."Sudahlah Sarah jangan bahas hal ini lagi, kita berdua juga hapy-hapy aja," jawab Zylan membela diri.Entah mengapa aku semakin yakin jika pelet itu salah sasaran."Betul kata Zylan, yang aneh tuh kamu surat perceraian kita aja belum keluar dari pengadilan, masa udah pacaran," cetusku menyindir untuk mengalihkan perhatian.Mulutku rasanya gatal sekali ingin memaki Sarah, bukankah ia masih dalam masa iddah mengapa sudah berani jalan dengan lelaki lain."Terserah aku dong, kok kamu sewot gitu sih, Bang. Kamu aja kemarin masih berstatus suamiku udah berani berzina dengan adikku sendiri, jadi ga usah ikut campur urusanku deh," jawab Sarah tak mau kalah.Skak matt! Aku sudah tak memiliki kata lagi untuk membalas perkataannya."Oh ya, Bang, Carla nanyain kamu terus, kalau bisa tengokin besok, itu juga kalau kamu mau, kalau engga ya terserah tapi konsekuensinya kamu akan kehilangan Carla, apalagi sebentar lagi akan ada orang yang menggantikanmu, kalau kamu masih abai siap-siap aja dilupaka
(Pov Sarah)Sebentar lagi perceraianku akan di resmikan, rasa lega dan kecewa bercampur menjadi satu."Ma, kapan Papa pulangnya?" tanya Carla membuyarkan lamunan."Katanya besok, Sayang," jawabku lembut, lekas ia duduk di sampingku."Ma, beneran ya Papa sama Mama udah cerai?"Aku menelan saliva mendengarnya, dari mana ia mengetahui kata itu?."Emang Carla tau dari mana?" jawabku setenang mungkin."Dari Jenny, Ma dia juga tahu dari Mamanya," ungkap Carla dengan polosnya.Aku diam, memikirkan kata yang pas untuk menjawab tanya Carla, jangan sampai lidah ini salah dalam menyampaikan.Aku jadi kesal pada Mbak Meta_tetangga sebelah, mengapa hal semacam ini bisa di sampaikan pada anak kecil, dasar tukang gosip! Bukan hanya ibu-ibu komplek saja yang ia ajak berghibah namun, anaknya juga ia ajak."Ma, emang bener ya?" tanya Carla sembari menatap wajahku, tatapan wajahnya seolah menuntut jawaban dariku."Emm ... iya cerai tapi ... walaupun cerai Mama sama Papa akan tetep jadi orang tua Carla,
"Waalaikumsalam, tumben, Dan malam-malam datang kesini?" "Tadi kebetulan lewat sini jadi, sekalian mampir." Ia menjawab sambil menggaruk kepalanya."Carla ayo salim sama Om Daniel," pintaku, ia pun menurut walau gurat kecewa di wajahnya belum menghilang."Duduk, Dan di luar aja ya, soalnya di dalam ga ada siapa-siapa ART sudah pulang tadi sore."Aku menyuruh Daniel duduk di kursi teras, bagaimanapun juga aku tak berani memasukkan tamu laki-laki, apalagi hari sudah malam dan statusku sedang menunggu masa iddah."Iya ga apa, kalian cuma berdua di rumah sebesar ini? tanya Daniel keheranan."Iya tapi, nanti Bapakku mau tinggal di sini katanya khawatir, paling lusa dia kesini," jawabku gugup.Entah mengapa aku mendadak gugup begini berhadapan dengan Daniel, apalagi penampilannya begitu keren malam ini, aroma tubuhnya pun begitu wangi."Oh bagus kalau gitu, kamu ada yang ngelindungin, aku jadi ga khawatir.""Hah!." aku terheran dengan ucapannya."Emang ga boleh aku khawatir sama temen send
"Sarah, kok manyun bibirnya, kamu cemburu yaa," ujar Daniel sambil terkikik.Aku menghela napas, berusaha mengurai kembali rasa agar pria itu tak curiga. Rasanya terlalu dini jika aku jatuh cinta kembali, sakit yang dulu saja belum terobati, tak mungkin saat ini aku kembali merajut cinta suci."Siapa yang cemburu sih, Dan. Emang tadi siapa? pacar kamu?" tanyaku mengintrogasi."Tuh 'kan kamu curiga." Ia terkekeh.Rupanya aku salah lagi, mengapa juga harus bertanya hal seperti itu."Pasti pacar kamu! Yasudah cepet jalan aku ngantuk," jawabku kesal.Akhir-akhir ini Daniel memang selalu bertingkah menyebalkan, ia selalu membuat rasaku terbang melayang, lalu dengan seketika ia hempaskan kembali rasa ini ke muka bumi dengan guyonannya."Ciee ngambek, dia itu bukan siapa-siapa kok, cuma temen," ujarnya membuat dadaku terasa lega.Dalam hati aku berdoa. 'Semoga aku tak jatuh cinta pada pria ini'."Sarah, kok diem?" ia bertanya memecah keheningan."Masa harus loncat-loncat!" jawabku datar.Ia
Aku menerka-nerka, apakah ini ada hubungannya dengan perubahan Zylan tempo hari yang tiba-tiba nyosor saat melihat Bang Surya.Tak masuk akal jika Zylan tulus mencintai Bang Surya, mengingat ia adalah orang pertama yang membongkar perselingkuhan Bang Surya dengan Sonia."Terus sekarang gimana keadaanya, Tante?" tanyaku khawatir."Ya gitu deh, dia ngelamun aja ga mau diajak bicara, makan juga ga mau kalau ga di paksa," jawab Tante Lita putus asa."Boleh kita lihat ke kamarnya, Tan?" tanya Daniel kini ia mulai bersuara.Tante Lita mengiyakan, dia mengantarkan kami ke kamar Zylan.Saat membuka pintu tatapan mataku tertuju padanya yang sedang duduk melamun di atas ranjang, tatapannya kosong, rambutnya kusut juga wajahnya terlihat pucat.Aku dan Daniel mendekatinya dengan perlahan."Zy, kamu kenapa?" tanyaku ramah seraya duduk di tepi ranjang.Dia melirikku dengan pandangan mengerikan, lalu setelah ia berteriak histeris."Sarah! Surya ada di mana? kenapa nomornya ga aktif terus? apa salahk
(Pov Surya)"Sayang, ini surat perceraian resmi Abang dengan Sarah sudah keluar, kapan kita nikah resmi?" tanyaku penuh harap.Ia hanya melirik sekilas surat itu, lalu fokus kembali pada layar ponselnya."Nanti ajalah, kalau Abang sudah punya kerjaan bagus, gaji gede, punya rumah mewah baru kita nikah resmi," jawabnya masih fokus pada layar ponsel.3 Bulan lebih aku menikahinya. Namun, tak juga Sonia mau berubah, bahkan semakin hari semakin acuh kepadaku.Semua ini gara-gara Zylan Si jand* gatal itu, ia sudah berjanji akan memberikan pekerjaan sebagai sekretaris. Namun, nyatanya aku malah di pekerjakan sebagai OB di kantor itu, karena tak ada pekerjaan lain lagi terpaksa aku menerima tawaran kerja itu.Dasar wanita kurang ajar! Apa salahku padanya, hingga ia habis-habisan mengerjaiku.Ia juga sudah berubah tak seperti dulu, tak pernah lagi menghubungi ataupun mencariku, mungkin pelet dari Ki Joko telah luntur dari dirinya."Kamu ini kenapa sih, bukannya dulu ngebet banget pengen nikah
"Sarah, aku minta maaf, aku minta nomor handhpone kamu ya, aku ganti kartu baru dan ga punya nomor kamu, gimanapun juga kita orang tuanya Carla harus tetap menjaga komunikasi," imbuhku memohon.Sebenarnya kartu lamaku di patahkan Sonia, ia juga meriset ponselku, hingga tak ada satu pun kontak yang tersisa."Kalau kamu ada perlu dengan Carla, ke rumah aja, aku masih tinggal di rumah itu, yah kalau Carla masih mau nerima kamu, aku sih ga yakin Carla itu sudah terlanjur kecewa sama kamu," jawabnya tegas."Sarah, aku minta maaf sebenarnya aku pengen jenguk Carla tapi ... aku belum punya rezeki lebih," jawabku berterus terang, biarlah sepertinya rasa maluku telah hilang."Jangan minta maaf ke aku! Minta maaf sama anakmu sana! Ayo, Dan," hardik Sarah sambil melotot lalu merangkul tangan Daniel.Seketika hatiku memanas, apa maksudnya Sarah bergandengan tangan dengan lelaki lain di hadapanku."Tunggu, Sarah! apa-apaan kamu gandengan tangan dengan lelaki lain? dia siapa kamu? pacar kamu? suami
[Sarah, pulang kerja bisa kita ketemuan dulu? ada hal penting yang ingin aku bicarakan]Satu pesan masuk dari Daniel, tak menunggu lama kubalas pesannya dengan senyum mengembang, hatiku selalu berbuga-bunga kala ia mengirimkan pesan.[Ketemu dimana?]Balasku.[Di Cafe Arista]Balasnya kembali.[Ok, nanti jam 5 aku OTW][Ok, cantik]Balasnya disertai emotikon cium.Aku tertawa geli melihatnya, akhir-akhir ini ia memang selalu bersikap humoris dan romantis.Saat ingin melanjutkan kerja, tiba-tiba Ibunya Bang Surya menelpon, gegas aku menekan tombol warna hijau."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam, Sarah sekarang Surya ada di rumah sakit sudah 2 Hari, biasa penyakit vertigo-Nya kumat lagi, dia nanyain Carla kamu bisa ga bawa dia kesini?" pinta Ibu dengan ramah."Duh, gimana ya masa bawa anak kecil ke rumah sakit, Bu," jawabku bimbang."Cuma sebentar saja, pakein masker sama sarung tangan kalau perlu, kasihan Surya kemarin malam sempat ga sadarkan diri, cuma sebentar kok, Sarah," ucap
Aku dan Daniel berpandangan lalu tersenyum haru."Benarkah, Dok, kalau istri saya hamil?" Daniel takjub tak percaya."Benar, Pak, tuh kantung janinnya sudah kelihatan, usianya baru lima minggu," ucap Dokter Ratih.Aku dan Daniel mengucap hamdalah sebagai bentuk rasa syukur, setelah enam bulan menanti akhirnya janin itu hadir di rahimku, membawa kebahagiaan baru.Apalagi Carla, sudah sejak lama ia merindukan seorang adik,tak kubayangkan bagaimana reaksinya jika ia mengetahui jika adik kecil yang didambakan akan hadir dalam waktu beberapa bulan ke depan.*"Sayang, terima kasih ya, sudah menghadirkan malaikat kecil untukku," ucapnya bahagia, kali ini aku sedang di dalam mobil menuju perjalanan pulang."Iya, sama-sama Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya Allah mengabulkan doa kita.""Iya, Sayang, oh ya kita ke rumah kamu dulu yuk, keluarga besar kamu harus tahu tentang kabar gembira ini," ucap Daniel antusias.Mobil pun berbelok menuju rumahku yang sekarang di tempati oleh keluarga besarku.T
Enam bulan berlalu, mahligai rumah tanggaku berjalan sempurna, kami bahagia walau belum kunjung memiliki buah hati.Ada Carla yang selalu menemani rasa sepi di relung hati suamiku, ia amat menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandung, putriku juga merasa nyaman seolah Daniel adalah ayah kandungnya."Aku mau berangkat ya, Sayang, kamu ke kantor ga?" tanya Daniel duduk di tepi ranjang sedangkan aku masih terbaring di atas pembaringan karena sakit kepala yang berdenyut."Engga kayanya, aku pusing banget ini.""Ya sudah istirahat di rumah saja ya, 'kan di kantor ada Shanaz masa udah enam bulan belum faham juga."Ia begitu pengertian padaku, walau terkadang seluruh waktuku di habiskan di kantor menemani Kak Shanaz dan membimbingnya memimpin perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Kak Hadi, entah mengapa ia selalu menutup diri terhadap laki-laki, padahal di luar sana masih banyak yang mengantri meminangnya termasuk Izwan--pria yang pernah melabuhkan cintanya padaku--"Pusing kenapa emang
"Kok aku sih, menyentuhmu saja aku tak pernah, sudah jelas-jelas Joe yang sudah menyentuhmu, walaupun satu kali ya bisa saja langsung jadi, jangan ngaco kamu ya, sekarang cepat pergi dari sini." Nampaknya suamiku mulai meradang, jangankan Daniel akupun sama jengahnya menyaksikan sikap Safira yang tak bijak."Ayo kita pulang." Joe menarik paksa tangan Safira, beberapa kali wanita itu meronta, tapi tetap tak dihiraukannya.Setelah kepergian mereka Daniel nampak bernapas lega, ia menatapku dengan tersenyum."Terbukti 'kan, Sayang, kalau aku ini buka ayah dari bayi yang dikandung Safira," ungkapnya meyakinkanku."Iya aku percaya, tapi kok kamu bisa kenal Joe." pertanyaan ini yang begitu mengganjal sejak tadi.Ia terkikik. "Joe itu temenku, Sayang," jawabnya dengan santai."Jadii ... waktu itu Safira selingkuh sama temen kamu," jawabku lalu terkekeh, karena merasa lucu sekaligus kasihan.Ia nampak menghela napas pelan. "Ya gitu, coba kamu bayangkan Safira yang waktu itu masih kekasihku be
"Terus apa hubungannya dengan suamiku?" dengan mulut bergetar aku menanyakan hal itu."Ini anaknya Daniel, dia harus tanggung jawab," jawab Safira dengan isak tangis.Entah itu tangis sungguhan atau hanya kepura-puraan."Enak aja, aku tuh ga pernah menyentuhmu, jangan ngaku-ngaku ya," sanggah Daniel tak menerima.Aku diam membisu merasakan hati yang sakit bagai di tusuk pisau belati, mereka saling bersitegang saling mempertahankan argumennya."Tapi malam itu, apa kamu sudah lupa, Daniel," ucap Safira, yang membuat hatiku semakin sakit."Malam itu aku ga ingat apapun, Safira, mana mungkin bisa men**aulimu." Daniel masih bersikeras enggan mengakui benih yang tumbuh di rahim Safira.Sesak rasanya dada ini, baru saja kemarin kami berbahagia lalu sekarang, kebahagiaan itu harus terkoyak oleh seseorang yang pernah mengisi masa lalunya."Sayang, percaya sama aku, anak ini bukan benihku." Daniel menyentuh pergelangan tanganku, dan mencoba meraihnya. Namun, secepat kilat kutepis.Aku tak tahu
"Gini saja, pokoknya untuk sementara kalian di sini sampe Sonia sembuh, gimana? lagian aku sih ga masalah kalau tinggal di sini, justru bagus rumah ini ada yang nempatin.""Iya, Rah, Kakak setuju usul kamu kita di rumah ini sampe Sonia sembuh, oh ya soal tawaran kerja di kantor kamu Kakak menyanggupi," ujar Kak Shanaz yang membuatku merasa lega.Akhirnya perusahaanku berada di tangan yang tepat."Alhamdulillah, terima kasih ya, Kak, sudah mau bantu jangan khawatir nanti sesekali aku akan ke kantor kok bantu kakak," jawabku."Iya, pokoknya kita kelola usaha kamu bareng-bareng."Keputusan telah di tetapkan, dan semua barang telah terkemas rapi, Daniel dan Bapak membantu menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi, setelah kami berpamitan akhirnya mobil Daniel membawaku dan Carla menuju rumahnya."Hati-hati ya, Kak," ucap Sonia dengan raut wajah kecewa.Entahlah apakah prasangka buruk ini benar atau salah, jika Sonia merasa kecewa karena berjauhan dengan suamiku, semoga saja ini hanya seke
"Sayang, Mas bantuin Sonia tadi jatoh dari kursi roda," ujar Daniel meyakinkan.Aku mengucapkan istighfar dalam hati, mata ini terpejam beberapa saat, lalu mencerna setiap prasangka buruk ini, tak seharusnya aku bersikap berlebihan."Sayang." Sapaan Daniel membuyarkan lamunan."I-iya, emang Sonia kenapa? kok bisa jatuh?" entahlah, logikaku sulit mencerna alasannya.Mengapa bisa jatuh? tak dapat dipungkiri hati ini memanas melihat mereka."Katanya mau ambil makanan di atas bupet itu, Sayang, dia berusaha berdiri terus jatoh," jawab Daniel dengan tenang, aku menelisik wajahnya memang tak nampak raut kebohongan.Mataku bergulir menatap Sonia ia nampak biasa saja tanpa menunjukkan rasa bersalah, apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan karena takut kejadian masa lampau aka terulang kembali?.Oh Tuhan, tolong yakinkan hati ini jika pernikahan kami akan baik-baik saja, kuharap rumah tangga kami takkan diuji oleh hadirnya orang ketiga, karena aku takkan sanggup bersabar ataupun bertahan.
Entah mengapa aku merasa risih dengan tingkahnya, ia tersenyum begitu hangatnya kepada Daniel, seolah bayang masa lalu kembali merasuk memoriku.Sonia tertunduk sekejap lalu kembali memamerkan senyumannya.Aku menyinduk nasi ke dalam piring beserta lauk pauknya. "Habisin ya," ujarku pada Daniel."Terima kasih istriku." Tanpa rasa malu ia ucapkan itu di hadapan seluruh keluargaku.Lagi-lagi pandanganku tertuju pada Sonia, ia mencebik kala Daniel berkata mesra kepadaku. Namun, dalam sekejap ia mampu menyembunyikan itu dari hadapan kami semua."Sarah, Daniel, kapan kalian bulan madu?" tanya Kak Shanaz.Beberapa detik kemudian Sonia nampak tersedak, tangannya dengan cepat meraih satu gelas air minum."Lho itu 'kan air minum suamiku," sanggahku tak terima karena ia mengambil gelas air minum yang tinggal setengah itu."Oh maaf-maaf, Kak, aku ga lihat dulu," jawabnya masih terbatuk.Seketika rasa kesal menyeruak ke dalam dada. Namun, tangan Daniel menggenggam erat jemariku memberikan sedikit
"Sayang kamu ok, 'kan?" tanya Daniel khawatir.Aku menganggukan kepala seraya tersenyum, senyum palsu tentunya, karena dalam hati merasa merana, ingin sekali menghajar perempuan itu habis-habisan."Nanti kita temui ya, Sayang, apa maunya dia kita tanya, kaya ga ada cowo lain aja masih tergila-gila sama aku." Ia mengempaskan dirinya ke atas pembaringan.Kemudian menarik tanganku hingga ke pelukannya. "Sabar ya, Sayang, ini ujian pernikahan kita, di depan sana masih ada ujian-ujian lainnya yang menanti, kita harus kuat, ok." Ia membisikkan itu ke telinga.Mendengarnya hati yang sebelumnya memanas kini berubah menjadi sejuk, betul apa katanya setiap biduk rumah tangga takkan lepas dari ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya apakah akan bersabar ataukah sebaliknya."Semoga kita di berikan kekuatan ya, untuk menjalani semuanya," jawabku seraya mengelus pipinya.Ia meraih tanganku lalu mengecupnya, lepas itu ia tersenyum sambil memandang wajahku mesra."Aku mau kamu jadi istriku seutuh
Sarapan telah usai, aku sibuk merapikan barang-barang karena hendak pulang ke rumah, rasanya segan untuk menginap lama-lama, aku takut jika Carla sedang menanti kedatanganku di rumah sana."Jadi kita mau pulang sekarang?" Daniel seolah masih ingin berlama-lama di tempat ini."Iya, Sayang, kita pulang dulu setelah itu kamu bebas mengajak aku ke manapun." Ia membawa tubuh ini ke dalam dekapannya."Serius?" "Duarius, kita temui Carla dulu ya, takut dia lagi nungguin." Dalam hati aku tak ingin terlena sendiri dalam merasakan kebahagiaan ini, karena di sana ada seorang putri yang menanti kasih sayang kami.Jika aku bahagia maka putri kecilku harus merasa bahagia, jangan sampai ia merasa terabaikan karena kami terlalu sibuk memadu kasih.Beberapa menit kemudian mobil milik Daniel melaju membelah jalanan, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemariku, sedangakan sebelah tangannya di gunakan untuk menyetir."Horee Mama dan Papa sudah pulang," teriak bocah kecil itu dengan girangnya, lalu s