Selamat pagi ☀ 🌝⏰ Berikan Othor semangat dengan vote GEM ya. 😁❤
Tukiyem melihat kelopak mata besar itu membuka perlahan. Ia menghentikan gerakannya dan melepas telapak tangan Luna. Wanita itu terperanjat dan langsung bangkit."Siapa kau?!"Kedua mata Luna melotot tajam dengan wajah merah, seperti kaget dan ketakutan bercampur. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Bagaimana bisa ada wanita gempal tak terurus itu ada di rumahnya? Dia bukan jin kan?"A-akku Tuki-tukiyem Nyonya!""Kenapa kau ada di sini? Mana Aleksei?!"Luna berdiri tegak, mundur beberapa langkah. Ia menyiapkan kuda-kuda. Takutnya wanita itu membawa senjata."Aa-apaa cowo ganteng tadi itu yang namanya Aleksei Nyonya? Dia yang menyuruh saya menemanimu di sini. Sa-saya hanya seorang penjual sayur keliling," jelas Tukiyem dengan cepat. Ia tahu kalau wanita jelita di depannya itu sedang mencurigainya."Bertahun-tahun a
Seorang wanita paruh baya berjalan melewati lorong agak temaram. Suara hentakan kakinya memecahkan kesunyian lorong itu. Di depannya, sebuah batu penghalang jalannya yang terlihat begitu kokoh. Kata oramg, lorong ini adalah bekas tambang. Tapi itu hanya kabar yang tersebar di masyarakat pinggir hutan perbukitan itu. Namun nyatanya ...."102432 ... 4 ... apalagi? Ciiih mengapa aku cepat sekali lupa. Ini menyebalkan sekali. Aku benci usia tua," gerutunya mengeluarkan sebuah catatan dari buku kecil berukir batik.Tampak tak cerah lagi warnanya namun siapa sangka, buku itu menyimpan informasi yang sangat berharga. Kedua mata wanita bersanggul untaian mutiara itu memincingkan matanya agar angka yang tertulis di sana jelas terlihat oleh mata tuanya."Ini dia yang kurang," desisnya lalu menekan angka pada tombol yang terselip di ujung batu itu. Hampir tak terlihat jika hanya sekilas pandang. 
"Apa kau yakin?" tanya Luna menatap Aleksei tanpa kedip.Hacker itu menggeleng. Ia menggigit bibir bawahnya berpikir."Aku akan cari informasi tentang laki-laki yang disebut sebagai raja di raja mafia itu. Ini tak bisa cepat, tapi pasti bisa. Aku tak akan menyerah! Kau tenang saja!" seru Aleksei mencoba menenangkan Luna."Saranku, kau pulanglah ke rumahmu. Lihat anakmu sendiri. Sedari tadi Ratna bolak balik ke sini hanya untuk menunggumu. Kau tak bisa dihubungi. Jangan sampai anak sendiri kering kasih sayang," sindir Karmila mencoba menutup wadah makanan Yudha."Jangan memancing di air keruh! Kau orang lain di sini! Jupiter memang anakku tapi dia aman bersama ibunya. Sedangkan Farid, tak ada yang tahu dia di mana sekarang. Masih hidupkah dia? Sebagai perempuan, punyalah sedikit empati," timpal Aleksei dengan nafasnya yang berat karena menahan marah.
Eeeaaa ...! Aaaa ...! Sedari tadi, Farid yang berada di pelukan Sofia menangis. Wanita yang menggunakan kalung model sabuk kulit gesper itu kebingungan. Apa yang bisa ia berikan pada anak ini? Ia sudah mencoba banyak cara. Mulai dengan memberikannya minum, memberikanbya madu bahkan ia menyuapi roti untuk balita itu. Namun semua usahanya nihil. Farid kecil masih tetap menangis menghentak-hentakkan kakinya. "Kamu sudah punya banyak gigi. Terlihat penuh di atas dan di bawah. Pasti kamu sudah bisa makan. Kamu mau susu? Susu apa? Aku hanya punya susu kuda liar ini," gumamnya mengigit bibir kebingungan. Sofia mencoba menuangkan susu kuda liar itu secara perlahan menggunakan sendok di mulut Farid namun bayi itu tetap berteriak menangis. Justru Farid menepis tangan Sofia sehingga susu itu tumpah di lantai. Sofia tak menyerah. Ia menyuapi Farid jus apel miliknya. Cairan putih tulang itu tertahan sejenak di mulut kecil dan langsung menghilang bersamaan dengan kerongkongan Farid yang meneg
Di sisi lain, Luna menyetir dengan sangat kencang. Wanita itu sengaja melewati perbukitan, jalanan yang bertikung tajam. Rasa cemburu, kecewa, rindu dengan anaknya menyatu tak karuan. Hatinya sudah penuh, terasa sudah tak berongga lagi."Kenapa kamu bisa berubah dalam satu malam Mas? Seharusnya kamu memelukku! Menenangkanku! Apa yang di otakmu sekarang?! Arrrghhh!"Luna memukul stir mobilnya."Farid!!! Kemana Mama harus cari kamu Nak!!! Apa harus menembus langit atau menggali bumi?! Mama yakin kau masih hidup! Mama masih bisa merasakan nafasmu. Tapi kamu di mana Farid ? Sudah kenyangkah!? Atau kau sedang kelaparan?!"Sekencang-kencangnya ia menangis. Cadarnya sudah terlepas. Tak peduli pandangannya buram, Luna terus melajukan mobil itu.Aleksei mengikuti wanita itu dari belakang dengan motor. Laki-laki itu merasa kewalahan. Ia tak bisa mengimbangi Luna sebab akan sang
"Angel! Kontrol dirimu!"Aleksei menyentuh pundak Luna yang sedang menyapu pandangannya ke sekeliling. Merah warna pupil mata wanita itu menahan gejolak di hatinya."Farid. Ini wangi Farid. Cepat temukan Farid Aleksei!""Permisi. Ini tempat umum. Silahkan tidak membuat suara keributan," ujar salah satu satpam yang mendekati mereka.Aleksei mengangkat tangannya di dada, mengisyaratkan bahwa mereka paham. Satpam laki-laki itu pun kembali ke tempatnya semula, sebelah kiri pintu masuk."Aleksei! Kenapa kamu diam saja?! Farid ... Farid! Cari Aleksei! Periksa setiap wanita yang membawa balita. Farid pasti ada di sini," ujar Luna nanar berlari, berkeliling dengan air mata yang mengalir berderai-derai. Lun merasakan kehadiran anaknya. Tapi Darimana? Dimana? Luna terus berlari tak karuan."Angel! Tahan dirimu. Ini tempat ramai!"
Aleksei dan Luna tiba di sebuah tempat yang temaram. Bahkan cahaya hanya berasal dari lampu kecil berwarna kuning. Tampak seorang wanita sedang menyajikan kopi pada beberapa pelanggan."Mau minum apa Bang?" tanya salah satu pelayannya."Minum di ruangan," jawab Aleksei santai menunjukkan sebuah kartu. Sebuah tanda pengenal yang berwarna hitam bercorak putih.Pelayan itu tersenyum lalu mempersilahkan Aleksei dan Luna terus melangkah. Tanpa banyak bicara wanita itu langsung membuka sebuah pintu yang di dalamnya ada ruangan kosong hanya berisi kasur dan meja layaknya penginapan."Silahkan," ujarnya saat kasur itu disingkirkan begitu mudah.Nampak sebuah kotak segi empat berbahan metal, mengkilat. Hanya dengan sebuah tombol, metal itu terbelah. Dan tampaklah tangga. Aleksei melompat lalu
"Dan demi Allah Tuhanku, aku akan menghadapi iblis itu, tidak peduli tulangku sampai jadi tanah," ucap Luna menggemeletak. "Wow! Jadi sekarang kau seorang ...." "Muslim," jawab Luna memotong ucapan Mexzo. Laki-laki kurus itu hanya bisa sedikit mengangguk dengan wajah datar. "Kira-kira apa alasannya menculik seorang anak kecil? Kenapa harus anak Angel Gracelia? Apa selama ini kita bersinggungan dengannya?" gumam Aleksei seolah bertanya pada dirinya sendiri. "Bagaimana aku bisa bersinggungan dengannya? Aku bahkan baru mendengar namanya sekarang," timpal Luna. "Apa karena terbunuhnya Eville? Menurutmu?" Luna menatap kosong ke depan. Ia tak memiliki jawaban yang pasti. Pandangannya sekarang berpindah pada Mexzo. "Kau pasti tahu jawabannya," ujar Luna dingin. Mexzo menggeleng. "Tak perlu alasan untuk tahu, mengapa, untuk apa dan siapa. Aku hanya melakukan tugasku." "Kalau begitu, tunjukkan aku tempat monster itu mendekam!" Lagi-lagi lelaki kurus itu menggeleng. Luna tak m
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege