"Sini, gak apa-apa sayang. Kamu pakaianku dan aku pakaianmu. Kamu harus percaya sama aku," bujukku perlahan menggosok tubuhnya dengan busa sabun.
Luna diam dan membiarkan tangannya menyusuri setiap inci kulitnya. Di bawah penerangan kamar mandi ini tampak kulit istriku yang hancur oleh api. Tidak hanya tubuhku yang basah, hatiku juga basah. Air mataku jatuh bercampur dengan shower yang berada di atas kepalaku. Aku tak mampu membayangkan, bagaimana penderitaan istriku dan perjuangannya untuk hidup. Hatiku pasti terbuat dari batu jika setelah ini aku tidak semakin mencintainya.
Hari ini aku yang mempersiapkan sarapan. Kutelpon salah satu karyawan kepercayaanku, mengabarkan bahwa aku akan datang terlambat. Tak akan kugangu Karmila. Biarlah dia menemukan kebahagiaannya seperti yang dia ucapkan.
Ting tong ting tong!
Luna membuka pintu. Masih jam 09.00 pagi, Ayu Ruminang sudah muncul. Dia mendelik menatapk
"Jadi, yang menyiksamu itu Diana, art Yudha?!" teriak Ratih dengan nafas terengah-engah.Carla mengangguk."Diana adalah Luna?!"Lagi-lagi Carla mengangguk berkali-kali."Kutu busuk! Aku sempat curiga tapi melihatnya kesakitan, aku terlalu senang hingga aku lupa, bisa jadi dialah musuh yang kita cari. Ini tak bisa dibiarkan. Aku akan menyeretnya dan membakarnya hidup-hidup!" teriak Demian."Luar biasa penyamaran wanita itu. Sampai-sampai kita tak menyadarinya. Apa Yudha tahu? Aku yakin, selama ini dia tak menyadari, istrinya ada di dekatnya. Lagi pula, laki-laki mana yang mau sama wanita cacat?!" cebik Ratih."Jadi apa rencanamu?" tanya Demian."Apalagi selain culik dia dan bakar dia hidup-hidup! Dia telah menyebabkan kehancuran bagi keluarga ini. Nindi dan Carla begini karena dia! Hancurkan dia sekarang!" berang Ratih.
"Kau kira aku masih bernafsu padamu? Kulit tikus got jauh lebih bagus dari kulitmu!"Luna menatap nyalang. Masih terasa sentuhan tangan Demian dan itu membuatnya merasa sangat kotor. Api amarahnya pada laki-laki itu sudah sampai ke ubun-ubunnya."Jangan kau jadi pecundang! Caramu melumpuhkanku sangat curang! Aku yakin, Aderald tak pernah mengajarkanmu cara curang. Kau belajar darimana hah?!""Diam kau wanita buruk! Kau jangan bawa nama ayahku. Ayahku bukan pelayanmu! Kau tak berhak memanggil namanya saja!"Luna mencebik."Harusnya kau melihat bagaimana ayahmu bersujud di kakiku," lirih Luna yang membuat kaki Demian menendang perutnya."Aaaarrrghhh!!!"Luna mengerang merasakan rasa sakit yang luar biasa. Ia menahan nafasnya yang terasa akan putus. Bekas caesarnya terasa seperti akan membuka kembali. Luna menggigit bibirnya kuat-kuat.
"Kenapa kau berikan aku lawan yang ringkih dan cacat Demian?" tanya Jeni mendekat dan memperhatikan Luna yang tanpa hijab. Wanita yang setiap hentakan kakinya menimbulkan suara gemerincing itu berputar, mengitari Luna dengan tatapan sinis. Senggaja ia menghentak lebih keras agar menimbulkan rasa takut pada musuhnya."Bagaimana dia bisa melawanku dengan tubuh lemah begini?" lanjut Jeni mendelik ke arah Luna. Jelas terlihat olehnya, kulit gosong wanita bergamis hijau tua itu."Jangan banyak bicara kau! Lepaskan saja tali ini dan mari kita bertarung!" tantang Luna."Meskipun kau tampak lemah, besar juga nyalimu, ya! Bertarung sampai mati, berani? Bukankah itu lebih menantang. Bagaimana?""Tanyakan pada tuanmu, apakah dia sudah siap kehila
"Anakmu terlihat seperti steak. Ingin rasanya kukuku ini mengiris-iris kulit lembutnya itu," bisik Jeni di telinga Luna yang terengah-engah."Jangan berani kau sentuh anakku! Nyawamu yang akan membayarnya!" teriak Luna menghentakkan kakinya sekuat tenaga.Demian membawa Farid mendekat. Bayi itu diangkat hanya dengan tangan sebelah."Jangan! Jangaaaaan! Jauhkan anakku dari iblis ini!" teriak Luna yang semakin ditindih oleh siku Jeni."Jangan sentuh anakku! Kau akan kukejar sampai ke neraka sekalipun!!!" teriak Luna lagi bersamaan dengan tangis Farid. Jeni tersenyum mengulurkan tangannya. Dengan tangan kirinya, Jeni menyentuh bayi mungil yang menangis itu.Srrrrt...Tes ...Tes ...Menetes darah dari paha Farid yang membuat Luna seperti tak bernyawa lagi. Tangisan bayi itu memekik kesakitan. Terdengar sangat lama, barul
Tampak Demian semakin mundur melihat Luna yang mendekatinya hingga badannya sudah tak bisa bergerak lagi karena sudah buntu oleh dinding aula itu. Demian berusaha bangkit tapi kaki Luna menendangnya hingga suara kepala Demian terdengar menghantam dinding. "Bukankah sudah kukatakan, bahwa aku akan mengeluarkan jantung peliharaanmu itu? Sekarang terimalah!" Luna melempar jantung Jeny ke arah Demian. Tak dielakkan, jantung itu jatuh tepat di Demian. Secepat kilat, refleks laki-laki itu mundur dan segera menyingkirkan benda yang masih berdetak lemah itu. Tangannya yang sempat merasakan hangatnya jantung itu bergetar dengan darah yang lengket. Demian segera mengusap kasar tangannya di lantai. Kengerian dan ketakutan bercampur jadi satu. Luna tersenyum melihat Demian yang menciut. Dia mendekati laki-laki itu. "Bagaimana kalau kita dealkan caraku membunuhmu seperti apa?" tanya Luna yang membuat Demian memucat. "Kaa-kaau iblis! Kau bukan manusia!" ucap Demian dengan mata membelalak ketaku
Mendapatkan panggilan dari Aleksei, hatiku tiba-tiba berdebar. Mengapa ia bertanya tentang keberadaan Angel, membuatku menjadi was-was. Bagaimana juga dia tahu aku sudah mengenali istriku? Aku bahkan tak pernah bercerita padanya. Aku yakin, pastilah Ayu Ruminang yang membagi informasi.Belum sempat kuberpikir, salah satu karyawanku memintaku menuju ruang rapat. Aku berusaha mengabaikan panggilan Aleksei tadi. Setelah rapat, tiba-tiba aku teringat ucapan Om Demian yang memintaku menghubunginya jika pulang. Ada apa ini? Seolah-olah mereka berkelindan bertaut. Kulihat jam tanganku, baru jam 2 siang. Aku memutuskan untuk pulang.Entah kekuatan angin apa, aku melajukan mobilku dengan sangat cepat. Memasuki gerbang, justru hatiku makin tak tenang. Mataku membelalak melebar melihat pemandangan di depanku. Rumahku seperti kapal pecah. Aku gemetar. Dadaku bergemuruh hebat. Anak dan istriku, ya Allah.Aku berlari mencari keberadaa
"Kenapa malah diam begitu?!" pekik Ayu Ruminang melototkan matanya.Aku terkejut luar biasa melihat wanita itu sedang memapah Luna yang berlumuran darah dengan baju compang- camping. Luna berdiri menyandar di bahu Ruminang dengan mata tertutup. Tampak dia begitu sangat tak berdaya. Sedang di sampingnya, terlihat Aleksei menggendong bayi. Pastilah itu Farid.Aku langsung melompat, berlari dan mengambil tubuh Luna yang lemah. Bau anyir di seluruh tubuh istriku membuatku mual. Aku yang sedang memakai kemeja berwarna biru muda berubah menjadi kemeja merah darah karena memeluk Luna."Kenapa tidak langsung kalian bawa ke rumah sakit?!" pekikku merebahkan Luna di sofa ruang tamu."Aku tak ingin diwawancarai dan mengundang kecurigaan orang. Lagi pula, dia sendiri tak mau dibawa ke rumah sakit," jawab Ayu Ruminang."Tapi bagaimana kondisinya bisa membaik? Dia tampak kehabisan darah ini!"
"Ponselmu dari tadi berdering, coba cek," ujar Karmila membuyarkan pikiranku. Aku menolehnya yang sedang merapikan perlengkapan medis.Kuraih ponselku yang kuabaikan deringannya sedari tadi. Tampak Ratna sedang menelponku."Baaaaang!!! Dari tadi aku hubungi kamu! Kemana aja Abang?" teriak Ratna dari seberang."Kenapa Na?" tanyaku dengan jantung berdebar. Ada apa lagi ini?"Om Demian, Bang! Dia ... Dia ...."Ratna tergagap-gagap."Ngomong yang jelas, Ratna!" pekikku."Om Demian sekarang lagi dirawat di rumah sakit!""Apa?! Kenapa lagi?!" Suaraku membuat Luna membuka matanya. Karmila mendekatiku."Kondisinya mengerikan. Tangan dan kakinya patah. Benar-benar patah Bang! Kondisinya sekarang kritis! Abang segeralah datang!"Aku menutup mulutku seperti tak percaya dengan yang kudengar. Bencana apa ini? Mengapa berturut-turut begini!? Apakah keluargaku sedang dikutuk?!Aku shock. Lemas rasa tubuhku."Mari kuantar," ujar Karmila."Tapi bagaimana dengan Luna?" tanyaku memandang istriku yang sud
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege