Aku kembali ke rumah sakit, duduk di samping mama yang terlelap dengan banyak alat kesehatan di tubuhnya. Wajahnya sebagian terluka oleh luka bakar yang mulai mengering, mungkinkah karena itu papa memilih menikah dengan Tante Mayang dan menduakan mama?
“Mama cepatlah bangun,” ucapku lirih. Aku menangis di samping mama, kenapa keluarga kami jadi seperti ini? Seharusnya saat ini papa berada di samping mama dan memberikan ia semangat. Nyatanya ia memilih bersenang-senang dengan orang lain.…Sejak aku mengetahui hubungan papa dan Tante Mayang, aku tak lagi bertegur sapa dengan papa. Aku lebih memilih mengacuhkanya jika ia datang menjenguk mama atau aku pulang untuk mengambil sesuatu. Saat ini aku tak lagi percaya kepada papa, aku tak pernah membiarkan papa seorang diri menemui mama, takut jika nanti papa akan menyakitinya. Hingga malam itu papa datang kembali, aku terjaga ketika mendengar suara pintu kamar rawat mama di buka. Ruang rawat mama ada ranjang untuk penunggu tempat aku tidur setiap malam.Papa duduk di kursi dengan wajah kusutnya, ia mengusap wajahnya kasar, sepertinya ia sedang frustasi. Aku pura-pura terlelap, sesekali kulirik papa, aku hanya menghindari berbicara dengannya.“El, Papa tahu kamu tidak tidur.” Papa menghela nafas yang terasa berat seolah ada beban besar di sana. “Bisakah kita bicara sebentar?” Papa beralih duduk di sofa tepat di depan ranjang aku tidur.“Papa tahu sekarang kamu pasti benci Papa, Papa hanya ingin minta maaf. Ini semua demi kamu.”Heh, demi aku, apa papa gak salah? Yang pasti demi dirinya sendiri, aku tidak butuh wanita itu. Ingin sekali kukeluarkan segala kata kotor, tetapi aku tidak ingin mama mendengar keributan kami. Karena kata Dokter Sean meskipun mama terlelap ia masih bisa mendengar.“Perusahaan sedang tak baik-baik saja, El. Papa kehabisan dana, tak ada lagi uang, untuk sementara Papa tidak bisa membayar uang kuliahmu, dan….” Papa kembali menghela nafas. Aku masih bertahan dengan posisi sama meski bibirku sudah tak tahan ingin mengeluarkan ungkapan kebencian yang semakin mendalam.Kubuka mata sedikit, layaknya orang mengintip, kulihat papa menarik paksa dasinya dengan wajah menunduk. Setelah ikatan dasi di lehernya lepas, ia menarik nafas dan kembali memandangku yang masih tak bergeming, secepat kilat kututup mata rapat-rapat.“Jika keadaan terus begini, dan perusahaan tidak mendapat investor dana, Papa tidak bisa membayar perawatan dan pengobatan mama,” sambung papa dengan nada lemah.Mendengar ucapan papa seketika tubuhku seperti mendapat respon besar dari sengatan emosi yang menggebu menyuruhku untuk segera bangun. Pasalnya kemarin Bi Sri yang baru kembali bekerja setelah cuti pulang kampung memberitahuku papa membelikan mobil baru untuk Citra dan rumah untuk Tante Mayang, bagaimana mungkin sekarang ia mengatakan tidak bisa membayar biaya kuliahku yang sudah memasuki semester akhir dan juga biaya pengobatan mama? Kebohongan macam apa lagi ini?“Apa Papa bilang? Maksud Papa kita akan menghentikan pengobatan mama dan aku harus berhenti kuliah yang hanya tinggal menunggu tahap akhir?” Aku terbahak, lucu sekali papa sekarang. Dia mampu membelikan mobil mewah seharga ratusan juta untuk anak tirinya sementara sekarang aku dan mama harus mengalah.“Papa membelikan Citra mobil seharga ratusan juta dan kemudian memutus kuliahku serta pengobatan mama, Papa benar-benar sudah gila, Papa hanya mementingkan diri Papa sendiri.”“El, Papa hanya ingin adil dengan Citra, Papa ingin dia sepertimu, kuliah tidak naik grab.”Astaga… aku beranjak, udara di ruangan tiba-tiba terasa panas, dan sesak. Aku mengibaskan tangan berharap banyak oksigen masuk di dadaku yang teramat sesak.“Jika Papa mampu memberikan keinginan Citra dan wanita simpanan Papa itu kenapa harus memangkas jatah kami? Kuliahku dan pengobatan mama tanggung jawab Papa, sementara Citra... Papa enggak bertanggung jawab sedikitpun dengannya, papa tak berhak.”“Iya, Papa tahu, Papa hanya tidak ingin terlihat pilih kasih.”“Heh. Aku tak percaya memiliki seorang ayah seperti Papa.”“Ok, kita kesampingkan dulu masalah bencimu, sekarang kita harus mendapatkan orang yang mau investasi, dan papa sudah mendapatkan orangnya, tetapi dengan satu syarat.”Aku berbalik menatap papa, rasanya enggan sekali untuk menanggapinya.“El, bantu Papa untuk mendapatkan investasi itu.” Papa beralih di sampingku memegang bahuku dengan tatapan memohon. “Kamu harus menikah dengan anak sulung Diamond group.”Aku membelalak mendengar ucapan papa, menarik paksa tangannya yang masih di bahuku. Dia benar-benar sudah gila.“Papa ingin aku nikah sama laki-laki cacat itu? Papa mau menjualku? Heh, ayah macam apa Papa ini? Tega menjual anaknya demi uang!” seruku takpercaya.“El, Papa gak punya pilihan, Papa pun berat melakukan ini, tetapi kita butuh biaya besar untuk pengobatan mama, biaya kuliah adikmu di Paris. Papa tidak menjualmu Sayang, setidaknya kamu tetap tidak akan kekurangan jika menjadi menantu utama Diamond Group,” kilahnya. Pemikiran macam apa yang ia tanamkan dibenakku. “Cukup! Papa habiskan uang Papa untuk anak tiri dan istri simpanan Papa, kenapa tidak Papa nikahkan saja dengannya!” Aku menyambar jaket tebal yang ada di ranjang, melangkah meninggalkan Papa yang terlihat semakin frustasi. Kutatap mama sejenak dan berbalik melihat Papa. “Aku tidak ingin Papa menghentikan pengobatan mama, jika masalah kuliahku aku akan mengalah, tetapi untuk mama aku tak terima,” ucapku mempertegas, kuharap papa masih memakai otaknya.Taman rumah sakit yang sunyi menjadi tempatku untuk menyendiri, menenangkan
“El, kenapa diam saja?” mama mengguncang bahuku membuatku sedikit tersentak dan kembali tersadar dari lamunanku mengingat kejadian satu bulan lalu.“Tidak apa-apa, Ma. Kita akan pulang sekarang?”Mama mengangguk dan merapikan bajunya. Aku membawa barang mama yang tidak terlalu banyak, mama memakai cadar untuk menutup wajahnya. Aku akan mengatakan semuanya nanti, menunggu waktu yang pas, mengingat keadaan mama belum pulih sepenuhnya.“Apa Daren masih di Paris? Mama rindu, sepertinya Mama udah tidur lama sekali.”“Kita akan mengunjunginya kalau Mama udah baikan.”Ah, aku sampai lupa memberitahu bocah tengil itu jika mama sudah sadar, dia pasti akan melonjak girang. Masih kuingat dia menangis seperti bayi saat datang tiga bulan lalu melihat mama terbaring dengan luka bakar di sebagian wajahnya. Berhari-hari Daren tak ingin makan dan hanya duduk di samping mama, padahal saat SMA dia merupakan bocah tengil yang membuat papa dan mama kewalahan dengan segala tingkah nakalnya. Namun, aku tahu
Kutinggalkan Tante Mayang dan segera menyusul papa. Kulihat papa sedang memegang tangan mama, memberikan aroma minyak kayu putih di dekat hidungnya. Kudorong papa menjauh dari mama. “Jangan dekati Mama, Papa benar-benar menjijikan, tidak tahu malu! Ini semua karena Papa!” seruku. Aku tak ingin tangan kotornya menodai tubuh mama.“El, sudah hentikan, kita bicarakan nanti saja," ucap papa mengiba.“Bawa wanita itu pergi!” Kutunjuk tante Mayang dengan tatapan nyalang. Mereka tak akan kumaafkan jika sesuatu terjadi terhadap mama.“Elsha."“Bawa dia pergi dari rumah ini!” bentakku. Papa beranjak sesekali menghentikan langkah melihat ke arah mama. Aku menatap punggung papa yang perlahan menjauh. Dulu papa segalanya untukku, papa kesayanganku, cinta pertamaku, tetapi ia menggores luka di hatiku dan mama, orang yang selalu kujaga hatinya. Aku memang anak manja, hidup bagai ratu, semua keinginanku papa selalu memberikan, tetapi aku tak akan lemah jika ada orang yang menyakiti mama termasuk p
Mayang POV.Kehidupan Hanum selalu aku impikan. Suami, dan segala yang ia punya. Hanum sahabatku sejak kami kecil, kami tinggal di desa dan rumah kami bersebelahan. Hingga ayahnya membawa ia pergi ke kota, sejak saat itu kami tak dapat berkomunikasi lagi. Kami kembali bertemu saat ia dan kedua anaknya sedang makan malam bersama suaminya. Aku dan Citra yang baru saja pulang memulung berpapasan dengannya di sebuah warung nasi pinggir jalan. Hanum menolongku dari kejaran rentenir yang hendak menagih hutang suamiku. Namun, hal yang paling mengejutkan adalah dia bersama Mas Cakra, mantan kekasihku yang memutuskan hubungan karena dia dijodohkan oleh ayahnya. Aku tidak tahu bahwa wanita itu adalah Hanum, entah kebetulan macam apa ini. Beberapa bulan setelah pertemuan kami Hanum dan putrinya semakin sering berkunjung ke rumah, sekedar membawa makanan untuk aku dan juga Citra. Dia juga banyak membantuku membayar hutang suamiku. Suamiku lelaki temperamen yang selalu main tangan, terlebih sete
Aku bergegas membuka pintu. “Mas Cakra ada apa?” tanyaku berpura-pura terkejut.Mas Cakra mendorongku masuk setelah mengawasi keadaan. Hari ini Hanum dan Citra juga Elsha pergi berkunjung ke rumah Pak Darma, ayah Hanum. Pagi tadi aku membuat alibi dengan mengatakan tidak enak badan agar tak ikut dengannya setelah tahu Mas Cakra pun tak ikut. Malam ini akan aku gunakan untuk mengulang kisah cintaku dan Mas Cakra. Akan kupastikan ia kembali jatuh dalam dekapanku.“Aku sudah melakukan tes DNA, kenapa dulu kamu gak pernah menghubungiku? Kenapa kamu rahasiakan sendiri? Apa kamu datang cuma buat ini? Jangan bilang kamu ingin menghancurkan hubungaku dengan Hanum?” tanya Mas Cakra penuh emosi.“Bagaimana aku akan menghubungimu Mas? Kamu memutus komunikasi, aku tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya aku memilih untuk menikah dengan Mas Eko. Karena bagaimanapun aku enggak mungkin buat ayah sama ibu malu Mas, padahal aku berharap banget kamu hadir ditengah kehamilanku. Aku juga mau hancurin hub
Mama duduk di tepi jendela, pandangannya jauh menerawang menatap pekatnya awan hitam. Aku mengambil selimut membalut tubuhnya yang dingin karena dersik angin malam membelai lembut.“Mama istirahat saja,” ucapku lirih.Mama tersenyum memegang erat tanganku. “Terimakasih untuk selalu bersama Mama.”“Jangan katakan itu, di mana pun Mama, El akan selalu bersama Mama.”Dia wanitaku yang sedang terluka, hatinya sedang tak baik-baik saja, cintanya berkhianat, dan ia harus menahan derita kembali setelah tahu anaknya akan menikah dengan lelaki yang cacat. Bukan materi, mungkin dalam materi anak sulung Tuan Chan cukup untuk memberikan semuanya, tetapi apakah aku mampu merawatnya?“Hanum, Elsha, Papa mau bicara,” ucap papa, entah sejak kapan ia sudah berdiri di belakangku dan mama.Aku melihat sekilas wajah itu, wajah yang tanpa dosa dan masih berani menatap kami dengan keangkuhannya.“Apa yang ingin kamu katakan Mas?” tanya mama datar.“Besok pernikahan Elsha dengan Aksa anak sulung Tuan Chan,
“Pecundang!” seru Daren.“Daren, sudah tidak usah membela mereka, ikutlah dengan Papa.”“Cuih, jangan harap. Tinggal bersama mereka sama saja tinggal dengan pelacur,” ucap Daren menunjuk Tante Mayang dan Citra.“Anak tidak tahu diuntung, mulutmu kotor!” papa menampar Daren.Papa berubah, ia seperti bukan sosok papa, ia berubah seratus delapan puluh derajat. Apa yang salah dengan papa?“Hentikan!” seru mama, ia berdiri mendekati papa. “Apa kamu lupa dengan perjanjian kita?” tanya mama.“Perjanjian yang mana? Aku sudah membakarnya, apa kamu lupa siapa kamu?” Mama menatap tak percaya, dan menampar papa. Papa kembali menampar mama. “Sudah cukup aku harus bermain sandiwara denganmu!”“Papa!” Aku mendekati mama, menariknya menjauhi papa. “Tidak berartikah kita untuk Papa? Apa Papa gak sayang lagi sama kami? Kenapa Papa tega berbuat seperti ini? Apa Papa lupa perjuangan kita?”“Elsha Sayang, sepertinya mulai sekarang kamu harus tahu siapa dirimu, kamu bukan—”“Cukup Mas, jangan ungkit masa
Fajar mulai menyingsing, mataku terasa perih, semalaman aku hanya menangis, menangisi nasib buruk yang berujung dalam hidupku. Mata sembab, wajah tak terurus. Aku tak ingin lagi menjadi Elshanum yang tercantik di kampus, Elshanum yang populer di kampus. Aku ingin menjadi gadis biasa yang tumbuh dengan kasih sayang kedua orang tua. Jika dulu aku banyak meminta hal yang tidak penting, sekarang aku baru sadar, jika banyak meminta akan banyak pula yang kita pertanggung jawabkan.Suara pintu terbuka dan didorong pelan, seorang pelayan dengan baju sama datang membawa kotak besar, entah apa yang mereka bawa dan menggangguku ketika sedang menikmati derita nestapa.“Sililahkan mandi dan kenakan baju ini Non,” ucap salah satunya. Ia mengambil gaun pengantin yang cukup indah dari kotak tersebut, gaun pengantin berwarna merah dengan mutiara sebagai penghias, selendang sutra menjuntai melebihi panjang gaun tersebut,Aku masih tak bergeming, dan enggan menuruti permintaan kedua wanita tersebut.“N
Seperti malam sebelumnya Aksa kembali dalam keadaan mabuk, dua orang yang mengantarkannya gegas keluar setelah membaringkan tubuh Aksa di atas dipan. Aku menghela nafas berat, kenapa dia harus melakukan ini setiap malam? Apa bebannya lebih berat dariku? Rasanya tidak mungkin karena dia memiliki apapun yang dia punya dan dia bisa melakukan apapun yang dia mau.“Cassandra, aku sangat merindukanmu,” lirihnya. Aku tak menghiraukan ucapan Aksa dan terus membuka satu persatu atribut lengkapnya, ya atribut ngantor maksudnya.“Casandra, kenapa kamu ninggalin aku,” ucapnya lagi.Ah, itu rupanya alasan dia mabuk karena kekasihnya meninggalkannya, kasihan sekali tetapi aku justru ingin tertawa.“Cassandra apa kamu lupa apa yang telah kita janjikan.” Kali ini Aksa menarik kuat tanganku hingga aku terjatuh dalam pelukannya.“Lepaskan Tuan,” lirihku sembari mengalihkan tangannya yang melingkar di pinggangku.Aksa membuka mata perlahan mungkin dia masih sedikit sadar. “Kamu rupanya.” Dia mendorong
“Besok malam aku tidak akan menundanya lagi,” ucap Aksa sebelum pergi meninggalkanku.Aku beringsut mundur dengan tubuh gemetar, takut itu yang kurasakan saat ini, sebenarnya memberikan keturununan untuk Diamond Group bukanlah perkara buruk, tetapi aku tidak ingin melakukan hal itu dengan orang yang seperti Aksa. Aku ingin melayani orang yang aku cintai. Tangisku pecah begitu saja.Kurapikan kembali baju yang sudah berserakan, mengenakan dengan cepat takut jika pemuda itu kembali masuk dan berubah pikiran. Aku harus mencari cara agar bisa menolak Aksa, atau mungkin aku bisa kabur dari sini. Aku berlari cepat menuju pintu, sialnya pintu terkunci dari luar, aku benar-benar seperti tawanan di sini. Tubuhku luruh ke lantai, bagaimana aku akan membawa mama pergi jika aku keluar dari sini saja aku tidak bisa.Kutatap jendela kaca. Mungkin aku bisa keluar dari sana. Namun, saat memandang tingginya jendela nyaliku menciut, itu terlalu tinggi. Jika aku jatuh bukannya bisa membawa mama keluar
“Ngapain berdiri di situ kayak orang enggak berguna, cepat bantu aku.” Aksa menatapku yang berdiri melipat tangan di dada tak jauh darinya. Kuhampiri cepat dirinya dan membantu dia naik ke atas kursi roda. Dasar sombong, apa salahnya minta bantuan baik-baik.Tanpa ucapan terima kasih ia meninggalkan aku ke kamar mandi untuk membasuh diri. Seharusnya ini bisa digunakan untuk kabur. Sedikit berjinjit kuhampiri pintu, secepat kilat aku sudah berdiri di depan pintu dan menyentuh handle pintu tersebut.“Jangan coba-coba untuk kabur, atau orang tuamu akan merasakan akibatnya,” ucap Aksara dari dalam kamar mandi.Astaga, apa dia punya indra ke tujuh? Padahal aku sudah berusaha tak membuat suara. Bagaimana dia bisa tahu? Terpaksa aku kembali duduk di atas ranjang karena takut dengan ancamannya. Jujur saja aku tak punya nyali untuk melawannya, aku bukan gadis kuat nan tangguh. Aku dibesarkan bagai putri sejak kecil walau akhirnya aku harus berada di sangkar neraka seperti ini.“Berikan bajuk
Berdiri seorang diri menatap cakrawala malam bertabur bintang. Kudekap tubuh yang dingin karena dersik angin malam membelai begitu kencang. Kulirik jam yang ada di pergelangan tangan, sudah hampir tengah malam tetapi Aksa belum juga kembali, entah kemana perginya lelaki itu.Kenapa aku memikirkannya? Bukankah lebih bagus jika dia tidak di sini, aku lebih leluasa merenda nasib yang tak berpihak kepadaku ini. Kembali kutengadahkan wajah menatap bintang yang berkelip. Bayang-bayang mama menari indah di mata, sedang apa wanitaku itu? Apakah dia baik-baik saja? Aku bahkan tak punya ponsel sekedar untuk menghubunginya. Kuseka air mata yang sudah memenuhi kelopak mata.“Jangan menangis Elsha, kamu sekarang harus menjadi wanita yang kuat.” Kutepuk dada berkali-kali, dada yang terasa amat sesak. Sesak dan sakit sekali, bahkan cintaku masih berlabuh untuk seorang lelaki yang telah menjalin cinta denganku lebih dari tiga tahun. Entah bagaimana perasaannya setelah tahu aku menikah dengan orang y
“Kenapa Mama enggak pernah jujur sama Elsha? Kenapa Mama simpan semuanya sendiri?” tanyaku, kuhapus air mata yang membasahi pipi mama.“Mama tidak bisa sayang, Mama takut Els akan membenci Mama.”Aku memeluk tubuh mama.“Elsha akan selalu sama Mama, Elsha akan selalu bersama Mama membalas Mayang dan Cakra atas semuanya penderitaan Mama. Tak akan sedikitpun kulepaskan mereka.” Tanganku mengepal kuat. Akan kulakukan berbagai cara untuk menghancurkan mereka satu persatu.“Maaf Sayang, maaf Mama harus menyeret dalam situasi ini.”Mama memelukku dengan erat sebelum ia dibawa keluar oleh seorang pelayan.Aku menatap punggung yang mulai menjauh tersebut. Tekad untuk membawanya pergi dari rumah itu, akan kulakukan apapun untuk menghukum mereka.Setelah ijab kabul terdengar, aku dibawa keluar oleh pelayan berjalan diatas altar menghampiri suamiku yang terduduk di atas kursi roda, aku tak ingin melihat lelaki itu, hatiku dipenuhi dendam.Pernikahan kami berjalan lancar, kulihat senyum sumringah
“Hanum, itu anakku, kan!” seru Mas Dimas, ia mencekal erat tanganku.“Bukan, ini bukan anakmu, Mas.” Aku mencoba mengelak tapi ia bersikeras untuk melakukan tes DNA. Aku tak ingin bersama lelaki itu lagi. Aku tak ingin menderita bersamanya lagiAyah melakukan berbagai cara agar Mas Dimas tak datang ke rumah, hingga harus meminta kepada Mas Cakra untuk mengaku menjadi ayah dari anakku. Sejak setahun bersama keluarga kami ayah melihat Mas Cakra begitu baik, ia juga bertanggung jawab kepada ibunya, terlebih ia mampu mengembangkan perusahaan ayah yang hampir bangkrut. Mas Cakra menerima keinginan ayah karena merasa berhutang budi, dan akhirnya ia mengakui di depan Mas Dimas bahwa anak yang baru saja lahir tersebut adalah anaknya. Ia sendiri yang memberi nama Elshanum Cakrawinata. Kami belum menikah, aku masih ingin sendiri, aku masih ingin sendiri, hingga Elsha menginjak usia dua tahun ayah meminta Mas Cakra untuk menikahiku. Tidak dipungkiri kasih sayangnya kepada Elsha sudah seperti ana
Pagi dengan sinar matahari yang begitu terang aku berjalan di kawasan komplek menunggu angkot hendak ke pasar, aku akan menyiapkan ayam bakar kesukaan Mas Dimas, pikirku. Kulambaikan tangan kepada sopir angkot dan gegas naik.Lima belas menit aku sampai di pasar, ramai orang berjualan sayur, aku menuju toko yang menjual ayam, membeli bagian dada dan sayap kesukaan Mas Dimas. Ia dulu bilang hanya setahun sekali bisa menikmati ayam sekarang ia bisa makan itu setiap hari.Setelah membeli ayam aku melirik penjual buah pinggir jalan, buah jeruk yang tampak segar dan besar membuatku menelan ludah, tak sabar ingin menyesapnya. Aku berjalan sedikit berlari menghampiri tukang buah tersebut. Namun, sampai di penjual buah saat aku sedang asyik mencium aroma jeruk seseorang datang merangkul pinggang wanita yang begitu cantik. Buah jeruk jatuh dari tanganku. Mas Dimas, ia bersama wanita lain merangkul pinggang rampingnya begitu mesra. Ia tak pulang dan sekarang bersama wanita itu. Dadaku sesak pan
Mas Dimas pulang dengan mobil baru dan bukan mobil fasilitas kantor.“Mobil siapa Mas?” tanyaku setelah menjawab salam dan mencium punggung tangannya.“Mobil kitalah masak mobil orang di bawa pulang,” ucapnya dengan nada yang tak enak di dengar.Aku mengerutkan dahi, Mas Dimas beli mobil? Bukankah tabungan kita belum segitu banyaknya sehingga mampu membeli satu unit mobil, terlebih bagaimana impiannya yang ingin memiliki sorum mobil sendiri? Bukankah itu jauh lebih penting, batinku.“Mas beli mobil? Uang dari mana?” tanyaku lirih.“Loh kamu remehin aku ndak bisa beli mobil gitu? Mentang-mentang aku dari keluarga miskin dan gak seperti keluargamu!” serunya mulai tak terkontrol.Malam ini Mas Dimas berubah, ia tak lagi seperti Mas Dimas dengan suara lembutnya, Mas Dimas yang dulu memintaku merubah penampilan dengan hijab, mengajariku mengaji hingga membawaku ke ustaz kenalannya sehingga aku dengan mudah belajar mengaji dan memperdalam ilmu agama. Itulah hal yang membuat aku mantap menar
HANUM MAHESWARI POVElshanum Cakrawinata, anak semata wayangku dengan Mas Dimas, suami pertamaku. Otakku kembali memutar kejadian dua puluh lima tahun silam tepatnya saat aku masih menjadi istri Mas Dimas, ayah kandung Elsha yang selama ini tak sedikitpun aku singgung dalam kehidupan putriku.“Hanum Maheswari aku talak kamu, mulai saat ini tak ada lagi hubungan di antara kita," ucap Mas Dimas yang membuat tubuhku lemas bagai tak bertulang.Aku menangis tersedu di bawah gerobak buah. Mas dimas mengumumkan talaknya diantara ramai orang belanja, dimana salahku? Aku tak paham, apa yang aku lakukan sehingga ia menjatuhkan talak untukku tanpa sedikitpun belas kasihan.“Mas. Tak salahkan dengan ucapanmu?” tanyaku masih dengan suara lembut.“Kita akhiri saja hubungan ini, aku malu mempunyai istri sepertimu. Lihat, badanmu saja tak terurus, wajah tak terurus. Hanum, kamu itu anak orang punya istri manager masa iya harus seperti bibi asisten,” umpatnya tanpa melihat keadaan kami.Kuremas ujung