RESTI Aku sangat menikmati kehidupan saat ini. Harta berlimpah, berstatus Istri pengusaha, punya selingkuhan perkasa. Semua kesenangan bisa kudapatkan dengan mudah. Ke salon, shoping, jalan-jalan bisa kapan saja kulakukan. Tak perlu khawatir kehabisan uang. Toh, ada dua pohon uang. Bima dan Rafael.Selingkuhanku itu rajin banget transfer dana. Jumlahnya fantastislah. Tentu saja aku makin girang sebab keroyalannya. Belum lagi hadiah, berlimpahlah. Seakan, harta itu tak ada habis-habisnya. Untuk bercinta, itu luar biasa. Aku dan Rafael bahkan dapat melakukannya kapan saja. Sekarang mas Bima sudah sakit-sakitan, jadi tak ada yang menghalangi kami. Obat yang diberikan Rafael memang manjur. Tubuh suamiku makin melemah. Dia seperti kehabisan seluruh tenaga hingga kerjanya hanya rebahan di kamar. Sepanjang hari pria itu selalu tertidur, jadi aku leluasa berangkat. Anak-anak mas Bima semua pergi. Si, bungsu pun sudah kembali ke asrama kampusnya. Yang lain, jelas tak pernah datang lagi. B
RESTI Hhh! Tak ada juga solusi untuk masalah ini. Aku sampai memukul mukul kepala saking kesal dengan otak tak berguna.Setelah lebih tenang, aku berangkat ke rumah sakit tempat mas Bima di rawat. Di hadapan Raka tak boleh terlihat gugup sebab nanti dicurigai.Justru harus terlihat panik dan sedih. Biasalah, ya, sandiwara kelas atas. Tak apa banyak menangis di sana demi dianggap istri berbakti.Sesampainya di depan kamar rawat mas Bima, aku langsung main drama. Tangan Raka kugenggam ketika menanyakan soal ayahnya. Mata juga dipasang memelas. Persis istri yang menderita saat suaminya sakit."Papa hanya butuh perawatan saja. Tubuhnya drop akibat terlalu diporsir. Kata dokter harus rawat inap agar bisa pulih."Aku bersorak dalam hati sebab racun di tubuhnya tak terdeteksi. Entah karena dokternya bodoh atau racun itu memang tak bisa dideteksi.Sekarang aku harus menghentikan dulu pemberian obat itu untuk cari aman. Lagipula kondisi mas Bima sudah tanpa daya. Mungkin sebentar lagi pun mer
RESTIApa maksudnya?Chat ini dikirim kemarin malam.Aku mencoba menelpon Rafael, tak diangkat. Mengirim pesanpun hanya ceklis satu. Aku, aku harus bagaimana? Kalau Rafael bilang begitu berarti masalahnya serius. Tapi, apa yang terbongkar? Perselingkuhan kami atau apa? Apapun itu, aku harus kabur! Sebentar, tapi bagaimana caranya? Anak mas Bima ada di sini semua. Di pintu belakang ada para pelayan. Aku terjebak dalam situasi sulit. Ayolah, Resti! Cari cara pergi dari tempat ini!Argh, buntu!Oke, pura-pura mau pergi saja. Tak usah bawa apa-apa. Yang penting perhiasan, uang cash dan atm ada dalam tas.Aku memasukkan semua perhiasan dan uang cash ke dalam tas avak besar. Untunglah mas Bima sedang bersama anaknya di ruang keluarga. Aku bisa leluasa mengambilnya. Setelah semua masuk, aku berdandan. Pakaian yang digunakan sederhana agar tak dicurigai. Tunggu, sebelum berangkat harus lihat situasi dulu. Baiknya aku tetap tenang. Jangan buru-buru pergi. Nanti saja berangkatnya kalau an
RESTI Aku berhenti dulu di rumah makan pinggir jalan. Kerongkongan benar-benar harus disiram air. Pun dengan perut yang butuh asupan makanan.Tak kupedulikan lagi kualitas rasa. Yang penting kenyang hingga punya tenaga untuk menyetir kembali.Lepas makan, aku langsung cabut. Terus saja ikuti jalan ini sebab memang belum tahu harus ke mana. Yang penting selamat.Aku yakin yang dikatakan Rafael benar. Keadaan kami sedang dalam bahaya sebab terbongkar kejahatan. Entah kejahatan yang mana sebab banyak sekali yang kulakukan. Bahkan, tak bisa diingat satu per satu.Jelang magrib, aku chek ini di salah satu hotel bintang tiga di kota ini. Tak masalah soal kualitas, yang penting bisa istirahat.Benar'kan keputusanku bawa baju. Bisa digunakan sebagai ganti malam ini. Untuk baju kotor, aku minta laundry kilat biar bisa dibawa besok.Menyetir seharian membuatku kelelahan. Lepas membersihkan diri dan makan, aku pun merebahkan diri di atas ranjang.*Sepertinya hotel ini aman jadi tak perlu langs
RESTI Awalnya aku terkesiap, tapi cepat sadar bahwa dialah orang yang ditunggu."Rafael?" tanyaku pelan. Pria itu mengangguk."Ayo," bisiknya.Rafael mengajakku ke tempat lain. Tidak naik mobil, tapi motor."Mobilku bagaimana?""Tenang saja."Aku diam dan menuruti perintahnya. Seluruh pertanyaan yang ada di kepala harus disimpan meski sangat ingin dikeluarkan.Kami tiba di sebuah penginapan kecil. Jauh sekali dengan keadaan hotel tempatku tidur semalam. Tapi, biar saja yang penting aman.Rafael membawaku ke salah satu kamar di penginapan ini. Saat berjalan, aku sempat berpapasan dengan pasangan yang pasti beda usianya jauh ke mana-mana. Lelakinya mungkin enam puluh tahunan, yang wanita kutebak gadis remaja.Jangan-jangan ini tempat begituan yang harganya murah meriah.Di kamar yang tak mewah, Rafael membuka seluruh alat penyamarannya. Aku pun mengikuti."Ada apa sebenarnya?""Nanti saja kuceritakan, sekarang kita main dulu. Aku sudah tak bisa menahan lagi."Rafael langsung melakukan
RESTIUntunglah ada Rafael. Aku bisa menyandarkan hidup padanya. Bagaimanapun yang kumiliki cuma dia. Harus dituruti agar tak dibuang di tengah jalan.Di sebuah mini market, Rafael menghentikan motor. Ia mengajakku belanja untuk perbekalan kami.Yang dibeli hanya makanan, minuman, alat mandi, mencuci, pakaian dalam, handuk dan pembalut untukku. Dia bertanya tentang pakaian ganti. Kubilang ada empat pasang, sisanya di mobil. Aku jadi berpikir Jangan-jangan kami akan masuk hutan. Sungguh ini mengerikan sekali. Hidup di hutan dengan segala kesengsaraannya.Tapi, aku tak berani bertanya sebab tampang Rafael sangat garang saat ini. Sama sekali tak terlihat aura kelembutan.Setelah tak muat lagi bawaan, kami kembali melanjutkan perjalanan. Apa yang kupikirkan benar, Rafael membawaku ke daerah pelosok. Makin jauh, makin sepi jalanannya.Ini benar-benar menakutkan. Aku yang biasa hidup nyaman harus bisa bertahan dengan lingkungan mengerikan. Tak ada kenormalan kehidupan entah untuk berapa la
RESTIAku tak merespon lagi ucapan Rafael meski kesal. Yang diucapkannya benar, harus memprioritaskan nyawa dari sekedar kenyamanan hidup.Entah sampai kapan kami akan begini. Hidup dalam pelarian. Pastilah jalan penderitaan sudah membentang.Ah, andai mencukupkan diri dengan kehidupan nyaman yang mas Bima berikan. Tentu penderitaan ini takkan kurasakan. Tapi, semua sudah terlambat. Menyesal pun tak berguna."Mau pergi atau kutinggal di sini?"Aku buru-buru naik ke atas motor. Berikutnya kami kembali melanjutkan perjalanan.Sekarang, aku sudah tak mau bertanya lagi mau ke mana Rafael pergi. Ikuti saja yang penting tetap bersamanya.Kami berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Kata Rafael kami akan sampai di pemukiman warga jika bertemu dengan ujung perjalanan ini. Semoga saja bensinnya cukup hingga tak perlu jalan kaki.Bekal pun sudah menipis. Tinggal satu botol minuman dan dua bungkus roti. Sementara kata Rafael perjalanan masih jauh.Pada akhirnya bekal habis, kami pun
RAKAKami akan bertemu ayah Antin di kantornya. Dengan bergaya pengusaha kelas atas kami berjalan penuh percaya diri Dikira orang pasti akan bicara soal bisnis atau lobi-lobi tender.Jujur, aku ingin tertawa lepas melihat dandanan kami bertiga. Jenggot dan kumis tebal, serta rambut model mafia ganteng membuat tampak kewaibawaan.Reiga yang berwajah paling imut pun jadi lebih dewasa. Andra apalagi makin tua terlihatnya."Apa aku sudah cocok jadi mafia narkoba," seloroh Andra pada kami. Aku tak bisa nahan tawa saat berada di lift. Kehadiran kami sempat mengundang perhatian para staf perusahaan. Bahkan, kulihat ada beberapa pegawai wanita yang ternganga. Biasalah kalau ada lelaki gagah, bertampang pengusaha akan selalu jadi incaran kaum hawa. Kami diterima langsung oleh ayah Antin, tuan Mahendra Prakasa. Pria perlente seusia papa ini menyambut dengan hangat.Setelah basa-basi sebentar, kami masuk inti persoalan. Reiga memperkenalkan kami satu per-satu. Lepas itu membuka laptop dan memp
ANDRA. Sangat beruntung lelaki yang memiliki Istri baik. Mereka siap membersamai dalam suka dan duka. Tak menuntut di luar kemampuan suami. Akan selalu berusaha menciptakan kenyamanan di rumahnya. Siap mengingatkan saat lelaki tersesat.Pantaslah menikah disebut sebagai ibadah sepanjang masa. Banyak pengorbanan yang dibutuhkan demi kelanggengannya. Kadang air mata terkuras di dalamnya. Menikah adalah menitipkan hidup pada pasangan. Sekaligus dititipkan kehidupan lain. Harus saling menjaga hingga raga bercerai dari nyawa.Setelah bertukar pendapat, kami sepakat untuk liburan ke Yogyakarta dan beberapa kota lain sekitarnya. Dirasa seminggu cukup menghabiskan waktu di sana. Untuk perjalanan jauh pun tak khawatir sebab anak-anak sudah bisa diajak jauh.Ketika diinfokan akan liburan, mama dan papa antusias untuk ikut. Mereka mengatakan pasti ikut. Baguslah, makin rame, makin seru.Kasihan juga kalau tak diajak. Para orang tua juga butuh hiburan di tengah kesuntukan. Mereka pasti akan se
ANDRASebelum Resti menyabetkan pisau, satu tembakan menembus tangannya. Ia histeris hingga seperti orang kesurupan. Pastilah tembusan peluru itu sangat menyakitkan. Aku dan Armila mundur. Dan, polisi pun melaksanakan tugasnya. Jeritan Resti hilang sama sekali setelah kami berhasil keluar dari gudang ini. Mungkin pingsan akibat sakit dahsyat. "Kalian tak apa?" tanya Reiga. Ia bicara berlomba dengan napas tersengal-sengal. "Tidak, kami selamat. Ide dokter Reiga memang top!" pujiku.Kami saling menepukkan tangan, lalu tertawa bersama. Sepertinya kemenangan ini harus dirayakan. Juga disyukuri sebab ini semata-mata berkat pertolongan Allah. *Di tempat persembuyian Rafael dan Resti, ditemukan narkoba. Dari penelusuran polisi mereka diketahui bukan hanya pemakai, tapi pengedar.Lepas dari penjara keduanya tak punya apa-apa. Mereka melakukan apapun demi bertahan hidup hingga bertemu gembong narkoba. Darisanalah berlanjut kejahatannya. Hukuman Rafael dan Resti kali ini takkan sebentar.
ANDRASungguh aku berat melepas Armila sebagai umpan. Tapi, hanya dia yang saat ini bisa menjadi pemancing Resti dan Rafael keluar dari sarang. Kalau tak dihentikan segerq, dua penjahat itu akan terus berkeliaran. Meneror kami kapan dan di mana pun. Orang yang sudah biasa berbuat jahat, sulit diluruskan. Hanya hukuman badan yang bisa menghentikannyq. Kali ini mereka akan lama masuk penjaranya.Dengan sangat terpaksa kuizinkan Armila jadi umpan. Karena tahu keraguanku, Reiga terus meyakinkan bahwa Armila akan baik-baik saja. Ia pun terus bilang bahwa kami harus berani agar masalah selesai. Wanita itu memang pemberani. Tak takut meski nyawa taruhannya. "Resti dan Rafael sudah tak waras. Kalau tak dihentikan mereka bisa membunuh kita semua!" jelas Reiga. Ia pantang menyerah melemoar argumen agar izinku keluar. "Oke, penjagaan pada Armila harus berlapis. Aku tak mau ambik resiko." tekanku pada Reiga. Aku tak mau spekulasi pada keselamatan nyawanya. Bisa merasa bersalah seumur hidup kala
ARMILAAku setuju sebab kelakuan sejoli jahat itu sudah keterlaluan. Mereka memang niat balas dendam dengan cara menimpakan keburukan pada kami.Seminggu setelah mas Andra pulang, barulah Reiga mengajak kami diskusi. Katanya dia sudah punya ide untuk menjebak mereka.Reiga juga minta bantuan sepupunya yang memang bekerja sebagai polisi. Ternyata Rafael dan Resti memang sedang dalam incaran. Mereka terindikasi kuat sebagaipemakai sekaligus pengedar narkoba.Baguslah, kalau nanti dipenjara akan lebih lama lagi sebab deliknya bukan hanya penganiayaan pada manusia. Tapi ada juga delik pengedaran narkoba. Pasti hukumannya berlipat-lipat.Aksi akan dimulai. Yang jadi pancingan adalah aku. Awalnya mas Andra tak setuju, tapi Reiga akan menjamin keselamatan. Masalahnya kondisi mas Andra belum mungkin bepergian. Karena tangan dan kakinya masih belum pulih utuh.Hari ini aku mengendarai mobil sendiri. Tapi di radius tertentu sudah ada yang mengawal. Reiga bahkan membayar preman untuk jadi bodyg
ARMILAMendengar itu aku langsung menengok ke belakang. Ternyata benar ada mobil yng mencurigakan.Mobil itu ikut ngebut saat mang Dadang ngebut. Lambat kalau kami melambat. Bahkan ikut berhenti kala berhenti.Irna langsung menghubungi suaminya dan suami bu Erni untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Aku tak mungkin menelpon mas Andra sebab bisa syok berat.Kubilang pada Irna agar Reiga minta bantuan pada orang lain. Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpa kami.Karena takut kecelakaan seperti mas Andra, mang Dadang menghentikan mobil. Katanya mereka berusaha menghancurkan konsentrasi hingga nanti gagal fokus dan celaka di jalan.Kami menunggu apa yang akan dilakukan pengemudinya. Kami bertiga sudah siap dengan segala kemungkinan."Semprotannya siapin, kalau emang orang jahat nanti kita kasih cairan ini."Ini adalah cairan berisi merica dan cabe. Lumayan perih kalau disemprotkan pada mata. Mang Dadang juga sudah siap dengan pentungan kayu yang memang dipersiapkan dari rumah.Syukurl
ARMILAAku histeris mendengar mas Andra dan anak-anak kecelakaan. Kanaya yang ada di pangkuan jadi terbawa ibunya. Ia pun menjerit dan menangis.Untung bi Enah cepat tanggap. Wanita paruh baya ini mengambil Kanaya dan berusaha menenangkannya."Ibu jangan panik, ayo siap-siap ke rumah sakit!"Kata-kata bi Enah membuatku sadar bahwa harus segera pergi ke rumah sakit. Tak perlu dandan lama. Cukup baju sopan, tas, dompet plus HP.Aku pergi bersama Irna yang sama syoknya sebab Devan pun ikut dalam kendaraan itu. Di mobil, kami hanya bisa menangis sambil berpelukan. Ketakutan benar-benar mencengkram jiwa.Mobil yang dikemudikan mang Dadang terasa lambat. Padahal katanya sudah ngebut. Mungkin ini karena perasaan tak sabar ingin segera sampai."Mang, cepetan, Mang!""Gak bisa lagi, Bu, Nanti ditilang polisi!"Terpaksa aku dan Irna harus menambah stok sabar. Untunglah Reiga sudah ada di sana. Jadi kami percayakan dulu padanya.Akhirnya kami sampai di rumah sakit tempat mas Andra dan anak-anak
ANDRAUntunglah cepat sadar bahwa di sini sedang bersama dua jagoan. Langsung saja tinggalkan dulu mainan untuk dua putri.Mereka tak ada di tempat mencari mainan awal. Langsung kukitari seluruh sudut toko ini."Mba, lihat anak saya. Dua anak kecil, umur tujuh tahunan. Pakai baju baju kotak-kotak biru!""Oh, tadi lagi di tempat robot! Di sebelah kiri, Pak!"Setelah mengucapkan terima kasih, aku menuju tempat yang ditunjuk. Tak ada ternyata!Aku panik! Bayangan buruk mulai masuk ke otak. Dan itu sukses mengguncang perasaan. Jantung ini mulai bertabuhan kencang."Affan, Devan, kalian di mana?"Aku minta pada penjaga toko untuk bantu mencarikan anak-anak. Mereka bersedia dan mulai berpencarKupanggil berulang dua nama itu. Rasanya benar-benar seperti sedang olahraga jantung. Aku pun tak absen merutuki kecerobohan diri.Di dekat foodcourt aku melihat Devan dan Affan sedang bicara dengan seorang wanita. Dari gayanya aku yakin dia adalah mantan narapidana itu. Meski memyamar, mata tak bisa
ANDRA"Jagoan, Papa kangen!"Aku menggendong Affan yang seminggu ini tak bertemu. Rasanya seperti setahun saking rindu.Kebersamaan dengan ratu, pangeran dan putriku serupa candu. Canda tawa Armila, Affan dan Kanaya menjadi mood booster bagi kehidupan Umur Affan sekarang tujuh tahun, sudah masuk sekolah dasar. Adiknya baru dua tahun. Kami memang sepakat untuk memberinya adik di usia lima tahun. Dan alhamdulillah dikabulkan.Reiga pun demikian, seperti kompetisi. Mereka juga telah punya dua. Putri juga adik Devan itu. Namanya Kayyisa.Hidup kami enam tahun ini diliputi ketenangan. Hanya ada riak-riak kecil kalaupun konflik suami istri. Lepas itu kembali damai dengan kualitas hubungan makin rekat."Hmm, sama mama gak kangen, kah?"Armila, wanita sumber ketenangan hidup muncul dari balik pintu. Aku langsung menghampiri dan memasukkan tubuhnya dalam pelukan. Untunglah Affan dan Kanaya sudah lepas dari gendongan. Sekarang sedang sibuk dengan oleh-oleh. "Aku sekarat merinduimu," bisikku m
RESTIJujur, aku muak dengan rengekan pria tua ini. Harusnya aku tak bersedia menemuinya agar tak harus mendengar kebaperan lelaki tak berguna ini."Sudahlah, Mas. Kalau mau menceraikan, ceraikan saja. Dan, ingat jangan pernah menemuiku lagi. Aku muak!"Aku tak peduli dengan penderitaannya akibat dikhianati. Salah sendiri dia tua dan lemah. Wajarlah aku cari kesenangan lain sebab tak pernah dipuaskan."Apa kamu tak merasa bersalah sedikit pun, Resti? Sebusuk itukah hatimu?""Kalau tak ada yang ingin di katakan lagi aku mau pergi. Dengar, aku bosan mendengar celotehanmu, jadi aku beri kesempatan terakhir mau bicara apa lagi?"Mas Bima menghela napas berat, kemudian memandangku tajam. Lalu terucap dari mulutnya ucapan cerai, maka resmi sudah aku jadi janda untuk kedua kalinya.Tak masalah karena itu lebih baik. Untuk apa juga masih berstatus istrinya tapi tidak akan lagi diterima. Yang ada hanya akan menerima hinaan kalaupun keluar dari penjara dan kembali ke rumah itu. Lebih baik nanti