vote GEMnya ya kak š
Flash Back .... "Ampuni saya, Queen. Saya tidak memiliki pilihan!" seru Jamila memohon pada Sofia. Di belakangnya, dua pengawal sedang menodongkan senjata, siap merenggut nyawanya. Plaaaak! Plaaaaak! Tamparan beruntut mendarat di pipi Jamila dari tangan Sofia. Pelayan itu hanya pasrah dan tak memberontak sedikit pun. Bahkan Sofia juga menjambak rambut Jamila lalu menghempaskan wanita itu di lantai dengan keras. Jamila hanya meringis, menyesap darah yang muncul dari bibir dan dahinya yang pecah. "Lepaskan dia! Dia tidak bersalah! Jangan kau alihkan menghukum kami untuk menutupi perbuatan menjijikanmu itu!" seru Eldor yang diikat di tiang kamar Sofia. Ia berusaha melindungi Jamila sesuai janjinya. "Siapa yang peduli?! Aku yang berkuasa di sini." Sofia tersenyum, mencebik. Untuk kali pertama, putranya peduli dengan seorang pelayan. "Apa yang dia janjikan putraku padamu sehingga kau berani mengkhianatiku?" lanjut Sofia menoleh pada Jamila. "Sa-saya ....""Dia hanya seorang pelayan ya
"Bagaimana kondisimu sekarang?""Sudah jauh lebih baik," jawab Karmila masih dengan perban di wajahnya. Sebelumnya, wajahnya bernanah karena jerawatnya pecah. Karmila hanya terus menangis karena tidak sanggup dengan kenyataan yang sedang dia hadapi. Dia sudah menuntut klinik dokter tempatnya membeli krim. Namun justru dia yang tersudutkan karena hanya dia yang mengalami hal aneh seperti itu. Apalagi, dia sudah menjadi pelanggan VIP di sana. Karmila justru dituduh sedang akan memfitnah karena membawa krim hitam dengan wadah yang sama dengan milik klinik itu. Tak ingin memperpanjang, Karmila pasrah. Bahkan masalah itu dianggap berlebihan oleh putra putrinya. Karmila semakin sedih karena merasa sendiri. Anak-anaknya justru memarahinya karena sudah tua tapi masih menggunakan perawatan dokter. "Mama itu harus banyak ibadah, sudah tua, bukannya perawatan aneh begitu. Maaf, aku gak bisa pulang. Ujian tesisku sebentar lagi.""Aku juga gak bisa pulang. Pekerjaanku padat sekali," ujar yang lai
"Aku ingin keluar, Bell! Hampir mati aku kau kurung di sini!""Nanti, belum saatnya," ujar Bella duduk di kasur dan bersila di depan laptop. "Kenapa kakimu berdebu putih begitu?" tanya Silsilia. Bella menoleh kakinya. Ia langsung mendecak. "Cih ... bagaimana aku tidak menyadarinya? Aku harus lebih hati-hati lagi," desis Bella hampir tak terdengar. Ia tak ingin membahasnya. Baginya wanita gendut yang bersama Yudha itu hanya seperti semut di matanya. Sekali injak, selesai. Bella fokus pada layar laptopnya dan memperhatikan hasil rekaman cctv yang dia pasang untuk memantau Zaenal. Beberapa hari, tidak ada yang seperti ucapan Silsilia. "Sepertinya ini sia-sia, Silsilia. Tak ada pergerakan yang seperti kau sebutkan. Sudahlah, hancurkan saja," ucap Bella mencabut kamera CCTV yang menempel di dinding putih itu. "Jangan, Bell!!!" teriak Silsilia mencoba menahan tangan Bella. Sejak ada cctv itu, ia merasa jauh lebih tenang. Seperti sangat hening karena dia hanya mendengar jantungnya sendiri
Scene sebelumnya... Sofia sedang menyisir rambutnya yang hitam legam sembari menoleh pada foto Razoore. Perlahan dia meraih bingkai foto itu lalu mengelusnya pelan-pelan."Andai dulu aku tidak bodoh, pasti kita sudah menua bersama. Andai aku tidak egois, kau pasti tidak akan menggila. Andai saja," desis Sofia. Tiba-tiba saja air matanya menetes dan ia cukup terkejut melihat air mata yang jatuh itu berwarna keruh kecoklatan. "Aku sudah hilang, Razoore. Aku tahu, semua ini menggerogotiku semakin dalam tapi aku tidak akan berhenti. Karena apa? Karena aku selalu kalah, selalu tak berharga sejak kau pergi. Hanya saat aku bersamamu, aku memiliki harga. Hanya saat kau memujaku dan mengorbankan banyak hal untukku, rupanya itulah saat aku menjadi berarti. Kini aku merindukanmu, Razoore. Sumpah demi darahmu, ambillah nyawaku sekarang," lirih Sofia dengan air matanya yang deras menetes. Tok! Tok! "Queen, Nona Aletha ingin menemui Anda."Belum sampai Sofia menanggapi, Aletha sudah masuk denga
Bella hampir mendekati kamar Sofia dan Luna tahu apa niat wanita itu. Ia pasti tidak akan membiarkan Luna dan Aleksei masuk. Lihat saja, cara berlari Bella yang bahkan tak ragu untuk melompati dinding dan berlari menggunakan dua tangannya. "Wanita ini mengerikan," desis Luna menambah kecepatannya. Ia menatap pada Aleksei dan mengangguk memberi isyarat. Bella langsung mendobrak masuk ke kamar Sofia dan menarik daun pintu dengan cepat. Dia akan segera menutup pintu batu itu. Aleksei mengeluarkan pinstolnya ....Duaar! Duaaar!!!Bella terkesiap luar biasa. "Kurang ajar!" teriak Bella memekik melepaskan genggaman tangannya. Luna langsung melompati dinding batu lalu mendobrak pintu itu hingga bergetar. Wanita itu langsung mendorong pintu dari arah samping dengan sangat keras menggunakan kakinya. "Wanita sialan," umpat Bella lagi dengan napasnya terengah-engah. Luna pun tak kalah memburunya. Ia membuka cadarnya dan menatap Bella dengan tatapan marah. "Kau yang sialan! Apa tujuanmu mengh
Aletha hanya terus menutup setengah wajahnya karena mengintip segala sesuatu yang sedang terjadi. Ia tak menyangka mertuanya sudah tak memiliki akal lagi. Ketika dia melihat Luna dan Aleksei keluar bersamaan, ia begitu terpesona. 'Akan lebih mudah membelah batu gunung daripada memisahkan Nyonya Angel dan hacker itu' batin Aletha. Sekarang dia kembali merapatkan dirinya di ujung pintu untuk mencuri dengar apa yang terjadi dalam ruangan itu. "Aku ingatkan padamu lagi, berhenti mencapai klimaks untuk sementara waktu ini. Itu mempengaruhi hormon tubuhmu, Sofia! Tunggu kau lebih matang lagi. Apa telingamu itu tuli?!""Dia telah menceraikan aku karena aku telah tidur dengan pria lain tanpa aku sadari. Sekarang, aku akan tidur bersama banyak pria sampai mati." Sofia menelan salivanya penuh amarah. "Wanita gila! Apa yang kau dapatkan dari perbuatanmu ini ha?! Bahkan Aleksei semakin jijik padamu!"Sofia diam. Dadanya naik turun menahan kemarahan. Bahkan pemandangan Aleksei yang baru saja pe
Stella sedang meeting dengan rekan bisnisnya sampai dia mendapatkan sebuah kertas kecil dari bodyguardnya. "Oh My God?!" Stella berbinar tak menyangka. "Sorry Mr. Meck. In this time, I have very urgent business. You can discuss our project with my secretary. In essence, if your type of alcoholic drink can only give my bar 5% profit in just one week, i will consider it. Thank You."[Mohon Maaf, Tuan Meck. Saat ini, saya memiliki urusan yang sangat genting. Anda bisa mendiskusikan proyek kita dengan sekretaris saya. Intinya jika jenis minuman alkohol milik Anda bisa memberi keuntungan 5% saja pada bar saya dalam tempo satu minggu, saya akan mempertimbangkannya. Terimakasih.]Stella langsung menjabat tangan pria bule itu lalu segera keluar. "Dimana dia?!""Di kediaman Anda, Nyonya.""Oh Tuhan, aku ingin memiliki sayap sekarang," desis Stella berlari kecil menuju parkiran dan langsung meluncur bersama mobil hitam mewah peninggalan suaminya. Setelah sampai rumah, Stella kembali berlari me
"Aku izinkan kau keluar dari rumah ini asalkan kau pulang bersama Jono." Mendengar ucapan Luna, Helena tidak menjawab apapun. Dia terus saja melangkah dengan derai air matanya. Jono berlari mempersilahkan Helena masuk ke dalam mobil dan gadis itu tidak memiliki pilihan lain. Ia tidak ingin berada di tempat itu berlama-lama. Setelah beberapa kilometer terlalui, Helena kembali mengusap air matanya dan menoleh pada Jono yang terlihat datar. "Apa Pak Jono ada saat kejadian kematian ibuku?" tanya Helena terisak. Sejenak Jono hanya diam. "Aku sudah tahu, Pak. Ibuku dibunuh oleh pria bernama Eldor itu! Jadi katakan padaku, apakah saat ibuku meninggal, kau melihat kejadian itu?!""Bahkan aku tidak sendiri, Non. Aku bersama adikku, Jene. Subuh itu, kami sudah melawan tapi kami kalah. Kami mengira subuh itu adalah ajal kami. Kami tidak tahu apa-apa setelah babak belur. Yang pasti kejadiannya subuh. Jujur, saya pernah mendengar Nyonya Angel menangis di dalam mobil ini saat akan menziarahi makam
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege