Share

Chapter 9 Dia di sini

Penulis: Azeela Danastri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Makasih Mas mau ketemu sama aku,” ujar Melia.

“Aku melakukan ini bukan karena kamu tapi Mami yang meminta.” Sungguh benar, jika bukan karena jadwalnya untuk mengantar wanita yang sudah melahirkannya itu untuk check up kesehatan hari ini.

Melia menelan ludah, mendengar nada dingin dan terkesan acuh dari Abraham. Pada akhirnya wanita cantik berkulit kuning langsat itu.

“Mas Bram, belum lama ini ketemu Papi ya? Kok, nggak bilang sama aku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Bram yang sedari tadi tidak mau menatap ke arah Melia menghembuskan napas panjang seraya menyesap kopi hitam di depannya.

“Bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu, pastinya.”

“Aku ingin tahu, untuk apa kamu masih berurusan dengan Intan.”

Nama Intan tersebut dan kemudian tatapan tajam tersemat dari Abraham untuk Melia. “Kalimat mana yang tidak kamu mengerti dari bukan urusanmu?!”

Seketika Melia bungkam dan tak berani menjawab dengan roman muka Abraham yang membuat perasaannya yang bercampur antara cemburu dan
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 17 Dia di sini

    Decit ban memekakkan telinga, sepesekian detik beikutnya tabrakan pun tak bisa dihindari. Tubuh terguncang dan suara tulang beradu terasa sangat jelas terdengar di telinga, bau bahan bakar yang menguap dan suara teriakan adalah hal terakhir yang ia ingat. Intan pun kemudian membuka mata dalam kegelapan. Suara napas tak teratur beradu dengan cucuran keringat di suhu ruangan yang dingin ini sungguh sesuatu yang kontras tetapi seolah nyata seperti mimpi buruknya.Katukan di pintu kamar membuatnya kembali tersentak dan seketika menoleh ke arahnya. Dari lubang bawah pintu telihat bayangan yang menutupi celah cahaya redup dari lampu dinding. Ia mengejap cepat mencerna keadaan saat ini di mana dirinya berada dan sekaligus meneba siapa gerangan sosok tak sabaran di balik pintu.“Intan, Sayang. Kamu baik-baik saja?”Suara berat itu. Ah ya, Intan baru ingat sekarang. Pria itu berada di rumahnya bersama dengan mimpi buruk peristiwa kecelakaannya kembali datang. Pertanyaan penuh nada khawatir it

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 18 Penolakan

    “Aku harus pulang,” ujar Intan seraya berusaha melepaskan tangan dari genggaman tangan Abraham. Pria itu tertahan di Rumah Sakit Daerah karena demam, beberapa paku payung yang menancap sungguh sudah sangat berkarat dan menyebabkan peradangan. Bakteri tetanus terpapar dalam tubuh dengan masa inkubasi pada 3 dan 21 hari.“Jangan.”“Ini sudah 7 hari dan aku harus bekerja. Aku sudah melapor ke polisi untuk mengusut kejadian itu. Aku tidak mau disalahkan karena kejadian itu di rumahku.”“Memang begitu, kamu selalu membawa kesialan dalam keluarga kami!” Novita berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah tertuju kepada Intan.“Dan kamu,” tunjuknya kepada Abraham yang terbaring bersandar kepala ranjang rumah sakit. “Dasar anak keras kepala sekaligus kepala batu. Sudah berapa kali Mami bilang ….”Novita balik menujuk ke arah Intan. “Wanita ini tidak pernah memberikan kebahagiaan seja hadir dalam hidupmu. Saat kamu bertemu dengannya pertama kali. Dia adalah wanita penuh kesialan, bahka

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 19 Tidak punya harga diri

    “Kamu ini memang benar-benar laki-laki tidak punya harga diri, Bram,” tegur Harjo, ayah dari Dharma.“Kamu juga ngapain ngantar anak ini ke sana. Sekarang malah gossip kalian sampai ke mana-mana.”“Bu. Saya baru balik dari sana sekitar 10 menit. Masa sudah ada gossip.”“Kamu tidak tahu bagaimana kompaknya warga kita. Semua berita bisa cepat tersebar,” timpal Hesty yang menatap kedua pria muda itu dengan raut jengkel.“Lagi pula gossip apa sih?” tanya Abraham santai.“Kamu diusir secara kasar dari sana,” jawab Hesty cepat.“Apa?!” ucap Abraham dan Dharma bersamaan.“Siapa yang menyebarkan berita bohong itu. Kami bahkan tidak bertemu dengan Intan. Dia sedang beristirahat.” Apa yang dikataan Dharma memang benar adanya. Ia tahu karena bisa melihat punggung Intan yang tidur miring di sofa ruang tamu. Wanita itu pasti sangat capek meningguin sepupunya yang bisa menjadi sangat menyebalkan seperti drama saat ia menjemputnya dan tak berhenti mengomel menyalahkan dirinya karena Intan pulang leb

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 20 Jangan Janda

    Rizky baru saja keluar dari warung yang tak jauh dari rumah Intan saat melihat Surdi melompat dari pagar rumah wanita pujaannya dari samping. Tanpa mengulur waktu ia segera menghidupkan sepeda motor dan mengejar Surdi. Surdi yang tahu dibuntuti segera berbelok di sebuah gang dengan jalan tanah menuju kebun milik warga. Namun suara teriakan dari Rizky menghentikan langkahnya dan berbalik menatap pria yang segera turun dari motor dan menghampirinya.“Mas Rizky saya kira siapa,” ujarnya dengan tatapan yang tampak lega ta seperti tadi yang sangat panik, tapi bentakan Rizky membuatnya kembali waspada dan ketakutan.“Kamu ngapain loncat dari pagar rumah Intan? Kamu sudah lupa arah gerbang depan?!”“Eh… bukan gitu, Mas,” balasnya tergagap.“Lalu apa yang kamu lakukan di sana? Mau maling kamu ya?”“Wah, jangan asal Mas. Saya nggak semiskin itu sampai harus mencuri. Lagi pula apa yang mau dicuri. Intan itu nggak punya apa-apa yang bisa dimaling.”“Apa kamu bilang?! Jadi kamu memang menyusup ke

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 21 Kabar Buruk

    Suara Guntur bersautan bersaing dengan deru berisik angina yang tak mau kalah memekakkan telinga dan membuat dahan bandel pohon mangga menggebrak daun jendela kamar tidur Melia. Wanita muda itu menatap kekacauan badai diluar sana dengan sorot mata penuh amarah.“Katakan jika kamu hanya bercanda.”“Tidak, aku tidak bercanda,” balas pria bertelanjang dada setengah rebahan di ranjang, yang tak lain adalah Bagus.“Bagaimana bisa Mas Bram bersama dengan Intan. Dia menyusul ke sana? Rasanya tidak mungkin, sudah pasti Intan merayunya.”“Tidak hanya merayu, dari info yang aku dapatkan bahkan mereka satu hotel.”“Apa?!” Melia berbalik badan dan melotot marah kepada Bagus.“Bukan satu hotel tapi satu kamar hotel.”“Jangan mengada-ada. Mana mau Mas Bram dengan perempuan cacat seperti Intan.”“Kamu lihat wajahku, apa aku terlihat sedang berbohong. Bram keluar lebih dulu dari kamar dan Intan bersama dengan pesuruhnya itu keluar tidak lama kemudian.”“Kenapa kamu nggak bilang sama aku?” tanya Mel

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 22 Desas desus semakin merajarela

    Intan meraih cangkir berisi teh jahe hangat. Pagi ini hujan masih turun dan depan rumah sudah bising. Abraham bersama dua tukang sedang membetulkan kanopi di depan ruang Bimbel yang lepas karena kencangnya badai semalam. Sudah seminggu lamanya pria itu setiap hari datang ke rumahnya. Dari pagi sampai sore hari. Seolah ia sama dengan para pekerja di sana. Tanpa mengeluh sedikitpun jika Intan sibuk dan tidak sempat menyapa. Bukan, bukan tidak sempat sebetulnya hanya saja Intan mengurangi kedekatan fisik. Desas-desus semakin merajalela, sindiran selalu ada untuknya yang dikatakan wanita tidak punya malu. Wanita yang tak punya harga diri sudah diperlakukan semena-mena tetapi masih mau menerima. Itu tuduhan dari mereka para pembenci pria, alias mereka yang memang sudah merasakan pahitnya dikhianati sehingga menganggap Intan orang yang lemah. "Kamu nggak harus melakukan itu," Kata Intan begitu Abraham berhadapan dengannya. Pria itu menghentikan kegiatannya begitu melihat Intan datang de

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 23 Amanda Mengamuk

    Amanda membuka gorden di jendela kamar melia dengan kasar. Ia muak melihat kakaknya terpuruk dan sangat mengenaskan seperti ini. Amanda sangat tahu apa yang terjadi dengan kakaknya, aduan dari salah satu pembantu sudah sampai padanya. Begitu juga bau seks yang masih kental. Ia menengok pada keranjang sampah dan mendapati kondom yang habis terpakai. Hanya saja dengan siapa ia tidak tahu.Amanda menghela napas panjang, menatap ke arah ranjang yang berantakan sama dengan perempuan yang tidur tertelungkup dengan mulut terbuka dan lingkaran gelap berada di kedua kantung matanya.“Bangun!” ujarnya jengkel seraya menampar salah satu telapak kaki Melia yang mengintip dari balik selimut.Terdengar erangan protes dari si Empunya telapak tetapi tak kunjung bergerak.“Bangun pemalas!” bentak Amanda kali ini dengan berkacak pinggang.“Ngapain sih kamu ganggu aja!” balas Melia tanpa masih dalam posisi yang sama. “Kepalaku sakit banget.”“Jelas. Dari mana kamu dapat Vodka ini?” tunjuk Amanda ke boto

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 24 Abaikan Saja

    “Ibu dengar Bram sudah kembali ke kota,” kata Aminah sambil menaruh semangkuk gule ayam di meja.“Baguslah,” jawab Intan singkat dan meneruskan kegiatannya mengiris kubis sebagai pelengkap.“Apa kamu yakin dia tidak kembali lagi ke sini?” tanya Aminah dengan nada ragu penuh kehati-hatian.“Intan bisa apa untuk melarangnya. Desa ini bukan milik Intan.”“Bukan itu yang ibu maksud, kamu tahu pasti ‘kan?”Intan mengangguk. “Paham sih. Intan juga nggak tahu harus bagaimana.”“Sebaiknya kamu pikirkan. Terus terang ibu sama Bapak risih dengan gunjungan orang tentangmu. Kamu bahkan dituduh kumpul kebo.”“Abaikan saja, Bu. Lagipula Intan dengar Ibu kemarin sempat ribut sama Bu Buya karena membelaku.”“Oh iya, andai rujak yang ibu makan belum habis sudah ibu siram masker mukanya dengan bumbu rujak.”“Jangan begitu lain kali, Bu. Biarkan saja, nanti juga kalau capek akan berhenti sendiri.”Aminah menghela napas kuat-kuat, gemuruh di dadanya kembali menyeruak. Kesal tak terperi kembali teringat d

Bab terbaru

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   ABRAHAM BINGUNG

    “Rangga?” Abraham dengan suara serak kembali bertanya-tanya dengan yang dikatakan orang-orang di depannya. Kembali terucap pertanyaan tentang nama itu, bukan dirinya pastinya tetapi dirinya pun tidak asing dengan nama itu. Abraham berusaha mengingat-ingat siapa kira-kira orang yang memiliki nama itu diantara sepupu-sepupunya tetapi semakin keras ia berusaha mengingat semakin sakit kepala dibuatnya.Mereka orang-orang asing yang baru ia temui tapi rasanya ia seperti bukan orang asing. Apalagi pemilik bola mata indah yang berdiri di sebelah pria yang memiliki kulit lebih gelap dan mata hitam setajam elang, tampan seperti dirinya—nyaris sama dengannya tetapi jelas lebih muda.Apalagi pria tua yang berada di sebelah orang yang ia tebak adalah serorang Dokter, walau jelas tidak memakai seragam kebesaran mereka. Wajahnya mirip dengan sang ayah, Yusuf.“Bagaimana perasaanmu? Adikmu bilang kalau kamu tadi kesakitan?” tanya Abah Yayud

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   MAS BRAM DI MANA?

    Aris sudah lebih dari tiga jam mondar-mandir di ruang tamu. Boy sama sekali belum memberikan kabar apapun bahkan ponsel anak buahnya itu tidak dapat dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi? Masa mencari satu orang saja sangat sulit, bahkan Aris sudah bisa memastikan bahwa Abraham tidak mungkin bisa bergerak karena sudah sangat lemah. Apa benar dia sudah disantap Macan atau ular seperti kelakarnya?Aris kembali meremas rambutnya dengan jengkel, menyesali kenyataan kenapa sang ibu baru mengabari sekarang bukan kemarin-kemarin. Jika sampai seperti ini memang dirinya yang susah. Namun ya bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dapat menculik Abraham dan menyiksanya sedemikian rupa buktinya bisa membuatnya puas. Ada kepuasan batin tersendiri menyiksa pria bajingan yang memperlakukan Intan seperti keset usang. Memperlakukan wanita pujaannya itu seperti budak. Lalu kini bisa-bisanya mendekati Intan kembali dan wanita itu seperti budak pelacur dengan suka rela membuka kakinya demi Abraham. S

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   TUMBANG DISAAT YANG TIDAK TEPAT

    Risa menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Sudah lebih dari sepuluh kali dirinya mencoba menghubungi nomor Bu Lurah tetapi tak sekalipun mendapat sabutan. Padaha jelas sabungannya sangat aktif.Asna mendekati Risa yang duduk di balik meja kerja Intan. “Gimana?” Risa menggeleng. “Aku datangi rumahnya ya?”Risa mendongak bersitatap dengan Asna. “Jangan Teh. Mantan suamimu ‘kan kerja di sana.” Risa tidak mau nanti Asna ikut terkena getahnya jika sampai ketahuan membantu Intan dan keluarganya.“Lalu gimana? Kalau telpon Pak Lurah saja?”Risa kembali menggeleng. “Takut,” ujarnya dengan raut cemberut menahan tangis. Ia sangat kasihan dengan keadaan Intan saat ini yang pasti sangat membutuhkan dukungan dari Abraham. Ah, pria itu. Ke mana sebenarnya apa benar tidak mau bertanggungjawab? Padahal saat terkena paku saja, Intan menjaganya di rumah sakit dan dirinya merengek seperti anak kecil saat mau ditinggal Intan.“Kang Dharma bagimana?”“Sama nggak ada yang angkat. Apa mereka benar-benar su

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   SEDANG DIHAKIMI

    “Benar itu, Nak?” tanya Wira menatap Intan dengan intens. Intan yang selalu merasa segan sejak kasus sakitnya dulu ditangani oleh Wira kini semakin merasa segan dan ada rasa tidak nyaman disamping rasa malu serta rasa—bersalah. Kesadaran itu membuat Intan kini menunduk, bagaimana bisa dirinya merasa bersalah dengan ditanyai oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya sementara orangtuanya sendiri saja memutus hubungan—benar-benar tidak peduli dengan keadaanya.Aminah baru mengangkat bokongnya untuk mendekati Intan, menguatkan keponakkannya yang seolah sedang dihakimi saat ini karena jelas suara Wira lebih tinggi lebih seperti teguran daripada hanya rasa terkejut. Namun belum juga dirinya meluruskan tubuh Ajeng sudah lebih dulu duduk merapat di sisi Intan dan merengkuh bahunya. “Jangan takut sama, Papa,” ujarnya lembut dan seketika mata Intan membulat dan menoleh ke arah Ajeng. Ajeng yang awalnya tadi spontan menanyakan soal kehamilan Intan sejujurnya hanya ingin t

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Bujukan Wira

    Kelima orang dewasa dalam ruang tamu itu saling melempar pandangan dengan kekagetan yang tidak ditutup-tutupi. Keterkejutan yang terlihat pada selebar wajah mereka masing-masing dengan berbagai asumsi yang berbeda.“Dokter kok, bisa di sini dan kenal sama Bapak-Ibu?” tanya Intan lagi setelah membagi minuman dan duduk di seberang mereka semua.Asna muncul tak lama kemudian membawa pisang dan singkong goreng dengan parutan keju diatasnya dan sepuluh susun piring lepek kecil sekaligus garpu kecil.“Mari silakan di makan dan minum. Sebentar lagi hujan turun. Enak kalau jam segini ngemil. Saya masih masak untuk makan malam,” ujar Intan ceria entah mengapa melihat keberadaan Dokter Wira di sini suasana hatinya yang mendung menghilang begitu juga mual yang dirasakannya.“Namamu Intan?” tanya Ajeng dengan suara lembut keibuan. Sementara Wira dengan kesadaran baru bahwa pasien yang selama ini ia tangani tak lain adalah buah hatinya membuat tak ha

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Sama-sama Tahu

     “Intan anakku,” jawab Hamdani.“Anakmu? Bukannya Risa, namanya?” tanya Ajeng kembali memastikan mencocokan dengan ingatannya yang mulai membaik.“Risa dan Intan.”Ajeng menggeleng dan tersenyum tipis. “Kita sama-sama tahu Hamdani. Kamu hanya dikaruniai satu anak. Intan pasti anakku, bukan? Kamu akhirnya menemukan dia.”Hamdani dan Aminah lalu terduduk di lantai. Terpekur dengan bahu merosot tak berani beradu pandang kepada Ajeng dan Wira.Ajeng dan Wira pun kaget dengan tingkah keduanya. “Ada apa ini?” Wira paham, jika Intan adalah anak Ajeng sudah pasti itu juga adalah anaknya. Berapa usianya 27 tahun?Hamdani dan Aminah masih terdiam.“Ada apa? Katakan, jangan membuat bingung kami,” ujar Ajeng yang kebingungan.“Hamdan tolong jawab, Tetehmu. Kamu nggak mau dia bingung lagi ‘kan?”Hamdani menangkup kedua tangan di depan dada. “Maaf Teh, aku sudah lama menemukan tapi aku juga teledor. Banyak

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Pulang Ke Rumahku

    “Benar Dokter, Teteh saya sudah sembuh?”“Benar Pak Ham.”“Kenapa sampai hampir 30 tahun baru sembuh?” tanya Hamdani kebingungan. Saat ini ia sedang menghadap ke Dokter Kejiwaan di Panti Rehabilitasi Kejiwaan.“Kita nggak tahu rahasia Tuhan. Saya hanya seorang Dokter, saya perantara sementara kesembuhan sendiri adalah hak prerogative Tuhan tentu saja. Suatu mukjizat untuk Nyonya Ajeng Rahwani bisa sembuh.”“Kalau boleh tahu progresnya bagaimana sampai akhirnya bisa dinyatakan sembuh?”“Ada seseorang yang sering menjenguk ke sini. Tapi beliau tetap ingin bertemu anaknya. Itulah sebabnya saya menghubungi Bapak.”“Kenapa selama ini kalian nggak kasih tahu saya kalau ada orang lain yang menjenguk Teteh saya, Dok?”Dokter Teguh menundukkan kepalanya. Ia sejujurnya merasa bersalah juga bagaimanapun Hamdani selaku keluarga kandung pasien seharusnya yang paling berhak menentukan siapa saja yang bisa membesuk Kakak Perempuannya.

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 27 Hati yang terkoyak

    Intan dan yang lainnya sampai di rumah tetapi suasana sudah sepi. Hamdani duduk di ruang tamu seraya memegang sebuah dokumen. Ia terus menyuruh semuanya duduk bersama.“Ke mana orang-orang, Pak?” tanya Intan.“Sudah pulang.”“Lalu itu apa?” tanyanya dengan tidak sabar.“Ini adalah surat kesepakatan warga. Kamu harus pindah dari desa ini.”“Maskudnya Mbak Intan diusir?!” tanya Noto kaget.“Iya To.”“Loh, kok gitu?! Memang salah apa? Apa karena berhenti kerja, ‘kan memang kemauan sendiri,” ujar Noto.“Lagi pula fitnah berkedok gosip itu juga sangat terlalu, jelas-jelas tidak benar,” tambah Izar.Hamdani menghela napas Panjang. “Bapak juga bingung kenapa orang-orang berpikiran pendek.”“Demi kebaikan sih memang kamu mending pindah, Mbak,” ujar Izar.“Duit dari mana untuk pindah?&r

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 26 Biasa Ingkar Jani

    Cuaca hari ini terasa sangat hangat, matahari masih dengan setia menerangi walau kini jam sudah menunjukkan pukul 17.30 menit. Jalan kampung tepat di depan rumah Intan pun masih ramai orang berlalu lalang, bahkan anak-anak tetangga yang mulai banyak bermain petasan pun masih berkeliaran. Sudah terhitung dua bulan lamanya Abraham kembali ke kota dan belum menampakkan batang hitungnya lagi. Terakhir mereka berkomunikasi adalah seminggu setelah ia kembali ke kota.“Maaf Sayang aku tidak bisa kembali secepat yang aku janjikan. Padahal aku ingin sekali membawamu segera ke kota dan supaya kamu lebih mudah untuk terapi,” janji Abraham kala itu.“Kamu ‘kan sudah biasa ingkar janji.”“Bukan. Aku harus menyelesaikan sesuatu demi masa depan kita. Kamu tidak perlu bekerja, Kamu sudah buktikan sendiri bukan? Kalau semua yang kamu lakukan di sana mendapatkan pertentangan oleh warga.”“Menjad

DMCA.com Protection Status