"Maju kalian satu-satu!" ujar Razzor menggerak-gerakkan empat jarinya. Setelah itu, ibu jarinya menunjuk ke bawah sebagai isyarat, lawannya bukanlah apa-apa.
"Kami bukan manusia curang yang mengeroyok musuh! Aku akan melawanmu Razzor! Sampai kau mati, aku takkan mati!" teriak Aleksei lalu berlari maju dan melayangkan tendangannya pada dada Razzor.
Kekuatan tendangan Aleksei cukup membuat tubuh Razzor bergeser mundur dan membuat wajah Razzor meringis menahan rasa sakit. Aleksei pun maju dengan cepat lalu memukul kepala kiri Razzor dengan tangan kanannya. Raja mafia itu tersungkur ke kanany hingga hampir jatuh. Razzor memegangi ujung mulutnya yang terasa perih. Ia mengibas-ngibaskan kepalanya lalu berdiri seimbang.
"Hmm ... sedikit lumayan," lirih Razzor seolah serangan Aleksei tidak terlalu berarti apa-apa.
Razzor lalu melayangkan tinjunya. Dua kali serangan Razzor bisa mengena
Note: Bacanya perlahan-lahan ya karena setiap deskripsi gerakannya itu memerlukan konsentrasi dan visualisasi pembaca agar selaras dengan imajinasi penulis. 🤗Luna berdiri, mengusap kasar wajahnya yang tertutupi hijabnya."Kau laki-laki bodoh, Razzor! Aku tak pernah mengusikmu! Kau mengusik hidupku lebih dulu, bangsat!" umpat Luna dengan amarah yang sudah sampai ke ubun-ubunnya."Tak peduli. Bagiku, kau telah menghancurkan ketenangan istanaku!"Razzor berlari lalu menendang bahu Luna. Wanita itu mengunci dirinya sehingga tetap berdiri tegap meski rasa sakit itu merayap sangat cepat di persendian lengannya . Dengan cepat, Luna menangkap tangan Razzor yang akan memukul wajahnya. Wanita itu memelintir tangan lawannya ke belakang hingga secara refleks Razzor memunggunginya. Razzor berusaha memberontak, namun dengan kekuatan penuh, Luna menghantam punggung Razzor dengan siku kan
"Kau bukan siapa-siapa di sini, Sofia! Jangan campuri urusanku!" timpal Razzor.Tak ....Tak ....Suara langkah Luna menghentak. Wanita itu berjalan beberapa langkah ke samping kiri lalu kembali ke samping kanannya. Beberapa kali mondar-mandir dengan raut wajah murka. Razzor memperhatikannya serius."Kau sudah berani membuka hijabku dan mempermalukanku, Razzor! Sekarang rambutku kotor karena pandanganmu dan anak buahmu. Aku harus menyucikan kembali dengan darahmu!"Razzor mendecak, membuang rasa ngeri yang tiba-tiba menelisik di dalam hatinya. Kalimat wanita itu begitu dalam masuk ke dalam pikirannya lalu mengusik keberaniannya. Baru pertama kali ia menemukan seorang wanita yang sangat marah ketika penutup kepalanya dibuka padahal itu adalah hal yang normal. Laki-laki itu meludah membuang perasaan aneh dalam dirinya."Cuuih! Jangan berani menggertak
"So-sofia ...," lirih Razzor menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Tiba-tiba tulang-tulangnya terasa menyusut, tak mampu menahan beban tubuhnya yang kekar. Darah kental hitam terus mengucur deras dari arah tengkuknya. Namun ada yang lebih deras dari darah itu. Air mata Sofia tak berhenti mengalir dari dua kelopak matanya. Wanita itu terengah-engah seperti udara begitu sangat sulit untuk ia hirup. Gemetar sekujur tubuhnya, ikut luruh bersama tubuh suaminya. "Razzor!" pekiknya meraih tubuh yang lemah itu. Nafas laki-laki yang dipanggilnya itu tersenggal, bibirnya memucat. Sofia memeluk Razzor dengan tangisan yang terdengar sangat menyayat hati. "Maafkan aku Razzor! Maafkan aku!! Aku berjanji akan membunuh diriku sendiri setelah ini!!!" teriak Sofia mencoba meraih pisau yang tertancap di belakang leher suaminya. Dengan cepat, Sofia mencabut pisau di tengkuk Razzor. Laki-laki itu berteriak kesakitan. Sofia pun mengangkat pisau itu, tepat di atas dadanya. Plaak! Razzor menepis tangan S
Sofia mengusap air matanya yang terus menggenang, agar pandangannya sedikit lebih jelas. Ia berusaha mengangkat tubuh suaminya. Namun Razzor meremas tangan Sofia memberi isyarat. Razor menggeleng dengan perlahan sembari menarik nafasnya dengan sangat kuat. Ia tahu, sebentar lagi, mungkin dalam hitungan detik, jiwanya akan pergi meninggalkan raganya."Ku-kuuumohoon ...," lirih Razzor hampir tak terdengar.Meski terasa sangat sulit, Sofia menutup matanya. Sekuat tenaga ia membuka mulut, mencoba mengingat lirik lagu yang paling dia sukai saat masa gadisnya.Terlalu indah dilupakanTerlalu sedih dikenangkanSetelah aku jauh berjalanDan kau kutinggalkanSofia berhenti lalu kembali terisak kencang. Wanita itu tak punya kesanggupan untuk memandang suaminya. Terasa tangan kekar Razzor mengelusnya perlahan. Sofia kembali bersenandung.Betapa hatiku
"Jaga mulutmu! Aku adalah mertuamu," ujar Ratih lalu membuang wajah. Ada rasa takut yang menyelimuti hati Ratih namun rasa benci yang menggunung, membuatnya tak ingin nampak kalah di depan menantunya. Tak berkelip mata, Luna mengelus rambutnya yang masih basah oleh darah Razzor. Wanita itu seolah tak peduli, semua tatapan sedang tertuju padanya. Tepat di wajah mertuanya itu, Luna mengelus pipi Ratih dengan ujung rambutnya. Wanita tua itu hanya terus menoleh pandang, menunduk. Ia tak memberontak saat bau amis cairan kental itu menusuk hidungnya. "Justru kaulah yang harus mengunci mulutmu seumur hidupmu itu, Mama Mertua. Semua kehancuran ini adalah bermula dari mulut jahatmu itu. Bahkan sampai kehormatan aurat yang telah kujaga sampai setengah mati, kini terbuka bebas. Kau yang harus menanggung dosa ini!" teriak Luna di depan wajah Ratih. Tiba-tiba saja air mata Luna jatuh berderai hebat. Semua penderitaannya sejak menikah bagai kilatan yang terus memenuhi otaknya. Semua bergantian
Sofia mencoba menangkap kerah baju Ratih namun Ratih dengan cepat menghindar. "Kamu sendiri yang membunuh suamimu, Sofia! Harusnya kamu bunuh dirimu itu kalau kamu benar-benar menyesal!" Mendengar ucapan Ratih, emosi Sofia semakin tersulut. Wanita berkuncir itu meraih kasar tas jinjing yang menempel di bahu Ratih lalu menariknya ke atas hingga kepala Ratih masuk ke dalam lingkaran tali tas itu. "Aaahhh!!! Lepaskan!!!" teriak Ratih saat tas itu ditarik kasar oleh Sofia. Ratih mencoba melepaskan diri namun Sofia meremas tas itu hingga talinya menjerat leher Ratih. Ratih terseret dengan sangat kasar ke arah tengah alun-alun. Merah padam wajah wanita tua itu karena merasa akan kehabisan oksigen. Sekuat tenaga, Ratih melonggarkan tali tas di lehernya. Sekali saja hirupan nafas itu sangat berarti baginya. "Hay kalian! Apapun pandangan kalian padaku, aku tetaplah pemimpin kalian! Apa ada yang berani membantah?! Maju dan lawan aku sekarang!" tantang Sofia dengan wajah mengerikan. Sedan
Luna langsung melompat dari batu hitam tempatnya duduk lalu berlari menuruni anak tangga singgasana itu. Serasa detik begitu lambat dan lorong tempat suaminya berada sangat jauh. Sofia pun ikut melesat mengejar. Ketika sudah sampai di ujung lorong, Luna menyeret kakinya untuk berhenti. Terlihat Yudha sedang memeluk tubuh ibunya yang menggelepar. Busa hitam keluar dari mulut sedangkan kedua bola mata wanita tua itu melotot hebat. Panik luar biasa, Yudha mengguncang-guncang tubuh ibunya dengan keras. "Maa!!! Maaaa!!!" "Tolong, Dek! Tolong Mama, Dek!" teriak Yudha ketika melihat Luna di ujung lorong. Luna tak berucap apapun, hanya diam saja. "Dia pasti digigit ular hitam seperti yang kita temui di bawah sana," desis Sofia. "Apa tidak ada penawarnya?" tanya Luna seolah belum berkedip dari pandangannya menyaksikan tubuh Ratih yang bergerak-gerak kejang. Sofia menggeleng. "Kalau ada pelayan atau pengawal yang berkhianat, mereka akan menemui kematiannya tanpa ampun oleh gigit
tak ada tanggapan dari Aleksei. Laki-laki itu justru mendekati istrinya dengan tatapan dingin. Ratna terlihat gelagapan. "Hari ini, aku wujudkan ucapanmu itu, Ratna. Mulai detik ini, kamu, Ratna Astuningtyas bukan istriku lagi. Sekarang kamu bebas melakukan apa saja yang kamu mau. Kamu sekarang boleh menikah dengan laki-laki manapun yang kamu mau." "Yah. Aku terima, Mas. Aku terima dengan suka cita! Terimakasih! Sekarang, kamu pun bisa bebas bersama wanita yang kamu cintai. Justru aku yang akan membantumu untuk mewujudkannya. Aku akan meminta Abangku untuk menceraikan istrinya." Plaaaaak!!! Sebuah tamparan akhirnya melayang di pipi Ratna. Aleksei mengigit grahamnya dengan tangannya masih gemetar. "Ayo tampar aku lagi Mas! Tampar! Bila perlu, bunuh sekalian! Aku sudah capek. Hidupku sedang dikutuk karena menjadi istrimu!" "Potong tanganku, Ratna! Aku memang salah. Aku yang salah. Dari awal, akulah yang salah." Ratna menepis kasar tangan Aleksei. Aleksei menurunkan tangannya
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege