š„°SELAMAT PAGI ā šā° GEMnya pleaseš
Eldor mendorong tubuh Aletha namun tidak sampai membuat gadis itu tersungkur. Langkah pria itu terdengar menggema, lalu diiringi suara sentakan pintu yang ditutup sangat keras.Aletha sudah tak bisa menahan air matanya lagi. Gadis itu tak peduli dengan tubuhnya yang setengah telanjang. Ia berlari dan menemukan pintu kamar itu sudah tertutup rapat."Oh Tuhan! Jadi apa aku jika terkurung di sini?! Bukan ini yang kuharapkan! Jangan sampai Eldor menyerang Farid dengan membawa pasukannya. Ini bencana!"Aletha tercekat mengingat ucapan Eldor yang membuat gadis itu semakin putus asa.*Farid putra Angel Gracelia yang kau sebutkan itu mati di tanganku*Kalimat yang barusan ia dengar seperti terus terulang di telinga Aletha membuat wajah Aletha semakin pucat."Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan di dalam kuburan batu ini?! Apa?!!!"
"Kau membawanya?!" tanya Aleksei dari atas motor. Mereka bertemu di pinggir jalan menuju dermaga. "Memangnya kenapa, ha?! Aku akan mengawasi putraku! Jangan sampai terbawa pergaulan miring saat bersamamu!" seru Yudha dari dalam mobil. Farid meletakkan dua telunjuk di atas kepalanya lalu melepaskannya bersama senyuman manis. Aleksei hanya mendecak dari balik helmnya. Ia pun melanjutkan perjalan dan Farid mengikuti laju motor trail Aleksei. "Sudah ubanan masih berani kena angin malam," sinis Yudha melihat Aleksei melesat. "Dia pria yang keren!" Farid menimpali ayahnya dengan senyum yang terkulum. Ia fokus menyupir. "Papa gak julid ya, cuman komentar saja," imbuh Yudha yang sebenarnya merasa kagum. Benar kata putranya, Aleksei memang masih sangat keren! Farid menggeleng-geleng kecil sembari mengulum senyum melihat tingkah laku ayahnya. Ia bisa merasakan bagaimana kedua pria itu saat masih muda. Farid bisa merasakan ikatan persahabatan itu meskipun pada sisi lain, ada sekat yan
"Ka-kamu bilang apa tadi, Fa-farid?" tanya Yudha terkejut luar biasa."Ya, Pa. Dia adiknya Papa. Tidak ingin menyambutnya?" tanya Farid."Ya Allah. Allah. Farid."Yudha memegang tangan putranya untuk mencari kekuatan. Sungguhkah itu Nindi, adiknya? Yudha tak ingin percaya. Baginya masih seperti mimpi."Ayo, Pa! Kita sapa tanteku!" seru Farid berbinar."Ap-apa kau yakin, Nak?!""Iya. Ayo!"Farid menyeret ayahnya mendekati Nindi. Nampak Nindi sedang berbincang dengan seseorang."Ya. Maafkan aku. Banyak hal yang harus kuselesaikan," sayup-sayup suara Nindi.Yudha gugup luar biasa. Itu memang suara adiknya meski terdengar lebih berat. Yudha maju akan menyentuh punggung adiknya."Siapa kalian?" tanya salah satu dari pemegang koper yang menemani Nindi. Yudha dan Farid terdorong keras oleh koper hitam yang sengaja disentak kasar. Dengan sigap, Farid mengokohkan kakinya dan
"Cukup! Cukup, Farid!" teriak Nindi melepaskan tangan Farid dan melangkah menjauh."Katakan padaku, Tante? Apa kesalahan ibuku yang sebenarnya hingga kau begitu sangat membencinya? Biar aku yang akan menghukumnya!" seru Farid yang membuat Nindi kembali menoleh pada pemuda itu."Ceritakan padaku, Tante! Apa salah ibuku pada kalian? Selain karena dia adalah mantan seorang mafia yang merupakan majikan buyutku, Aderald Ibrahim? Katakan apa kesalahan wanita bercadarku itu selain memiliki harta yang jauh lebih banyak dari kalian? Jawab aku, Tante. Biar aku sendiri yang mematahkan tangannya yang telah membuat luka pada fisik dan batinmu."Nindi tercekat. Ia meremas genggamannya sendiri. Ucapan Farid luar biasa menusuk hatinya. Otaknya berpikir dan dia tidak menemukan kesalahan Luna yang menjadi alasan untuk membenci wanita itu. Namun ia tetap sangat membencinya."Katakan, Tante! Kau tak bisa menjawabnya?" desak Farid."Tidak perlu alasan dan kesalahan untuk bisa membenci seseorang.""Kau manu
Berhari-hari Stella enggan untuk menyentuh makanan yang dimasukkan dari kotak dinding yang berlubang. Wanita itu putus asa, diperlakukan seperti tahanan terjahat. Dikurung di ruangan seperti penjara di tengah laut.Ia tahu, tempat itu sangat jauh sari keramaian. Sebuah pulau yang terpencil dan mustahil baginya untuk bisa melarikan diri. Hanya ada air yang mengelilinginya dan itu membuat Stella teramat marah pada situasi termasuk dirinya sendiri.Nanar mata Stella melihat jeruji besi yang setinggi manusia. Biasanya Frank bicara padanya hampir setiap hari. Sepertinya tempat itu dirancang untuk mengurung manusia hingga mencapai keputusasaan."Bertahanlah, kau pasti akan bebas," ucap laki-laki itu setiap kali berdiri di situ. Dan seperti biasa, kali ini Frank mengucapkannya lagi."Tidak ada gunanya aku bebas jika putriku sampai terlibat dalam pertempuran gila yang diciptakan ayahnya sendiri!""Putri Anda adalah wanita yang kuat,
"Kenapa sama Papamu, Farid? Sudah lewat subuh baru kalian sampai. Pulang-pulang macam ayam yang sedang sakit. Darimana saja kalian?" cecar Luna dengan wajah panik. Farid hanya diam. Ia bingung. "Ayo jawab Mama. Kalian kemana?" "Main ke pantai, Ma," jawab Farid sekenanya saja. Pemuda itu baru saja menunaikan sholat subuh. "Astaghfirullah. Kalian dapat apa tengah malam main di sana, Farid?! Ayo, jujur. Kamu dan Papamu ngapain ha?" Farid menggosok-gosokkan tangannya karena kedinginan. Hatinya juga belum benar-benar tenang. Menatap sorot kebencian Nindi membuat jiwanya terguncang. Ia membayangkan bagaimana dulu ibunya berjuang melawan kebencian keluarga ayahnya yang mengepung. Farid tak habis pikir, semua itu seperti hanya dalam drama. Melihat putranya tampak tak sehat, Luna tak memiliki pilihan selain mencoba memaklumi. "Ya sudah, tidurlah. Besok pagi kita harus bicara," ucap Luna sembari melihat Farid berjalan perlahan ke kasurnya. Luna menutupi putranya dengan selimut lalu m
"Setan alas!" umpat Baron mendapatkan laporan dari Nippon. "Maafkan aku, Boss. Aku mengira pria berkulit hitam itu akan memburu jika mengetahui calon istrinya sudah disekap di bawah tanah!" seru Nippon ketakutan. "Kau juga bodoh! Bodoh!" Baron memukul kepala Nippon dengan kepalan tangannya dan anak buahnya itu hanya pasrah. Beberapa kali ia menghubungi Frank namun pria itu tidak menjawab panggilan, membuat Baron makin murka. "Harusnya kau mengatakan Aletha diculik, bukan menyerahkan diri. Kau memang goblok, Nippon!" umpat Baron luar biasa marahnya sampai-sampai urat lehernya seperti akan menembus kulit. Tiba-tiba salah satu anak buahnya muncul. "Bos! Frank menerima panggilan!" Pria tua itu terpincang-pincang mendekat lalu meraih dengan cepat ponsel itu. "Kau salah paham! Aletha diculik! Bukan menyerahkan diri!" pekik Baron langsung membuka percakapan. "Jangan membodohiku. Sudahlah. Anda telah mengecewakanku, Tuan. Anda tidak profesional." "Maafkan aku! Semua di luar kend
Aletha menatap kosong dirinya. Ia terlihat sangat sempurna dengan kain tipis berkilau yang hanya menutupi sedikit bagian kepalanya. Rambutnya menjuntai ikal diwarnai senada dengan gaunnya. Gadis itu bahkan menggunakan penutup wajah yang sangat tipis. "Anda sangat cantik sekali, Nona," ucap salah satu pelayan muda menatapnya. "Menjadi pengantin pangeran adalah sebuah anugrah. Anda pantas mendapatkannya," lanjut yang lainnya. Tak ada kata yang terlontar dari mulut Aletha. Gadis itu ingin mengumpat dan berteriak bahwa ia sedang ditimpa musibah besar. Laki-laki itu memang tampan, kaya dan berkuasa. Ia akan senang dan bisa menghabiskan banyak uang untuk hanya satu tas branded. Namun itu dulu, jauh sebelum ia mengenal perasaan yang siap untuk berkorban demi seorang lelaki di atas sana yang sudah menguasai hatinya. 'Persetan dengan penyerangan ayahku, aku harus memastikan Farid tak tersentuh' batin Aletha menatap dirinya lamat-lamat di cermin. Terdengar suara derap kaki, dan kedua pe
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege