Bandel ya Zoe :)
Zoe membuka cermin yang diambilnya dari tas, lalu memeriksa sambungan wig yang ada di keningnya. Sudah membaur rata dengan make up, tidak terlihat aneh. Zoe sengaja mengepang wig panjang hitam itu agar penampilannya sedikit berbeda. Pertemuan hari ini sifatnya adalah santai. Zoe juga memastikan lensa kontaknya terpasang sempurna sebelum akhirnya puas. “Terima kasih.” Zoe menyerahkan ongkos kepada sopir taksi lalu turun pada alamat yang kemarin diberikan oleh Max. Zoe akan meminta bertemu di tempat lain, seandainya Max memberi alamat studio di gedung milik Billy, tapi ternyata Max memberinya alamat studio yang kemungkinan milik pribadinya, karena studio itu menyatu menjadi rumah yang cukup mewah. Zoe mendengus saat melihat wujud rumah mewah itu. Ia masih ingat bagaimana dulu mereka membicarakan tentang mimpi agar bisa memiliki rumah sendiri yang menjadi satu dengan studio. Zoe dulu mengira Max sedang membicarakan masa depan yang mana akan termasuk dirinya. Tapi ternyata Max hanya s
“Aku paling menyukai penghargaan yang ini. Aku membuat lagunya tidak sampai satu jam, tapi ternyata bisa menjadi sangat sukses. Aku sendiri tidak yakin akan bagus.” Max menunjuk salah satu piagam yang ada di dinding. Max menilai kalau diamnya Zoe saat memandang piala penghargaannya sebagai ketertarikan, dan mulai menceritakan bagaimana ia bisa mendapat masing-masing penghargaan itu. “Oh, itu keren!” Zoe menyingkirkan kenangan saat dirinya bodoh itu, dan membelalak dengan kagum. Mimik muka sangat baru yang tidak dipelajarinya dari Clay. Tapi Max yang sudah bersemangat menyombong, tidak lagi peduli dengan reaksi setengah hati dari Zoe, dan tetap menceritakan detail prestasinya. Zoe sampai merasa seperti mabuk. Ia belum pernah mendapat begitu banyak informasi tentang hidup seseorang dalam waktu singkat, apalagi dibarengi dengan nada sombong. Membuatnya sedikit mual. “Duduklah.” Zoe sangat bersyukur saat akhirnya mempersilahkannya untuk duduk pada sofa yang ada di studionya---karena
Zoe berjalan menuju gedung apartemennya, sambil menyandang kantong kertas yang penuh dengan isi. Ia sudah lelah tentu, dan hanya ingin cepat sampai di rumah. Pertemuannya dengan Max tadi membuatnya lapar dan letih. Zoe tidak terlalu memperhatikan saat seorang pria keluar dari mobil, dan dengan langkah cepat menyusul dan menjajari langkahnya. “Aku ingin punya kunci apartemenmu.” Tentu saja Zoe memaki dan nyaris saja menjatuhkan kantong kertas yang berisi barang belanjaannya itu. Untung saja Wolf masih memiliki reflek yang bagus dan menangkap kantong itu sebelum terjatuh. “Jangan menakutiku!” Zoe memukul lengan Wolf dengan gemas. Meski lingkungan apartemennya tidak termasuk berbahaya, tapi bukan berarti nol angka kriminalitas. Dan hari sudah gelap, kemunculan Wolf membuatnya ketakutan tentu. “Oke, aku tidak akan melakukannya lagi. Tapi aku masih ingin meminta kunci apartemenmu. Aku benci menunggu lama di luar.” keluh Wolf sambil membuka pintu utama gedung apartemen Zoe—mempersila
“Aku benci harus menunggumu ada saat ingin melakukan ini…” bisik Wolf, saat dengan mudahnya, tangannya melepaskan pengait yang ada di punggung Zoe.“Kau tidak ingin aku berhenti bukan?” Wolf kembali bertanya dengan suara serak, saat bibirnya mengelus pelan bahu Zoe, sekaligus mendorong tali dan lengan gaun Zoe yang ada di bahu. Gaun itu menggantung miring, sebelum Wolf menarik sisi satu lagi dan membuatnya terpuruk menutupi kaki Zoe.Jawaban Zoe tidak mungkin jelas. Hanya desahan dan gigitan bibir. Hangat dan geli menggelenyar dari punggung Zoe, saat Wolf memberi sapuan pelan dengan ujung jarinya.Merayap dan meremas, mengalir mengikuti tulang belakang, lalu meniti tulang rusuk Zoe, menuju ke arah depan.“Wolf…” desah Zoe. Tidak tertahan lagi karena Wolf menggoda dengan tepat. Tidak langsung menyentuh, tapi berputar mengitari bagian lembut sebelum menyentuh ujung keras yang menandakan keinginannya.Wolf tertawa pelan saat merasakan tubuh Zoe meleleh dalam pelukannya, nyaris tidak bisa
“That’s look… amazing on you…” Wolf memuji—tersendat karena memang kecantikan Zoe mengagumkan. Gaun biru dan putih itu menjadi lebih indah lagi setelah Zoe memakainya dengan make-up lengkap. “Terima kasih.” Zoe berterima kasih tapi sambil memandang sekitar dengan panik. Ia sudah ada di stasiun TV, tempat dimana Wolf seharusnya tidak ada. Wolf tidak lagi mengirimkan pesan, tapi datang secara langsung sebelum siaran dimulai. “Kenapa kau datang?” tanya Zoe, sambil memastikan pintu tangga darurat itu tertutup. “Karena ingin melihatmu tentu.” Wolf menahan senyum. “Tapi tidak biasanya kau muncul disini! Bagaimana kalau ada yang melihat?” “Kenapa kau malah terlihat lebih khawatir dariku?” Wolf geli melihat kepanikan Zoe. “Karena aku tidak ingin kau tersangkut gosip, dan diriku juga! Bagaimana kalau ada yang melihatmu?” Zoe gemas. Kalau Wolf datang biasa saja—tidak menemuinya, mungkin Zoe tidak akan sepanik ini, tapi dengan sangat jelas Wolf tadi berjalan memasuki area yang dipakai pa
Ia melihat bagaimana Max dengan kepala menunduk turun dari panggung, dan semakin menikmati saat beritanya terbit kemarin. Para wartawan dan komentator musik benar-benar merajam habis penampilannya. Mereka mengerti kalau Max sakit, tapi berharap ia memilih untuk tidak tampil kalau memang keadaannya seburuk itu. Tentulah memalukan melihat penampilan musisi yang buruk saat acara penghargaan musik. Sakit itu alasan yang diberikan Max setelah acara selesai—perwakilan Nova yang memberi keterangan pers. Alasan yang tentu saja berupa kebohongan. Zoe amat tahu apa yang terjadi. Kaos kaki itu tidak akan pernah bertemu dengan Max lagi, dan mungkin sekarang sudah ada di negara bagian lain mengikuti arus sungai. Zoe lega kepercayaan Max atas hal tolol itu masih sama saat menemukannya kemarin. Max kemungkinan akan pulih, dan tidak akan lagi bergantung pada kaos kakinya setelah hari ini. Tapi Zoe telah berhasil membuat noda dalam karirnya. Dan guncangan itu akan mengganggu penampilannya selama
Wolf tahu Zoe akan mengagumkan, tapi yang dilihatnya sekarang lebih dari apa yang dibayangkannya. Pilihannya tidak salah, Wolf memang lebih menyukai penyanyi yang memiliki penampilan live yang menghanyutkan. Hampir semua penyanyi pilihannya seperti itu—bahkan Iris. Tidak semua penyanyi bisa melakukannya. Kebanyakan orang akan sangat sempurna saat berada di ruang rekamanan, tapi akan melempem saat penampilan live. Tidak ada emosi, kurangnya penguasaan panggung, dan biasanya terlalu peduli pada penonton. Komunikasi dengan penonton—dengan mempertahankan kontak mata, tapi seharusnya tidak sampai mempengaruhi emosi. Keseimbangan itu yang sulit di dapat.Tapi Zoe bisa melakukannya. Zoe menerapkan apa yang didapatnya dari Wolf dengan sempurna. Menggabungkan bakat dan pengetahuan yang di dapatkannya. Suara yang indah itu, kini membaur dengan senyum, lirikan mata, ayunan tangan dan emosi dalam setiap kata yang tertutur dalam nada itu. Keindahan itulah yang sejauh ini membuat posisi Zoe san
[Aku harus pergi. Ada urusan mendadak. Kau pylamg dsja dulu. Naik taksi]Pesan itu tidak lucu. Bukan hanya karena typonya sedikit, tapi pesan itu menyebalkan untuk Zoe.Zoe kecewa karena mereka tidak pulang bersama sesuai rencana, dan ia harus bersusah payah naik taksi. Tapi kekecewaan itu tidak terlalu penting, Zoe masih bisa menahannya.Kekecewaan terbesar Zoe saat ini adalah tidak adanya keterangan apapun dari pesan itu yang menyebut kemana tujuan Wolf. Padahal Zoe memerlukannya.Ia ingin tahu apakah Wolf akan bekerja atau melakukan hal lain. Zoe jelas curiga ia akan melakukan hal yang lain, karena pekerjaan Wolf biasanya terjadwal. Dan hal lain yang bisa berupa apa saja. Zoe menghela napas panjang sambil menatap ponselnya. Sejak tadi ia menimbang apakah perlu bertanya Wolf pergi kemana atau tidak. Tapi belum mendapat keputusan yang menyenangkan. Ia tidak ingin terkesan ribut dan mengganggu Wolf, tapi sulit sekali menenangkan hatinya dan percaya kalau Wolf tidak tengah melakukan
“LORIA MOREAU!”Zoe diam. Ia mendengar namanya, tapi tidak percaya kalau nama itu miliknya.“Wake up, Baby. And smile. It’s your’s.” (Bangun dan tersenyumlah. Piala itu milikmu)Bisikan Wolf itu akhirnya memunculkan emosi. Zoe memerah karena haru, baru bisa berdiri saat Wolf membantunya. Sayang Wolf tidak bisa mengantarnya ke panggung.Untungnya ada tangan Syanne yang membantunya, lalu Jacob yang ada paling dekat dengan panggung, membantunya meniti tangga agar sampai di atas.Zoe beberapa kali mengucapkan terima kasih pada orang yang mengulurka piala miliknya, sebelum akhirnya berdiri di hadapan mic untuk menyampaikan sambutan.Zoe menghela napas beberapa kali, menghapus air mata dan akhirnya bisa menatap ke arah kamera dan penonton—yang menunggunya dengan sabar.“Ini hal yang tidak pernah saya impikan, berdiri di sini dan menerima ini.” Zoe menatap piala yang ada di tangannya sekali lagi dan tersenyum.“Saya… sempat mengubur impian ini. Tidak lagi berharap untuk bisa bernyanyi—apalagi
“Zoe, tunggu. Apa hanya seperti ini?” Max terlihat kembali akan menyentuh tangan Zoe, tapi ditepis. “Zoe, kita punya masa lalu, dan…” “Exactly! Masa lalu yang sudah tidak signifikan lagi karena aku sudah menemukan masa depan yang indah. Tidak lagi menjadi kacung yang kau anggap seperti kain kotor!” Bentakan yang membuat Max terdiam dan kembali menunduk meremas tangannya. Zoe tidak lagi peduli apakah orang lain mendengarnya atau tidak. Ia ingin Max mengerti agar tidak lagi berusaha. “Kembalilah ke liang dimana kau berada, dan silahkan mengingat kenapa kau dulu memilih untuk membiarkanku mati. Agar kau sadar kenapa aku tidak akan pernah berkelas kasihan padamu!” Zoe menyambar kacamata hitam yang ada di meja lalu memakainya dan berjalan keluar. Urusannya berakhir. Ia kemarin juga sudah menolak permintaan Iris yang berusaha menghubunginya dari penjara. Zoe tidak ingin merusak harinya dengan mendengar omong kosong. Sedangkan Billy—ia tidak mencoba sama sekali. Diantara mereka bertiga
Zoe melakukan sesuatu yang tidak akan disukai oleh Wolf. Ia tidak akan berbohong, tapi akan mengatakannya nanti setelah selesai. Zoe ingin menyelesaikan ini sendiri tanpa campur tangan orang lain.Tentu saja tidak mudah. Ia melangkah dengan hati gelisah. Zoe beberapa kali menggeser kacamata hitam yang ada di atas hidung, sementara tangan yang lain menenteng bunga dan box hadiah berwarna pink yang cantik.Zoe gelisah karena tahu ia akan dikenali saat masuk nanti. Tapi sudah pasrah. Tidak mungkin juga menyembunyikan identitasnya sekarang—mengingat orang yang akan ditemuinya.Zoe menghampiri loket setelah ia menuliskan nama dan nomor tahanan di selembar formulir, dan menyerahkannya.“Silahkan tunggu di sana. Nanti akan kami panggil,” kata sipir penjara yang ada di belakang loket.Ia menatap Zoe beberapa kali saat ada sipir lain yang memeriksa bawaan Zoe—memastikan tidak ada benda terlarang diselundupkan, melirik untuk memastikan—bahkan membaca namanya yang ada di formulir, tapi tidak ber
“Ini.” Wolf menyerahkan cangkir pada Zoe. Zoe ingin menerima tapi tangannya masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponselnya. “Cliff benar-benar belum punya kekasih bukan?” tanya Zoe. “Hm? Untuk apa kau bertanya?” Wolf mengernyit curiga tentu.“Untuk Sara. Ia ingin meyakinkan karena tidak percaya pria seperti Cliff masih single.” Zoe mendecak sambil menunjukkan pesan yang dikirim oleh Sara untuknya. Menunjukkan kalau ia tidak berbohong. Ia memang bertanya untuk Sara bukan untuk dirinya. “Belum. Kata Clay ia sempat punya—wartawan atau MC, aku lupa. Tapi putus saat Cliff akan pindah dan ke sini. Entah dia pindah lalu mereka putus, atau putus dan baru pindah.” Wolf hanya mengulang kata-kata Clay tentu. Dan kini Zoe mengulangnya dalam bentuk pesan untuk Sara, dan mengirimnya agar tenang. “Bagaimana kau bisa tahu detail ini?” Setelah mengirim pesan dan mengambil cangkir bagiannya Zoe bertanya dengan heran. Pengetahuan itu terlalu mendetail—terutama saat berasal dari Wolf yang bias
“Tapi seharusnya dia ada di penjara…”Max mengingkari kenyataan sekali lagi. Baginya Loria masih tidak mungkin Zoe karena seharusnya ia ada di dalam penjara.“Tololmu tidak ada habisnya!” Billy menggebrak meja dan mengamuk. Mencekik leher Max dengan tangannya yang terborgol. Tentu saja segera terjadi keributan dan teriakan saat polisi yang berjaga menerjang Billy melumpuhkannya ke lantai.Tapi rupanya Billy benar-benar marah pada Max, karena ia masih memberontak dan memaki pada Max, meski ia sudah ada dalam posisi menelungkup.“DASAR OTAK UDANG! KEPALAMU ITU…”“SILENCE!”Bentakan Billy kalah dari hakim yang berseru menggelegar. Tidak hanya Billy yang terdiam, wartawan dan penonton yang ribut pun diam. “Sekali lagi ada yang mengganggu aku akan menjadwalkan ulang sidang ini! PAHAM?!”Sunyinya ruangan itu, hanya berarti mereka semua mengerti. “Bawa keluar. Mr. Dacosta, saya akan memastikan tindakan ini akan masuk dalam dakwaan Anda. Penyerangan, tindak tidak sopan dan mengganggu keter
Jaksa itu memulai dengan pertanyaan standar, tentang latar belakang Sara—pendidikan, berapa lama ia telah menjadi psikiater dan lain sebagainya. Baru setelah itu ia menyebut tentang Zoe. “Sejak kapan Ms. Zoe Anderson menjadi pasien Anda?” tanya Jaksa. “Lebih dari setahun.” Sara menjawab dengan jelas. Tidak terlihat lagi mode ceria yang biasa dipakainya saat berhadapan dengan pasien. “Bisa Anda jelaskan bagaimana keadaan Ms. Anderson saat itu?” “Zoe datang dengan keinginan untuk sembuh, karena ia menderita trauma berat yang sangat terlihat dan membuatnya tidak bisa menjalani kehidupan yang normal.” “Bisa tolong jelaskan lebih lanjut tentang trauma itu?” Sara mengangguk. Tenang karena semua sesuai dengan perkiraan yang diberikan Cliff. “Zoe datang dalam keadaan tidak bisa bicara, tapi hasil pemeriksaan dokter memperlihatkan kalau Zoe tidak menderita luka fisik lagi. Semua syarafnya normal tanpa gangguan, maka bisa dipastikan kalau keadaan tidak bisa bicara itu adalah hasil lain da
“Itu… Aneh. Kau jangan bercanda!” Iris menggeleng keras sambil menatap Zoe dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berusaha mengenali sosoknya sebagai orang yang sama—dengan yang dilihatnya dulu saat bersama dengan Max.“Apa aku pernah bercanda saat bicara denganmu?”Wolf membalas dengan datar sambil menarik kursi untuk Zoe. Kursi yang paling jauh dari Iris. Ia masih kehilangan kata-kata dan terus memandang Zoe.“Kau benar-benar Zoe Anderson?” Iris masih melotot ke arah Zoe.“Ya, sebelum mengubah nama menjadi Loria Moreau, itu adalah namaku juga.” Zoe membalas dengan tenang. Kegugupan yang tadi menghantui tidak lagi ada.Pertemuan dengan Iris itu mungkin tidak terduga dan nyaris menyebalkan, tapi Zoe merasa mendapat kekuatan, karena sangat sadar kalau ia saat ini berada di atas.Melihat Iris yang terkejut, Zoe merasakan kepuasan. Kemenangan karena berhasil menunjukkan dirinya yang baru kepada Iria. Bukan lagi perempuan kumal yang dulu ditemuinya—dan diabaikan karena dianggap tidak setara
Zoe mengusap rock dan blazernya yang berwarna cream netral. Pilihan dari Darcy agar Zoe tidak tampak mengintimidasi maupun muram. Ia tengah merasa gugup karena dari kejauhan bisa melihat bagaimana wartawan berkerumun di depan pengadilan. Mreka tentu saja menunggu sosok Zoe Anderson yang sama sekali misterius. Tidak ada yang memuat gambar Zoe dalam berita, karena memang tidak ada dokumentasi apapun dari kasus Zoe. Dulu Zoe terluka dan ada di rumah sakit, jadi sama sekali tidak menghadiri pengadilan sebagai tersangka. Tidak ada yang merekam wajahnya maupun tertarik untuk mencari tahu di rumah sakit karena kasus itu sangat jelas membuatnya menjadi tersangka. Zoe juga mengusap rambutnya yang berwarna kembali pirang. Ia tidak memakai wig hari ini. Pertama kalinya ia akan muncul tanpa rambut hitam—dan sejujurnya membuat Zoe lebih gugup lagi. Seolah melepaskan topeng yang selama ini melindunginya. Zoe akan menjadi Zoe di hadapan orang banyak, bukan lagi Loria. “Mereka akan terpesona pada
“Dia ingin menyelamatkan diri! Licik sekali!” Wolf mendesis kesal.Sudah jelas dari pernyataan Iris itu terlihat kalau ia memang hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan menyalahkan Max dan juga Billy.“Ia membuat mereka terkesan menekan dirinya untuk menyembunyikan kenyataan tentang Zoe. Iris lalu memakai alasan tekanan itu dan menjadikannya terlihat sebagai alasan semua perbuatan anehnya kemarin. Ia bersembunyi dari kesalahan dengan memakai alasan kesehatan mental.” Sara menggeleng dan tampak jengkel. Tentulah ia kesal saat ada orang yang menjadikan kesehatan mental sebagai kebohongan.“Dia berhasil keluar memakai sekoci sebelum kapalnya benar-benar karam.” Cliff memandang Iris yang terus terisak dan menangis diantara kata-katanya.“Tidak masalah. Biarkan saja,” kata Zoe sambil bersedekap dan menatap ke arah televiisi tanpa berkedip.“Apa maksudmu biarkan saja? Dia berbohong lagi!” Wolf juga menunjuk ke arah televisi dengan wajah tidak terima.“Setidaknya dia telah jujur, ba