin jadi di dada Adisti. "Jujur, aku bergumul lama. Berpikir panjang dan tidak segera menjawab permintaan Vernon dan Mas Varen untuk memberi restu kalian bersama." Savitri kembali serius. "Mas Varen dan aku bicara banyak sekali. Melihat hari ini, yang telah lalu, dan nanti akan seperti apa." Adisti memandang Savitri. Ini sesuatu yang sangat penting yang dia harus pahami. "Pertama, aku harus berterima kasih pada Mbak Tya." Arah mata Savitri beralih ke sebelah kanan Adisti, pada Adistya. Wanita itu pun memandang lurus pada Savitri. "Seandainya dulu Mbak Tya bersama Mas Varen, aku tidak akan ada di sini sekarang. Bersama anak lelaki kebanggaan kami. Aku tahu, Mbak Tya begitu berj
Adisti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ernita juga datang bersama dengan Felicia. "Kamu yang antar Cia ke sini? Ah, Mas Vey!" Adisti memutar badan menoleh ke arah Vernon. Pasti semua sudah Vernon atur diam-diam. "Apa? Aku? Aku kenapa?" Vernon berpura-pura bingung tak mengerti. "Makasih banyak kejutannya. Ini benar-benar hari penuh keajaiban buat aku. Makasih banyak, Mas." Adisti tersenyum lebar. Dia memeluk Ernita. Hati Adisti meluap dengan syukur. "Erni, kenalkan ibuku." Masih memeluk Ernita, Adisti mengenalkan Adistya pada sahabatnya. "Erni ini teman paling baik buat aku, Bu. Dia yang setia bantu aku." "Nak Erni. Aku Adistya. Panggil saja Ibu." Adistya tersenyum ramah. "Terima kasih banyak sudah jadi teman buat anak Ibu." "Iya, Ibu. Senang bisa kenal Ibu Adisti. Ibu sama Adis mirip banget, hee ..." Ernita tersenyum lebar. "Cia, kasih salam buat Eyang Putri," kata Vernon pada Cia. "Eyang ..." Gadis kecil itu memegang tangan Adistya dan mencium punggung tangan Adistya
Semua yang ada di ruangan itu tidak ada yang bicara. Bagian yang paling penting dari persidangan sedang disampaikan. Adisti makin menunduk dalam-dalam dengan debaran dan detak jantung makin kuat melaju. Adistya pun sama, tak mampu dia menahan gelisah, kuatir dengan keputusan yang akan menambah kepedihan hidupnya di masa tua. "... dinyatakan tidak melakukan semua yang dituntut oleh ..." "Disti ..." Seketika Adistya menoleh. Adisti pun dengan cepat melihat ke arah ibunya. "Kamu dengar? Ayahmu ..." Air mata mengucur dari kedua mata Adistya, tapi senyum paling bahagia bergulir di bibirnya. "Iya, Bu ... Ayah bebas ... Ayah ga bersalah ..." Butiran bening yang sedari tadi menggumpal di ujung mata Adisti, akhirnya runtuh. Adisti memeluk ibunya erat. Keduanya bertangisan tak bisa ditahan lagi. Tidak terdengar keras, tetapi isakan bergantian meluncur dari bibir ibu dan anak itu. "Sayang ..." Adisti menegakkan kepalanya. Dia melepas pelukan Adistya dan menoleh ke belakang. Vernon berdiri
Adisti menegakkan punggungnya, menunggu putri kecilnya bicara. "Ibu ... aku ga apa-apa. Baru bangun tidur." Suara Felicia masih serak. "Ahh, syukurlah. Ibu khawatir saja, kalau kamu kenapa-napa." Adisti merasa lega dia salah mengira. Vernon dan Adistya pun ikut lega mendengar kalimat lanjutan Adisti. "Baru ditinggal belum sehari, udah kalang kabut. Yakin, mau ditinggal lama bocah cantik kesayangan ini?" Suara Ernita terdengar. Seperti biasa, ceria, sedikit tajam, tapi penuh ketulusan. "Iya, ga pernah pergi jauh dan lama. Kepikiranlah, Er." Adisti merajuk. "Udah, aman di sini. Bentar lagi mau aku ajak jalan. Ya, kan, Cia? Kita ke mana?" Ernita bicara pada Felicia. "Alun-alun! Mau belik es krim dan main di playground! Asyik!!" Suara Felicia kembali ceria. "Baiklah, selamat bersenang-senang. Jangan lupa ajak Kak Hanny, biar ga kayak monitor kumputer itu mukanya." Adisti bergurau. "Hee ... hee ... pasti. Dia akan jemput. Oke, kami siap-siap, ya? Bye, Ibu!" Ernita menutup panggilan
Adisti seketika merasa ada titik terang hadir di depan mata. Dia berlari kecil ke arah ruang tamu. "Sayang! Kok diam?" Vernon terdengar bicara lagi. "Mas, ada tamu. Aku temui dulu. Nanti aku telpon Mas Vey." Adisti menutup telpon. Dia simpan ponsel di saku celananya. Di depannya tepat berdiri dua makhluk paling bisa dia andalkan selama ini. Hanny dan Ernita. "Kalian memang pahlawan hidupku." Adisti memandang keduanya dengan senyum lebar. "Hah?" Ernita mengangkat kedua alisnya. "Kamu sehat?" Hanny mengerutkan keningnya. "Kak Hanny ... yang makin cakep dan macho ... Ernita, sahabatku ... yang paling baik dan murah hati ..." Adisti melebarkan kedua tangan seolah ingin merangkul dua sejoli itu dengan sekali raup. "Kamu kenapa, sih? Bikin bingung tahu!" Ernita maju dua langkah dan mencermati wajah Adisti. "Aku akan jelakan. Tapi ..." Adisti memutar badan, mengambil tempat duduk di kursi yang paling dekat dengannya. Ernita ikut duduk, di samping Adisti. Hanny maju tiga langkah, bel
Setengah jam kemudian, Adisti kembali dengan pastel buatannya. Isi pastel sesuai yang Savitri minta, telur dan wortel. Adisti menyuguhkan di depan Savitri yang sok tidak peduli, masih sibuk dengan majalah yang dia pegang. "Bu, silakan, mumpung mash panas." Adisti meletakkan piring berisi lima pastel di meja. Tidak lupa Adisti membawa tisu dan dia taruh di sebelah piring. "Kamu bawa satu piring penuh, yakin aku cocok dengan rasa pastel kamu?" Savitri meletakkan majalah di kursi sebelahnya. Aroma khas pastel, harum semerbak di gazebo. Dari aromanya sepertinya akan nikmat. "Mudah-mudahan, Bu." Adisti masih berdiri, menunggu perintah. Savitri memungut satu pastel dengan selembar tisu. Semakin dekat hidung, semakin menggoda dari bau harumnya. Savitri menggigit bagian ujung. "Hmm ...." Savitri memggumam sementara mengunyah. Matanya sedikit melebar. "Apakah sesuai selera, Bu?" tanya Adisti. "Rasa pastel." Savitri melirik Adisti, lalu menggigit lagi pastel di tangannya. "Iya ..." Adis
Savitri makin lekat menatap Adisti. Kali yang kesekian kembali mereka berhadapan dan berdebat soal Vernon. Adisti kekeh akan tetap di sisi Vernon, sedangkan Savitri juga tidak mau melunakkan hati. "Bu, saya minta maaf sekali lagi. Tetapi hati saya sudah bulat, menerima Mas Vernon. Sebelumnya juga tidak pernah terpikir oleh saya bisa mendapatkan perhatian Mas Vernon. Karena saya juga sadar, saya dan Mas Vernon seperti bumi dan langit bedanya. "Tapi, hati saya tidak bisa berbohong. Mas Vernon telah memberikan hatinya buat saya, maka saya tidak akan menyia-nyiakan itu. Saya akan menjadi pendamping yang baik. Saya janji." Adisti berkata dengan tenang dan lancar. Padahal di dadanya juga gemuruh tak bisa ditahan. "Tentu saja kamu mau, Adisti. Terlalu banyak keuntungan yang kamu dapatkan dengan bersama Vernon. Mudah sekali ditebak. Bahkan tidak perlu berpikir," ujar Savitri. Perih dan sakit mendengar itu. Tetapi Adisti tak bisa menangkis jika orang akan menilai demikian terhadap hubungann