Adisti sangat kaget. Tanpa ada pesan apa-apa, tiba-tiba Vernon mengirim makanan kesukaan Felicia. Jujur saja, Felicia memang jarang bisa makan pizza."Bukan itu, Pak." Adisti merasa sangat tidak enak dengan yang Vernon lakukan. "Saya minta maaf, tapi saya minta tolong, tidak perlu mengirim makanan buat Cia.""Kenapa? Jelaskan, jangan berputar-putar." Vernon ingin Adisti menjelaskan secara gamblang."Saya cuma pegawai Bapak. Cia tidak ada hubungan urusan saya bekerja dengan Bapak. Ini tidak ... bukan ..." Adisti mulai bingung mencari kata yang tepat untuk menjelaskan."Kamu takut ada yang tahu kalau aku kirim Pizza sama Cia? Lalu mereka akan berpikir aku mendekati kamu melalui Cia? Atau sebaliknya, kamu mendekatiku dengan memperalat putrimu?" Vernon sudah bisa menebak apa yang ada di kepala Adisti.Adisti membenarkan yang Vernon katakan. Itu yang dia kuatirkan. "Pak, saya ingin bekerja dengan tenang, menata masa depan saya dan Cia. Saya berterima kasih masih bisa terus bekerja selama in
Adisti mendekap dada dengan sebelah tangan, sementara tangan satu lagi masih memegang ponsel, meskipun dia merasa jari-jarinya mulai lemas. "Kenapa, Bu? Cia kenapa?" tanya Adisti dengan suara bergetar. "Aku juga belum yakin, Disti. Tadi dia minta makan Pizza lagi, sisa yang kemarin. Aku udah panasin dulu, kok. Tapi terus dia mengeluh sakit perut. Tidak lama dia muntah-muntah. Kulitnya merah-merah sampai bengkak. Sempat agak sesak juga." Meity menjelaskan yang terjadi. Suaranya terdengar panik. "Aduh, Ibu! Di mana sekarang? Aku harus nyusul." Adisti sudah hampir menangis. Hanny menatap kaget pada Adisti yang ekspresi wajahnya berubah begitu rupa. "Adisti, ada apa?" tanya Hanny ikut cemas tanpa tahu yang terjadi. "Kak, Cia masuk rumah sakit. Aku harus ke sana, Kak." Dengan kedua pipi basah Adisti menjawab. Tangannya gemetar, seluruh tubuhnya pun seolah tak bisa berdiri tegak. "Apa? Serius? Sekarang?" tanya Hanny makin kaget. "Iya. Kakak lanjut saja. Aku pergi." Adisti berbalik, s
Adisti memaksa senyum muncul di bibirnya. "Tidak apa-apa. Besok Cia udah sembuh lagi, ya?" Felicia memandang Adisti. Dia melihat wajah ibunya sedikit merah. Kedua matanya juga tampak tidak seperti biasa. Ada air sedikit menggenang di sana. "Ibu, jangan nangis." Pelan kalimat itu Felicia ucapkan. "Nggak, Ibu nggak nangis. Ibu senyum, kok." Adisti kembali menarik ujung bibirnya. "Iya ... Maaf, Bu ...." kata Cia lirih. "Kenapa Cia minta maaf?" tanya Adisti. Kalimat itu membuat hati Adisti makin pilu. "Aku buat Ibu sedih. Maaf, Bu ...." Cia pun menitikkan air mata. Dia memang paling tidak suka kalau ibunya sedih atau menangis. Dia pasti merasa bersalah. "Nggak. Nggak, Sayang. Kamu ga buat Ibu sedih." Adisti menguatkan hati. Butiran bening makin tak terkendali di ujung matanya. "Aku ... pasti sembuh ... aku mau ... sekolah, main ... jalan-jalan sama ... Ibu dan Nenek ...." Terbata-bata Felicia bicara. "Iya, nanti kalau Cia sembuh kita jalan-jalan lagi. Mau berenang atau mandi bola.
"Baiklah, saya akan tinggalkan ruangan. Jika ada sesuatu, perawat siap kapan saja." Dokter pamitan. Bersama kedua perawat, dokter meninggalkan ruangan itu. "Thank God. Huufhhh ...." Vernon mendekat tepat di sisi ranjang. Dia merendahkan tubuhnya, menyejajarkan posisi dengan kepala Felicia. Lalu dengan kasih dia kecup lembut kening gadis kecil itu. "Cepat sembuh. Nanti Om ajak jalan-jalan. Ke mana Cia mau, kita pergi. Oke?" ucap Vernon. "Aku mau ke pantai, Om." Dengan lugunya Felicia menjawab. "Oke. Om juga suka pantai. Nanti kita ke pantai." Vernon mengusap-usap kepala Felicia. Dia rapikan helaian rambut di sekitar kening yang sedikit berantakan. Adisti tidak tahu harus mengatakan apa. Pemandangan di depannya membuat banyak rasa bertebaran di hatinya. "Pak, saya minta maaf, saya meninggalkan pekerjaan. Saya akan ganti jam kerja kalau Cia sudah sehat." Adisti menyampaikan apa yang mengganggu hatinya. "Ga usah dipikir. Biar Hanny yang kerjakan. Kamu fokus sama Cia saja. Mana pria
Adisti sangat kaget dengan pelukan tiba-tiba yang menyerangnya. Spontan Adisti mendorong Vernon agar melepasnya. "Pak, maaf." Adisti merasakan detak jantungnya seperti melompat-lompat. Tangan dan tubuhnya terasa panas dingin. Dia segera berbalik dan mendekati Felicia. Vernon tidak bergerak. Dia masih berdiri mematung, sambil memperhatikan Adisti. Adisti sama sekali tidak menengok lagi padanya. Vernon pun memutar tubuhnya dan berjalan keluar kamar. Dia berpamitan pada Meity dan Lani, lalu meneruskan langkah menuju ke tempat parkir. Di dalam mobil kembali Vernon termenung. Dia memandang wajahnya di kaca spion di atasnya. Galau, itu yang dia lihat. Seorang pria sukses, pemimpin sebuah perusahaan, tetapi sedang menyelam dalam kekacauan rasa. "Uufhh, kenapa aku ga bisa nahan diri di depan Adisti? Bahkan saat pertama datang, melihatnya menangis ... aku beneran ga tega. Ya ampun, ini ga bisa diteruskan!" Vernon bicara pada dirinya sendiri. "Buang jauh-jauh pikiran gila itu, Vernon. Fokus
Virni melotot dengan kedua tangan terkepal diacungkan di muka Vernon. Vernon sampai menarik badannya sedikit mundur. "Berani kamu mau mempermainkan perasaan wanita? Hah? Biar kamu adikku, aku bikin bengkak muka kamu!" sentak Virni kesal. "Kakak!" Vernon berdiri dan maju dua langkah. Dia dekap Virni dan memeluknya manja. Dia kecup kening Virni lalu mengajaknya duduk lagi. "Aku ga ada pikiran seperti itu, Kak. Benar, aku mulai merasa cinta yang muncul di hatiku. Tapi aku ga akan berbuat gila juga. Itu namanya aku menyusahkan diri sendiri, la!" Vernon tidak melepas kedua tangan kakaknya. "Sekarang, kamu mau gimana? Putuskan. Kalau kamu yakin dengan Rima, bersiaplah, apapun resiko dalam pernikahan kalian. Kalau nggak, kamu juga harus berani menentang papa dan mama. Dihujat keluarga besar, kolega, rekan bisnis, dan yang lain-lain." Virni memaparkan kenyataan yang ada di depan Vernon. "Kenapa hidupku serumit itu, sih?" Vernon mengusuk kasar rambutnya. "Vernon, aku sangat sayang kamu. A
"Kita pulang. Kakak-kakak ga sabar pingin ketemu Cia lagi." Adisti mengusap kepala Felicia. Gadis kecil itu duduk di tepi ranjang. Wajahnya terlihat segar, meskipun dia masih tampak sedikit lemas. "Iya, aku belum jadi main bareng Kak Erti sama Kak Melan," kata Felicia. "Yuk, mobilnya udah nunggu." Adisti mengangkat tubuh Felicia dan menggendongnya. Lalu dia turunkan di kursi roda dan membantu Felicia duduk di sana. "Aku naik kursi roda? Ah, seru!" Senyum lebar Felicia muncul. Tangannya segera menyentuh bagian-bagian dari kursi roda. "Oke, jalan, ya?" Adisti mendorong kursi roda itu. "Sudah semua, kan, tidak ada yang tertinggal?" Meity mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Sudah, Bu. Aman." Adisti menyahut. Meity mengangkat tas di kiri dan kanan tangannya, lalu mengikuti Adisti dan Felicia yang lebih dulu meninggalkan kamar. Meity mempercepat langkah agar bisa menjajari Adisti. "Pak Vernon tidak jadi datang?" Meity bertanya sementara mereka menuju ke halaman depan rumah sa
"Hei, keren. Sudah siap sekolah, nih. Mau Om antar?" tanya Vernon. "Mau! Asyikkk!" seru Felicia senang. "Cia!" panggil Adisti. Dia kaget dengan yang Vernon katakan. "Cia pergi sama Ibu." "Oh?" Felicia melihat Adisti, lalu menoleh pada Vernon dengan raut sedikit kecewa. "Kamu tega, baru sembuh sudah harus naik motor, di jalanan kena angin? Aku ga ada kesulitan apapun buat antar Cia. Dari sini juga searah kalau mau ke kantor." Vernon memandang Adisti. "Ibu ...," kata Felicia dengan suara sendu. Dia bingung juga antara ingin pergi dengan Vernon atau ikut naik motor dengan ibunya. "Apa aku berbahaya di dekat Cia? Kamu takut aku akan mencelakai dia lagi?" Vernon menatap Adisti. "Bukan begitu, Pak. Saya tidak ingin ada masalah dengan ... Bu Rima." Adisti sedikit ragu mengatakannya. Tapi mungkin itu lebih baik. "Terserah jika itu yang kamu pikirkan. Aku hanya mau memberi perhatian buat teman kecilku. Ayuk, Sayang." Vernon berdiri dan menggandeng tangan Felicia menuju ke mobil. Adisti
Vernon tersenyum tidak ada henti. Melihat tingkah Adisti begitu girang, menikmati kebersamaan mereka di negeri yang indah dengan suasana romantis, sangat menyenangkan. Adisti merasa seperti dibawa ke surga saja merasakan segala hal yang tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebaikan dan ketulusan Vernon menerima dia apa adanya, dan menyayangi Felicia , membuat Adisti ingin memberikan membahagiakan Vernon. Semua yang dia limpahkan belum tentu bisa membalas yang Vernon telah berikan untuknya dan Felicia. "Terima kasih buat semuanya, Mas. Aku kayak Cinderella aja. Semua yang ga kepikir aku nikmati karena jadi istri anak sultan." Adisti memeluk pinggang Vernon. Vernon tersenyum, tidak menjawab, hanya membalas pelukan Adisti. Pelukan itu cukup sebagai jawaban, Vernon bahagia bersama Adisti. Bulan madu berlalu. Vernon dan Adisti kembali ke tanah air, kembali ke Malang, dan pada kehidupan nyata mereka. Rumah Vernon telah dirombak sesuai dengan kebutuhan sebuah
Pesta usai. Vernon dan Adisti bersiap meninggalkan Malang dan segera meluncur. Adisti bertanya Vernon mengajaknya ke mana, Vernon masih saja menjawab rahasia. Percuma sekalipun Adisti merayu dan meminta Vernon memberitahu. "Ibu, Ayah! Hati-hati di jalan!" Tangan kecil Felicia melambai ke arah mobil yang mengantar Vernon dan Adisti ke bandara. Adisti dan Vernon membalas lambaian itu dengan senyum bahagia. "Gonna miss you, Sweet heart!" Adisti berkata dengan senyum masih tertinggal. "Ga usah khawatir lagi. Cia bisa tinggal di mana saja dia mau. Dengan Papa dan Mama, Ayah dan Ibu, Kak Virni atau Ernita? Aman." Vernon memegang tangan Adisti dan mengusapnya dengan lembut. "Iya. Terlalu banyak cinta buat Cia. Aku ga usah khawatir. Mas Benar," ujar Adisti dengan hati lega. Bandara, lalu pesawat. Berdua dengan Vernon, ah, selalu saja penuh kejutan. Di bandara baru Adisti tahu, tujuan mereka adalah ke Jakarta. Tidak sampai tiga jam kemudian, mereka sudah sampai di tujuan, salah satu hotel
Adisti refleks mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Kenapa si ibu jadi mirip sama Si Bos tampan, bisa gini kelakuannya? "Haa ... haa ... Vernon benar. Kalau sedang kaget atau gugup, kamu memang lucu." Savitri menoleh pada Vernon. Apa? Vernon cerita apa saja soal Adisti pada Savitri? Degdegan makin jadi di dada Adisti. "Jujur, aku bergumul lama. Berpikir panjang dan tidak segera menjawab permintaan Vernon dan Mas Varen untuk memberi restu kalian bersama." Savitri kembali serius. "Mas Varen dan aku bicara banyak sekali. Melihat hari ini, yang telah lalu, dan nanti akan seperti apa." Adisti memandang Savitri. Ini sesuatu yang sangat penting yang dia harus pahami. "Pertama, aku harus berterima kasih pada Mbak Tya." Arah mata Savitri beralih ke sebelah kanan Adisti, pada Adistya. Wanita itu pun memandang lurus pada Savitri. "Seandainya dulu Mbak Tya bersama Mas Varen, aku tidak akan ada di sini sekarang. Bersama anak lelaki kebanggaan kami. Aku tahu, Mbak Tya begitu berj
Adisti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ernita juga datang bersama dengan Felicia. "Kamu yang antar Cia ke sini? Ah, Mas Vey!" Adisti memutar badan menoleh ke arah Vernon. Pasti semua sudah Vernon atur diam-diam. "Apa? Aku? Aku kenapa?" Vernon berpura-pura bingung tak mengerti. "Makasih banyak kejutannya. Ini benar-benar hari penuh keajaiban buat aku. Makasih banyak, Mas." Adisti tersenyum lebar. Dia memeluk Ernita. Hati Adisti meluap dengan syukur. "Erni, kenalkan ibuku." Masih memeluk Ernita, Adisti mengenalkan Adistya pada sahabatnya. "Erni ini teman paling baik buat aku, Bu. Dia yang setia bantu aku." "Nak Erni. Aku Adistya. Panggil saja Ibu." Adistya tersenyum ramah. "Terima kasih banyak sudah jadi teman buat anak Ibu." "Iya, Ibu. Senang bisa kenal Ibu Adisti. Ibu sama Adis mirip banget, hee ..." Ernita tersenyum lebar. "Cia, kasih salam buat Eyang Putri," kata Vernon pada Cia. "Eyang ..." Gadis kecil itu memegang tangan Adistya dan mencium punggung tangan Adistya
Semua yang ada di ruangan itu tidak ada yang bicara. Bagian yang paling penting dari persidangan sedang disampaikan. Adisti makin menunduk dalam-dalam dengan debaran dan detak jantung makin kuat melaju. Adistya pun sama, tak mampu dia menahan gelisah, kuatir dengan keputusan yang akan menambah kepedihan hidupnya di masa tua. "... dinyatakan tidak melakukan semua yang dituntut oleh ..." "Disti ..." Seketika Adistya menoleh. Adisti pun dengan cepat melihat ke arah ibunya. "Kamu dengar? Ayahmu ..." Air mata mengucur dari kedua mata Adistya, tapi senyum paling bahagia bergulir di bibirnya. "Iya, Bu ... Ayah bebas ... Ayah ga bersalah ..." Butiran bening yang sedari tadi menggumpal di ujung mata Adisti, akhirnya runtuh. Adisti memeluk ibunya erat. Keduanya bertangisan tak bisa ditahan lagi. Tidak terdengar keras, tetapi isakan bergantian meluncur dari bibir ibu dan anak itu. "Sayang ..." Adisti menegakkan kepalanya. Dia melepas pelukan Adistya dan menoleh ke belakang. Vernon berdiri
Adisti menegakkan punggungnya, menunggu putri kecilnya bicara. "Ibu ... aku ga apa-apa. Baru bangun tidur." Suara Felicia masih serak. "Ahh, syukurlah. Ibu khawatir saja, kalau kamu kenapa-napa." Adisti merasa lega dia salah mengira. Vernon dan Adistya pun ikut lega mendengar kalimat lanjutan Adisti. "Baru ditinggal belum sehari, udah kalang kabut. Yakin, mau ditinggal lama bocah cantik kesayangan ini?" Suara Ernita terdengar. Seperti biasa, ceria, sedikit tajam, tapi penuh ketulusan. "Iya, ga pernah pergi jauh dan lama. Kepikiranlah, Er." Adisti merajuk. "Udah, aman di sini. Bentar lagi mau aku ajak jalan. Ya, kan, Cia? Kita ke mana?" Ernita bicara pada Felicia. "Alun-alun! Mau belik es krim dan main di playground! Asyik!!" Suara Felicia kembali ceria. "Baiklah, selamat bersenang-senang. Jangan lupa ajak Kak Hanny, biar ga kayak monitor kumputer itu mukanya." Adisti bergurau. "Hee ... hee ... pasti. Dia akan jemput. Oke, kami siap-siap, ya? Bye, Ibu!" Ernita menutup panggilan
Adisti seketika merasa ada titik terang hadir di depan mata. Dia berlari kecil ke arah ruang tamu. "Sayang! Kok diam?" Vernon terdengar bicara lagi. "Mas, ada tamu. Aku temui dulu. Nanti aku telpon Mas Vey." Adisti menutup telpon. Dia simpan ponsel di saku celananya. Di depannya tepat berdiri dua makhluk paling bisa dia andalkan selama ini. Hanny dan Ernita. "Kalian memang pahlawan hidupku." Adisti memandang keduanya dengan senyum lebar. "Hah?" Ernita mengangkat kedua alisnya. "Kamu sehat?" Hanny mengerutkan keningnya. "Kak Hanny ... yang makin cakep dan macho ... Ernita, sahabatku ... yang paling baik dan murah hati ..." Adisti melebarkan kedua tangan seolah ingin merangkul dua sejoli itu dengan sekali raup. "Kamu kenapa, sih? Bikin bingung tahu!" Ernita maju dua langkah dan mencermati wajah Adisti. "Aku akan jelakan. Tapi ..." Adisti memutar badan, mengambil tempat duduk di kursi yang paling dekat dengannya. Ernita ikut duduk, di samping Adisti. Hanny maju tiga langkah, bel
Setengah jam kemudian, Adisti kembali dengan pastel buatannya. Isi pastel sesuai yang Savitri minta, telur dan wortel. Adisti menyuguhkan di depan Savitri yang sok tidak peduli, masih sibuk dengan majalah yang dia pegang. "Bu, silakan, mumpung mash panas." Adisti meletakkan piring berisi lima pastel di meja. Tidak lupa Adisti membawa tisu dan dia taruh di sebelah piring. "Kamu bawa satu piring penuh, yakin aku cocok dengan rasa pastel kamu?" Savitri meletakkan majalah di kursi sebelahnya. Aroma khas pastel, harum semerbak di gazebo. Dari aromanya sepertinya akan nikmat. "Mudah-mudahan, Bu." Adisti masih berdiri, menunggu perintah. Savitri memungut satu pastel dengan selembar tisu. Semakin dekat hidung, semakin menggoda dari bau harumnya. Savitri menggigit bagian ujung. "Hmm ...." Savitri memggumam sementara mengunyah. Matanya sedikit melebar. "Apakah sesuai selera, Bu?" tanya Adisti. "Rasa pastel." Savitri melirik Adisti, lalu menggigit lagi pastel di tangannya. "Iya ..." Adis
Savitri makin lekat menatap Adisti. Kali yang kesekian kembali mereka berhadapan dan berdebat soal Vernon. Adisti kekeh akan tetap di sisi Vernon, sedangkan Savitri juga tidak mau melunakkan hati. "Bu, saya minta maaf sekali lagi. Tetapi hati saya sudah bulat, menerima Mas Vernon. Sebelumnya juga tidak pernah terpikir oleh saya bisa mendapatkan perhatian Mas Vernon. Karena saya juga sadar, saya dan Mas Vernon seperti bumi dan langit bedanya. "Tapi, hati saya tidak bisa berbohong. Mas Vernon telah memberikan hatinya buat saya, maka saya tidak akan menyia-nyiakan itu. Saya akan menjadi pendamping yang baik. Saya janji." Adisti berkata dengan tenang dan lancar. Padahal di dadanya juga gemuruh tak bisa ditahan. "Tentu saja kamu mau, Adisti. Terlalu banyak keuntungan yang kamu dapatkan dengan bersama Vernon. Mudah sekali ditebak. Bahkan tidak perlu berpikir," ujar Savitri. Perih dan sakit mendengar itu. Tetapi Adisti tak bisa menangkis jika orang akan menilai demikian terhadap hubungann