Vernon memarkir mobil di depan rumah orang tuanya. Di seberang mobilnya, mobil Rima masih terparkir di sana. "Dia belum pulang juga?" gumam Vernon kesal. Kejadian siang saat dia tiba di apartemen, seketika muncul di bayangan Vernon. Pria yang membuka pintu disusul Rima yang tergopoh-gopoh muncul di belakang pria itu, jelas terpampang di pikirannya. "Ah, kamu mau apa lagi, Rima?" ujar Vernon. Dengan langkah cepat dia masuk dan terus melangkah ke ruang dalam. Seperti dugaannya, Rima ada di ruang tengah bersama mamanya. Rima duduk di sebelah mama Vernon dengan wajah merah dan mata sembab. "Akhirnya kamu pulang juga. Apa saja yang kamu lakukan sampai harus mematikan ponsel? Kalau ada yang penting seperti ini, semua tertunda, Vernon!" Savitri, mama Vernon memandang putranya dengan tatapan kesal. "Aku perlu menenangkan diriku, Ma. Masih shock melihat calon istriku bersama pria lain." Vernon menekan rasa marah yang mulai membuat kepalanya berat dan panas. Dia berusaha tetap bicara dengan
Pesan yang Vernon baca membuat jantung Vernon makin kuat berdetak. - Masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang. Yakin, Tuhan akan menolong. Vernon membaca beberapa kali pesan itu. Vernon sangat tahu yang Adisti kirim adalah sebuah ayat dari kitab suci. Detak jantung Vernon belum kembali normal. Sesuatu yang beda merambah hati Vernon. "Ver, kenapa?" Virni menatap adiknya. Karena membaca pesan di ponsel, Vernon jadi terdiam. Vernon mengangkat mukanya, melihat pada Virni. "Tuhan pasti menolong. Kurasa kebenaran mulai Tuhan buka di depanku. Rima bukan wanita yang tepat buat aku.""Setelah sekian tahun kalian menjalani hubungan, dan segera akan menikah, kamu baru sadar?" Virni masih menatap lurus pada adiknya. "Kak, aku menerima Rima karena orang tua kita yang mau, bukan? Aku tidak mengelak memang. Kita sama-sama tahu Rima baik, dari keluarga yang baik, dan hubungan orang tua kita dengan orang tua Rima juga makin baik dengan menjadi keluarga. Khususnya buat bisnis." Vern
"Ga usah terlalu terkejut, Sayang." Hanny menonjok dahi Adisti dengan telunjuk. "Dirimu pegawai baru berkualitas. Sangat malah. Cepat dikenal dan semua penasaran sama kamu. Apalagi makin ke sini, makin cantik dan oke penampilan kamu." "Ah, Kak Hanny. Mereka terlalu berlebihan menilai kalau memang kayak gitu. Mereka belum tahu siapa aku, kan?" Adisti memandang Hanny. "Hm, buat apa pusing? Dinikmati saja, Dis. Udah, yuk, lanjut kerja. Aku ambil dua potong, ya?" Hanny memungut dua potong kue dari kotak, lalu dia balik ke mejanya. Adisti menutup kotak kue dan mulai lagi dengan deretan pekerjaan yang menunggu. Hingga setengah jam sebelum makan siang, Adisti fokus dengan pekerjaannya. Setelah itu dia bersiap menuju ke ruangan Syeilla. Sebelum itu, Adisti membagi-bagikan kue pemberian Ryan kepada teman-temannya. Baru dia berangkat untuk melakukan wawancara lanjutan dengan Syeilla. Dua minggu lagi Adisti harus membuat laporan pada Prof. Hamdani. "Ah, tepat waktu. Aku suka dengan pegawai y
Di depan Adisti, berdiri salah satu teman kantor Adisti. Dia seruangan dengan Lestia. Wanita itu menatap heran pada Adisti. "Hei, mau diapain juga udah kayak gitu muka kamu. Masih kurang cantik? Terima aja kenyataan." Kata-kata wanita berbadan bongsor dengan rambut sebahu berwarna pirang itu terasa sinis. "Hee ... Iya, Mbak Nena. Aku sudah, kok. Duluan, ya?" Adisti tersenyum lebar. Dia melangkah menuju ke pintu. "Pegawai baru sok tebar pesona. Awas saja kamu dekat-dekat Pak Ryan. Udah dapat kiriman kue segala. Pakai jimat apa, sih?" Nena bicara dengan posisi membelakangi Adisti, seolah-olah bicara sendiri. Tapi jelas, Adisti tahu, Nena menyindir Adisti. Adisti merasa panas di telinganya. Satu lagi yang ternyata tidak suka kehadirannya di kantor itu. Adisti berjalan menuju ke ruangannya. Tidak ada Hanny. Pasti cowok itu sedang makan siang di luar. Adisti duduk dan membuka bekal makanannya. Sederhana. Hanya telur dadar dengan sayur kangkung. Tapi tetap saja nikmat buat Adisti. Ting
Tangan Adisti refleks memegang dada. Degupan makin kuat melanda. "Cia, kamu bicara apa?" Adisti mendekati Felicia dan duduk di sebelah putrinya. Felicia menoleh cepat. "Ibu ... Aku minta ayah datang." Wajah polos itu memandang Adisti. "Cia, ayah kamu ga mungkin datang. Jangan bicara aneh-aneh. Ibu ga suka Cia bicara soal ayah terus." Adisti memasang wajah kesal. Felicia membalas juga memandang Adisti sambil cemberut. "Ibu, kenapa aku ga boleh pengin punya ayah? Kenapa ayah ga pernah telpon aku? Apa dia ga suka aku? Jadi betul, aku yang buat ayah pergi?" Rupanya Felicia menyimpan banyak pertanyaan tentang ayahnya. Dia pendam selama ini dan akhirnya tumpah hari itu. Adisti menarik napas dalam. Apa yang akan dia katakan? Tidak mungkin dia bilang pada bocah semanis Felicia bahwa dia memang tidak diinginkan ayahnya. Bahkan, Felicia pun jauh dari pikiran Adisti, bahwa akan ada seorang anak bagi dirinya. Hati Felicia pasti akan hancur. "Ibu, kenapa aku ga boleh tahu ayah? Kasih tahu ak
Adisti tersenyum tipis dengan tatapan sedikit bingung. "Hai, Tante!" Felicia dengan ceria menyapa Hanny. Dia memandangi Hanny dengan pandangan sedikit heran. "Om? Hai, Om?" Felicia tidak yakin akan menyapa apa pada Hanny. "Cia!" Adisti menarik Felicia agar sedikit mundur. Lalu dia melihat lagi pada Hanny. "Maaf, Kak. Aduh, anak ini." "Adisti, ini anak kamu?" ulang Hanny sambil memandang Felicia. "Iya, Felicia. Putriku." Adisti menetapkan hati dia tidak mungkin terus lari dari kenyataan. Felicia putrinya, tidak mungkin dia bersembunyi terus. "Serius? Dia menggemaskan sekali!" Hanny memiringkan badan, agar lebih dekat melihat Felicia. "Kenalkan, aku Hanny. Panggil Kak Hanny. Teman kerja ibu kamu di kantor." Senyum Hanny lebar pada gadis kecil itu. Reaksi Hanny yang tetap ramah membuat Adisti mulai sedikit melunak, tidak setegang sebelumnya. "Hai, aku Cia. Kakak lucu." Felicia masih memandangi Hanny dengan rasa heran. Outfit Hanny yang nyentrik membuat Felicia terpukau. Hanny meng
Adisti menerima panggilan dari Vernon. Ada rasa senang yang dengan cepat menyapa hati Adisti. "Siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Adisti memulai percakapan. "Haa ... haa ...." Jawaban yang Adisti dengar adalah tawa lepas Vernon. Adisti mengerutkan kening. Kelakuan aneh si Bos muncul lagi. "Kamu lucu sekali, Adisti Cahaya Matahari!" Panggilan itu. Adisti mulai terbiasa dan suka mendengarnya. "Ini bukan jam kerja. Kamu menjawab telpon kayak lagi ngantor." "Hee ... maaf, kebiasaan, Pak," ujar Adisti. "Maaf. Kamu selalu minta maaf, padahal ga salah apa-apa." Vernon menyahut. "Kamu di rumah?" "Saya di mall. Ajak Cia jalan-jalan. Tapi sudah mau pulang." Adisti menjelaskan. "Wah, seru dong!" Suara Vernon terdengar gembira. Ada rasa lega di hati Adisti karena galau Vernon sudah lenyap. Namun, ada sisi tidak nyaman karena dia tahu Vernon gembira kembali bersama Rima. "Iya, Pak." Adisti menjawab dengan suara datar. Matanya melihat Felicia yang berjalan bergandengan dengan Ernita sam
"Apa kamu akan ikut rapat besok siang?" Ryan memandang Adisti. Adisti menggeleng. "Tidak, Pak. Tidak ada info apa-apa dari Pak Angga." "Oh, kukira kamu akan diminta hadir lagi. Sebab akan ada evaluasi dari hasil event yang berlangsung tiga hari ini." Ryan berdiri begitu dekat di depan Adisti. Kepala Adisti sedikit mendongak memandang Ryan. Ryan tidak kalah gagah dan keren dari Pak Vernon. Dia juga baik dan punya masa depan gemilang. Cukup menarik bukan, jika menjadi salah satu pilihan?"Saya lebih baik tidak hadir. Kurang pede, Pak." Adisti tersenyum tipis. "Really? Aku tidak melihat kamu tidak percaya diri. Kamu sudah membuktikan kapasitas kamu. Tidak banyak yang bisa melakukan pekerjaan sebaik kamu di awal-awal bekerja di sini." Ryan memuji Adisti. "Terima kasih pujiannya. Mudah-mudahan tidak mengecewakan di kemudian hari," ujar Adisti. "Kamu terlalu merendah. Tapi justru aku suka." Ryan tersenyum lebar. Dia tidak menahan diri mengungkapkan yang dia rasa. Cukup mengejutkan, tap
Vernon tersenyum tidak ada henti. Melihat tingkah Adisti begitu girang, menikmati kebersamaan mereka di negeri yang indah dengan suasana romantis, sangat menyenangkan. Adisti merasa seperti dibawa ke surga saja merasakan segala hal yang tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebaikan dan ketulusan Vernon menerima dia apa adanya, dan menyayangi Felicia , membuat Adisti ingin memberikan membahagiakan Vernon. Semua yang dia limpahkan belum tentu bisa membalas yang Vernon telah berikan untuknya dan Felicia. "Terima kasih buat semuanya, Mas. Aku kayak Cinderella aja. Semua yang ga kepikir aku nikmati karena jadi istri anak sultan." Adisti memeluk pinggang Vernon. Vernon tersenyum, tidak menjawab, hanya membalas pelukan Adisti. Pelukan itu cukup sebagai jawaban, Vernon bahagia bersama Adisti. Bulan madu berlalu. Vernon dan Adisti kembali ke tanah air, kembali ke Malang, dan pada kehidupan nyata mereka. Rumah Vernon telah dirombak sesuai dengan kebutuhan sebuah
Pesta usai. Vernon dan Adisti bersiap meninggalkan Malang dan segera meluncur. Adisti bertanya Vernon mengajaknya ke mana, Vernon masih saja menjawab rahasia. Percuma sekalipun Adisti merayu dan meminta Vernon memberitahu. "Ibu, Ayah! Hati-hati di jalan!" Tangan kecil Felicia melambai ke arah mobil yang mengantar Vernon dan Adisti ke bandara. Adisti dan Vernon membalas lambaian itu dengan senyum bahagia. "Gonna miss you, Sweet heart!" Adisti berkata dengan senyum masih tertinggal. "Ga usah khawatir lagi. Cia bisa tinggal di mana saja dia mau. Dengan Papa dan Mama, Ayah dan Ibu, Kak Virni atau Ernita? Aman." Vernon memegang tangan Adisti dan mengusapnya dengan lembut. "Iya. Terlalu banyak cinta buat Cia. Aku ga usah khawatir. Mas Benar," ujar Adisti dengan hati lega. Bandara, lalu pesawat. Berdua dengan Vernon, ah, selalu saja penuh kejutan. Di bandara baru Adisti tahu, tujuan mereka adalah ke Jakarta. Tidak sampai tiga jam kemudian, mereka sudah sampai di tujuan, salah satu hotel
Adisti refleks mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Kenapa si ibu jadi mirip sama Si Bos tampan, bisa gini kelakuannya? "Haa ... haa ... Vernon benar. Kalau sedang kaget atau gugup, kamu memang lucu." Savitri menoleh pada Vernon. Apa? Vernon cerita apa saja soal Adisti pada Savitri? Degdegan makin jadi di dada Adisti. "Jujur, aku bergumul lama. Berpikir panjang dan tidak segera menjawab permintaan Vernon dan Mas Varen untuk memberi restu kalian bersama." Savitri kembali serius. "Mas Varen dan aku bicara banyak sekali. Melihat hari ini, yang telah lalu, dan nanti akan seperti apa." Adisti memandang Savitri. Ini sesuatu yang sangat penting yang dia harus pahami. "Pertama, aku harus berterima kasih pada Mbak Tya." Arah mata Savitri beralih ke sebelah kanan Adisti, pada Adistya. Wanita itu pun memandang lurus pada Savitri. "Seandainya dulu Mbak Tya bersama Mas Varen, aku tidak akan ada di sini sekarang. Bersama anak lelaki kebanggaan kami. Aku tahu, Mbak Tya begitu berj
Adisti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ernita juga datang bersama dengan Felicia. "Kamu yang antar Cia ke sini? Ah, Mas Vey!" Adisti memutar badan menoleh ke arah Vernon. Pasti semua sudah Vernon atur diam-diam. "Apa? Aku? Aku kenapa?" Vernon berpura-pura bingung tak mengerti. "Makasih banyak kejutannya. Ini benar-benar hari penuh keajaiban buat aku. Makasih banyak, Mas." Adisti tersenyum lebar. Dia memeluk Ernita. Hati Adisti meluap dengan syukur. "Erni, kenalkan ibuku." Masih memeluk Ernita, Adisti mengenalkan Adistya pada sahabatnya. "Erni ini teman paling baik buat aku, Bu. Dia yang setia bantu aku." "Nak Erni. Aku Adistya. Panggil saja Ibu." Adistya tersenyum ramah. "Terima kasih banyak sudah jadi teman buat anak Ibu." "Iya, Ibu. Senang bisa kenal Ibu Adisti. Ibu sama Adis mirip banget, hee ..." Ernita tersenyum lebar. "Cia, kasih salam buat Eyang Putri," kata Vernon pada Cia. "Eyang ..." Gadis kecil itu memegang tangan Adistya dan mencium punggung tangan Adistya
Semua yang ada di ruangan itu tidak ada yang bicara. Bagian yang paling penting dari persidangan sedang disampaikan. Adisti makin menunduk dalam-dalam dengan debaran dan detak jantung makin kuat melaju. Adistya pun sama, tak mampu dia menahan gelisah, kuatir dengan keputusan yang akan menambah kepedihan hidupnya di masa tua. "... dinyatakan tidak melakukan semua yang dituntut oleh ..." "Disti ..." Seketika Adistya menoleh. Adisti pun dengan cepat melihat ke arah ibunya. "Kamu dengar? Ayahmu ..." Air mata mengucur dari kedua mata Adistya, tapi senyum paling bahagia bergulir di bibirnya. "Iya, Bu ... Ayah bebas ... Ayah ga bersalah ..." Butiran bening yang sedari tadi menggumpal di ujung mata Adisti, akhirnya runtuh. Adisti memeluk ibunya erat. Keduanya bertangisan tak bisa ditahan lagi. Tidak terdengar keras, tetapi isakan bergantian meluncur dari bibir ibu dan anak itu. "Sayang ..." Adisti menegakkan kepalanya. Dia melepas pelukan Adistya dan menoleh ke belakang. Vernon berdiri
Adisti menegakkan punggungnya, menunggu putri kecilnya bicara. "Ibu ... aku ga apa-apa. Baru bangun tidur." Suara Felicia masih serak. "Ahh, syukurlah. Ibu khawatir saja, kalau kamu kenapa-napa." Adisti merasa lega dia salah mengira. Vernon dan Adistya pun ikut lega mendengar kalimat lanjutan Adisti. "Baru ditinggal belum sehari, udah kalang kabut. Yakin, mau ditinggal lama bocah cantik kesayangan ini?" Suara Ernita terdengar. Seperti biasa, ceria, sedikit tajam, tapi penuh ketulusan. "Iya, ga pernah pergi jauh dan lama. Kepikiranlah, Er." Adisti merajuk. "Udah, aman di sini. Bentar lagi mau aku ajak jalan. Ya, kan, Cia? Kita ke mana?" Ernita bicara pada Felicia. "Alun-alun! Mau belik es krim dan main di playground! Asyik!!" Suara Felicia kembali ceria. "Baiklah, selamat bersenang-senang. Jangan lupa ajak Kak Hanny, biar ga kayak monitor kumputer itu mukanya." Adisti bergurau. "Hee ... hee ... pasti. Dia akan jemput. Oke, kami siap-siap, ya? Bye, Ibu!" Ernita menutup panggilan
Adisti seketika merasa ada titik terang hadir di depan mata. Dia berlari kecil ke arah ruang tamu. "Sayang! Kok diam?" Vernon terdengar bicara lagi. "Mas, ada tamu. Aku temui dulu. Nanti aku telpon Mas Vey." Adisti menutup telpon. Dia simpan ponsel di saku celananya. Di depannya tepat berdiri dua makhluk paling bisa dia andalkan selama ini. Hanny dan Ernita. "Kalian memang pahlawan hidupku." Adisti memandang keduanya dengan senyum lebar. "Hah?" Ernita mengangkat kedua alisnya. "Kamu sehat?" Hanny mengerutkan keningnya. "Kak Hanny ... yang makin cakep dan macho ... Ernita, sahabatku ... yang paling baik dan murah hati ..." Adisti melebarkan kedua tangan seolah ingin merangkul dua sejoli itu dengan sekali raup. "Kamu kenapa, sih? Bikin bingung tahu!" Ernita maju dua langkah dan mencermati wajah Adisti. "Aku akan jelakan. Tapi ..." Adisti memutar badan, mengambil tempat duduk di kursi yang paling dekat dengannya. Ernita ikut duduk, di samping Adisti. Hanny maju tiga langkah, bel
Setengah jam kemudian, Adisti kembali dengan pastel buatannya. Isi pastel sesuai yang Savitri minta, telur dan wortel. Adisti menyuguhkan di depan Savitri yang sok tidak peduli, masih sibuk dengan majalah yang dia pegang. "Bu, silakan, mumpung mash panas." Adisti meletakkan piring berisi lima pastel di meja. Tidak lupa Adisti membawa tisu dan dia taruh di sebelah piring. "Kamu bawa satu piring penuh, yakin aku cocok dengan rasa pastel kamu?" Savitri meletakkan majalah di kursi sebelahnya. Aroma khas pastel, harum semerbak di gazebo. Dari aromanya sepertinya akan nikmat. "Mudah-mudahan, Bu." Adisti masih berdiri, menunggu perintah. Savitri memungut satu pastel dengan selembar tisu. Semakin dekat hidung, semakin menggoda dari bau harumnya. Savitri menggigit bagian ujung. "Hmm ...." Savitri memggumam sementara mengunyah. Matanya sedikit melebar. "Apakah sesuai selera, Bu?" tanya Adisti. "Rasa pastel." Savitri melirik Adisti, lalu menggigit lagi pastel di tangannya. "Iya ..." Adis
Savitri makin lekat menatap Adisti. Kali yang kesekian kembali mereka berhadapan dan berdebat soal Vernon. Adisti kekeh akan tetap di sisi Vernon, sedangkan Savitri juga tidak mau melunakkan hati. "Bu, saya minta maaf sekali lagi. Tetapi hati saya sudah bulat, menerima Mas Vernon. Sebelumnya juga tidak pernah terpikir oleh saya bisa mendapatkan perhatian Mas Vernon. Karena saya juga sadar, saya dan Mas Vernon seperti bumi dan langit bedanya. "Tapi, hati saya tidak bisa berbohong. Mas Vernon telah memberikan hatinya buat saya, maka saya tidak akan menyia-nyiakan itu. Saya akan menjadi pendamping yang baik. Saya janji." Adisti berkata dengan tenang dan lancar. Padahal di dadanya juga gemuruh tak bisa ditahan. "Tentu saja kamu mau, Adisti. Terlalu banyak keuntungan yang kamu dapatkan dengan bersama Vernon. Mudah sekali ditebak. Bahkan tidak perlu berpikir," ujar Savitri. Perih dan sakit mendengar itu. Tetapi Adisti tak bisa menangkis jika orang akan menilai demikian terhadap hubungann