"Gimana rasanya tinggal di rumah mewah seperti istana?" tanya Ratih pada menantunya.
"Maksud Mama?"
"Yaah ... kan Mama tahu, kalian mafia lebih senang tinggal di tempat tersembunyi biar kejahatan kalian tak mudah diendus. Bisa di hutan, di bawah tanah," ujar Ratih memojokkan Luna.
"Dah kayak tikus dong, Ma," cerocos Nindi.
Wanita bercadar itu menarik nafasnya kuat-kuat. Ia terus berbicara dalam hati bahwa kedua wanita ini adalah ibu dan adik suaminya. Ia hanya perlu tetap sabar.
"MANTAN ya, Ma. Setiap orang punya kesempatan untuk berubah menjadi orang baik. Apalagi buat yang berumur, harus lebih banyak ingat Tuhan," sindir Luna.
Ratih diam seketika. Wanita itu mencebik membuang pandangan.
"Sebenarnya aku sedang memohon pada Allah supaya dikasih k
Aku mondar-mandir di dalam ruangan kantorku. Kokom masuk. "Gimana, Kom? Mereka kok belum konfirmasi. Katanya sudah deal," ujarku merasa kesal. Aku sudah menunggu kedatangan mereka namun tak ada satupun yang muncul. Sebelumnya, empat hari yang lalu mereka sendiri yang meminta perusahaanku mengirim flyer proposal kerjasama. Lalu hari ini menjanjikan pertemuan untuk menanam modal. Sekarang malah menghilang begitu saja. "Kalau belum rezki ya sabar, Big Boss. Tumben banget mukanya kesal begitu," tegur Kokom. "Aku gak kesal karena mereka cancel, Kom. Cuma hari ini aku bela-belain gak temani istriku cek kandungan gara-gara mereka itu. Ini moment penting buat aku lo. Mana dari tadi ponsel istriku juga tak bisa dihubungi, ponsel ibu dan adikku juga off. Gimana aku tak was-was," hentakku kesal. Kokom mendekatiku, dan menyomot minuman isotonic di atas mejaku. "Otewe ngidam aja dah njelimet begini, apalagi nanti nich beneran hamil Mbak Luna, hihihihi," goda Kokom. "Udah akh. Aku pulang ajal
Ratih duduk dengan leher yang menegang. Gips pada lehernya cukup membantunya merasa nyaman."Jangan sampai leherku terlihat tak jenjang lagi," keluh Ratih mengelus-elus perban yang membalut lehernya."Tak apalah, Mbak. Hitung-hitung pengorbanan buat melenyapkan wanita sialan itu," timpak Carla yang disambut senyum oleh kakak laki-lakinya."Kalian ya, senang sekali melihat aku menderita. Ini sakit sekali!" seru Ratih kesal."Sabar dulu ya Mbak. Oh ya, barusan Yudha datang melihat jenazah itu. Sepertinya saat ini dia sangat shock sampai-sampai tak kembali ke sini," ujar Carla."Semoga dia tak curiga, mayat itu bukan istrinya. Orang suruhan kalian tak becus! Bagaimana bisa, wanita bercadar itu tak ada di dalam mobil. Harusnya dia sudah menjadi arang!" omel Ratih.Carla menggenggam tangan kakak perempuannya."Tenanglah, Mbak. Yang penting kit
"Saya mewakili kedua teman saya, silahkan ikuti saya ke ruangan," perintah salah satu dokter yang terlihat paling tua. Sepertinya dia adalah senior. Kedua rekannya mengangguk, mempersilakannya untuk berjalan lebih dulu. Ayu Ruminang mengikuti mereka. Wanita seksi itu mencoba menutupi dadanya dengan syal hitam yang bertengger di lehernya. Ia terlalu sungkan untuk berhadapan dengan ketiga dokter itu dengan pakaiannya yang sekarang. "Saya harap, dia tetap hidup, Dok," ucap Ayu Ruminang memulai percakapan. "Kami memiliki dua berita sekaligus. Berita gembira dan berita buruk. Anda ingin mendengar yang mana lebih dulu?" "Berita buruk," ucapnya. Setidaknya dia memiliki harapan berita baik. Wanita sensual itu tegang. "Pasien mengalami luka bakar tingkat 3, dalam arti, ini sangat parah merusak jaringan lebih dalam sampai ke otot dan tulang. Beberapa bagian tubuhnya sudah dalam kondisi gosong. Kaki, tangan terutama bagian pipi, rahang. Bisa dipastikan akan butuh lama untuk pasien bisa stabi
Aku hanya terus mematung menatap cincin berlian yang diberikan Kokom setelah jenazah itu dikebumikan, tepat di samping makam kakekku."Seharusnya kamu hadir ketika pemakaman istrimu. Setidaknya kamu bisa mengantarkannya ke istirahat terakhirnya.""Sudah kukatakan, dia bukan istriku, Kom! Dia bukan Luna-ku," tegasku marah."Cobalah menerima kenyataan, Sayudha! Kamu membuat malu dirimu sendiri. Sebagai lelaki, kamu sangat lemah," cecar Kokom."Kamu belum pernah kehilangan orang yang kamu cintai, makanya kamu seenaknya saja berucap.""Jangan lupakan, ibuku sudah meninggal sejak kita masih kuliah. Apa ada kehilangan yang sesakit ditinggalkan seorang ibu?"Tatapan wanita gendut itu mengintimidasiku."Aku tahu kamu sedang berduka tapi kamu harus ingat, kamu adalah pemimpin sebuah perusahaan besar. Kamu harus kuat, Sayudha! Di pundakmu, banyak b
Aleksei memapahku masuk. Laki-laki kekar itu menuju dapur. Hari dimana jenazah wanita berhijab itu dibawa pulang, hari itu juga aku meninggalkan rumah mewah peninggalan kakekku. Aku tak ingin melihat jenazah itu meskipun semua orang memaksaku untuk mengakuinya.Tak lama, Aleksei membawa sepotong roti panggang dengan daging di dalamnya. Segelas susu hangat tersaji siap untuk aku santap. Aku pun lahap. Rasa lapar di perutku memaksaku terus untuk mengunyah."Jadi benar, cincin ini ada di jari Angel?" tanya Aleksei setelah memberiku segelas air.Aku menganguk."Sejak pertama kupasangkan saat pernikahan kami, dia selalu memakainya," jawabku pelan dengan dada yang terasa penuh.Pemuda kekar itu terlihat menghirup udara dengan sangat kuat. Terlihat urat-urat di wajahnya menegang."Bagaimana bisa Angel menyupir sendirian?""Dia bersama Mama dan Nindi. Me
Kliiik ....Suara pintu tertutup spontan membuat Ratih dan Nindi membuka mata. Penampilan mereka sudah seperti mumi yang bangkit."Carla! Cepat!" seru Ratih bergerak-gerak tak nyaman."Jangan lama-lama Tante!" Nindi memanyunkan mulutnya.Carla yang baru saja menutup pintu setelah melepas kepergian Yudha dan Aleksei mencucut kesal dengan sikap kakak dan keponakannya itu."Kalian jangan heboh! Kalau Yudha sama Aleksei itu sadar, bisa mampus kita!" omelnya memanggil asistennya yang sedari tadi bersembunyi di dalam kamar mandi."Cepat, bantu aku membuka perban mereka!" perintahnya sembari melepas helaian demi helaian di tubuh kakaknya."Hampir saja aku kehilangan kesabaran. Dililit begini benar-benar membuat badanku kaku semua," gerutu Ratih melepaskan perban di wajahnya."Tante, pastikan mereka tak datang lagi!" ta
"Sudah berapa menit dia mulai bersuara?" tanya dokter Adipura mengecek denyut nadi Luna. Gavin mundur dan fokus melihat gerak gerik dokter senior itu. Matanya terpana ketika dokter Adi membuka kelopak mata Luna. Pupil Mata bulat dengan warna biru keabuan yang indah. "Pasien masih belum sadar namun ini pertanda baik. Dia sudah bermimpi dan bisa mengigau. Jika terus disuport, saya yakin, pasien akan segera sadar sepenuhnya," kata dokter Adipura. "Baik dok," jawab Gavin mantap. Setelah perban Luna diganti, laki-laki tinggi kekar itu kembali menunggu wanita itu. Kali ini ia memberanikan diri mengelus rambut Luna yang masih tersisa setelah dipotong. Meski tampak kusut namun Gavin begitu kagum melihat kilauan makhkota wanita itu. "You are so beautiful," gumamnya semakin dekat dengan wajah Luna. "Gavin! What the fuck!" teriak Ayu Ruminang mendekati laki-laki itu dan menamparnya. "Dia wanita muslim dan bercadar! Kau tak boleh menyentuhnya sesuka hatimu. Kau sudah lancang!" cecar Ayu Rum
Tubuh Luna bergetar hebat. Ranjang pasien itu berguncang. Matanya merah melotot penuh ketakutan. "Tenanglah ... aku tak akan menyakitimu!" seru Ayu Ruminang gagap. Ia mencoba menjauh namun wanita yang masih berbalut berban itu tetap saja terlihat histeris. "Aku tak akan melukaimu, Angel!" pekik Ayu Ruminang dalam kepanikan. "Whats going on honey?!" Gavin tiba-tiba muncul dan langsung mundur karena kaget melihat tubuh Luna naik turun. "Cepat panggil dokter!" teriak Ayu Ruminang dengan wajah tegang. Gavin langsung melesat. Ayu Ruminang keluar dari ruangan berharap Luna kembali tenang. "Dasar wanita bodoh!" umpat Ruminang mencoba mengatur nafasnya. Ia mengintip Luna yang masih bergerak-gerak. Dokter Adipura dan 2 rekannya baru saja tiba. "Bagaimana, Bu?" "Entahlah. Tiba-tiba saja dia kejang begitu," ujar Ayu memasang jaketnya. Ketiga dokter itu langsung memeriksa kondisi Luna. "Pasien seperti shock. Mungkin kaget karena kondisinya, mimpi buruk atau bisa jadi juga karena menging
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege