"Nak Andi, kenapa malam-malam mampir ke rumah Alya?" tanya Pak Ilmi selaku RT setempat."Enggak tau, Pak. Saya tiba-tiba kepikiran aja pergi ke rumah Alya. Mungkin ...."Aku menggantungkan ucapanku, Pak Ilmi memperhatikan seolah-olah penasaran dengan apa yang ingin kukatakan selanjutnya."Ya entahlah, Pak. Di pikiran saya pertama kali tertuju pada Alya. Mungkin karena beratnya masalah yang saya hadapi, sampai-sampai saya tak bisa berpikir jernih," jawabku sambil menundukkan kepala.Sempat hening beberapa saat, sampai akhirnya Pak Ilmu bersuara."Ada masalah apa, Nak? Kamu seperti putra bapak, andai dia masih hidup mungkin sekarang usianya tak beda jauh denganmu," ujar Pak Ilmi tiba-tiba. Aku lalu menatap matanya, ada kesedihan yang terpancar di sana."Putra bapak memangnya ke mana?" tanyaku padanya.Pak Ilmi menghela napas pelan, ia lalu menceritakan tentang putranya."Dia meninggal saat ia baru saja dilahirkan, bukan hanya dia yang meninggalkan saya tapi juga istri saya. Saya hidup d
"Apa kamu yakin kasih sayang mereka hanya sandiwara?" tanya Pak Ilmi seraya melepaskan pelukannya.Aku terdiam sebentar, lalu menatap mata beliau."Coba kamu ingat-ingat lagi apa saja yang sudah mereka lakukan untukmu. Saran Bapak, jangan cepat mengambil keputusan di saat rasa sedih, amarah, kecewa bercampur menjadi satu. Tenangkan pikiran lalu renungkan."Aku menunduk, meresapi perkataan yang terlontar dari Pak Ilmi."Ibu memang tak pernah menunjukkan kasih sayangnya, tapi saya mempunyai seorang Kakak yang begitu menyayangi saya. Bahkan kasih sayang dia melebihi kasih sayang seorang Ibu," ujarku pelan.Aku teringat bagaimana perjuangan Kak Sarah mengajariku bersepeda, mengantarku bersekolah dan lain sebagainya."Andi ... buruan susuk Kakak ke sini. Sepedanya digerakin.""Andi ayo bangun! Sarapan, nanti terlambat.""Andi! Jangan main itu, Dek. Nanti kamu jatuh."Di saat ada anak-anak nakal yang datang mengganggu Kak Sarah adalah orang pertama yang maju menghajar mereka semua."Nggak p
"Mbak, aku tak tau harus bagaimana lagi bersikap pada kalian setelah semua pernyataan yang diucapkan Ibu terasa sangat menyakitkan. Sekarang entah masih pantaskah aku menatap wajah kalian, masih pantaskah aku menasehati kalian. Semua sekarang terlihat seperti sangat canggung.""Aku bingung harus bersikap bagaimana lagi di hadapan kalian. Bahkan, rasa sakit bercampur kecewa ini sepertinya akan sangat sulit untuk disembuhkan. Katakan padaku, harus bagaimana lagi aku berbicara dan menggambarkan kondisiku saat ini?" tanyaku padanya dengan suara yang bergetar akibat menahan tangisan."Andi, Mbak benar-benar minta maaf. Mbak sendiri pun nggak tau kalo bakal berujung kayak gini, Mbak juga kaget waktu Ibu bilang kalo kamu bukan anak kandungnya. Tapi, Mbak berani bersumpah, selama ini kamu memang sudah seperti adik kandung sendiri. Mbak sangat-sangat menyayangi kamu, entah bagaimana asal usulnya. Bagaimana ceritanya, tiba-tiba kamu hadir di antara Mbak, Ayah dan juga Ibu. Mbak nggak peduli, Mb
"Tapi aku tidak masalah, di sisi lain aku bahagia mereka bisa pergi bersama. Namun, di sisi lain juga aku merasa sedih, kenapa kau tak ikut sekalian pergi bersama mereka.""Ibu!" bentak Mbak Sarah tiba-tiba."Kenapa, Sarah? Biarkan anak tak tau diri ini mendengar semuanya. Dia selalu membuatmu menangis, tanpa dia tahu bagaimana kasih sayang yang kamu berikan padanya melebihi sayangmu padaku. Kamu rela putus sekolah untuk bekerja, menyekolahkan dia hingga dia sesukses sekarang, tapi apa yang kamu dapatkan. Hanya perlakuan yang tak pantas!" bentak Ibu tak kalah nyaring."Ibu, berhenti! Dia adikku, dia saudara kandungku. Sampai kapanpun dia tetap adikku!" teriak Mbak Sarah.Aku menunduk membiarkan air mata lolos dari pertahanannya."Aku sayang dengan Andi, dia adikku. Jangan bikin mental dia down, aku nggak rela adikku disakiti orang lain, sekalipun orang itu adalah Ibu," ucap Mbak Sarah sambil berdiri."Tapi faktanya, ibunya dan dia yang mengambil ayahmu, Sarah! Dia menghancurkan keluar
POV Alya!*Dua Minggu sudah sejak kejadian Mas Andi yang datang ke rumah dengan keadaan tak sadar diri. Sampai saat ini aku memutuskan untuk jarang ke luar rumah. Bukan apa-apa, aku hanya takut kembali bertemu dengannya.Melihat wajahnya hanya akan menumbuhkan rasa marah dalam dadaku. Apalagi jika mengingat perlakuan dia dan keluarganya. Perkataan ibunya, dan juga hinaan yang dilontarkan oleh Kakak perempuannya. Semua itu, seperti memori yang terus menerus berputar di ingatan."Mbak," panggil Aini padaku."Sudahlah, tak usah memikirkan dia yang membuatmu terluka. Fokus pada tujuan awal kita saja," ucapnya."Mbak hanya heran saja, kenapa coba dia datang ke rumah kita di malam hari. Saat hujan sangat lebat, aneh aja gitu lho. Kayak nggak ada tempat persinggahan lain aja," omelku."Biasalah, nggak bisa move on ya gitu, Mbak. Bermacam-macam cara dilakukan supaya ketemu sama, Mbak. Kalo aku sih malu ya jadi dia itu, tapi ya gimana. Namanya juga Andi, mana punya urat malu dia," ucap Aini t
Di sela kesibukan, aku membuat makan siang di dalam toko. Kebetulan aku juga membawa kompor gas yang sudah kubeli khusus untuk keperluan toko."Dek, ingat garamnya jangan kebanyakan," tegurku saat melihat Aini ingin menuangkan garam ke dalam wajan berisi kari ayam."Aelah, Mbak. Belum juga Aini masukin garamnya. Iya tenang aja, ngomong-ngomong berapa sendok makan garamnya, Kak?" tanyanya padaku.Aku tertawa kecil, lalu memberitahunya apa saja yang diperlukan saat membuat masakan kari ayam."Mbak, kayaknya Mas Nandar masih cinta deh," ucapnya tiba-tiba. Aku menghentikan kegiatan sebentar, lalu melanjutkannya. Tak kupedulikan ucapan Aini."Mbak, apa salahnya membuka hati kembali," ucapnya lagi."Aini yakin Mas Nandar lelaki yang baik. Buktinya belum sampai beberapa bulan, dia sudah akrab dengan Ayah."Ya karena kamu nggak tau aja, kalo Ayah tau bahwa aku dan Nandar adalah mantan kekasih, batinku."Micinnya udah dikasih, Dek?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Mbak Alya, kamu berhak baha
*Pagi harinya, aku terbangun agak siang. Rupa-rupanya begadang tadi malam membuatku lelah dan ingin terus tidur.Kulihat Aini sudah tak ada di sampingku, mungkin dia sudah berangkat ke kampusnya atau ikut Ayah ke toko lebih dahulu.Haduh, mengapa dia tak membangunkanku coba, rutukku dalam hati.Bergegas kulangkahkan kaki ke kamar mandi, membersihkan diri. Lalu bersiap-siap untuk pergi ke toko.Saat ke luar kamar, aku melihat Ayah yang duduk di ruang keluarga dengan koran di tangannya."Udah bangun, Nak?" tanya Ayah."Iya, Ayah. Maaf, Alya kesiangan bangunnya. Aini mana, Yah?" tanyaku."Adekmu sudah berangkat dari pagi tadi, katanya ada kelas pagi. Ya sudah kamu sarapan dulu, sudah Ayah buatkan. Nanti kita sama-sama ke tokonya," ujar Ayah.Aku lalu mengangguk dan bergegas sarapan.Kebetulan motor dipakai oleh Aini, jadi aku dan Ayah memutuskan menggunakan sepeda yang ada. Lagipula jarak toko dan rumahku tak terlalu jauh."Ayah, nanti kalo jualan Alya laris manis. Alya beli motorlah, b
Deg!Ucapan Arini bagai kilat yang menyambarku, ada rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Dengan susah payah aku mencoba menahan air mata yang hampir lolos.Entah kapan mereka berdua datang, tiba-tiba sudah berada di toko dan langsung membuat keributan."Heh! Istighfar kamu Arini. Ya Allah Rina, kalian berdua ini jangan suka ngurusin kehidupan orang lain. Kebiasaan mulut nggak bisa dikontrol, anak itu dari yang di atas. Mana bisa kita nebak sendiri," omel Bu Hj Sulis."Lah emang kenyataannya gitu, 'kan. Makanya Mbak Alya sama Mas Andi pisah, sayang banget. Padahal Mas Andi ganteng lho, Mbak, kalo aku mah nggak papa, nggak punya anak. Tapi yang penting suamiku ganteng," ujar Arini. Aku berhenti memasukkan kue ke dalam wadah. Pelanggan yang berada di tokoku memerhatikan kami yang sekarang menjadi pusat perhatian."Ngomong apa kamu tadi, hah! Hati-hati ya mulutmu itu. Kamu nggak tau apa ucapan itu adalah doa, kalo nanti ucapanmu malah menyerang dirimu sendiri, mampu kamu bertahan?!"
Andi datang ke rumahnya dengan wajah yang kusut."Andi ada apa?" tanya Sarah yang melihat wajah tak mengenakan yang ditampilkan Andi."Aku baru saja datang dari toko kue Alya. Mbak, kenapa kamu tak kapok-kapoknya datang untuk mengacaukan Alya. Kamu tau bukan, Alya sekarang sudah lebih bahagia. Andi bukannya apa-apa. Andi sekarang sudah sadar, seharusnya memang dari dulu mengikhlaskan Alya, mengapa begitu? Karena Andi baru mengetahui bahwa keluarga Andi adalah keluarga yang toxic. Harusnya Mbak Sarah sadar akan itu semua!" ucap Andi dengan tegas, dia memijit kepalanya yang terasa pusing."Mbak hanya tak senang melihat dia lebih bahagia dari kamu Andi, Mbak juga sudah terlanjur malu padanya. Apalagi sekarang Alya memiliki suami yang tampan bak seorang pangeran.""Jadi sebenarnya Mbak selama ini hanya iri kan pada Alya. Iri pada kehidupan Alya, sudahlah, Mbak. Meminta maaflah pada Alya, aku sudah mengajukan surat pengunduran diri dan rencananya besok rumah ini akan kujual pada orang yang
"Mbak, lihatlah, videomu yang sedang bertengkar tersebar di media sosial." Andi datang dengan wajah yang kusut. Rupanya kabar sang Kakak bertengkar dengan Alya sudah sampai ke telinganya.Bahkan dia melihat video itu sendiri. Matanya membulat sempurna kala Alya yang mempermalukan Kakak dan juga ibunya.Sarah yang melihat Andi datang dengan wajah kusut, mengubah ekspresinya menjadi terlihat menyedihkan."Mbak sakit hati, Dek. Padahal Mbak ke situ hanya ingin membeli kuenya, tapi dia malah mencaci maki, Mbak. Tak ada sambutan baik yang Mbak terima bersama Ibu." Sarah menangis terisak, tentunya itu hanya pura-pura. Semuanya dilakukan hanya untuk menarik empati dari Andi.Andi mengepalkan tangannya erat."Mentang-mentang sudah bukan menjadi istriku, dia semakin berani mempermalukan kalian. Harusnya dari awal kita tak perlu berbuat baik padanya. Rupanya selama ini rasa tulus cintaku dimanfaatkan oleh Alya untuk meluluhkan hati ini," ujar Andi yang terhasut dengan omongan sang Kakak. Matany
"Ibu, pokoknya Sarah nggak bakalan diam aja, ya. Sarah udah dipermalukan di depan orang banyak, bahkan sampai ada yang menjadikan momen kejadian tadi. Mau taruh di mana muka Sarah, Bu," ujarku yang daritadi tak berhenti mondar-mandir sambil marah, jujur saja aku merasa sangat terhina di depan orang banyak tadi karena perlakuan mereka berdua. Alya benar-benar tak punya hati. Aku benci dia."Sudahlah, Sarah. Nanti akan kita pikirkan bagaimana caranya membalas perlakuan mereka yang udah bikin kamu malu. Kamu tenang saja, mungkin saat ini mereka masih bisa berbahagia, tapi tidak untuk nanti. Kamu tenang saja, Ibu juga sangat merasa malu karena perlakuan mereka tadi kepadamu." Ibu meminum kopi dalam gelasnya. Ia terlihat sangat tenang, seperti sudah ada sebuah rencana yang disusun oleh Ibu."Tapi, Bu, tetap saja Sarah tak bisa tenang. Bagaimana jika ada yang menyebarkan video itu. Iiiiiih! Sarah benar-benar kayak orang gila tau nggak sekarang, Bu. Tadi tuh pengen banget rasanya ngegampar mu
"Sayang, sekarang udah sepi ini. Ayo pulang," ucap Nandar sambil memegang telapak tangan Alya."Iya, sebentar lagi, Mas. Aku beresin dulu ini," ucap Alya sambil melepas genggaman dari Nandar. Bergegas ia membereskan tempat kue dan membersihkan sisanya."Mas, Alya tiba-tiba pengen bikin makanan juga. Makanan yang cepat saji itu lho, siapa tau ada yang mau makan siang atau buat sarapan dan bawa pulang ke rumahnya, 'kan," ujar Alya pada Nandar."Mas mau ngelarang kamu kerja, tapi Mas juga nggak mungkin biarin kamu kesepian di rumah. Apapun yang kamu inginkan, pasti bakalan Mas turutin selagi itu bernilai baik," ujar Nandar pada Alya. Ia menatap Alya dengan penuh cinta."Alhamdulillah, kira-kira menurut, Mas, bagusnya mulai kapan aku membangun usahanya?" tanya Alya pada Nandar. Dulu, sebelum menikah tempatnya sharing adalah Bahrul dan juga Aini. Namun setelah menjadi istri seorang Nandar, maka Nandarlah tempat untuk ia menuangkan pendapat."Setelah kita pulang bulan madu," jawab Nandar sa
"Ngeselin banget sih mereka, Kak, pengen Aini jambak-jambak aja tadi. Ada ya manusia kayak gitu hidup di dunia ini," omel Aini yang terus menerus. Tidak nyaring, hanya saja terlihat sekali geram di matanya."Ya ada, Dek, lah itu orangnya tadi baru aja kan bersikap kayak tadi. Udah nggak usah diambil hati, bikin nambah beban pikiran aja. Cukup didiemin aja dia mah orang kayak gitu, kalo kita ladenin apa bedanya kan sama dia," jawabku padanya. Terlihat sekali pancaran emosi dari mata adikku Aini."Iya juga sih, Kak, tapi tetap aja kalo nggak diladeni rasa dongkol dalam hati Aini tuh makin menggebu-gebu ngeladani manusia tak tahu malu seperti dia tuh. Kenapa dulu, ya, bisa-bisanya Kakak punya mertua dan kakak ipar seperti dia. Haduh! Untung saja Kakak sudah lepas dari benalu-benalu seperti mereka." Aini berucap sambil mengedikkan bahunya, seperti orang yang takut.Entahlah, jika aku bilang tak tahu, mustahil, karena dari awal sebelum nikah aku juga sudah tahu bahwa keluarga Andi sama seka
"Bu, aku dengar-dengar di daerah **** jl *** ada toko kue yang baru-baru buka lho, katanya kuenya enak. Aneka ragam kue dijual di toko itu, beli yuk," ucap Sarah pada IbunyaSaat ini aku dan Ibu sedang duduk bersantai di depan televisi, sedangkan adikku Andi berangkat bekerja. Karena dia sudah lama cuti."Emang beneran enak apa?" tanya sang Ibu yang mulai ikut andil dalam percakapan."Aku lihat sih di faceb**k dan juga W******p sih gitu, Bu, ini lho lihat. Sampe banyak banget Anggi teman aku beli," ujar Sarah lagi pada sang Ibu."Mana, coba Ibu lihat," jawab sang Ibu lalu duduk mendekati Sarah anaknya."Enak sih ini, apalagi kue ini lho, lama sekali Ibu nggak makannya. Ayolah kita beli di sana, pakai motor bisa kan kamu?" "Bisa dong, Bu, sebentar Sarah siap-siap dulu." Merek berdua lalu bersiap-siap untuk pergi ke toko yang sudah ditentukan.****"Benar ini tempatnya?" tanya Sang Ibu melihat toko yang ramai pengunjung."Dari alamat yang tertera sih, kayaknya benar ini Bu alamatnya," j
"Aduh pengantin baru, cantik sekali. Wajahnya juga terlihat sangat bersinar ini," ucap Bu Hj Sulis saat aku baru saja membuka toko kue milikku.Saat ingin ke toko, begitu banyak drama yang dilakukan antara aku dan Mas Nandar. Sudah seminggu toko tutup, hingga aku sedikit merasa bosan karena tak ada hal yang harus kukerjakan."Bu Hj bisa saja, saya jadi malu ini," ucapku lalu mengajak beliau masuk ke dalam tokoku."Selamat ya Neng Alya, atas pernikahannya. Alhamdulillah, masih ada jodoh yang diberikan oleh Allah SWT. Semoga yang terakhir ini adalah pilihan terbaik untuk kamu, ya, Neng.""Aamiin ya rabbal alamiin, Bu Hj, semoga saja kami selalu bersama, terkecuali maut yang memisahkan.""Kemarin Ibu tidak bisa berhadir di acara pernikahanmu, soalnya Ibu harus menghadiri wisudanya anak Ibu. Jadi Ibu ke sini, mau ngasih ini buat kamu. Semoga kamu suka, ya." Bu Hj Sulis menyerahkan paper bag padaku. "Ma Syaa Allah, tidak perlu repot-repot, Bu Hj. Dengan mendoakan pernikahan saya dan Mas N
"Ibu ...." Andi langsung mendekat dan bersujud di kaki ibunya. Ia sungguh merasa sangat bersalah karena berbicara tak pantas pada mereka yang berada di depannya saat ini.Harusnya sebagai seorang anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan dia tahu diri, tapi dia tidak. Ia malah sesuka hatinya menyakiti sang ibu.Namun dari dalam hati kecil Andi, ia masih penasaran apakah ibu dan ayahnya memang menjalin hubungan terlarang atau mungkin ibu tirinya lah yang memanipulasi semuanya."Andi benar-benar minta maaf karena sudah membuat Ibu menangis. Andi akan berusaha untuk tidak berperilaku seperti kemarin lagi, Bu. Maafkan, Andi," ujar Andi masih merunduk dalam menyesali kesalahan."Ibu memaafkanmu, tapi tolong jangan membuat ibu menangis lagi, Andi. Ibu benar-benar sakit hati melihat perlakuanmu yang seperti tadi. Hanya karena wanita itu, kamu tega mengatai Ibu dan juga kakakmu. Bahkan kamu juga tega mengatakan tak akan menafkahi kami lagi. Bukankah kamu tahu, tidak ada yang bisa memberi k
"Jadi bagaimana rencana kalian setelah ini, mau bulan madu ke mana?" tanya Mama mertua dari Alya.Nandar dan Alya saling bertatapan, pasalnya mereka berdua belum merencanakan akan ke mana setelah ini. Duduk manis merebahkan diri sejenak di atas ranjang itu saja sudah membuat mereka senang setelah seharian harus berdiri menyambut para tamu undangan."Belum ditentukan, Ma. Kalo Nandar tergantung Alya saja, ke mana dia mau pergi maka Nandar akan ikut bersama dengannya." Jawaban Nandar mampu membuat Alya mengulum senyum hingga pipinya juga menjadi kemerahan bak kepiting rebus."Aduh, pengantin baru ini. Menurut Pak Bahrul, bagusnya anak kita ke mana bulan madunya, Pak?" tanya Papa dari Nandar pada Bahrul, ayah Alya."Kalo saya terserah mereka saja, Pak, saya juga tak ingin menentukannya. Takutnya kalo saya yang nentukan mereka malah nggak suka tempatnya," jawab Pak Bahrul sambil tertawa kecil."Memang Ayah mau nyaranin ke mana?" tanya Alya lembut, Aini saat ini tak ikut karena ada beberap