“Kalau kau keberatan, tidak usah dijawab.” Zahra merasa tidak enak dan merasa serba salah.“Aku tidak keberatan. Tapi apa jawabanku nantinya akan membuatmu sedih atau bahagia, itu yang membuatku berat.” Jawab Elang sembari membuang pandangan jauh. Satu sisi dia sangat bahagia bertemu dengan sang mantan yang masih sangat dicintai. Namun di sisi lain ada seorang wanita yang hatinya harus dijaga.”Sudahlah. Kalau pertanyaanku menjadi beban untukmu, lebih baik kita beralih topik saja.”“Baiklah. Sekarang aku yang akan bertanya padamu. Bagaimana hubunganmu dengan Budi?” tanya Elang tanpa basa-basi. Dia memang tak pandai dalam merangkai kata.Pertanyaan Elang membuat Zahra tersentak. Tak menyangka jika dia akan bertanya tentang hal itu.“Kenapa kau bertanya seperti itu? apa kau tahu tentang sesuatu?” Zahra balik bertanya. Dia merasa heran kenapa Elang bertanya mengenai hubungannya dengan Budi. Padahal sudah setahun mereka tak bertemu.Apakah elang masih menduga jika Budilah yang membuat kam
“Arneta! Apa yang kau lakukan?!” mata Elang terbelalak saat melihat siapa yang berani menamparnya dengan tiba-tiba. Wanita cantik berbalut gaun sexy berdiri dihadapan dengan wajah yang penuh amarah.Ada hal yang membuat Elang begitu kesal saat melihat gadis sexy itu menarik lengan seorang wanita yang begitu disayangi oleh Elang.“Makanya aku telpon berkali-kali kamu tidak mengangkatnya. Ternyata kamu sedang asik dengan perempuan lain! Ini dia anak yang Anda banggakan ternyata tukang selingkuh!” gadis yang ternyata adalah tunangan Elang menarik lengan wanita yang melahirkan Elang dan menjatuhkannya di hadapan Elang.“Arneta! Jangan kelewatan!” seru Elang dengan kesal.“Siapapun kamu, tapi tak selayaknya memperlakukan orang yang lebih tua darimu seperti ini!” Zahra terlihat tidak suka dengan sikap gadis itu kepada mantan ibu mertuanya. Dengan sigap diapun membantu sang mantan ibu mertua untuk berdiri.“Ibu tidak apa-apa?” tanya Zahra sembari menggengam jemari sang mantan mertua.“Aku t
2O1.MENGANTAR ZAHRA PULANG“Lang. Apa yang harus Mamah katakan pada Diana!”“Mamah tak perlu mengatakan apapun kepada Tante Diana. Karena Arneta yang memilih untuk melepas cincin dariku!” jawab Elang dengan kesal.“Iya, Nak. Tapi Arneta pasti memutarbalikan fakta, hingga nantinya kamu yang terlihat buruk di mata Diana!”“Aku tak peduli. Mamah tahu sendiri’kan bagaimana tabiat buruk gadis yang dijodohkan denganku? Bagaimana mungkin aku bisa hidup dengan wanita seperti dia? Selama ini aku hanya menghormati Mamah. Dan Mamah pasti tahu jika aku tak bisa menolak apapun keinginan Mamah.”“Benarkah, Nak? jadi kau terpaksa menerima Arneta hanya demi Mamah? Kau sama sekali tak mencintainya?” tanya Widya dengan serius. Dia merasa sangat bersalah.“Iya! Aku tak pernah mencintainya. Bahkan aku sangat tersiksa menjalani hubungan dengan wanita yang sangat manja dan kekanakan seperti dia! Semua aku lakukan demi Mamah dan juga Papah!”“Betapa bodohnya Aku yang tak bisa membaca perasaanmu. Maafkan Mam
Tak menyangka kerinduan kepada sang mantan telah terobati dengan pertemuan yang tak terduga, justru menjadi bumerang untuknya. Percikkan bara api dalam dada tak bisa terhindarkan karena penghinaan perempuan tadi.“Tapi kenapa aku tak boleh menemuimu?” tanya Elang.Zahra menarik napas panjang seraya memejamkan mata. Dengan sigap dia menghapus air mata yang menetes di pipi.“Kenapa kau tak mau menatapku? Apa kau takut jatuh cinta lagi kepadaku?”“Elang! Aku ...” “Maafkan aku jika aku sudah membuat kesalahan terhadapmu. Aku juga tak menyangka jika Arneta tahu keberadaanku dan nekad datang ke sini!”“Aku tidak mau disebut sebagai perebut calon suami orang. Dan kau dengar sendiri’kan kalau calon istrimu itu sudah merendahkanku dengan menyebutku sebagai perawan tua! Bahkan kau juga membiarkan dia menghinaku tanpa kau menjelaskan duduk persoalannya!”“Penjelasan apa yang kau inginkan? Mengakui jika aku masih mencintaimu, itu maumu?” tanya Elang dengan lembut. Walaupun suaranya terdengar lem
Sepertinya alasan aku akan menikah dengan Mas Budi, lebih tepat dan pasti membuat Elang menjauhiku. Ya Tuhan. Kenapa memikirkan Elang akan menjauh dariku membuat hatiku teriris. Beri hamba kekuatan Ya Alloh.“Kenapa kau diam?” pertanyaan Elang membuat Zahra tersentak dan membuyarkan lamunan.“Baiklah. Kau ingin aku memberikan satu alasan, bukan? Aku akan penuhi permintaanmu. Dan berjanjilah untuk tak menemuiku lagi setelah ini!”“Oke! Aku janji!” Elang menatap fokus ke arah sang mantan sembari menebak-nebak jawaban apa yang akan diberikan kepadanya.“Dengar baik-baik. Aku akan ...” sejenak Zahra menghentikan ucapannya. Kembali dia menarik napas dalam dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengurangi sesaknya dada.Sangat berat untuk berpisah dengan pria yang masih sangat dicintainya. Namun jika mengingat penghinaan calon istri Elang, kembali membuat meradang dan membulatkan hati untuk menjauh dari Elang.“Kenapa berhenti, Sayang? Apa kau tak sanggup untuk berpisah dariku?”Kem
Elang masuk ke dalam mobil dan menumpahkan kesedihan dalam rengkuhan sang bundan.“Mamah!” Elang menghambur ke pelukan wanita yang melahirkannya.“Kau kenapa, Nak?” Widya terlihat panik. Tak biasanya dia melihat putranya menangis tersedu. Dengan penuh kasih sayang, dia pun mengusap-usap kepala putra tercinta.“Aku sudah benar-benar kehilangan Zahra! kami tak mungkin lagi bersatu!” Elang melonggarkan pelukannya.“Kenapa bisa begitu?” widya mengusap air mata sang putra dengan penuh kasih sayang.“Zahra akan menikah dengan Budi. Aku benar-benar tak bisa kehilangan dia. Aku gak kuat, Mah jika melihat mereka menikah. Aku takkan sanggup!” kembali Elang menghambur ke pelukan sang bunda untuk menumpahkan kesedihan yang terasa menghimpit dadanya.“Sabar, Sayang. Kau harus terima kenyataan. Insya Alloh, kau pasti akan menemukan pengganti sebaik Zahra. Mamah yakin itu!”Widya berusaha menguatkan sang putra. Dia ikut merasakan kesedihan putranya. Namun kali ini dia tak mampu untuk membantunya. In
Budi datang ke kediaman Zahra dan disambut dengan hangat oleh kedua orangtuanya. Mereka menikmati makan malam dengan gembira. Sesekali disertai dengan canda dan tawa.Setelah selesai merekapun pergi ke ruang keluarga untuk membicarakan tentang jawaban dari lamaran Budi.“Nak, Budi!” Ayah Zahra memulai pembicaraan.“Iya, Pak.” Jawab Budi dengan gugup dan gelisah. Dia mengusap peluh yang membasahi wajah dengan tiba-tiba. Bahkan degup jantungnyapun berdetak lebih kencang.“Apa benar ... ““Maaf, Ayah. Apa boleh kalau aku bicara dulu dengan Mas Budi sebentar saja?” Zahra memottong pembicaraan ayahnya. Dia ingin membicarakan dulu sesuatu yang ada hubungannya dengan lamaran Budi.“Bolah, Nak. Silakan.”“Terimakasih, Ayah. Ayo, Mas. Kita duduk di teras saja!” ajak Zahra kepada Budi.“Baiklah. Permisi, Pak.” Budi berpamitan kepada ayah Zahra.“Silakan!”Keduanya pun berjalan menuju teras.“Silakan duduk!” Zahra mempersilahkan budi untuk duduk di kursi yang ada di teras.Keduanya duduk bersebe
“Budi! Apa yang kalian tadi bicarakan?!” Istri mustafa terlihat cemas saat melihat putri dan calon menantunya seperti tak bahagia.“Tidak apa-apa, Bu. Semuanya baik-baik saja. Dan semua keputusan ada pada Mas Budi atas syarat yang sudah aku ajukan tadi!” jawab Zahra untuk menenangkan orangtuanya. Dia berusaha untuk menata hati yang tak bisa merespon rasa gembira yang ingin ditunjukkan. Semua karena memang tak ada rasa bahagia dari dalam hatinya.“I-iya, Bu. Semua baik-baik saja!” jawab Budi dengan gugup.“Syukurlah. Lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Mustafa yang terlihat lega. Pria paruh baya itu sedikit mengulas senyum pada bibirnya.“Begini. Keinginan Zahra adalah ... “ sejenak Budi menghentikan ucapannya. Kemudian menatap ke arah sang pujaan hati. Dan di saat yang bersamaan, Zahra juga tengah menatap tajam ke arah Budi. Pria tampan itu tahu apa arti dari sorot mata itu.‘Apa yang diinginkan oleh putriku, Nak Budi?” Mustafa mulai merasa tidak enak dan mendesak Budi dengan pertanyaa
“Lia?! Apa kabar?”“Alhamdulillah baik, Mbak!”Keduanya berpelukan dengan erat. Terpancar sinar kebahagiaan dari wajah wanita berhijab itu.“Silakan duduk.” Zahra menarik bangku untuk tamu specialnya.“Terimakasih, Mbak.”“Iya. Sama-sama.”Kemudian Zahra mengambil tempat duduk di seberang. Kini keduanya saling berhadapan.“Oh, ya. Kamu mau pesan apa?” Zahra memberikan buku menu kepada Lia.“Avocado juice sama manggo and banana smoothies.” Jawab Lia sembari mendorong perlahan buku menu tanpa membacanya.“Oke. Untuk makan siangnya kamu mau pesan apa?”“Itu saja sudah cukup, Mbak. Bagiku itu sudah menjadi menu untuk makan siangku.”“Apa kau tidak makan nasi?’ Zahra bertanya penuh selidik sembari menatap tubuh Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Body yang sangat sempurna dan ideal. Wajahnya juga terlihat bersih dan cerah.“Aku lagi mengurangi karbo, Mbak. Sudah lama tidak makan nasi. Semenjak Mas Budi ketahuan ada benjolan di kepala dan juga riwayat diabetes dan hipertensi dari almar
Elang terperanjat. Pria itu tak mengira jika akan mendapat pertanyaan yang begitu menohok. Sesaat hanya bisa terdiam. Mengenang masa itu hanya akan membuat luka lama yang sudah terkubur, kembali terbuka.“Kenapa diam?!” pertanyaan sang istri membuyarkan lamunan.“Tidak ada apa-apa di antara kami. Yang aku tahu dia itu adiknya Budi. Betul’kan?” Elang berkilah. Dia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan.“Itu benar. Yang aku tanyakan hubungan di antara kalian!” Zahra mempertegas pertanyannya.Elang menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak seolah tak ada oksigen yang masuk ke dalam organ pernafasannya.“Sudahlah. Aku mau mandi dulu!” Elang menepuk pipi sang istri dengan lembut dan senyum yang sedikit dipaksakan.“Elang! Jangan menghindar! Jujurlah dan jawab pertanyaanku!” Zahra mencekal pergelangan tangan suaminya dengan sedikit meninggikan ucapan.“Aku sudah menjawabnya! Apa lagi yang harus dijawab!” Elang mengibaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan sang
Gadis berparas ayu nan anggun itu menghentikan langkah saat mendengar seseorang yang memanggil namanya. Kini tatapan matanya tertuju ke arah suara yang memanggilnya. Sejenak mengamati wajah Zahra yang kini semakin pucat dan tirus. “Mbak Zahra?!”“Iya. Kau masih mengenaliku, Lia?” tanya Zahra dengan wajah berbinar.“Tentu saja. Apa kabar, Mbak?”“Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mmm ... sepertinya Mbak terlihat lebih langsing. Dan membuatku hampir saja tak mengenali Mbak.” Gadis cantik itu ternyata bukan hanya cantik pada parasnya saja. Melainkan juga mempunyai sopan santun dan etika yang baik. Walau dari melihat fisiknya saja dia tahu jika wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Namun ucapannya tidak menyinggung perasaan.“Bilang saja kurus kering, karena tubuhku ini sedang digerogoti oleh penyakit yang berbahaya,” jawab Zahra dengan tersenyum kecut. Ada rasa nyeri yang berarang di dada.Zahra tahu jika Lia tak ingin menyakiti perasaan
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, Elang! Aku yang sekarang bukan lagi istri yang bisa kau banggakan. Aku kini penyakitan dan tidak cantik lagi. Bahkan nanti setelah kemoterapy, rambutku akan mengalami kerontokan. Aku takkan cantik lagi. Dan aku yakin kau akan jijik denganku dan pasti meninggalkanku. Setidaknya jika kau menikah sekarang, aku takkan lebih sakit hati jika masa itu datang. Aku tak mau kau meninggalkanku di saat aku terpuruk.” Zahra menangis terisak. Dia tak sanggup lagi membayangkan jika lelaki yang dicinta akan pergi meninggalkannya.Elang mendekap sang istri dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, aku berjanji kepadamu kalau aku takkan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan kita. Aku mohon percayalah padaku, Sayang.”Zahra semakin terisak. Dalam pelukan lelakinya dia menumpahkan segala kesedihan dan rasa takut. “Aku takut kalau aku akan meninggal, Lang!”“Istighfar. Semua makhluk bernyawa pasti akan pergi meninggal
Zahra dan suami selesai menunaikan ibadah sholat tahajud. Keduanya memanjatkan do’a kepada sang pencipta.Elang berdo’a untuk kesembuhan sang istri tercinta. Hanya itu harapan terbesar satu-satunya untuk saat ini. Tak ada keinginan lain selain kesembuhan sang bidadari.Zahra pun sama khusyuknya dalam berdo’a. Do’a yang dipanjatkan tak hanya untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula dia memohon kepada sang pencipta untuk kebahagiaan suaminya. Terutama dengan syarat yang akan diajukan olehnya untuk sang suami.Zahra sudah memikirkan matang tentang rencananya. Setelah melalui pemikiran panjang, keputusan terberat harus di ambil demi sang suami. Semoga saja ini yang terbaik untuk semuanya.“Sayang. Apa kau sudah selesai berdo’a?” pertanyaan Elang membuat Zahra terkejut.“Sudah,” jawab Zahra dengan gugup sembari mengecup punggung tangan suaminya.“Apa kau akan membicarakan syarat yang kau ajukan sekarang atau nanti?’ Elang menembak langsung dengan pertanyaan. Dia memang tak bisa berbasa-basi da
Elang berdo’a dengan begitu khusyuk. Dia sangat berharap jika Tuhan mengabulkan do’a untuk kesembuhan istrinya. Di setiap rintihan do’a tiada henti menyebut nama istri tercinta.Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sayup terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di telinga Elang. Do’a yang dipanjatkan begitu tulus dan menggugah jiwa.Elang menajamkan telinga untuk mendengar do’a yang membuatnya larut dalam kesedihan. Do’a seorang ayah yang berharap untuk kesembuhan putrinya.“Ya. Alloh. Hamba mohon berikanlah kesembuhan untuk putri hamba. Dia adalah separuh dari nyawa yang ada dalam raga ini. Hamba tak sanggup melihat putri hamba menderita. Jika Engkau berkenan, Hamba bersedia menukar nyawa hamba demi kesembuhannya. Hamba ikhlas Ya Alloh. Hamba ikhlas.” Suara pria itu bergetar dalam isak tangis. Dia pun bersujud dan menumpahkan kesedihan di atas sajadah yang membentang.Elang terkejut mendengar do’a dari insan yang penuh harap. Dia menyadari jika suara itu milik ayah mertuanya. K
Zahra sudah menjalani serangkaian tes sebelum operasi. Dia berusaha untuk tegar dan tak terlihat sedih di mata suaminya. Namun pandangan kosong tak mampu menyembunyikan rasa sedih yang tergambar jelas pada mata sayunya.Gadis cantik itu bersandar pada dinding pembatas balkon yang berada di depan kamarnya. Udara pagi yang begitu bersih mampu menyegarkan pikiran.Biasanya di pagi hari, dia selalu berolahraga bersama suami. Namun semenjak mengetahui ada kista dalam tubuhnya, membuat semangatnya untuk beraktifitas menurun. Bahkan semangat hidupnya ikut menurun hingga sangat mempengaruhi kualitas sexualitasnya.Untuk sementara, Zahra mengambil cuti dari pekerjaan. Dia akan fokus untuk pengobatan penyakitnya.“Sayang, kamu sedang apa?” Elang memeluk pinggang mungil sang istri dari arah belakang. Pria itu tetap romantis walaupun tubuh istrinya tak seindah dulu.“Elang. Aku hanya ingin menghirup udara pagi dan berjemur di sini. Kamu tidak olah raga?” Zahra membalikkan badan. Kini keduanya sal
Zahra mendatangi dr. Arumi untuk memeriksakan diri. Tentunya ditemani oleh suami yang sangat setia.“Bagaimana, Dok? Apa saya hamil?” tanya Zahra saat baru saja selesai diperiksa oleh dr. Arumi.“Tidak. Anda tidak hamil.”“Lalu, kenapa Saya tidak menstruasi?”“Sudah berapa lama Anda tidak menstruasi?” tanya dr. Arumi.“Tiga bulan, Dok.” Jawab Zahra dengan singkat.Dr. Arumi menarik napas panjang sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada.“Seharusnya Anda bisa datang ke sini lebih awal. Minimal setelah tahu bahwa Anda terlambat datang bulan di bulan pertama.”“Memangnya kenapa, Dok?” Zahra bertanya dengan cemas. Walau dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan dokter pribadinya.“Begini, dr. Zahra. Saya harus menyampaikan hal ini walau kurang mengenakkan.”“Bagaimana, dok? Tolong katakan dengan jelas!” Zahra terlihat mulai gelisah. Dia menatap ke arah suaminya.Elang hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat jemari sang istri. Pria itu berusaha menguatkan istrinya. Walau sesun
“Bagaimana dengan kondisi rahim saya, Dok? Apa kecelakaan yang menimpa saya beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap rahim saya?” dan apa Saya bisa hamil lagi dengan segera?” tanya Zahra kepada dr. Arumi setelah selesai menjalani pemeriksaan.“Sabar, Sayang. Nanya’nya satu-satu.” Elang berkata lirih kepada sang istri.“Iya. Maaf.”“Silakan duduk.’” Dr. Arumi mempersilakan Zahra dan suaminya duduk.“Begini, dr. Zahra. secara keseluruhan kondisi rahim Anda cukup baik. Namun karena Anda baru saja melahirkan secara operasi, ada baiknya Anda menunda hingga tiga atau empat tahun ke depan. Saya rasa sebagai dokter, Anda tahu resikonya.”“Iya. Sebenarnya saya tahu, Dok. Hanya saja, saya ingin sekali segera punya anak lagi.”“Saran saya, lebih baik dokter menikmati masa-masa indah dulu bersama suami. Dan jangan terlalu memikirkan hal ini, hingga bisa membuat anda tertekan. Saya tahu kehilangan seorang anak tidaklah mudah. Namun Anda harus bisa segera bangkit dan membuang semua beban yang ada d