"Ada apa lagi ini!" seru Grifida ketika menemukan putranya terbaring lesu dengan wajah berantakan di atas sofa. Dia juga tidak menemukan sosok sang menantu juga cucunya. Biasanya, Patricia akan meraung menempeli kakinya ketika melihat dirinya datang."Aku bertemu dengan Alanair, Ma." Grifida masih terlihat biasa saja. Bukankah seperti biasa putranya bertemu dengan Alanair Smitt. Bossnya yang cantik juga seksi plus pewaris tahta kerajaan bisnis nomor satu di Amerika. "Bukankah setiap hari kau bertemu dengannya, jangan bilang dia memecatmu, Gav. Jika kau sampai dipecat, habislah kita. Mau makan apa kita, aku juga ingin dia menjadi menantuku secepatnya, agar derajat keluarga Wildberg kembali terangkat," ujarnya percaya diri.Gavin langsung beranjak dari atas sofa hanya untuk memberikan tatapan tajam pada ibunya. "Hentikan obsesimu, Mama. Sudah cukup kau menjodoh-jodohkanku.""Kapan aku menjodohkanmu? Kau yang menghamili wanita jahat itu. Lihat saja sekarang, di mana dia? Seharusnya dia
Semenjak terbongkarnya identitas Alan oleh Gavin, wanita itu selalu memililiki cara untuk menghindari pekerjaan apapun dengan Gavin. Bahkan hari itu juga, Alan mengganti posisi Gavin yang awalnya menempati asisten pribadinya, kini dipindahkan menjadi asisten direktur pemasaran.Dia tahu, menghindar adalah cara paling bodoh yang dilakukan orang. Akan tetapi, dia tidak ingin lagi terlena akan pria itu. Apalagi kata-kata menyesal yang Gavin lontarkan. Dia tidak ingin lagi menjadi lemah seperti memohon atau mengemis cinta pria itu. Tidak, dia tidak akan melakukan itu seperti halnya dulu.Lain hanya dengan Alan, Gavin sekarang makin rajin berangkat ke kantor dan mencari-cari alasan, agar bisa dipertemukan dengan sang mantan istri, dan bicara berdua. "Bagaimana perasaanmu sekarang, Gav?" tanya Greg Martin ketika mereka berdua tengah berada di Caffe tak jauh dari apartemen milik Greg, untuk sekedar minum kopi seusai pulang dari kantor."Buruk, Alan bahkan menggantikan posisiku dengan orang
"Gavin!" serunya tak percaya. Namun, Alan berhasil menguasai tubuhnya, dan menekan ekpresi menjadi biasa saja. "Dia benar putramu."Alan menegakkan tubuh, menatap angkuh pada sang mantan suami. "Seperti yang kau lihat, Mr. Wildberg. Aku sudah memiliki seorang putra." Hati Gavin teremas, rasanya begitu sakit. Memikirkan mantan istrinya ini telah menikah lagi, dan memiliki seorang anak dengan pria lain."Kenapa kau...." Gavin tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Hatinya terlalu meradang ketika tahu kenyataan ini. Jika Ken melihat ibunya memasang wajah dingin. Ia justru melihat orang yang telah menyelamatkannya ini terkejut dengan kaca bening di mata, dan turun melintasi pipi. Seperti ia yang sering melihat ibunya termenung di malam hari seorang diri."Kenapa, tentu saja karena aku ingin. Apakah aku butuh izinmu untuk memiliki seorang anak. Ingat, Gav. Kau bukan siapa-siapaku," ujar Alan begitu percaya diri."Tapi kenapa secepat itu, kita bah—""Gavin Wildberg, cukup!" teriak Alan, ba
Alan menggerakkan kepala ke atas menatap sang mantan suami tak percaya. Gigi putih dan rapi milik Alan bergemeletuk, mengingat ia hamil juga karena perbuatan keduanya, namun pria itu justru mencampakkannya dulu."Kenapa aku harus memberitahumu?""Siapa pria itu? Katakan padaku, Alan!" serunya."Apa hakmu mencari tahu. Kau bukan siapa-siapa bagiku, apa kau tidak malu ikut campur urusanku, Gavin Wildberg."Tangan yang tadi mencekal lengan Alan begitu kuat, kini berangsur melonggar dan jatuh terkulai. "Kenapa kau ... Katakan!" Kali ini, Alan bisa melihat amarah yang terpancar dari kedua mata biru Gavin. Tarikan napas serta dadanya yang kembang kembis, membuktikan jika pria itu menahan emosi sedemikian rupa."Katakan siapa pria berengsek itu, Alan!"Alan mendengus, dia sudah mengatakannya tadi, bukan. Jika di antara mereka sudah tak ada hubungan apa-apa lagi. Gavin yang memaksanya dulu menandatangani dokumen perceraian mereka. Meskipun dia sendiri tidak pernah hadir dalam sidang percera
Gavin merasakan kepalanya pusing bahkan rasanya hampir pecah. Pandagannya mengabur dan hampir saja roboh, ketika dia duduk di meja kerjanya pagi ini."Kau kenapa, Gav?" tanya Greg Martin yang baru saja tiba, dan duduk di kursi tepat di depan Gavin. Dia mengkhawatirkan rekan kerjamya ini yang tampak lesu sejak kemarin.Gavin hanya mampu menggelengkan kepalanya pelan, lalu menghempaskan kepala dengan surai pirang itu di atas meja dengan lesu."Alan sudah memiliki Anak dengan pria lain, Greg," ujarnya tiba-tiba. Menarik Greg Martin untuk menaikan satu alis karena penasaran akan ucapan pria tersebut."Yang benar saja? Tidak ada gosip yang beredar jika Presdir memiliki suami dan seoramg anak, Gav. Kau pasti salah."Kekesalan Gavin semakin menjadi. Pria itu kalap, dan memukul meja. Sungguh, dia tak mampu menahan sedikit saja luapan emosi di hatinya."Tapi dia memilikinya, kau tahu anak yang kuselamatkan saat kebakaran di tempat bimbingan belajar kemarin itu.""Iya, kenapa?""Kau masih tanya
Suara deru mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan rumah mewah yang merupakan mansion Smitt. Sang pengemudi yang adalah Alanair Smitt turun dari mobik, wnaita itu membuka pintu kendaraan roda 4 itu dengan tak sabaran menimbulkan suara 'Brakk' cukup nyaring dari bantingan pintu saat Alan menutupnya.Terlihat sekali wanita itu sedang berada dalam emosi tingkat tinggi, bahkan para pelayan di mansion itu merasakan aura mencekam yang keluar dari tubuh Alan.Tak memperdulikan apapun, Alan segera melesat masuk ke dalam mansion. Hentakan hells tinggi yang ia kenakan menggema di rumah bak istana itu, namun salam dari semua pelayan pun ia abaikan. Biasanya wanita itu akan tersenyum dan menyapa beberapa pelayan. "Hore, Mama pulang!" teriak si kecil Ken, ketika melihat sang ibu memasuki pintu utama. Ia berlari meninggalkan kakeknya yang sudah berada di rumah setelah kepulangan pria itu dari Jepang dalam acara bisnis, sekaligus mengunjungi makam sang istri yang berada di negeri sakura itu."
"Kau yakin ini tempat sekolah dari putra Boss kita?" tanya Greg, ketika pria itu berhasil mengantarkan Gavin di depan salah satu sekolah swasta di kota Brigston. Greg melirik ke arah Gavin yang sudah lebih baik dari kemarin. "Ya, aku mencari info dari sekretaris pribadi Alan."Greg terkekeh. "Kau bahkan lebih leluasa dengan hanya memanggil namanya saja.""Karena dia istriku," ucapnya percaya diri. "Jika kau masih dianggap." ketika Gavin berdecak, Greg justru tertawa lantang."Sialan!" Gavin segera melepaskan sabuk pengamannya, dan keluar dari mobil. Meninggalkan sahabatnya yang memilih duduk di balik kemudi mengawasi pergerakan rekan kerjanya ini.Gavin melangkah ke arah area sekolah. Mengamati beberapa anak yang telah keluar dari dalam kelasnya masing-masing. "Kenan Yoshiro Smitt!"Langkah kaki Gavin terhenti saat itu juga. Ia menggerakan mata ke samping, saat seorang guru perempuan berambut pirang menyebut nama itu. Seperti ada bom atom yang melesak seisinya dan Gavin merasakan
Setelah Alan merasa jauh dan jauh dari jangkauan mantan suaminya. Wanita cantik itu segera menyembunyikan tubuhnya di balik tiang bangunan. Hanya berdiri di sana tanpa melakukan apapun, memperhatikan sepatu hells merahnya yang menggesek tanah. Matanya berkaca-kaca menahan emosi yang sedari tadi dirinya tahan. Hanya saja Alan kalah, hatinya sakit, dan dadanya terasa sangat sesak sekarang. Saat ini ia hanya bisa menepuk dadanya, berharap mengikis semua rasa sakit yang menumpuk di sana, namun semua sia-sia. Rasa sakit itu semakin menjadi, membuat tangisnya kini pecah tak mampu ia bendung lagi."Mama, Mama menjemputku?" Suara melengking di depannya membuat Alan mendongakkan wajah."Mama menjemputku?" ulangnya. Dia berlarian kecil saking senangnya, karena sang ibu menjemputnya di sekolah. "Iya, Mama menjemputmu, kau senang?""Tentu saja senang," ujarnya sembari memeluk kaki Alan, karena tinggi anak itu hanya sepinggang ibunya. Bibirnya terkembang senyum lebar seolah ia baru saja memenangk
Gavin kembali ke rumah dengan hati hancur. Nyatanya ia tak bisa lagi memiliki kesempatan untuk bersama kembali dengan Alan.Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, matanya menerawang ke atas langit-langit apartemen kecil, yang ia sewa setelah rumah mewahnya ia jual untuk menutup hutang puluhan juta dollar di bank, akibat perusahaan milik sang ayah pailit."Apa yang kau lakukan di sini, huh!" seru Grifida. Wanita itu datang dengan pakaian berkabung, membuat Gavin langsung bangkit."Mama, kau dari mana? Kenapa memakai pakaian berkabung? Siapa yang meninggal?" tanyanya. Grifida tak menunjukkan raut sedih sama sekali. Justru binar bahagia terpancar di wajahnya yang mulai keriput,0 akibat tak pernah melakukan perawatan wajah."Kau tahu, beban hidupku kini telah menghilang. Akhirnya wanita ular itu mati bersama anaknya yang cacat."Mata biru Gavin langsung mendelik mendengar perkataan sang Ibu. "Apa maksud, Mama?""Kau tahu maksudku, Gavin. Wanita ular itu, alias mantan istrimu, Aluna Welingt
Gavin menarik lidah Alan untuk bergulat hanya sebentar. Sementara tangannya bergerak lihai memelintir pucuk dua bongkahan kembar milik Alan yang mencuat karena terangsang. Memaksa Alan untuk mendesah nikmat di bawah kungkungan sang mantan.Terdengar kecupan penuh nafsu, dan gairah malam yang mereka gumamkan. Sedotan akan bibir tipis yang mendominasi, membuat Alan tak berdaya. Tubuhnya seperti tersengat aliran listrik, setiap lelaki di atasnya memberikan sentuhan yang tak pernah ia dapatkan selama ini."Eung...," lenguh Alan mendongak. Merasakan perutnya tergelitik, saat lidah Gavin bermain di area tubuh atasnya. Mengulum secara lambat, yang membuat Alan meremas surai hitam sang mantan suami.Gavin yang sejak tadi menyentuh tubuhnya, merasakan sesuatu yang tak bisa ia gambarkan. Sebuah perasaan sakit akan apa yang telah ia lakukan sekarang."Kita pindah kamar, ya?" ucap Gavin sembari menarik diri, saat ia kembali mengecup bibir Alan yang terbuka, dan menatap kedua maniknya meminta pers
"Alan apa yang kau lakukan?"Bukannya berhenti Alan justru melepas semua atribut yang menempel di tubuhnya. Hingga tubuh putih itu polos tanpa sehelai benang pun. "Kenapa kau diam saja, bukanlah kau menginginkan tubuhku, berengsek!" Alan berteriak. "Tidak."Alan tertawa nyaring, mengabaikan rasa malunya di depan Gavin. Ia melangkah maju mendekati sang mantan suami yang duduk dia tas sofa. "Apa kau sekarang telah berubah menjadi pria baik-baik, oh astaga. Ini mencengangkan sekali. Tapi mana mungkin kau bisa menolakku."Gavin susah payah menelan ludahnya gugup. Segala pikiran kotor ingin ia singkirkan, namun ia kalah dengan tubuh Alan yang menggoda. "Shit!" umpatnya, kala miliknya di bawah sana mengaum ingin dibebaskan. "Lakukan dengan cepat, dan aku tak ingin membuang waktu berhargaku, sialan!" umpat Alan tak kalah sarkas."Kenapa kau melakukan ini, Alan?""Kau tidak perlu bertanya."Bukannya langsung memenuhi keinginan Alan, Gavin justru menarik tubuh polos sang istri dalam pelu
Lelaki itu turun dari dalam mobil tepat di depan hotel yang Alan tunjuk untuk pertemuan mereka malam ini. Dia mengamati hotel berbintang lima yang begitu mewah di pusat kota Edlen. Gavin lalu buru-buru kembali masuk ke dalam mobil, dan mengendari kendaraan roda empat tersebut menuju basemen."Apa benar ini tempatnya, ya?" gumam Gavin seorang diri. Ia berjalan masuk ke dalam lobi hotel setelahnya. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya sang resepsionis. "Nyonya Alanair Smitt, saya ingin bertemu dengannya."Resepsionis bernama Alexa itu tersenyum, ia meminta Gavin untuk menunggu, mencari data Alan di layar monitor."Nyonya Smitt menginap di kamar tiga ratus tujuh."Gavin mengangguk, lalu bergegas menuju lift yang akan mengantarkan dia ke lantai 3 tempat Alan menginap.Hatinya berdebar tak karuan, padahal hanya 10 menit ketika ia turun di lantai 3, namun rasanya sudah berabad-abad. Ia berharap malam ini Alan memberinya maaf, ia tak berharap banyak untuk kembali pada wa
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ayahmu, Gav." Greg menepuk pundaknya dengan pelan, dan lelaki bermarga Wildberg itu hanya mengangguk lesu."Aku tahu itu berat bagimu, Gav. Tetapi cobalah relakan Ayahmu. Dengan begini, Tuan Wildberg tak lagi merasakan sakit. Dia sudah bahagia di atas sana."Gavin menghembuskan napas pelan, sebelum mengalihkan atensinya pada sosok Greg Martin yang berdiri di belakang tubuhnya. Ia memutar kursi, hingga kini ia tepat menghadap lelaki bermata biru tersebut. "Ini bukan soal Ayahku, Greg.""Lalu.""Ibuku tahu jika Alanair Smitt adalah mantan istriku, kau tahu apa yang Ibuku katakan?"Greg menaikan satu alisnya. Tetapi ia sudah tahu jawabannya, bahkan ketika ia tak perlu bertanya pada sahabatnya itu. "Ibumu menyuruh kau kembali pada Nona Smitt, right."Gavin mengangguk pelan. "Bahkan, tanpa aku menjawabnya kau sudah tahu apa jawabannya.""Maaf, tapi karena itu mudah sekali tertebak ketika kau sering menceritakan sikap Ibumu. Sekarang terserah kau s
"Dia Alanair Wellington, istriku dan bocah kecil itu adalah putraku, putraku dengan Alan." Gavin mengatakan dengan gamblang. Alan melotot, begitupula dengan Grifida, wanita itu menatapnya tak percaya. Grifia membekap bibirnya dengan telapak tangan. Dia tertawa miris dengan apa yang ia dengar di telinganya saat ini. "Bohong, kau pasti bohong. Mana mungkin dia adalah si jelek Alanair Welington?"Alan mendengus malas. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Sejak dulu, kau tak pernah berubah, ya, Nyonya Wildberg?""Karena aku percaya kau bukan Alanair, mana mungkin." Grifida masih bersikukuh."Karena Anda takut, bukan begitu. Anda takut mengakui saya sebagai Alanair Welington, Anda takut dengan kesalahan dan dosa Anda di masa lalu, Nyonya." Alan tertawa sinis, membuat wajah Grifida pucat pasi.Wanita itu memundurkan langkah. Mungkin Alan benar, dia takut dengan dosa masa lalunya. Dosanya yang telah mencampakkan menantunya yang polos, dan bahkan berhati mulia. Justru dia memelihara
"Laporan apa yang kau buat ini? Apa kau tidak becus membuatnya, huh?" Sebuah kertas dilempar begitu saja oleh Alanair, begitu ia membaca laporan yang Gavin berikan padanya."Apanya yang salah?" tanyanya. "Apa matamu buta? Atau sudah rusak? Lihat saja sendiri, kau sama sekali tak becus membuatnya. Pantas saja WG hancur karena dipimpin oleh orang macam kau." Amarah Alan menggebu-nggebu saat ini.Sakit di hati Gavin semakin menjadi, bukan karena amarah wanita ini. Akan tetapi, status mereka yang seharusnya masihlah suami istri, namun ketika mereka sudah sedekat ini. Kenapa ego memisahkan masing-masing. Ia menyesal dengan perbuatannya, ia tahu ia salah. Namun, Alan tak memberinya sedikitpun kesempatan untuk memperbaiki dirinya sendiri. "Astaga, kamu kalau marah menggemaskan sekali." Gavin mencoba mencairkan suasana denagn menggoda sang istri, ah masihkah boleh Gavin menyebutnya seperti itu, sementara Alan sudah menganggap mereka bercerai. Lagipula, dia sudah tidak mau bersama pria ini.
Setelah Alan merasa jauh dan jauh dari jangkauan mantan suaminya. Wanita cantik itu segera menyembunyikan tubuhnya di balik tiang bangunan. Hanya berdiri di sana tanpa melakukan apapun, memperhatikan sepatu hells merahnya yang menggesek tanah. Matanya berkaca-kaca menahan emosi yang sedari tadi dirinya tahan. Hanya saja Alan kalah, hatinya sakit, dan dadanya terasa sangat sesak sekarang. Saat ini ia hanya bisa menepuk dadanya, berharap mengikis semua rasa sakit yang menumpuk di sana, namun semua sia-sia. Rasa sakit itu semakin menjadi, membuat tangisnya kini pecah tak mampu ia bendung lagi."Mama, Mama menjemputku?" Suara melengking di depannya membuat Alan mendongakkan wajah."Mama menjemputku?" ulangnya. Dia berlarian kecil saking senangnya, karena sang ibu menjemputnya di sekolah. "Iya, Mama menjemputmu, kau senang?""Tentu saja senang," ujarnya sembari memeluk kaki Alan, karena tinggi anak itu hanya sepinggang ibunya. Bibirnya terkembang senyum lebar seolah ia baru saja memenangk
"Kau yakin ini tempat sekolah dari putra Boss kita?" tanya Greg, ketika pria itu berhasil mengantarkan Gavin di depan salah satu sekolah swasta di kota Brigston. Greg melirik ke arah Gavin yang sudah lebih baik dari kemarin. "Ya, aku mencari info dari sekretaris pribadi Alan."Greg terkekeh. "Kau bahkan lebih leluasa dengan hanya memanggil namanya saja.""Karena dia istriku," ucapnya percaya diri. "Jika kau masih dianggap." ketika Gavin berdecak, Greg justru tertawa lantang."Sialan!" Gavin segera melepaskan sabuk pengamannya, dan keluar dari mobil. Meninggalkan sahabatnya yang memilih duduk di balik kemudi mengawasi pergerakan rekan kerjanya ini.Gavin melangkah ke arah area sekolah. Mengamati beberapa anak yang telah keluar dari dalam kelasnya masing-masing. "Kenan Yoshiro Smitt!"Langkah kaki Gavin terhenti saat itu juga. Ia menggerakan mata ke samping, saat seorang guru perempuan berambut pirang menyebut nama itu. Seperti ada bom atom yang melesak seisinya dan Gavin merasakan