Kutatap diri ini di cermin, make-up natural. Namun, terkesan elegan dan mewah menghiasi wajah, siger--perhiasan kepala khas sunda-- bertengger di kepala melengkapi indahnya balutan jilbab putih bertaburkan manik-manik kristal.Juga bunga melati segar menggantung di belakang teinga menambah kesan segar pada penampilanku, seulas senyum menghiasi bibir yang dihias diberi warna pink soft, sebentar lagi hari bahagia akan tiba, bisikku dalam hati."Gimana, Sayang? bagus 'kan?" tanya seorang penata rias terkenal wanita yang diundang khusus oleh Daniel untuk mempercantik diriku."Bagus, Mbak, ini kebayanya juga bagus banget," jawabku seraya memandangi kebaya putih bertabur manik-manik bening yang selalu menampakkan kilaunya, dipadukan dengan sebuah rok batik berwarna kecoklatan."Alhamdulilah kalau Mbak puas, duduk dulu ya, rilex aja karena mempelai lelakinya belum datang," ucapnya lembut seraya memegang kedua bahuku dari belakang.Mendengar Daniel belum datang hati ini berdesir dan berbagai
Beberapa menit kemudian datanglah ibuku bersama Kak Shanaz mereka terlihat anggun dengan mengenakan kebaya modern dengan warna yang sama."Eh, ada Bu Atikah," ucap ibuku seraya menyalami ibunya Bang Surya begitu pula dengan Kak Shanaz."Apa kabar, Mbak," jawab ibunya Bang Surya basa-basi, mereka terlihat akrab sekali."Alhamdulilah baik, yuk Sarah kita turun sekarang," ucap ibuku seraya menggandeng tanganku.Aku mengangguk dan dengan dada berdebar mulai melangkah, posisiku diapit oleh ibu dan Kak Shanaz, di belakang terdengar suara langkah kaki, rupanya ibunya Bang Surya ikut mengantarku menuju pelaminan.Semua mata tertuju kala diri ini sudah menginjak di beberpa anak tangga, aku menundukkan wajah tak berani menatap mereka lama-lama.Setelah kaki ini berpijak di lantai bawah, aku mendongkakan wajah dan nampak Daniel yang begitu menawan dengan mengenakan pakaian adat sunda berwarna putih dihiasi ornamen warna silver, ia tersenyum hangat saat pandangan kami beradu yang membuat hatiku s
bab 52 huSemua tetangga dan saudara dari kedua mempelai berangsur pergi, lalu kami bergegas menuju hotel untuk acara resepsi malam nanti.Semua keluargaku hadir termasuk Sonia, walau ia mengenakan kursi roda. Namun, dari sorot matanya menyiratkan bahwa dirinya ikut berbahagia.Hanya Bang Surya yang tak terlihat, padahal aku sudah menyuruhnya untuk datang."Aku naik mobil sama Nenek aja ya, Ma," ucap Carla saat kami hendak masuk ke dalam mobil."Oh ya sudah jangan nakal ya."Aku dan Daniel duduk di kemudi belakang, sedangkan supirnya Daniel yang menyetir, selama perjalanan tak henti ia menggenggam erat tangan ini.Aku yakin, jika di mobil ini tak ada siapapun selain kami, ia pasti akan berbuat macam-macam, dengan tingkah usilnya."Kamu bahagia ga, Sayang?" ia bertanya seraya memandang wajahku dengan mesra.Ya Tuhan, dada ini berdegup hebat melihat tatapan matanya, setelah sekian lama hati ini gersang kini, hadirnya Daniel seolah air hujan yang menyirami guru pasir yang tandus."Bahagi
Daniel memegang erat jemariku yang dingin lalu menatap wajahku dengan senyum yang meyakinkan, sementara dalam hati ini seperti ada goresan yang cukup menyakitkan.Kulepaskan genggaman jemarinya, rona bahagia yang terpancar, sirnalah sudah karena melihat sebuah photo mesra Daniel dan Safira hampir tanpa busana."Jangan marah, Sayang, itu masa lalu." Ia berbisik di telinga, napasnya terasa hangat. Namun entah dengan hati ini, fikiranku jauh menerawang ke depan sana, rasa takut yang dulu kini hinggap kembali di rongga dada menimbulkan sesak."Sayang," panggilnya lirih, aku faham dirinya tengah risau atas sikapku yang tengah mendingin.Entah harus kukatakan apa yang jelas hati ini bagai tersayat kembali saat melihat orang yang kusayangi berpeluk mesra dengan yang lain, sama seperti dulu, sakitt!.Daniel, tolong jangan torehkan luka lagi pada hati ini, batinku meraung-raung."Sayang kenapa diem? a-aku minta maaf," ucapnya sembari mengguncang kedua bahu, mata ini sudah berkabut, siap untuk
"Ya sudah kalau gitu kita ganti baju dulu ya, aku sudah ga nyaman ni," jawabku."Oh iya aku bantuin ya," ujarnya antusias."Ih ga usah, mending kamu ke kamar mandi aja lepas semua bajunya.""Terus aku jangan pake baju gitu?" pertanyaan yang membuatku terkikik."Ya pake dong, nanti masuk angin.""Ga pake juga ga apa-apa, nanti juga di lepas lagi." ia terkekeh lalu beranjak menuju kamar mandi.Perlahan aku mulai melucuti gaun juga aksesoris ini, dan berganti dengan sebuah piyama fasilitas hotel, rambutku dibiarkan tergerai indah, setelah memasukkan gaun dan yang lainnya ke dalam koper aku merebahkan diri di pembaringan dengan make-up yang masih menghiasi wajah.Entah mengapa Daniel begitu lama di kamar mandi, hingga tak terasa mata ini terlelap karena terlalu lama menuggunya."Sayang!" sebuah tepukan pelan di pipi terasa, mataku mengerjap dan langsung terbuka seketika saat wajah Daniel terlihat oleh pandanganku, ia nampak segar tetesan-tetesan air masih menetes membasahi kening dan peli
Adzan subuh menggema di seluruh penjuru bumi, membangunkan setiap insan yang sedang terlelap.Kekasihku melingkarkan tangan kekarnya di pinggangku, sebagai tanda jika ia enggan untuk terbangun."Masih ngantuk, Sayang." Ia bergumam hingga embusan napasnya terasa menghangat di leher."Ini sudah adzan ayo bangun, cepetan mandi," ucapku seraya menggoyangkan tubuhnya.Ia mengerjap, lalu berusaha membuka matanya dengan sempurna, aku tersenyum kala manik matanya sudah bisa memandang wajahku seutuhnya."Sayang, kamu wangi, udah mandi?" ia bertanya seraya menatap wajah dan menyentuh rambutku yang masih setengah basah."Iya sudah, ayo bangun nanti kesiangan salat." Aku menarik tangan kekarnya agar ia mau terbangun dan menjalankan kewajibannya.Ia mencebik manja, dan balas menarik tanganku hingga dada kami bersatu padu, setelah itu ia membenamkan diri ini ke dalam dekapannya."Bangun dong, Sayang." Aku merintih protes dengan ulahnya.Bukannya terbangun ia malah semakin erat mendekap hingga dada
Sarapan telah usai, aku sibuk merapikan barang-barang karena hendak pulang ke rumah, rasanya segan untuk menginap lama-lama, aku takut jika Carla sedang menanti kedatanganku di rumah sana."Jadi kita mau pulang sekarang?" Daniel seolah masih ingin berlama-lama di tempat ini."Iya, Sayang, kita pulang dulu setelah itu kamu bebas mengajak aku ke manapun." Ia membawa tubuh ini ke dalam dekapannya."Serius?" "Duarius, kita temui Carla dulu ya, takut dia lagi nungguin." Dalam hati aku tak ingin terlena sendiri dalam merasakan kebahagiaan ini, karena di sana ada seorang putri yang menanti kasih sayang kami.Jika aku bahagia maka putri kecilku harus merasa bahagia, jangan sampai ia merasa terabaikan karena kami terlalu sibuk memadu kasih.Beberapa menit kemudian mobil milik Daniel melaju membelah jalanan, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemariku, sedangakan sebelah tangannya di gunakan untuk menyetir."Horee Mama dan Papa sudah pulang," teriak bocah kecil itu dengan girangnya, lalu s
"Sayang kamu ok, 'kan?" tanya Daniel khawatir.Aku menganggukan kepala seraya tersenyum, senyum palsu tentunya, karena dalam hati merasa merana, ingin sekali menghajar perempuan itu habis-habisan."Nanti kita temui ya, Sayang, apa maunya dia kita tanya, kaya ga ada cowo lain aja masih tergila-gila sama aku." Ia mengempaskan dirinya ke atas pembaringan.Kemudian menarik tanganku hingga ke pelukannya. "Sabar ya, Sayang, ini ujian pernikahan kita, di depan sana masih ada ujian-ujian lainnya yang menanti, kita harus kuat, ok." Ia membisikkan itu ke telinga.Mendengarnya hati yang sebelumnya memanas kini berubah menjadi sejuk, betul apa katanya setiap biduk rumah tangga takkan lepas dari ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya apakah akan bersabar ataukah sebaliknya."Semoga kita di berikan kekuatan ya, untuk menjalani semuanya," jawabku seraya mengelus pipinya.Ia meraih tanganku lalu mengecupnya, lepas itu ia tersenyum sambil memandang wajahku mesra."Aku mau kamu jadi istriku seutuh
Aku dan Daniel berpandangan lalu tersenyum haru."Benarkah, Dok, kalau istri saya hamil?" Daniel takjub tak percaya."Benar, Pak, tuh kantung janinnya sudah kelihatan, usianya baru lima minggu," ucap Dokter Ratih.Aku dan Daniel mengucap hamdalah sebagai bentuk rasa syukur, setelah enam bulan menanti akhirnya janin itu hadir di rahimku, membawa kebahagiaan baru.Apalagi Carla, sudah sejak lama ia merindukan seorang adik,tak kubayangkan bagaimana reaksinya jika ia mengetahui jika adik kecil yang didambakan akan hadir dalam waktu beberapa bulan ke depan.*"Sayang, terima kasih ya, sudah menghadirkan malaikat kecil untukku," ucapnya bahagia, kali ini aku sedang di dalam mobil menuju perjalanan pulang."Iya, sama-sama Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya Allah mengabulkan doa kita.""Iya, Sayang, oh ya kita ke rumah kamu dulu yuk, keluarga besar kamu harus tahu tentang kabar gembira ini," ucap Daniel antusias.Mobil pun berbelok menuju rumahku yang sekarang di tempati oleh keluarga besarku.T
Enam bulan berlalu, mahligai rumah tanggaku berjalan sempurna, kami bahagia walau belum kunjung memiliki buah hati.Ada Carla yang selalu menemani rasa sepi di relung hati suamiku, ia amat menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandung, putriku juga merasa nyaman seolah Daniel adalah ayah kandungnya."Aku mau berangkat ya, Sayang, kamu ke kantor ga?" tanya Daniel duduk di tepi ranjang sedangkan aku masih terbaring di atas pembaringan karena sakit kepala yang berdenyut."Engga kayanya, aku pusing banget ini.""Ya sudah istirahat di rumah saja ya, 'kan di kantor ada Shanaz masa udah enam bulan belum faham juga."Ia begitu pengertian padaku, walau terkadang seluruh waktuku di habiskan di kantor menemani Kak Shanaz dan membimbingnya memimpin perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Kak Hadi, entah mengapa ia selalu menutup diri terhadap laki-laki, padahal di luar sana masih banyak yang mengantri meminangnya termasuk Izwan--pria yang pernah melabuhkan cintanya padaku--"Pusing kenapa emang
"Kok aku sih, menyentuhmu saja aku tak pernah, sudah jelas-jelas Joe yang sudah menyentuhmu, walaupun satu kali ya bisa saja langsung jadi, jangan ngaco kamu ya, sekarang cepat pergi dari sini." Nampaknya suamiku mulai meradang, jangankan Daniel akupun sama jengahnya menyaksikan sikap Safira yang tak bijak."Ayo kita pulang." Joe menarik paksa tangan Safira, beberapa kali wanita itu meronta, tapi tetap tak dihiraukannya.Setelah kepergian mereka Daniel nampak bernapas lega, ia menatapku dengan tersenyum."Terbukti 'kan, Sayang, kalau aku ini buka ayah dari bayi yang dikandung Safira," ungkapnya meyakinkanku."Iya aku percaya, tapi kok kamu bisa kenal Joe." pertanyaan ini yang begitu mengganjal sejak tadi.Ia terkikik. "Joe itu temenku, Sayang," jawabnya dengan santai."Jadii ... waktu itu Safira selingkuh sama temen kamu," jawabku lalu terkekeh, karena merasa lucu sekaligus kasihan.Ia nampak menghela napas pelan. "Ya gitu, coba kamu bayangkan Safira yang waktu itu masih kekasihku be
"Terus apa hubungannya dengan suamiku?" dengan mulut bergetar aku menanyakan hal itu."Ini anaknya Daniel, dia harus tanggung jawab," jawab Safira dengan isak tangis.Entah itu tangis sungguhan atau hanya kepura-puraan."Enak aja, aku tuh ga pernah menyentuhmu, jangan ngaku-ngaku ya," sanggah Daniel tak menerima.Aku diam membisu merasakan hati yang sakit bagai di tusuk pisau belati, mereka saling bersitegang saling mempertahankan argumennya."Tapi malam itu, apa kamu sudah lupa, Daniel," ucap Safira, yang membuat hatiku semakin sakit."Malam itu aku ga ingat apapun, Safira, mana mungkin bisa men**aulimu." Daniel masih bersikeras enggan mengakui benih yang tumbuh di rahim Safira.Sesak rasanya dada ini, baru saja kemarin kami berbahagia lalu sekarang, kebahagiaan itu harus terkoyak oleh seseorang yang pernah mengisi masa lalunya."Sayang, percaya sama aku, anak ini bukan benihku." Daniel menyentuh pergelangan tanganku, dan mencoba meraihnya. Namun, secepat kilat kutepis.Aku tak tahu
"Gini saja, pokoknya untuk sementara kalian di sini sampe Sonia sembuh, gimana? lagian aku sih ga masalah kalau tinggal di sini, justru bagus rumah ini ada yang nempatin.""Iya, Rah, Kakak setuju usul kamu kita di rumah ini sampe Sonia sembuh, oh ya soal tawaran kerja di kantor kamu Kakak menyanggupi," ujar Kak Shanaz yang membuatku merasa lega.Akhirnya perusahaanku berada di tangan yang tepat."Alhamdulillah, terima kasih ya, Kak, sudah mau bantu jangan khawatir nanti sesekali aku akan ke kantor kok bantu kakak," jawabku."Iya, pokoknya kita kelola usaha kamu bareng-bareng."Keputusan telah di tetapkan, dan semua barang telah terkemas rapi, Daniel dan Bapak membantu menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi, setelah kami berpamitan akhirnya mobil Daniel membawaku dan Carla menuju rumahnya."Hati-hati ya, Kak," ucap Sonia dengan raut wajah kecewa.Entahlah apakah prasangka buruk ini benar atau salah, jika Sonia merasa kecewa karena berjauhan dengan suamiku, semoga saja ini hanya seke
"Sayang, Mas bantuin Sonia tadi jatoh dari kursi roda," ujar Daniel meyakinkan.Aku mengucapkan istighfar dalam hati, mata ini terpejam beberapa saat, lalu mencerna setiap prasangka buruk ini, tak seharusnya aku bersikap berlebihan."Sayang." Sapaan Daniel membuyarkan lamunan."I-iya, emang Sonia kenapa? kok bisa jatuh?" entahlah, logikaku sulit mencerna alasannya.Mengapa bisa jatuh? tak dapat dipungkiri hati ini memanas melihat mereka."Katanya mau ambil makanan di atas bupet itu, Sayang, dia berusaha berdiri terus jatoh," jawab Daniel dengan tenang, aku menelisik wajahnya memang tak nampak raut kebohongan.Mataku bergulir menatap Sonia ia nampak biasa saja tanpa menunjukkan rasa bersalah, apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan karena takut kejadian masa lampau aka terulang kembali?.Oh Tuhan, tolong yakinkan hati ini jika pernikahan kami akan baik-baik saja, kuharap rumah tangga kami takkan diuji oleh hadirnya orang ketiga, karena aku takkan sanggup bersabar ataupun bertahan.
Entah mengapa aku merasa risih dengan tingkahnya, ia tersenyum begitu hangatnya kepada Daniel, seolah bayang masa lalu kembali merasuk memoriku.Sonia tertunduk sekejap lalu kembali memamerkan senyumannya.Aku menyinduk nasi ke dalam piring beserta lauk pauknya. "Habisin ya," ujarku pada Daniel."Terima kasih istriku." Tanpa rasa malu ia ucapkan itu di hadapan seluruh keluargaku.Lagi-lagi pandanganku tertuju pada Sonia, ia mencebik kala Daniel berkata mesra kepadaku. Namun, dalam sekejap ia mampu menyembunyikan itu dari hadapan kami semua."Sarah, Daniel, kapan kalian bulan madu?" tanya Kak Shanaz.Beberapa detik kemudian Sonia nampak tersedak, tangannya dengan cepat meraih satu gelas air minum."Lho itu 'kan air minum suamiku," sanggahku tak terima karena ia mengambil gelas air minum yang tinggal setengah itu."Oh maaf-maaf, Kak, aku ga lihat dulu," jawabnya masih terbatuk.Seketika rasa kesal menyeruak ke dalam dada. Namun, tangan Daniel menggenggam erat jemariku memberikan sedikit
"Sayang kamu ok, 'kan?" tanya Daniel khawatir.Aku menganggukan kepala seraya tersenyum, senyum palsu tentunya, karena dalam hati merasa merana, ingin sekali menghajar perempuan itu habis-habisan."Nanti kita temui ya, Sayang, apa maunya dia kita tanya, kaya ga ada cowo lain aja masih tergila-gila sama aku." Ia mengempaskan dirinya ke atas pembaringan.Kemudian menarik tanganku hingga ke pelukannya. "Sabar ya, Sayang, ini ujian pernikahan kita, di depan sana masih ada ujian-ujian lainnya yang menanti, kita harus kuat, ok." Ia membisikkan itu ke telinga.Mendengarnya hati yang sebelumnya memanas kini berubah menjadi sejuk, betul apa katanya setiap biduk rumah tangga takkan lepas dari ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya apakah akan bersabar ataukah sebaliknya."Semoga kita di berikan kekuatan ya, untuk menjalani semuanya," jawabku seraya mengelus pipinya.Ia meraih tanganku lalu mengecupnya, lepas itu ia tersenyum sambil memandang wajahku mesra."Aku mau kamu jadi istriku seutuh
Sarapan telah usai, aku sibuk merapikan barang-barang karena hendak pulang ke rumah, rasanya segan untuk menginap lama-lama, aku takut jika Carla sedang menanti kedatanganku di rumah sana."Jadi kita mau pulang sekarang?" Daniel seolah masih ingin berlama-lama di tempat ini."Iya, Sayang, kita pulang dulu setelah itu kamu bebas mengajak aku ke manapun." Ia membawa tubuh ini ke dalam dekapannya."Serius?" "Duarius, kita temui Carla dulu ya, takut dia lagi nungguin." Dalam hati aku tak ingin terlena sendiri dalam merasakan kebahagiaan ini, karena di sana ada seorang putri yang menanti kasih sayang kami.Jika aku bahagia maka putri kecilku harus merasa bahagia, jangan sampai ia merasa terabaikan karena kami terlalu sibuk memadu kasih.Beberapa menit kemudian mobil milik Daniel melaju membelah jalanan, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemariku, sedangakan sebelah tangannya di gunakan untuk menyetir."Horee Mama dan Papa sudah pulang," teriak bocah kecil itu dengan girangnya, lalu s