ROGERSilau cahaya putih menerpa kornea. Kelopak kututup kembali kala ada denyut cukup nyeri di kening.Ingin kupijit pangkal hidung untuk mengurangi nyeri yang menghebat, tetapi tak ada kekuatan tangan untuk sekedar terangkat beberapa inchi saja."Alhamdulillah, kamu sadar, Mas!"Sayup terdengar suara yang sangat kukenal. Selanjutnya samar ada wajah yang mendekat.Ada yang basah di pipiku. Terjatuh dari mata bulat itu. Meski berat, kucoba mengangkat dua sudut bibir.Lalu, tangisannya makin jelas di telingaku. Ia pun menempelkan wajah di dada ini.Perlahan, aku bisa beradaptasi dengan kondisi tubuh setelah koma dua minggu. Safna amat telaten merawatku. Ia akan cerewet pada suster yang menurutnya lambat memeriksa.Sambil menyuapi ia akan menceritakan tentang yang terjadi selama aku dan Arsela koma. Gerahamku saling menekan kala mendengar cerita bahwa si penyihir itu mau membunuh Arsela, ingin menghilangkan saksi atas keterlibatannya mungkin.Di tengah obrolan, Papi datang mengunjungi.
ROGER"Jangan pernah berkata begitu lagi. Aku tak suka. Kau tak perlu berkorban untuk hal yang bukan kewajibanmu menanggungnya."Emosiku sedikit tersulut dengan perkataan Safna. Solusi darinya tak memberi jalan keluar tepat. Yang ada menambah masalah di atas masalah. Apa dia pikir aku lelaki sejahat itu. Akan mudah melepasnya setelah kami melalui kisah berat bersama. Apalagi di rahimnya telah tumbuh Roger junior. Wanita ini mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Baginya satu kalimatku sudah cukup. Tak boleh ada bantahan. Ia takkan berani bicara lebih jauh. Cukup sekali, sudah mengerti harus bagaimana bersikap. Safna bukan Arsela yang akan menyerang jika dibantah. Ia cenderung patuh dan menerima apa saja perintahku. "Apa boleh sementara aku tinggal di rumah Abah sampai Mbak Arsela tenang."Kudekap tubuh itu tanpa peduli dengan tatapan orang-orang di sekitar taman. Aku tahu Safna tertekan meski ia berusaha tegar. Posisinya dilema kini. Rasa bersalah pasti menyergapnya melihat Arsela hampir
SAFNAAku mendorong kursi roda yang diduduki tuan menuju ruangan Nyonya Arsela dirawat. Suamiku meminta ingin bertemu istri pertamanya. Kukabulkan karena itu haknya.Tiba di hadapan tubuh Nyonya Arsela yang berbaring tak sadar, kutinggalkan tuan berdua dengannya. Tak ingin kehadiranku menghambat kata yang mungkin ingin dia sampaikan.Aku duduk di kursi tunggu, menajamkan pendengaran, siapa tahu tuan memanggil. Sekali-kali mata melirik pintu dengan hati resah.Setengah jam berlalu, tak jua kudengar suara tuan. Aku bangkit menghampiri pintu di mana daunnya dipasang kaca kecil memanjang ke bawah, dan tembus pandang ke dalam.Dapat kulihat dengan jelas aktivitas di dalam sana. Ada denyutan halus di hati ini. Tuan Roger menempelkan bibirnya di kening Nyonya Arsela, lalu menangis seraya meremas jemari lentik tanpa daya. Apa yang kusaksikan membawa kesadaran bahwa kehadiranku di antara mereka adalah kesalahan. Meski berseteru, sesungguhnya mereka saling cinta. ***Saat ini, aku berada di t
SAFNASetelah mengenakan jilbab, langkah kuayunkan menuju ruang tamu di mana kata emak, Reyhan menunggu.Pemuda itu sedang berbincang dengan abah. Wajahnya cerah, terlihat bahagia.Tatapan kami bertemu, Rey mengangguk seraya mengatupkan tangan di depan dadanya. Kubalas dengan gerakan serupa.Pandangan Rey tertuju pada perutku yang membesar. Ada senyum di bibir itu.Kuraih kertas berwarna merah maron berpita gold berbungkus plastik transparan dari tangan Reyhan. Undangan."Ini undangan siapa, Rey?" tanyaku, membolak-balikan undangan tersebut. Lalu menatap lekat pria yang sedang tersenyum lebar itu."Punyaku. Aku sangat senang jika kalian mau datang di hari pernikahanku.""Masyaa Allah. Alhamdulillah, aku ikut bahagia, Rey."Mataku berkaca, menatapnya haru. Akhirnya kau mendapatkan apa yang tak kau dapatkan dariku, Rey.Reyhan mengangguk, dapat kulihat ada binar yang berbeda di mata itu. Kuyakinkan sisa cinta itu masih ada, hanya saja, takdir kita tak searah.Akhirnya nama pria yang ter
ARSELALumpuh? Aku lumpuh? Inikah hukuman atas kesalahanku? Mengapa tak mati saja? Mengapa Tuhan? Emosiku tak terkendali saat pertama mendengar vonis ini. Aku benar-benar merasa jadi manusia tak berguna. Hingga.... Menangis pun sudah tak berguna. Marah tak menyelesaikan masalah. Lalu.... Aku diam. Menerima realita dan segala konsekuensinya. Ditinggalkan Roger, hal pertama yang menjajah perasaan. Apalagi ia kini sudah memiliki wanita sempurna. Apalah aku dibanding dia? ***Aku melayangkan gugatan cerai pada Roger. Di luar dugaan ia menolak. Malah terus berupaya mendatangiku menawarkan hal sama. Menjalani bahtera rumah tangga bersamanya juga Safna. Ia berjanji akan berlaku adil. Akan berupaya membahagiakan kami berdua. Pernah hatiku terketuk. Nekat, ingin kuterima saja tawarannya. Namun, kala teringat kembali besarnya cinta Roger pada Safna membuatku meneguhkan kembali hati yang mulai goyah. Untuk apa bertahan jika aku tahu di hatinya hanya menyisakan sedikit tempat untukku.
ARSELA"Dengar, Arsela! Aku tak akan berhenti sampai mendapatkan hatimu lagi. Aku akan terus berjuang untuk itu." Bram mengusap sudut matanya yang mengembun. "Aku mencintaimu, sampai kapan pun itu. Bahkan sampai aku mati." "Pergi!" usirku. Keesokan hari, Bram datang kembali ke rumah ini. Aku sudah berpesan kepada penjaga rumah agar tak mengijinkannya masuk. Walau bagaimanapun, Bram pantas meraih kebahagiaannya dengan wanita lain, bukan denganku. Kuintip dari balik kaca setelah satu jam berlalu. Pria itu masih ada. Ah! Lelaki itu tetap pada pendiriannya. Tak akan pergi sebelum menemuiku. Bodoh memang. Malam hari hujan turun dengan derasnya. Kilatan-kilatan di langit menimbulkan suara menggeleggar. Menjalankan kursi roda melalui tombol otomatis menuju jendela. Ingin melihat hujan. Netraku menangkap seseorang yang berdiri menatap jendela kamarku. Ya Tuhan, Bram. Mengapa dia masih di situ.Jika terjadi apa-apa, bagaimana? Kalau Bram mati kedinginan bagaimana? Bram! Mengertilah. Ku
ARSELALima bulan pasca perceraian dengan Roger. Aku dapat berjalan dengan normal kembali. Senang dan haru bercampur aduk di hati. Tak lupa ucapan syukur kupajatkan pada pemilik nyawa ini. Sebab, selama ini, aku telah lalai dengan kewajibanku. Terlalu jauh melampaui batas. Mendapatkan ketenangan hati setelah kembali menjalankan perintah-perintah-Nya ampunan atas perbuatanku selama ini. "Ah, thank's ... God." Tak lupa juga kuucap terima kasih pada Bram yang dengan tulus selalu menjagaku. Perhatian dan sikapnya membuat hati ini luluh kembali. Dia lelaki yang tak pernah berhenti mencintaiku. Roger, mungkin dia telah berbahagia, hidup dengan wanita yang bertahta penuh di hatinya. Safna. Wanita itu pantas mendampingi Roger. Kuusap bulir bening yang mengalir di sudut netra kala mengingatnya. Bram mengajakku jalan-jalan malam ini. Hanya bisa menutup mulut kala sadat ke mana ia membawaku. 'Tokyo Bay Night Cruise, Tokyo' salah satu tempat teromantis yang biasa dikunjungi pasangan kekasih
ROGERBergetar tangan ini membuka surat yang dikirim pengadilan agama. Gugatan cerai dari Arsela.Sekukuh itukah kau ingin pergi dariku Arsela?Apa kesungguhan permohonanku tak menggeser sedikit pun keputusanmu?Mengapa di saat aku ingin bersemayam di hatimu, kau menguncinya rapat-rapat.Mengapa Arsela?Kuhempaskan berkas itu hingga berserak di lantai. Mengacak rambut ini berulang, lalu mengusap wajah yang entah sekusam apa sekarang."Aaargh!"Lautan emosi di hati ini hanya bisa terluapkan dengan teriakan demi teriakan. Tak lebih.***Menapaki keramik keperakan di ruangan megah bergaya artistik Eropa. Langkah ini sebagai upaya akhir membuka hati Arsela.Pelayan keluarga Van Hoevel mengangguk hormat, memanduku menuju ruang Arsela berada. Papa tanpa seizinku membawa putrinya ke sini selepas keluar rumah sakit. Aku tak mampu menolak apalagi menentang. Pria itu sama kerasnya dengan papi, lebih ganas malah.Kuhampiri wanita yang tengah memandangi ikan-ikan di kolam yang terletak tiga meter
ROGER"Bawalah Safna pulang. Kau sudah waktunya mengurusi urusan pribadimu. Setelah dia melahirkan, adakan pesta pernikahan. Undang semua kolega dalam dan luar negeri. Tunjukkan bahwa perusahaan kita masih kokoh dan berjaya!" titah papi. Kondisi papi pulih seiring kembali stabilnya perusahaan. Inilah yang kutunggu, kata-kata darinya. Artinya restu itu sudah keluar secara sempurna. Tak perlu lagi ada keraguan membawa Safna kembali ke sisiku. Enam bulan sudah aku menitipkan Safna pada orang tuanya. Segala rindu kupenjara agar tak memberontak. Hari ini akan kubebaskan ia dari kekangan.Tidak terlukis rasa ingin berjumpa. Mendekap tubuhnya erat, menghapus jejak air mata. Aku juga ingin bicara pada bayi yang ada di perutnya. Akan kukatakan maaf padanya sebab tak mendampingi selama proses pertumbuhan di alam rahim. Juga telah menorehkan kepedihan di hati sang bunda. Janjiku, ini adalah perpisahan terakhir kami. Setelah itu kami akan senantiasa bersama menjalani hari-hari bahagia. Membesa
ROGERBergetar tangan ini membuka surat yang dikirim pengadilan agama. Gugatan cerai dari Arsela.Sekukuh itukah kau ingin pergi dariku Arsela?Apa kesungguhan permohonanku tak menggeser sedikit pun keputusanmu?Mengapa di saat aku ingin bersemayam di hatimu, kau menguncinya rapat-rapat.Mengapa Arsela?Kuhempaskan berkas itu hingga berserak di lantai. Mengacak rambut ini berulang, lalu mengusap wajah yang entah sekusam apa sekarang."Aaargh!"Lautan emosi di hati ini hanya bisa terluapkan dengan teriakan demi teriakan. Tak lebih.***Menapaki keramik keperakan di ruangan megah bergaya artistik Eropa. Langkah ini sebagai upaya akhir membuka hati Arsela.Pelayan keluarga Van Hoevel mengangguk hormat, memanduku menuju ruang Arsela berada. Papa tanpa seizinku membawa putrinya ke sini selepas keluar rumah sakit. Aku tak mampu menolak apalagi menentang. Pria itu sama kerasnya dengan papi, lebih ganas malah.Kuhampiri wanita yang tengah memandangi ikan-ikan di kolam yang terletak tiga meter
ARSELALima bulan pasca perceraian dengan Roger. Aku dapat berjalan dengan normal kembali. Senang dan haru bercampur aduk di hati. Tak lupa ucapan syukur kupajatkan pada pemilik nyawa ini. Sebab, selama ini, aku telah lalai dengan kewajibanku. Terlalu jauh melampaui batas. Mendapatkan ketenangan hati setelah kembali menjalankan perintah-perintah-Nya ampunan atas perbuatanku selama ini. "Ah, thank's ... God." Tak lupa juga kuucap terima kasih pada Bram yang dengan tulus selalu menjagaku. Perhatian dan sikapnya membuat hati ini luluh kembali. Dia lelaki yang tak pernah berhenti mencintaiku. Roger, mungkin dia telah berbahagia, hidup dengan wanita yang bertahta penuh di hatinya. Safna. Wanita itu pantas mendampingi Roger. Kuusap bulir bening yang mengalir di sudut netra kala mengingatnya. Bram mengajakku jalan-jalan malam ini. Hanya bisa menutup mulut kala sadat ke mana ia membawaku. 'Tokyo Bay Night Cruise, Tokyo' salah satu tempat teromantis yang biasa dikunjungi pasangan kekasih
ARSELA"Dengar, Arsela! Aku tak akan berhenti sampai mendapatkan hatimu lagi. Aku akan terus berjuang untuk itu." Bram mengusap sudut matanya yang mengembun. "Aku mencintaimu, sampai kapan pun itu. Bahkan sampai aku mati." "Pergi!" usirku. Keesokan hari, Bram datang kembali ke rumah ini. Aku sudah berpesan kepada penjaga rumah agar tak mengijinkannya masuk. Walau bagaimanapun, Bram pantas meraih kebahagiaannya dengan wanita lain, bukan denganku. Kuintip dari balik kaca setelah satu jam berlalu. Pria itu masih ada. Ah! Lelaki itu tetap pada pendiriannya. Tak akan pergi sebelum menemuiku. Bodoh memang. Malam hari hujan turun dengan derasnya. Kilatan-kilatan di langit menimbulkan suara menggeleggar. Menjalankan kursi roda melalui tombol otomatis menuju jendela. Ingin melihat hujan. Netraku menangkap seseorang yang berdiri menatap jendela kamarku. Ya Tuhan, Bram. Mengapa dia masih di situ.Jika terjadi apa-apa, bagaimana? Kalau Bram mati kedinginan bagaimana? Bram! Mengertilah. Ku
ARSELALumpuh? Aku lumpuh? Inikah hukuman atas kesalahanku? Mengapa tak mati saja? Mengapa Tuhan? Emosiku tak terkendali saat pertama mendengar vonis ini. Aku benar-benar merasa jadi manusia tak berguna. Hingga.... Menangis pun sudah tak berguna. Marah tak menyelesaikan masalah. Lalu.... Aku diam. Menerima realita dan segala konsekuensinya. Ditinggalkan Roger, hal pertama yang menjajah perasaan. Apalagi ia kini sudah memiliki wanita sempurna. Apalah aku dibanding dia? ***Aku melayangkan gugatan cerai pada Roger. Di luar dugaan ia menolak. Malah terus berupaya mendatangiku menawarkan hal sama. Menjalani bahtera rumah tangga bersamanya juga Safna. Ia berjanji akan berlaku adil. Akan berupaya membahagiakan kami berdua. Pernah hatiku terketuk. Nekat, ingin kuterima saja tawarannya. Namun, kala teringat kembali besarnya cinta Roger pada Safna membuatku meneguhkan kembali hati yang mulai goyah. Untuk apa bertahan jika aku tahu di hatinya hanya menyisakan sedikit tempat untukku.
SAFNASetelah mengenakan jilbab, langkah kuayunkan menuju ruang tamu di mana kata emak, Reyhan menunggu.Pemuda itu sedang berbincang dengan abah. Wajahnya cerah, terlihat bahagia.Tatapan kami bertemu, Rey mengangguk seraya mengatupkan tangan di depan dadanya. Kubalas dengan gerakan serupa.Pandangan Rey tertuju pada perutku yang membesar. Ada senyum di bibir itu.Kuraih kertas berwarna merah maron berpita gold berbungkus plastik transparan dari tangan Reyhan. Undangan."Ini undangan siapa, Rey?" tanyaku, membolak-balikan undangan tersebut. Lalu menatap lekat pria yang sedang tersenyum lebar itu."Punyaku. Aku sangat senang jika kalian mau datang di hari pernikahanku.""Masyaa Allah. Alhamdulillah, aku ikut bahagia, Rey."Mataku berkaca, menatapnya haru. Akhirnya kau mendapatkan apa yang tak kau dapatkan dariku, Rey.Reyhan mengangguk, dapat kulihat ada binar yang berbeda di mata itu. Kuyakinkan sisa cinta itu masih ada, hanya saja, takdir kita tak searah.Akhirnya nama pria yang ter
SAFNAAku mendorong kursi roda yang diduduki tuan menuju ruangan Nyonya Arsela dirawat. Suamiku meminta ingin bertemu istri pertamanya. Kukabulkan karena itu haknya.Tiba di hadapan tubuh Nyonya Arsela yang berbaring tak sadar, kutinggalkan tuan berdua dengannya. Tak ingin kehadiranku menghambat kata yang mungkin ingin dia sampaikan.Aku duduk di kursi tunggu, menajamkan pendengaran, siapa tahu tuan memanggil. Sekali-kali mata melirik pintu dengan hati resah.Setengah jam berlalu, tak jua kudengar suara tuan. Aku bangkit menghampiri pintu di mana daunnya dipasang kaca kecil memanjang ke bawah, dan tembus pandang ke dalam.Dapat kulihat dengan jelas aktivitas di dalam sana. Ada denyutan halus di hati ini. Tuan Roger menempelkan bibirnya di kening Nyonya Arsela, lalu menangis seraya meremas jemari lentik tanpa daya. Apa yang kusaksikan membawa kesadaran bahwa kehadiranku di antara mereka adalah kesalahan. Meski berseteru, sesungguhnya mereka saling cinta. ***Saat ini, aku berada di t
ROGER"Jangan pernah berkata begitu lagi. Aku tak suka. Kau tak perlu berkorban untuk hal yang bukan kewajibanmu menanggungnya."Emosiku sedikit tersulut dengan perkataan Safna. Solusi darinya tak memberi jalan keluar tepat. Yang ada menambah masalah di atas masalah. Apa dia pikir aku lelaki sejahat itu. Akan mudah melepasnya setelah kami melalui kisah berat bersama. Apalagi di rahimnya telah tumbuh Roger junior. Wanita ini mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Baginya satu kalimatku sudah cukup. Tak boleh ada bantahan. Ia takkan berani bicara lebih jauh. Cukup sekali, sudah mengerti harus bagaimana bersikap. Safna bukan Arsela yang akan menyerang jika dibantah. Ia cenderung patuh dan menerima apa saja perintahku. "Apa boleh sementara aku tinggal di rumah Abah sampai Mbak Arsela tenang."Kudekap tubuh itu tanpa peduli dengan tatapan orang-orang di sekitar taman. Aku tahu Safna tertekan meski ia berusaha tegar. Posisinya dilema kini. Rasa bersalah pasti menyergapnya melihat Arsela hampir
ROGERSilau cahaya putih menerpa kornea. Kelopak kututup kembali kala ada denyut cukup nyeri di kening.Ingin kupijit pangkal hidung untuk mengurangi nyeri yang menghebat, tetapi tak ada kekuatan tangan untuk sekedar terangkat beberapa inchi saja."Alhamdulillah, kamu sadar, Mas!"Sayup terdengar suara yang sangat kukenal. Selanjutnya samar ada wajah yang mendekat.Ada yang basah di pipiku. Terjatuh dari mata bulat itu. Meski berat, kucoba mengangkat dua sudut bibir.Lalu, tangisannya makin jelas di telingaku. Ia pun menempelkan wajah di dada ini.Perlahan, aku bisa beradaptasi dengan kondisi tubuh setelah koma dua minggu. Safna amat telaten merawatku. Ia akan cerewet pada suster yang menurutnya lambat memeriksa.Sambil menyuapi ia akan menceritakan tentang yang terjadi selama aku dan Arsela koma. Gerahamku saling menekan kala mendengar cerita bahwa si penyihir itu mau membunuh Arsela, ingin menghilangkan saksi atas keterlibatannya mungkin.Di tengah obrolan, Papi datang mengunjungi.