ARMILATuduhan baru dari mas Andra telah membuat hatiku makin memanas. Aku semakin tak paham pada jalan pikiran pria itu. Mengapa begitu mudah percaya pada hasuran orang lain. Atau terlalu mahir pembuat dramanya.Bukan tak mau membela diri, tapi keadaannya mas Andra sudah tuli dan buta. Di sisinya, aku buruk. Tak salah pun jadi salah, apalagi benar-benar berbuat salah.Jadi, biarkan saja dia bersama pemikirannya. Lagipula itu bagus untuk mempercepat perceraian. Semakin benci, semakin mudah pria itu melepasku.Kalau aku berjuang mengklarifikasi sekarang, mas Andra akan sulit melepasku. Proses perceraian kami pun bisa lama jadinya. Aku ingin menenangkan pikiran sejenak dengan jalan-jalan bersama Affan. Anak ini juga bisa bertemu dengan teman-teman kecilnya. Meski hanya saling melihat tak apa. Itu tetap baik bagi perkembangan sosialisasinya nanti.Seperti biasa aku mengajak bi Cicah. Bukan apa-apa, takut saja kalau tiba-tiba kak Reiga muncul. Seklias di pandangan orang akan buruk jika k
ARMILA"Pak, istigfar, Pak, istigfar. Duh, Gustiii kenapa jadi begini. Ini semua salah paham. Bu Armila wanita terhormat!"Ucapan mang Dadang sudah tak berarti lagi. Tali pernikahan itu telah ia gunting dengan lisannya. Mungkin, selamanya tak dapat tersambung kembali.Di detik ini aku tak lagi berstatus sebagai istri mas Andra. Kami hanya terhubung oleh Affan, putra yang lahir saat cinta sedang di masa puncaknya."Bapak tega menuduh bu Armila selingkuh, padahal bapaklah yang sudah merusak semuanya. Saya bersumpah dengan nama Allah bahwa bu Armila bersih!" teriak bi Cicah. Bi Cicah mendekap tubuhku dengan satu tangan. Sementara yang satunya menggendong Affan."Andra, aku dan Armila tidak ada hubungan apa-apa. Harusnya kau lebih paham sifat setia dan baktinya daripada orang lain. Kupikir kau itu cerdas, nyatanya tolol sampai ke tulang sumsum! Ingat baik-baik, aku akan menguak tabir busuk ini. Aku akan membersihkan nama Armila hingga kau menyesal dan menangis darah!"Wajah mas Andra mem
ARMILA"Tadinya aku tak mau ikut campur urusan pribadimu. Tapi, fitnah demi fitnah membuatku berpikir ulang. Aku harus bertindak untuk menguak kejahatan ini." ucap kak Reiga yang sengaja datang dua hari setelah tragedi perceraian itu."Sudahlah, Kak biarkan saja. Untuk apa juga diusut. Resti itu licik. Yang kuinginkan justru menjauh darinya supaya tak dijahati lagi!"Aku tahu kak Reiga bermaksud baik. Dia masih seperti dulu, siap membela temannya ini. Bahkan, akan melakukan apapun demi menghilangkan kesedihanku. "Armila tak seperti itu. Dia wanita yang takkan membiarkan orang lain menyakitinya.. Reiga saja dikejar sampai toilet cowok gara-gara keterlaluan jailnya. Ayolah Armila, kita cari solusi bersama."Aku menatap lelaki yang duduk di seberang meja sekilas, lalu membuang pandangan ke arah samping. Yang dikatakannya benar, aku memang rapuh saat ini. "Aku tak tahu harus bagaimana. Aku masih berduka dan belum bisa berpikir banyak hal. Aku butuh waktu untuk mengobati hati Kak."Sekar
ANDRASeribu penyesalan berbaris menghantam rongga dada kala talak itu kuucapkan. Ketika ingin menarik balik dan menghapusnya, telah jadi kemustahilan. Aku gelap mata, kalap dan digulung napsu. Bahkan, setan pun telah kupatuhi. Mereka tengan bersorak sorai sebab berhasil menghasutku untuk mengakhiri tali pernikahan.Kesaksian mang Dadang dan bi Cicah tentang Armila menambahkan sesal berlapis-lapis. Betapa bodoh dan cerobohnya aku melontarkan kata itu. Pemyesalan itu memang di belakang.Andai waktu bisa diputar, aku akan mengendalikan diri hingga tak mengucap talak pada Armila. Itu hanya andai yang tak mungkin terjadi. Kini, tinggal sesal tak bertepi.Dalam gontai langkah kaki, aku terus meratapi diri. Merutuki kebodohan hingga ke tulang sumsum. Apa masih pantas disebut waras jika satu penglihatan saja sudah mampu membawaku pada keputusan paling ceroboh? Kurasa jawabnya adalah otak ini sudah lapuk dimakan ketololan.Mengapa aku jadi begini? Mengapa kewarasan hilang separuhnya? Mengapa
ANDRA."Kamu sakit?""Enggak, Mah. Cuma cape aja!""Maaf, ya, mama ngerepotin minta dijemput.""Gapapa, Mah."Setelah itu tak bisa lagi berpikir sebab mama terus mengajak bicara. Tak mungkin hanya menjawab iya dan tidak.Di halaman rumah Armila, aku kaget luar biasa. Bagaimana tidak, ada Resti yang menghampiri sambil bicara yang tentu saja membuat mama melotot.Mama menatapku tajam sebelum membuka pintu mobil. Di sinilah aku sadar perang tak bisa dielakkan."Jelaskan, Andra siapa wanita yang katamu dulu keponakan mang Dadang! Mengapa dia bilang sayang dan minta dipeluk?"Rupanya mama masih ingat dengan Resti yang pernah dijumpai pagi itu. Sepertinya aku sudah tak punya lagi jalan untuk berkelit soal Resti. Ya, sudahlah pasrahkan saja semua. Semoga penyakit jantung mama tak kambuh."Armila, jelaskan pada mama ada apa ini?""Maah!"Armila menghambur ke arah pelukan mama. Beberapa detik kemudian terdengar tangisan dari bibirnya.Aku seperti sedang digiring ke jurang mengerikan saat ini.
RESTIKurang ajar! Dua wanita itu mengacaukan segalanya. Sekarang, aku dalam bahaya sebab terbongkar drama keguguran itu.Kenapa ceroboh membiarkan mang Dadang bebas masuk rumah. Ini gara-gara si Mimin yang keganjenan sama lelaki itu. Jadi sikapnya baik banget.Jadilah kami kecolongan. Diam-diam lelaki itu nguping pembicaraan. Parahnya merekam hingga bisa jadi bukti kejahatan.Aku tak boleh bicara apapun saat ini. Hati mas Andra pasti sedang dipenuhi kemarahan. Bisa-bisa aku kena amukan dahsyat.Mau pura-pura baikpun gak guna sekarang. Mas Andra sudah takkan percaya. Posisiku benar-benar sedang tak menguntungkan.Lebih baik aku berpikir lebih cerdas untuk mencari cara lolos dari masalah. Perkara ini tak boleh berujung perceraian.*Syukurlah mama mertua koma. Semoga saja cepat mati. Kalau dia mati takkan ada orang yang mengompori mas Andra untuk menceraikanku.Tinggal urusan dengan papa mertua. Tapi sepertinya tak perlu dipikirkan. Pasti informasi akan ditutup oleh mas Andra agar tak
RESTI Aku merebahkan diri di sampingnya, lalu kuberanikan tangan ini menyentuh dadanya yang bidang. Karena tak ada penolakan, aku makin berani memberi sentuhan liar. Dia pasti kalah oleh kehebatan godaan Resti. "Sayang, apa kamu tak rindu?"Aku membisikkan kata-kata itu dengan suara seseksi mungkin. Lepas itu kulanjutkan dengan sentuhan lebih ganas."Aku tak berminat, pergilah ke kamarmu!""Haaah!"Mas Andra menepis tubuhku hingga hampir jatuh dari ranjang. Untunglah bisa cepat menyeimbangkan diri."Sialan kamu, Mas. Kasar sekali kamu!"Mas Andra tak peduli dengan amarahku, ia malah pergi dari kamar ini."Aku akan membalas perlakuanmu ini Andra brengsek!"Aku melempar bantal dan guling ke lantai. Sprei dan selimut pun jadi sasaran amarah. Kamar yang tadinya rapi dalam sekejap mata jadi berantakan."Dengar Andra, kau akan rasakan balasanku!"Dadaku turun naik menahan gejolak di dalamnya. Kemudian aku teriak-teriak untuk mengeluarkan gejolak emosi itu. Tak puas, aku juga lompat-lompat
ARMILAMeski tidak lagi berstatus istri mas Andra, aku tetap berduka atas komanya mama. Bagaimanapun wanita paruh baya itu adalah mama kedua bagiku. Cintanya tulus dan luas untukku dan Affan.Dari awal dikenalkan, mama sudah menerima kehadiranku dengan tangan terbuka. Bahkan beliaulah yang memaksa agar pernikahanku dengan mas Andra saat itu dipercepat. Katanya kalau sudah cocok untuk apa lagi ditunda. Tak perlu berbulan-bulan untuk saling mengenal nanti setelah menikah pun akan lebih mudah mengenal satu sama lain.Mama bahkan siap jadi tempat curhat ketika menjalani pernikahan itu. Banyak nasehat yang membangun ketika kami saling membuka pembicaraan. Mama sangat baik dan tidak pilih kasih kepada para menantunya. Bagiku dialah wanita yang lantas digelari mertua terbaik.Aku minta izin mas Andra untuk menjenguk mama di rumah sakit. Kebetulan di sana bertemu papa yang wajahnya terlihat lesu sekali.Dengan memohon-mohon mas Andra minta agar aku tidak menyampaikan alasan mama pingsan. Juga
ANDRA. Sangat beruntung lelaki yang memiliki Istri baik. Mereka siap membersamai dalam suka dan duka. Tak menuntut di luar kemampuan suami. Akan selalu berusaha menciptakan kenyamanan di rumahnya. Siap mengingatkan saat lelaki tersesat.Pantaslah menikah disebut sebagai ibadah sepanjang masa. Banyak pengorbanan yang dibutuhkan demi kelanggengannya. Kadang air mata terkuras di dalamnya. Menikah adalah menitipkan hidup pada pasangan. Sekaligus dititipkan kehidupan lain. Harus saling menjaga hingga raga bercerai dari nyawa.Setelah bertukar pendapat, kami sepakat untuk liburan ke Yogyakarta dan beberapa kota lain sekitarnya. Dirasa seminggu cukup menghabiskan waktu di sana. Untuk perjalanan jauh pun tak khawatir sebab anak-anak sudah bisa diajak jauh.Ketika diinfokan akan liburan, mama dan papa antusias untuk ikut. Mereka mengatakan pasti ikut. Baguslah, makin rame, makin seru.Kasihan juga kalau tak diajak. Para orang tua juga butuh hiburan di tengah kesuntukan. Mereka pasti akan se
ANDRASebelum Resti menyabetkan pisau, satu tembakan menembus tangannya. Ia histeris hingga seperti orang kesurupan. Pastilah tembusan peluru itu sangat menyakitkan. Aku dan Armila mundur. Dan, polisi pun melaksanakan tugasnya. Jeritan Resti hilang sama sekali setelah kami berhasil keluar dari gudang ini. Mungkin pingsan akibat sakit dahsyat. "Kalian tak apa?" tanya Reiga. Ia bicara berlomba dengan napas tersengal-sengal. "Tidak, kami selamat. Ide dokter Reiga memang top!" pujiku.Kami saling menepukkan tangan, lalu tertawa bersama. Sepertinya kemenangan ini harus dirayakan. Juga disyukuri sebab ini semata-mata berkat pertolongan Allah. *Di tempat persembuyian Rafael dan Resti, ditemukan narkoba. Dari penelusuran polisi mereka diketahui bukan hanya pemakai, tapi pengedar.Lepas dari penjara keduanya tak punya apa-apa. Mereka melakukan apapun demi bertahan hidup hingga bertemu gembong narkoba. Darisanalah berlanjut kejahatannya. Hukuman Rafael dan Resti kali ini takkan sebentar.
ANDRASungguh aku berat melepas Armila sebagai umpan. Tapi, hanya dia yang saat ini bisa menjadi pemancing Resti dan Rafael keluar dari sarang. Kalau tak dihentikan segerq, dua penjahat itu akan terus berkeliaran. Meneror kami kapan dan di mana pun. Orang yang sudah biasa berbuat jahat, sulit diluruskan. Hanya hukuman badan yang bisa menghentikannyq. Kali ini mereka akan lama masuk penjaranya.Dengan sangat terpaksa kuizinkan Armila jadi umpan. Karena tahu keraguanku, Reiga terus meyakinkan bahwa Armila akan baik-baik saja. Ia pun terus bilang bahwa kami harus berani agar masalah selesai. Wanita itu memang pemberani. Tak takut meski nyawa taruhannya. "Resti dan Rafael sudah tak waras. Kalau tak dihentikan mereka bisa membunuh kita semua!" jelas Reiga. Ia pantang menyerah melemoar argumen agar izinku keluar. "Oke, penjagaan pada Armila harus berlapis. Aku tak mau ambik resiko." tekanku pada Reiga. Aku tak mau spekulasi pada keselamatan nyawanya. Bisa merasa bersalah seumur hidup kala
ARMILAAku setuju sebab kelakuan sejoli jahat itu sudah keterlaluan. Mereka memang niat balas dendam dengan cara menimpakan keburukan pada kami.Seminggu setelah mas Andra pulang, barulah Reiga mengajak kami diskusi. Katanya dia sudah punya ide untuk menjebak mereka.Reiga juga minta bantuan sepupunya yang memang bekerja sebagai polisi. Ternyata Rafael dan Resti memang sedang dalam incaran. Mereka terindikasi kuat sebagaipemakai sekaligus pengedar narkoba.Baguslah, kalau nanti dipenjara akan lebih lama lagi sebab deliknya bukan hanya penganiayaan pada manusia. Tapi ada juga delik pengedaran narkoba. Pasti hukumannya berlipat-lipat.Aksi akan dimulai. Yang jadi pancingan adalah aku. Awalnya mas Andra tak setuju, tapi Reiga akan menjamin keselamatan. Masalahnya kondisi mas Andra belum mungkin bepergian. Karena tangan dan kakinya masih belum pulih utuh.Hari ini aku mengendarai mobil sendiri. Tapi di radius tertentu sudah ada yang mengawal. Reiga bahkan membayar preman untuk jadi bodyg
ARMILAMendengar itu aku langsung menengok ke belakang. Ternyata benar ada mobil yng mencurigakan.Mobil itu ikut ngebut saat mang Dadang ngebut. Lambat kalau kami melambat. Bahkan ikut berhenti kala berhenti.Irna langsung menghubungi suaminya dan suami bu Erni untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Aku tak mungkin menelpon mas Andra sebab bisa syok berat.Kubilang pada Irna agar Reiga minta bantuan pada orang lain. Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpa kami.Karena takut kecelakaan seperti mas Andra, mang Dadang menghentikan mobil. Katanya mereka berusaha menghancurkan konsentrasi hingga nanti gagal fokus dan celaka di jalan.Kami menunggu apa yang akan dilakukan pengemudinya. Kami bertiga sudah siap dengan segala kemungkinan."Semprotannya siapin, kalau emang orang jahat nanti kita kasih cairan ini."Ini adalah cairan berisi merica dan cabe. Lumayan perih kalau disemprotkan pada mata. Mang Dadang juga sudah siap dengan pentungan kayu yang memang dipersiapkan dari rumah.Syukurl
ARMILAAku histeris mendengar mas Andra dan anak-anak kecelakaan. Kanaya yang ada di pangkuan jadi terbawa ibunya. Ia pun menjerit dan menangis.Untung bi Enah cepat tanggap. Wanita paruh baya ini mengambil Kanaya dan berusaha menenangkannya."Ibu jangan panik, ayo siap-siap ke rumah sakit!"Kata-kata bi Enah membuatku sadar bahwa harus segera pergi ke rumah sakit. Tak perlu dandan lama. Cukup baju sopan, tas, dompet plus HP.Aku pergi bersama Irna yang sama syoknya sebab Devan pun ikut dalam kendaraan itu. Di mobil, kami hanya bisa menangis sambil berpelukan. Ketakutan benar-benar mencengkram jiwa.Mobil yang dikemudikan mang Dadang terasa lambat. Padahal katanya sudah ngebut. Mungkin ini karena perasaan tak sabar ingin segera sampai."Mang, cepetan, Mang!""Gak bisa lagi, Bu, Nanti ditilang polisi!"Terpaksa aku dan Irna harus menambah stok sabar. Untunglah Reiga sudah ada di sana. Jadi kami percayakan dulu padanya.Akhirnya kami sampai di rumah sakit tempat mas Andra dan anak-anak
ANDRAUntunglah cepat sadar bahwa di sini sedang bersama dua jagoan. Langsung saja tinggalkan dulu mainan untuk dua putri.Mereka tak ada di tempat mencari mainan awal. Langsung kukitari seluruh sudut toko ini."Mba, lihat anak saya. Dua anak kecil, umur tujuh tahunan. Pakai baju baju kotak-kotak biru!""Oh, tadi lagi di tempat robot! Di sebelah kiri, Pak!"Setelah mengucapkan terima kasih, aku menuju tempat yang ditunjuk. Tak ada ternyata!Aku panik! Bayangan buruk mulai masuk ke otak. Dan itu sukses mengguncang perasaan. Jantung ini mulai bertabuhan kencang."Affan, Devan, kalian di mana?"Aku minta pada penjaga toko untuk bantu mencarikan anak-anak. Mereka bersedia dan mulai berpencarKupanggil berulang dua nama itu. Rasanya benar-benar seperti sedang olahraga jantung. Aku pun tak absen merutuki kecerobohan diri.Di dekat foodcourt aku melihat Devan dan Affan sedang bicara dengan seorang wanita. Dari gayanya aku yakin dia adalah mantan narapidana itu. Meski memyamar, mata tak bisa
ANDRA"Jagoan, Papa kangen!"Aku menggendong Affan yang seminggu ini tak bertemu. Rasanya seperti setahun saking rindu.Kebersamaan dengan ratu, pangeran dan putriku serupa candu. Canda tawa Armila, Affan dan Kanaya menjadi mood booster bagi kehidupan Umur Affan sekarang tujuh tahun, sudah masuk sekolah dasar. Adiknya baru dua tahun. Kami memang sepakat untuk memberinya adik di usia lima tahun. Dan alhamdulillah dikabulkan.Reiga pun demikian, seperti kompetisi. Mereka juga telah punya dua. Putri juga adik Devan itu. Namanya Kayyisa.Hidup kami enam tahun ini diliputi ketenangan. Hanya ada riak-riak kecil kalaupun konflik suami istri. Lepas itu kembali damai dengan kualitas hubungan makin rekat."Hmm, sama mama gak kangen, kah?"Armila, wanita sumber ketenangan hidup muncul dari balik pintu. Aku langsung menghampiri dan memasukkan tubuhnya dalam pelukan. Untunglah Affan dan Kanaya sudah lepas dari gendongan. Sekarang sedang sibuk dengan oleh-oleh. "Aku sekarat merinduimu," bisikku m
RESTIJujur, aku muak dengan rengekan pria tua ini. Harusnya aku tak bersedia menemuinya agar tak harus mendengar kebaperan lelaki tak berguna ini."Sudahlah, Mas. Kalau mau menceraikan, ceraikan saja. Dan, ingat jangan pernah menemuiku lagi. Aku muak!"Aku tak peduli dengan penderitaannya akibat dikhianati. Salah sendiri dia tua dan lemah. Wajarlah aku cari kesenangan lain sebab tak pernah dipuaskan."Apa kamu tak merasa bersalah sedikit pun, Resti? Sebusuk itukah hatimu?""Kalau tak ada yang ingin di katakan lagi aku mau pergi. Dengar, aku bosan mendengar celotehanmu, jadi aku beri kesempatan terakhir mau bicara apa lagi?"Mas Bima menghela napas berat, kemudian memandangku tajam. Lalu terucap dari mulutnya ucapan cerai, maka resmi sudah aku jadi janda untuk kedua kalinya.Tak masalah karena itu lebih baik. Untuk apa juga masih berstatus istrinya tapi tidak akan lagi diterima. Yang ada hanya akan menerima hinaan kalaupun keluar dari penjara dan kembali ke rumah itu. Lebih baik nanti