Dengan kepala yang terasa berat, mata sedikit berkunang-kunang, Sia bangun dari pembaringan. Dia hampir terjatuh dari ranjang saat berniat turun dan mendapati kakinya tak menginjak lantai, tapi udara.
Menaikkan kembali kedua kakinya, Sia mundur ketakutan sampai bersandar pada kepala ranjang. Dia ingin menenangkan dirinya, bahwa dia sedang bermimpi, dan akan segera dibangunkan oleh Rigel atau Yoan.
Memeluk lututnya seperti ada air dingin yang mengguyur tubuhnya, Sia menggigil. Sekarang dia tahu, ini bukan mimpi.
Di saat itulah Adlin dan Miria muncul dari kejauhan, seolah berjalan di atas udara untuk menyambut sang terdakwa hukuman mati.
“Halo, Galexia Pandora,” sapa Miria. Dia tidak tersenyum, tidak juga cemberut.
Disampingnya, Adlin melipat kedua tangan di depan dada. Auranya terlihat lebih gelap dari sebelumnya.
“Ha-halo, Nyonya,” balas Sia. Dia gugup. Aura Adlin membuatnya tegang.
Miria sadar itu, jadi dia me
Pria itu diam sejenak, lalu sengaja mengalihkan jawabannya dengan sebuah pertanyaan. “Menurutmu bagaimana?”Sia dilanda gelisah dan ketakutan. Dia baru saja memulai hidup. Meski tidak tahu seperti apa saat berada dalam tidur panjangnya, tetap saja, delapan bulan itu dia seperti mati suri.“A-aku ... aku tidak tahu,” jawab Sia pelan, tidak berani melihat ke arah si pria yang duduk cukup dekat dengannya.“Sebenarnya, apa tujuanmu untuk tetap hidup, Galexia Pandora? Berikan aku sebuah alasan yang bagus.” Pria itu berusaha memberi satu kesempatan untuk berangan, kemudian akan dia hempaskan sesuka hatinya.Sia merenung dalam keadaan cemasnya. Tidak ada yang istimewa dalam hidupnya sejak terbangun dari koma, selain percintaan menyenangkan bersama Rigel, dan kebersamaan hampa dengan Yoan.Jadi, sekarang dia ragu pada apa tujuan hidupnya selama tiga bulan yang sudah dia jalani, seolah hidupnya tidak akan pernah berakhir
Vanth mengulum senyum, sesuai dugaan dan perkiraan, seperti inilah kepribadian baru yang akan dijalani Galexia Pandora.Keras kepala, tidak memiliki empati, dan tentu saja, bisa bertahan hidup dalam keadaan apapun.“Pandora!” geram Gita, dia berteriak dalam suara yang tertahan lewat kumpulan gigi-giginya yang bertabrakan.Vanth tahu, Gita akan dengan senang hati membiarkannya memotong antrean, tapi tidak dengan Sia.“Apa, huh?” Sia membalas Gita secara terang-terangan. “Kau mau membiarkan dia—”“Sudah-sudah, tolong jangan bertengkar,” kata Vanth, menengahi. Dia menahan lengannya di antara Sia dan Gita yang siap beradu mulut.“Kau juga, enyahlah dari hadapanku!” teriak Sia. Dia menepis lengan Vanth yang terhormat.Keributan benar-benar akan terjadi di dalam antrean, jika Miria tidak datang dan coba membawa pergi Tuannya yang tampak puas, bahkan tertawa-tawa gembira&mdash
Ancaman Sia benar-benar manjur. Dengan kesal dan takut yang sengaja disembunyikan, Disi berbisik untuk pamit dari hadapan Rigel, lalu mengikuti Sia yang sudah lebih dulu bergerak menjauhi pinggir pantai.Tadi, saat terlalu bersemangat menciduk Disi, Sia benar-benar tidak memperhatikan apalagi sampai mengenali Vanth sebagai pria lusuh yang memintanya memotong antrean di stan jajanan pasar, dengan pria yang kini berpakaian pantai berkacamata hitam, serta berkulit putih pucat.Tidak lama setelah Sia dan Disi melewati Miria yang masih terheran-heran, Vanth menyusul pergi, tapi bukan untuk mengikuti dua wanita yang tidak pernah akur baik di kehidupan pertama mereka, maupun yang kedua ini, melainkan ke arah Miria yang tampak bersiap mendengarkan penjelasan pemimpin negeri atas awan.Sedangkan Adlin tertidur di kursi santai, tanpa berniat bangun. Bahkan dengkuran halusnya membuat Rigel kesal dan memilih untuk ikut pergi meninggalkan pantai.Vanth duduk sedikit j
Sia tidak pernah merasa perlu memeluk guling setiap kali dia tidur. Tapi kemudian merasakan kehangatan dari pelukan guling besar di dalam mimpinya, hingga terasa sampai dia terbangun.Ketika mulutnya bersiap berteriak tak lama setelah kedua mata terbuka, sebuah tangan besar milik seorang pria yang kini saling bertatap mata dengannya, membungkam mulut Sia.“Jangan berteriak. Akan kujelaskan sekarang, tapi jangan berteriak,” bisik Rigel. Sebenarnya, dia juga panik karena semalam sudah menyelinap masuk dengan mudah, karena pintu tidak dikunci.Saat Sia mengangguk, Rigel melepas bungkaman tangannya dari mulut Sia, tetap hati-hati memantau wanita yang sejak awal selalu menatapnya dengan tatapan bermusuhan itu, sambil bergerak secara bersamaan untuk duduk di atas ranjang yang mereka tiduri.“Cepat jelaskan sebelum aku berubah pikiran,” ancam Sia. Dia melirik pintu kamarnya, dan sepertinya itu dikunci dari dalam.Rigel menghela nap
Disi seketika gemetar karena marah. Tangan yang mencengkeram selimut, tampak memucat. Angela merasakan hal yang tidak wajar. Sebagai Ibu dari dua orang Putri walau yang satunya tidak lahir dari rahimnya, Angela berusaha tetap bijaksana meski dia yakin, Sia dan Rigel sudah berbuat hal yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan. “Disi, cukup! Kembali ke kamarmu,” perintah penuh kelembutan namun tegas tertuju untuk Disi, “dan kalian berdua ...” Tatapan Angela beralih untuk menatap Rigel dan Sia di ranjang, “segera berpakaian. Kita perlu bicara.” Angela membawa Disi bersamanya, lalu mengisyaratkan pada dua insan manusia yang tidak berbuat apapun di atas ranjang itu agar segera berbenah diri. Sia melompat turun karena sudah berpakaian lengkap. Dia terkejut harus bertindak seperti apa setelah ini. “Hei, bagaimana ini?” “Ikuti saja keinginan Ibumu.” Rigel mengancingkan kemejanya dengan santai. Lalu keluar kamar tanpa menunggu Sia. Angela khaw
Saat turun dari mobil, Sia melihat seutas benang hitam halus mengikat di jari telunjuk kiri Rigel. Pria itu terus berjalan, sementara benangnya mengikuti dengan panjangnya yang terus tak tampak di mana ujungnya.“Hei ...” Sia memanggil Rigel, menunjuk ke benang hitam yang terbentang panjang tanpa ujung, “itu.”“Apa?” Rigel bingung, melihat ke arah yang ditunjuk Sia, dia menggeleng, tak melihat apapun. “Tidak ada apa-apa.” Tidak peduli, dia melangkah kembali.Sia melihat benang itu masih terus ada, terbentang tanpa ujung. Dia mulai cemas bahwa mungkin dirinya sedang berhalusinasi.“Hei, cepat!” Rigel sudah berdiri menunggu Sia yang tampak bodoh dengan wajah bingungnya.Sia menyusul, setelah yakin sepertinya dia butuh tidur untuk menghilangkan ketegangan dalam aliran darah ke otaknya.Mereka tiba di ruangan besar rumah mewah Rigel, tapi Sia tidak sempat mengagumi itu karena hal tadi.
Pernikahan digelar secara tertutup. Rigel tidak setuju saat Angela menginginkan banyak tamu dari pihak keluarga dan teman-temannya datang melebihi dari jumlah yang sudah ditentukan Rigel. Alasannya, karena Rigel tidak ingin buang-buang waktu untuk membalas para tamu yang nanti akan menyalami dan memberinya ucapan selamat. Itu menjadi satu-satunya hal yang paling berguna yang pernah Rigel lakukan untuk Sia. Karena kehadiran keluarga dan teman-teman dari pihak Ibu tirinya, membuat Sia merasa tidak begitu nyaman. Menurut Sia, Angela dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menyebalkan, dan bergaul dengan teman-teman menjengkelkan. Kecuali hanya satu orang itu, Dokter Vania. Dia wanita paruh baya yang cantik serta lembut. Tidak ada alasan bagi Sia untuk membencinya. Dan yang paling menyenangkannya lagi, hari ini dia tidak melihat penampakan benang-benang merah takdir milik orang-orang. Itu melegakan sekali. Bahkan terbersit harapan agar selamanya tidak melihat b
Rigel duduk tegak setelah tadi bersandar dengan tubuh setengah merosot di sofa. Dia berdeham sebelum mulai bicara.“Sepertinya kita perlu membaca aturan yang sudah kita tuliskan,” kata Rigel, dia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel.“Aku mengingatnya. Karena aturan yang kutulis, tidak sebanyak milikmu.” Sia berjalan menuju tempat sampah, membuang kapas sisa membersihkan wajah.“Aku juga sudah mengabadikan aturan milikmu dan yang kutulis. Ada di sini.” Rigel menggoyangkan ponsel. Dia memang sengaja memotret surat peraturan pernikahan mereka jika membutuhkannya sewaktu-waktu alih-alih membawa secarik kertas itu ke mana-mana.“Baguslah, bacakan.” Sia duduk, bersandar santai sambil menebak ke mana perginya keluarga Rigel. Tidak ada satupun orang di rumah ini selain para pelayan yang jumlahnya belasan.Di acara pernikahan tadi pun, hanya ada rekan bisnisnya saja. Tidak ada sanak saudara lain yang t
Ratu Nimfa. Wanita culas yang tidak menginginkan siapa pun berada didekat Penguasa langit selain dirinya. Janji Vanth untuk mencabut nyawa wanita itu benar-benar diwujudkan, meski akhirnya Penguasa langit melindungi Ratu Nimfa demi dirinya dan kerajaan yang mereka bangun bersama.Minerva tidak menyangka bahwa Vanth mengikutinya ke dunia langit, mengumpulkan banyak tenaga demi bisa menghunuskan belati ke dada kiri Minerva.“Pergilah. Mulai hari ini, kau bukan Putriku. Dan tidak akan ada bahagia yang kau dapatkan setelah berani melakukan banyak hal buruk pada kami. Satu hal yang harus kau ingat, apa pun yang terjadi padamu dan Putra-Putrimu, itu tidak akan ada lagi hubungannya denganku.” Penguasa Langit berbalik, membawa tubuh Ratu Nimfa yang sekarat, tapi wanita itu tidak akan mati. Sekali lagi, mereka bukan manusia. Hidup abadi adalah salah satu hal paling membosankan yang tidak bisa mereka banggakan.“Kau tidak menyesalinya?” Vanth terba
“Dia bukan cinta lamaku,” protes Vanth. Kenyataannya memang begitu.“Ya, aku percaya itu.” Yemima mencibir. Menyeringai dibalik punggung Rigel.“Susul Hortensia. Dia mungkin tidak bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Sia.” Vanth menatap Rigel yang mulai menggerakkan tangannya.“Yeah, dua wanitamu bersatu.”“Diam dan pergilah.” Vanth dibuat kesal setiap waktu oleh Yemima, meski dia membutuhkan rekan seperti wanita itu di sisinya.Yemima pergi sembari menyeringai, dia tahu Vanth hanya mencintai Minerva, tapi terjebak birahi dengan Aura. Dan dirinya sendiri tidak pernah peduli untuk jatuh cinta, apalagi berkembang biak.*****Sia memperhatikan dua wajah yang terbaring di kiri dan kanannya. Vanth memang baru saja memejamkan kedua matanya, pria itu lelah pastinya. Sementara Rigel sudah terbaring tidur lebih dulu sebelum dirinya merangkak ke sisi
Rigel pernah punya kenangan di rumah ini. Rumah pertama kali dia dipertemukan kembali dengan Sia, dan rumah yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Yoan Bailey.Beruntung dia tidak pernah membiarkanYoan menjual rumah ini. Walau tampak tidak berpenghuni, tapi Rigel ingat, Yoan mempekerjakan sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat rumah ini, serta menyantuni mereka setiap bulan.Mereka disambut, benar, sepasang suami istri yang ramah. Rigel tidak mengenal mereka. Yoan yang selalu mengurus hal yang sering kali tidak dia ketahui.“Jadi selama ini siapa yang membayar gaji kalian?” Rigel bicara tanpa basa-basi, setelah tadi dia mengantarkan Sia masuk ke kamar, agar wanita itu bisa beristirahat.“Tuan Vanth Dier.”Ah, seketika Rigel tidak lagi curiga. Ares Vanth Dier memang selalu bisa diandalkan.*****Vanth menginjak kepala penyerang terakhir, yang lebih tepat disebut pem
Selama sepekan, Vanth dan Rigel terus ada di sisi Sia dengan bergantian berjaga, bahkan mereka tidur di ranjang bersama, bertiga.Malam itu, Sia merasa gerah. Dia meminta Rigel melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur tipis. Saat dengan hati-hati Rigel melakukannya, Vanth sedang berada di dapur bersama Aura, dan Yemima yang baru saja pergi keluar rumah karena bosan.Dua wanita itu sudah diminta pulang ke negeri atas awan, tapi mereka bersikeras tinggal dengan alasan ingin berjaga-jaga jika kemungkinan buruk yang bisa datang dari luar rumah.“Dia akan baik-baik saja, bukan?” Suara halus Aura, terdengar di dapur Sia yang tidak luas, juga tidak sempit.Sejak tadi, Vanth lebih banyak diam. Aura tahu, itu bukan pertanda yang baik.“Pasti.” Hanya itu jawaban Vanth.“Aku merindukanmu,” ucap Aura dengan sadar posisi, tempat, dan waktu saat dia mengakuinya.“Lalu, apa yang kau inginkan?&rd
Sia melihat perseteruan di depan matanya. Berkali-kali dia memutar tubuh ke kiri dan kanan hanya untuk memastikan keberadaannya.Mimpi dan penglihatan itu lagi. Anehnya kali ini, ada pihak lain yang tampak tidak terima dan menyulitkan Rigel.Sia ingin mendekat, tapi rasa kram di perutnya menahan dia untuk melakukan itu. Dia hanya bisa berada di jarak lima meter untuk memandangi mereka, dan terasa aman bagi kondisi perutnya.Saat umpatan wanita histeris itu mengudara, saat itulah Sia bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan, menghantam mereka.Rigel terpental, lalu menghilang di udara yang membuat tubuhnya sempat mengambang. Begitu juga dengan dua lainnya yang sudah hilang tidak berjejak apa pun.Sia tersedot dari sana dan terlempar untuk membuka kedua matanya kembali. Sensasi seolah ini perjalanan waktu.Terengah, Sia membulatkan sepasang matanya dalam kengerian teramat sangat.“Kau bermimpi buruk lagi?” Yemima hadir d
Waktu penjemputan. Rigel harus segera bersiap. Dia melihat Aura Hortensia Dikova yang berdiri di ambang pintu saat dia keluar untuk membuka dan melihat dengan perasaan tidak menentu di sana.“Kau?”“Bukan hanya dia, tapi juga aku.” Yemima Zvon Yolanthe bahkan ikut muncul dibalik punggung Aura.Rigel mengernyit. Dia tahu siapa wanita ini, bahkan keduanya. “Seharusnya kau datang untuk menjaga Sia.”“Yap. Tapi Ratu Nimfa sudah membebaskan aku. Dia memberikan pilihan padaku. Membantunya atau mantan rekanku. Jelas bukan, aku memilih siapa. Aku di sini sekarang.”Mendengus, Rigel meninggalkan pintu, mendekat ke arah kamar Sia. “Kupikir Ratu pendamping Penguasa langit itu tidak akan pernah mudah melepas sanderanya.”“Aku bukan sandera mereka. Aku hanya melakukan kesalahan kecil hingga harus menjalani hukuman.”Aura melangkah maju hingga berada di antara mereka. “Ba
Austin ingin tertawa mendengarnya. Ini kesalahpahaman yang bahkan tidak pernah terjadi padanya dan Disi. Kenapa bisa Irene berpikir terlalu jauh seperti itu? “Aku punya kesibukan yang lain beberapa waktu lalu hingga ketika tiba di rumah, aku lebih mengutamakan bayi Cassie karena dia jarang sekali bisa bertemu denganku. Denganmu, aku bisa melihatmu selalu. Kita tidur bersama sepanjang malam. Jadi kupikir, aku tidak ingin kehilangan momenku sebagai seorang Ayah bersamanya. Dan ... aku memikirkan ini lebih jauh Irene. Ketika kita bercinta, aku selalu lepas kendali. Kekuatanku menindih tubuhmu bisa mematahkan ranjang. Kau sedang hamil, dan aku tidak ingin lepas kendali yang bisa berakhir dengan menyakitimu dan bayinya. Apa hal itu justru menyakiti hatimu?” Austin mengangkat dagu Irene agar berani menatapnya. “Tidak. Kau tidak pernah menyakitiku. Justru aku takut diriku bisa membuatmu terluka dan kecewa.” Irene meraih tangan Austin, menggenggamnya sesaat,
Rigel mengangkat tubuh Sia ke tempat tidur. Wanita itu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.“Temani dia. Aku harus kembali sebentar ke negeri atas awan.” Vanth sudah bergerak untuk pergi.“Aku tidak bisa meninggalkan Sia seorang diri saat akan melakukan penjemputan.”“Aku tahu.” Vanth mengusap kusen, merapalkan mantra di sana. “Jika aku terlambat kembali, seorang teman akan datang menemani Sia.”“Harus seseorang yang tahu tentang kondisi kehamilannya.” Rigel memperingatkan. Seorang manusia normal pasti akan panik saat menghadapi situasi kesakitan Sia, dan pasti memilih untuk membawanya ke Rumah Sakit.“Ya. Dia temanku, bukan teman Sia. Jadi sudah pasti dia paham akan kondisinya.” Setelah bicara, Vanth pergi. Ada rasa sedih yang disimpannya rapat-rapat di dalam hati, dia harus kembali karena ada beberapa tugasnya sebagai Pemimpin yang belum selesai.Rigel melihat wajah
Tersadar dari pingsannya, Sia mengalami sesak napas.“Sayang, cobalah bernapas dengan perlahan.” Vanth yang tidak tidur sama sekali dan terus terjaga saat Sia terlelap, tetap tenang walau ada gelisah yang menghantuinya.Sia coba mengikuti saran Vanth, tapi tetap tidak membuahkan hasil apa pun. Sia terus kesulitan bernapas dan Vanth segera membawanya ke Rumah Sakit.“Selain kesulitan bernapas, tubuhnya juga kehilangan cairan cukup banyak. Dan ...” Dokter wanita itu melepas kacamatanya, mencubit pangkal hidungnya, dan bingung harus bagaimana menyampaikannya, “maaf, Tuan.Seperti ada parasit yang coba menyerap darah dan mengganggu kinerja organ tubuh lainnya. Parasit yang sampai saat ini belum bisa kami temukan berada di bagian tubuh mana di dalam tubuh istri Anda. Jujur saja, ini aneh. Seperti di luar akal sehat kami, para Dokter. Bukan tidak mungkin, tapi—”“Aku mengerti.” Vanth menarik diri, per